google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT: HAM

Halaman

Showing posts with label HAM. Show all posts
Showing posts with label HAM. Show all posts

Hukum, Peta Keadilan











Hukum di negeri ini masih jauh dari keadilan. 


Hukum hanya galak kepada mereka yang miskin dan tak punya kekuasaan, itulah yang kini terpampang dalam berbagai media massa yang melaporkan ketidak sesuaian hukum dengan keadilan. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika meninjau Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Anak Pria, Tangerang Banten, Selasa (16/2/2010) mengakui bahwa rasa keadilan kerap terusik dalam praktik penegakkan hukum karena disamaratakannya hukuman atas tindak pidana tertentu, seperti pencurian yang dilakukan orang dewasa dan anak-anak. Demikian pula ketika pencurian dilakukan karena seseorang amat sangat miskin dan seseorang yang sebenarnya tidak berkekurangan. 

Kejadian terkini tentang hukum yang tidak sesuai dengan keadilan itu menimpa Aspuri, seorang pemuda berusia 18 tahun yang tak pernah menyangka akibat memungut sehelai kaus bekas yang kotor di pagar rumah Dewi di kampung Sisipan, Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, Oktober 2009, di vonis bersalah dengan hukuman penjara 3 bulam 5 hari. Di pengadilan Batang empat pencuri randu senilai Rp. 12.000,- diganjar hukuman 24 hari. Kholil (41) dan Basar (40) warga lingkungan Bujel, Kelurahan Sukorame keduanya dibawa kemeja hijau karena mencuri 1 buah semangka. 

Seorang nenek berumur 55 tahun dituntut jaksa hukuman 6 bulan atas tuduhan mencuri 3 biji kakao yang sudah jatuh ke tanah milik PT Rumpun Sari Antan IV (RSA) di Banyumas , Jawa tengah. Meskipun akhirnya Hakim menjatuhkan hukuman 1 bulan 15 hari kepada si nenek, tanpa harus menjalani kurungan penjara. 

Nasib malang juga menimpa seorang anak berusia 8 tahun yang diajukan ke pengadilan oleh polisi yang berpangkat Komisaris (Kompol) lantaran karena lebah yang dipegangnya menyengat pipi teman bermainnya yang adalah anak pejabat, kejadian ini menambah daftar panjang kinerja buruk Polisi di lapangan. 

Ironisnya, fakta-fakta hukum yang tidak sesuai dengan keadilan itu seperti fenomena gunung es, yang terkuak hanya sejumlah kecil kasus, dan sebagian besar kasus tentang ketidakadilan hukum itu tidak pernah terkuak, apalagi menjadi berita pada media-media massa. Ini jelas merupakan ancaman bagi tegaknya supremasi hukum di negeri ini. 


Peta keadilan 

Hukum yang ber-keadilan harusnya menempatkan semua orang sama dihadapan hukum (equal for all). Hukum harus keras bukan hanya untuk mereka yang miskin dan lemah, tetapi juga kepada mereka yang kaya dan kuat. 

Hukum yang tegas pada semua orang ini bukan hanya menguntungkan mereka yang lemah, tetapi juga menguntungkan semua pihak termasuk mereka yang kuat. Hukum yang tegas akan menguntungkan yang kuat karena itu akan menolong yang kuat untuk berhati-hati dalam mengambil tindakan, ini akan menolong yang kuat terhindar dari sikap sewenang-wenang, dengan mengabaikan mereka yang lemah. 

Hukum sesungguhnya ibarat peta yang dapat membawa semua orang menuju kehidupan yang adil bagi semua. Terciptanya suatu komunitas beradab dari manusia yang beradab. Hukum adalah peta keadilan, melalui hukum semua orang dapat melihat manakah tindakan yang sesuai dengan asas keadilan dan mana yang tidak sesuai dengan asas keadilan. 

Sayangnya, argumen kepastian hukum itu sering kali disalah gunakan oleh mereka yang kuat, akibatnya hukum tidak selaras dengan nilai-nilai keadilan, hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang kuat untuk memaksakan kehendaknya, hukum hanya tajam bagi mereka yang lemah, sebagaimana terlihat pada pengadilan yang mempertontonkan ketidak adilan pada akhir-akhir ini. 

Hukum di Indonesia ternyata bukannya menjadi peta yang menunjukkan bagaimana membangun kehidupan masyarakat yang adil untuk semua, sebaliknya malahan menjadi kendaraan kepentingan bagi yang kuat, hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, itulah sebabnya hukum tidak bisa keras untuk semua, hukum menjadi tumpul bagi mereka yang kuat, dan amat tajam bagi mereka yang lemah. 

Implementasi hukum di Indonesia sesungguhnya membenarkan apa yang dikatakan oleh Trasymachus, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Hukum adalah kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat. Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. 

Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesui dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal. Realitas hukum yang seperti itu sama saja dengan membenarkan apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya. 

Hukum di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan, bahkan menjadikan hukum sebagai alat pembenaran kekerasan. Pemerintahan yang kuat Untuk menegakkan hukum diperlukan penguasa yang kuat, meminjam istilah Thommas Hobbes, Perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong (Leviathan XVIII) Untuk penegakkan hukum diperlukan pemerintahan yang kuat untuk dapat memaksakan hukum bagi semua, baik untuk mereka yang lemah dan mereka yang kuat. 

Namun, tetap saja hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan pemerintahan yang kuat karena itu sama saja mengabaikan tujuan pokok hukum yang pada dasarnya adalah mencari keadilan, kesejahteraan umum, perlindungan individu dan solidaritas. Kita tentu setuju bahwa manusia diciptakan oleh yang maha kuasa, dan yang maha adil, lantaran itulah sewajarnya seluruh tatanan dunia ini mempertunjukan keadilan sang pencipta. Keadilan semestinya mengalir dari sang pencipta kepada semua ciptaan, dan semua manusia dituntut untuk melaksanakan keadilan. 

Pada sisi yang lain kita tentu juga tahu bahwa keadilan menjadi kebutuhan setiap manusia. Maka dengan demikian jelaslah penegakkan keadilan sejalan dengan kebutuhan bersama semua manusia, karena semua ciptaan membutuhkan hukum yang sejalan dengan keadilan untuk tetap eksis. Jadi, suatu pemerintahan yang kuat merupakan hamba rakyat dalam menegakkan keadilan yang menjadi tuntutan rakyat. Pemerintahan yang kuat juga dibutuhkan untuk maksimalisai fungsi hukum sebagai peta keadilan, bukannya kendaraan kepentingan yang kuat. 

Dr. Binsar A. Hutabarat 

Diskriminasi





Berdasarkan jumlah penderita HIV/AIDS, Papua menduduki urutan kedua terbanyak setelah DKI Jakarta. Namun, berdasarkan prevalensinya Papua menduduki urutan pertama di Indonesia. 

Itulah sebabnya pemerintah daerah Papua berusaha dengan segenap tenaga untuk menekan laju pertumbuhan HIV/AIDS yang mematikan itu.

Gubernur Papua, Barnabas Suebu telah mencanangkan tanggal 1 Desember 2009 sebagai hari gerakan seluruh masyarakat Papua dalam menanggulangi HIV/AIDS. Keputusan ini tentu saja harus mendapat dukungan seluruh masyarakat Papua, karena semua orang di Papua khususnya memiliki kepentingan yang sama, yakni menekan laju pertumbuhan HIV yang mengancam setiap orang di Papua.

Kita semua mafhum, HIV /AIDS bukan hanya mengancam mereka yang terlibat seks bebas, atau kelompok berisiko tinggi, tetapi juga pada istri dalam keluarga baik-baik dan anak-anak, yang merupakan gelombang keempat dan kelima penularan HIV/AIDS. 

HIV/AIDS pertama kali berjangkit dikalangan pria homoseksual dan para pengguna narkoba. Gelombang kedua pada para pekerja seksual. Gelombang ketiga pada para laki-laki pelanggan, kemudian menulari istri dan pacar mereka, dan selanjutnya pada anak-anak mereka. Salah satu persoalan klasik yang bisa menjegal perjuangan seluruh masyarakat Papua dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah pemberian stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Apabila kejadian itu terus berlanjut, bukan mustahil tekad mulia Gubernur Papua itu tidak akan mendapat dukungan seluruh masyarakat Papua. Karena itu, menurut penulis, pemerintah daerah Papua harus mendampingi gerakan tersebut dengan gerakan anti stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. 

Stigma dan Diskriminasi 

Stigmatisasi (sangka buruk) dan diskriminasi terhadap mereka yang menderita HIV/AIDS telah menjadi fenomena biasa di Indonesia, juga di Papua. Penderita HIV/AIDS dituding sebagai orang yang tidak bermoral dan pendosa. Dalam masyarakat Papua masih ada kepercayaan bahwa HIV/AIDS adalah akibat dari sebuah kutukan. Stigmatisasi dan diskriminasi itu mengakibatkan orang dengan HIV bukan saja sulit mencari pekerjaan, tetapi juga akan membuat mereka kehilangan pekerjaan, perumahan dan menghadapi berbagai hinaan, perlakuan yang tidak manusiawi. 

Media sudah banyak melaporkan penderitaan mereka yang disingkirkan oleh masyarakat. Tindakan itu lahir akibat kepanikan anggota masyarakat yang sangat takut terjangkit HIV/AIDS, karena kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS dan cara menghindarinya. Ketakutan yang berlebihan itu sering kali mampu mengikis perasaan belas kasihan pada penderita HIV/AIDS. 

Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA di Papua terbaca jelas pada usulan pemaksaan penggunaan chips atau pemberian tato sebagai tanda pada penderita HIV yang berbahaya, yang dikuatirkan akan dengan sengaja menyebarkan virus itu kepada orang lain. Tujuannya adalah, dengan adanya chips itu orang yang belum terinfeksi bisa waspada ketika berdekatan dengan mereka yang menderita HIV, dan orang yang terinfeksi tidak akan berani secara sengaja menyebarkan virus tersebut kepada orang lain. 

Jika penderita HIV nekat menyebarkan virus itu pada orang lain, mereka akan terkena sanksi hukuman. Semangat diskriminasi beberapa anggota DPRD Papua itu bermuara pada usaha melegalkan tindakan diskriminasi itu dalam bentuk peraturan daerah provinsi (raperdasi), yang kemudian melahirkan kontroversi dan berakibat dihentikannya pembahasan raperdasi tersebut. Semangat pencetus aturan yang diskriminatif terhadap ODHA itu tentu tidak dengan sendirinya padam setelah pembekuan raperdasi yang kontroversial itu. 

Kepanikan karena takut terjangkit HIV/AIDS akan membuat mereka nekat, dan dengan sengaja melakukan diskriminasi terhadap ODHA dengan menghadirkan aturan-aturan yang diskriminatif untukmelindungi diri mereka. Ini adalah persoalan yang harus diatasi oleh pemerintah Papua untuk mensukseskan gerakan penanggulangan HIV/AIDS di Papua. 

Pemerintah daerah Papua perlu mendengar perasaan frustasi penderita HIV/AIDS sebagaimana yang pernah diungkapkan di Jakarta, 29 November 2006, lewat empat puluh orang penderita HIV/AIDS yang berdemo di bundaran Hotel Indonesia (HI) menolak perlakuan tidak adil yang mereka terima. Demonstrasi itu merupakan cetusan betapa pahitnya hidup penderita HIV/AIDS. Disamping harus berjuang melawan penyakit karena menurunnya kekebalan tubuh akibat terinfeksi HIV, mereka juga harus mengalami penderitaan karena ditolak oleh masyarakat, bahkan oleh anggota keluarga mereka. Suara frustasi penderita HIV pada demonstrasi itu tercetus saat mereka melontarkan ancaman akan menularkan virus yang ada dalam tubuh mereka kepada masyarakat umum, termasuk dokter dan aparat kepolisian jika diskriminasi terhadap mereka tidak dihentikan. 

Rumor tentang pelaksanaan ancaman itu kemudian juga terdengar di berbagai tempat, juga di Papua. Ancaman itu tentu saja amat menakutkan, tapi secara bersamaan mestinya mengingatkan masyarakat bahwa itu adalah luapan rasa frustasi ODHA yang tak lagi mampu menanggung penderitaan, dan membutuhkan pertolongan semua pihak. 

Penderita HIV/AIDS jangan lagi dibebani dengan stigmatisasi dan diskriminasi. Ancaman penderita HIV/AIDS yang sedang frustasi itu juga tidak boleh dijadikan “kambing hitam” atas tingginya penularan virus tersebut. Apalagi jika kemudian itu dijadikan dasar untuk melegalkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Kepanikan dalam menangani bencana HIV/AIDS bisa saja melahirkan kebijakan prematur yang bersifat diskriminatif. 

Kebijakan prematur tersebut tentu saja tidak produktif dalam mengatasi bencana HIV/AIDS yang sesungguhnya membutuhkan kerja sama semua fihak, baik penderita maupun mereka yang belum terjangkit, dan pemerintah daerah harus berusaha mengatasi persoalan itu. ODHA juga manusia Tepatlah apa yang dikatakan Prof Jonathan Mann (almarhum), perintis paduan ilmu kesehatan dan HAM Universitas Harvard dan mantan Direktur Program Global WHO, ketika menjelaskan bahwa program penanggulangan AIDS di suatu negara bisa berhasil dengan cara merangkul, “memanusiakan” orang-orang dengan HIV/AIDS. 

Penderita HIV/AIDS yang diterima dengan baik tentu saja akan bersedia ikut dalam usaaha penaggulangan wabah itu. Hanya dengan cara itulah keterlibatan seluruh masyarakat Papua dimungkinkan. Sesungguhnya, penderita HIV/AIDS memiliki martabat yang sama dengan manusia lainnya, kemanusiaan mereka tidak pernah terhapus karena penyakit yang mereka derita, apalagi penyakit itu juga bukan pilihan mereka. ODHA juga manusia dan kemanusiaannya itu tidak bisa tercabut. Perlakuan manusiawi itu akan membuat mereka tidak akan merelakan saudara-saudara mereka di Papua menderita penyakit yang sama dengan apa yang mereka sedang derita. 

Secara internasional, pengakuan pentingnya menghargai ODHA sesuai dengan martabatnya sebagai manusia yang mulia juga tertuang dalam deklarasi UNGASS (United Nations General Assembly Special Session) pada tahun 2001. Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara yang menandatangani deklarasi tersebut. Karena itu sudah seharusnya penggulangan HIV/AIDS di Papua, dan seantero Indonesia memerhatikan deklarasi itu. 

Penderita HIV/AIDS sudah semestinya mendapatkan perlakuan yang manusiawi, dan dengan bekerjasama dengan merekalah kita bisa memutus rantai penyebaran penyakit itu. Anti Stigma dan Diskriminasi Sesungguhnya tak ada alasan sahih untuk mendiskriminasikan mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, apalagi saat ini banyak diantara mereka yang terinfeksi HIV/AIDS adalah anggota keluarga baik- baik. Melalui berbagai cara, HIV/AIDS menjangkiti banyak anggota keluarga baik-baik itu, bahkan diantara mereka yang menderita HIV/AIDS ada juga anak-anak, karena terlahir dalam kandungan ibu penderita HIV. 

Mengacu pada Deklarasi Universal HAM, siapapun tak boleh mencabut hak asasi seseorang, demikian juga sebuah virus HIV tidak bisa mencabutnya. Sikap-sikap yang diskriminatif dan mendeskreditkan kedudukan ODHA dalam masyarakat jelas pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Penanggulangan HIV/AIDS yang melibatkan seluruh masyarakat Papua, hanya mungkin terjadi jika promosi anti stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dilaksanakan dengan konsisten dan konsekwen seiring dengan gerakan penanggulangan HIV/AIDS. Hanya dengan itulah program penanggulangan HIV/AIDS yang melibatkan seluruh masyarakat Papua dapat terwujud. 

Disamping itu, kampanye anti stigma dan diskriminasi yang menjadi bagian dalam program penggulangan HIV/AIDS ini juga akan menolong pemerintah daerah dalam menekan angka kemiskinan di Papua, karena HIV/AIDS bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga memiskinkan keluarga yang terjangkit HIV/AIDS, apalagi jka mereka diperlakukan secara diskriminatif. 

Binsar Antoni Hutabarat 


Pancasila Dasar Ham Indonesia


Pancasila Dasar Ham Indonesia

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia melaporkan, Pancasila terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Pada tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI. 

Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun .

Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila.

 Jika pada awalnya keragaman apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.

Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.

Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia.

Pancasila sebagaimana di tuangkan dalam pembukaan UUD 1945 secara de jure telah menjadi sesuatu yang final sebagai ideologi dan dasar negara. Namun secara de fakto masih memerlukan penyadaran dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Apresiasi yang berbeda terhadap Pancasila seharusnya tidak boleh ada, karena Pancasila merupakan konsensus bersama, maka semua orang Indonesia harus memiliki pengharapan yang sama, yaitu membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila.

http://www.binsarinstitute.com/2020/07/pancasila-dasar-ham-indonesia.html




Merawat Keberagaman




 


 Setidaknya ada delapan kasus kekerasan agama terjadi di Yogyakarta dalam lima bulan terakhir ini. Intimidasi terhadap kelompok Raustan Fikr di Sleman; deklarasi anti-Syiah di masjid kampus Universitas Gadjah Mada; kekerasan terhadap Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul; pembubaran pertemuan kelompok Syiah di Bantul, tindak kekerasan Paskahan Adisyuswa di Gunung Kidul; tindak kekerasan yang terjadi pada penyerangan terhadap umat katolik di Ngaglik, Sleman; penganiayaan terhadap Julius Felicianus Direktur Galang; serta yang teranyar penyerangan terhadap tempat ibadah Pentakosta di Pangukan, Tridadi, Sleman minggu lalu. 

Kekerasan agama yang terjadi di Yogyakarta sangat memprihatinkan. Kota yang tersohor dengan toleransinya itu kini mengalami ancaman kebebasan beragama. Lebih ironis lagi, baru-baru ini petinggi kota itu, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X baru saja menerima “Penghargaan Pluralisme” dari jaringan Antariman Indonesia (JAII), dalam Konferensi Nasional VI bertema “Membangun, Merawat, Memperkokoh Peradaban Luhur Bangsa dengan Dialog Transformatif” di Jayapura, pada 19-23 Mei 2014.

Penghargaan pluralisme itu diberikan kepada Sultan karena dianggap berperan penting dalam mendorong keberagaman menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa kekerasan agama di Yogyakarta bukan saja menjadi tantangan bagi kota yang terkenal dengan toleransinya itu, melainkan sekaligus menjadi pertaruhan bagi Indonesia sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. 

Merawat Keberagaman 

Kita tentu setuju dengan apa yang dikatakan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), AA Yewangoe. “Kemajemukan adalah tantangan dan pendewasaan kemajemukan itu tergantung pada cara bangsa ini menanganinya. 

Kemajemukan dapat merupakan kelemahan, tetapi sekaligus dapat juga menjadi kekuatan yang mahadahsyat yang dapat menggerakkan bangsa Indonesia untuk lebih maju lebih jauh lagi dalam penjelejahan sejarahnya.” Kekerasan agama yang dipertontonkan di Yogyakarta akhir-akhir ini sesungguhnya tidak memiliki akar sejarah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Demikian juga di Yogyakarta, sebagai salah satu kota simbol keberagaman Indonesia. 

Arnold Joseph Toynbee (1889-1975), seorang sejarawan Inggris yang tersohor dan pernah berkunjung ke Indonesia menegaskan, dalam hal toleransi beragama Indonesia adalah sebuah contoh yang patut diikuti. Negeri ini di bawah naungan Pancasila telah berhasil memanfaatkan keragaman agama-agama itu sebagai kekuatan. 

TB Simatupang pernah berujar, “Pancasila ibarat payung yang lebar yang menaungi agama-agama,” bukan hanya mengindikasikan tingginya toleransi masyarakat Indonesia, melainkan juga sebuah pengakuan agama-agama itu mempunyai kontribusi penting bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya di negeri ini agama-agama menduduki posisi yang terhormat. 

Hak beragama diakui sebagai hak yang paling asasi dan oleh konstitusi diakui sebagai hak sipil setiap individi di negeri ini. Realitas itulah yang kemudian memopulerkan Indonesia sebagai negara tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Jalan Pancasila yang memberikan naungan bagi agama-agama yang beragama di negeri ini amatlah tepat. 
Pluralisme agama berdasarkan jalan Pancasila harus dimaknai sebagai rumah bersama bagi agama-agama, keunikan agama-agama tetap diakui keberadaannnya. Dengan demikian, jelaslah menerima Pancasila berarti sama saja dengan mengakui penerimaan terhadap pluralitas agama-agama. 

Pluralisme, yang didasarkan pada Pancasila harus dimaknai sebagai perjumpaan komitmen-komitmen, semisal perbedaan agama, untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar agama. Agama-agama yang beragam dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesis dari keragaman yang ada tersebut untuk kemudian menjadi titik pijak bersama agama-agama dalam hidup bersama, jauh dari sekat-sekat serta kecurigaan antaragama. 

Penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak bukanlah jalan Pancasila. Sebaliknya, Pancasila dengan semangat “Bineka Tunggal Ika” sejatinya menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman. Pemerintah tak perlu berintervensi pada ranah agama yang memang bukan domain pemerintah. Untuk menegakkan dan memajukan kebebasan beragama di negeri ini sebenarnya sederhana saja, yakni pemerintah harus menegakkan supremasi hukum. 

Pasal 28 J ayat 2, UUD 1945, memang menjelaskan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Namun, ayat ini jelas harus dilihat dalam terang semangat Bineka Tunggal Ika yang antidikriminasi. Artinya, pembatasan-pembatasan dalam bentuk regulasi pemerintah harus memenuhi asas keadilan untuk semua. Regulasi pemerintah terkait agama-agama harus didasarkan pada penghormatan terhadap kebebasan beragama. 

Pemerintah tidak boleh mempersulit pengurusan IMB rumah ibadah sebagaimana terjadi pada tujuh gereja yang disegel Pemda Cianjur (Suara Pembaruan 2/6/2014). Tragisnya, beberapa di antara tujuh gereja yang disegel itu sudah berdiri sejak 1977, sedangkan SKB dua menteri atau yang kini dikenal sebagai PBM (Peraturan Bersama Menteri), baru berlaku sejak disahkan pada 2006. 

Kasus Cianjur menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan izin pembangunan rumah ibadah, padahal hak beribadah secara berkelompok dijamin konstitusi negeri ini. Di samping memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 45, pemerintah harus bersikap netral dalam menegakkan supremasi hukum. 

Mereka yang melanggar hukum dan mengancam kebebasan orang lain harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Mereka yang melanggar hukum, dengan alasan apa pun harus dihukum. Pemerintah tak boleh mengubur pelanggaran terhadap kebebasan beragama sekecil apa pun. 

Penegakkan hukum ini penting untuk memberikan efek jera pada mereka yang kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Dengan demikian, jelaslah terciptanya kehidupan antaragama yang harmonis sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah dalam menegakkan hukum. 

Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan antidiskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama. 

Pemerintah tidak perlu mengatur kehidupan internal agama. Namun, regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beragama tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang menjaminan kebebasan beragama dan antidiskriminasi agama. Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusif bagi perjumpaan agama-agama yang damai di republik ini. 

Dr.  Binsar A. Hutabarat


Perlukah Membatasi Kebebasan Berekspresi?

 




Perlukah Membatasi Kebebasan Berekspresi?


Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan tanpa batasam tetapi kebebasan berekspresi itu dapat dibatasi dengan undang-undang agar pemenuhan kebebasan individu tidak mengganggu kebebasan individu lainnya.


Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukanlah pengesahan bahwa setiap individu bisa bertindak secara liar tanpa menghormati martabat individu lainnya, yakni mengabaikan akibat penggunaan kebebasan berekspresi itu bagi individu lainnya. 

 


Kebijakan publik yang mengatur kehidupan bersama sejatinya adalah sebuah konsensus bersama. Karena itu hukum, kebijakan publik sejatinya  harus melindungi setia individu atau kelompok tanpa dekriminasi.


Apabila  implementasi kebijakan publik terindikasi menegasikan individu atau kelompok tertentu, pastilah ada yang salah dalam rumusan kebijakan publik itu. 


Kebebasan beragama

Setiap agama itu unik dan absolud bagi pemeluknya. Maka, tak seorangpun boleh menghina agama apapun. Menghina agama apapun sama saja dengan menghina martabat manusia beragama. 


Berdasarkan hal tersebut jelaslah setiap individu beradab wajib menghargai dan menghormati apapun kepercayaan yang di anut oleh seseorang, dan juga menjauhi usaha-usaha untuk menghakimi agama-agama yang beragam dan berbeda itu.


Sebab itu terhinalah mereka yang menghina agama yang dianut manusia yang bermartabat, karena perbuatan tersebut menghianati kewajibab asasi manusia. Setiap orang tentu boleh saja menyaksikan agama yang diyakininya itu tanpa perlu melecehkan keyakinan agama dan kepercayaan lain. 


Harus diakui bahwa penghinaan terhadap salah satu agama, bukan hanya menyakiti hati penganut agama itu, tapi juga menyakiti hati semua umat beragama. Karena itu  penghinaan pada salah satu agama sepatutnya diposisikan sebagai penghinaan terhadap semua agama, yang patut diwaspadai oleh semua umat beragama.


Kebenaran itu adalah milik Tuhan, interpretasi yang absolud tentang apapun yang kita percayai sesungguhnya hanya ada pada Tuhan. Karena itu tak seorang pun berhak memaksakan apa yang diyakininya kepada orang lain. 


Menjadikan diri hakim atas sesamanya dalam menentukan tafsir yang benar tentang kepercayaan agama-agama lain adalah kesombongan, itu sama saja dengan memposisikan diri sebagai Tuhan, sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang menyadari keterbatasannya.


Apabila kita percaya, di dalam hati nuraninya yang terdalam manusia sesungguhnya mencintai kebenaran, maka manusia sepatutnya diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang sesuai dengan nuraninya, dan itu juga berarti, kebebasan adalah semata-mata untuk melaksanakan kebenaran.  




Marthin Luther dengan tegas mengatakan, “di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia.  Meneguhkan hal itu, Os Guinnes mengatakan, “kebebasan hati nurani adalah  dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara.” Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM). Karena itu pelaksanaan kebebasan berekspresi mestinya didasarkan pada nurani manusia yang terdalam, yakni mengusahakan kebaikan untuk sesamanya.


Apabila kebebasan hati nurani ini menjadi landasan dalam menjalankan hak kebebasan berekspresi, maka kebebasan berekspresi pastilah akan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Sebaliknya, pelaksanaan kebebasan berekspresi tanpa hati nurani akan mengakibakan kekacauan dan ketidaktertiban. Itulah sebabnya, penghinaan atas agama yang bertentangan dengan suara hati nurani itu telah mengakibatkan kekacauan di banyak tempat. 


Proteksi atas kebebasan hati nurani mestinya akan menciptakan ruang publik yang sehat, dimana setiap anggota masyarakat memiliki kerelaan untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya, bukannya saling menyakiti sesamanya. 


Penghinaan terhadap agama tidak boleh ditolerir meski itu dengan alasan untuk mengagungkan hak kebebasan berekspresi. Kebebasan itu tidak liar. Kebebasan bernaung dalam ketaatan pada hukum. Siapapun yang melaksanakan kebebasannya dengan melanggar hukum, harus menerima ganjaran hukum yang setimpal.


Jika kita setuju bahwa kerukunan adalah sebuah kerelaan yang keluar dari nurani manusia yang menghargai kebenaran tentang martabat manusia yang adalah sederajat itu, dan selayaknya hidup harmonis dalam perbedaan di bumi yang satu ini, maka kerukunan tidak mungkin dihadirkan dengan mendewakan“keliaran”. Demikian juga, memaknai kebebasan sebagai kondisi dimana setiap individu boleh melakukan apa saja sangatlah tidak berdasar. Kondisi itu lebih patut disebut “keliaran.” Kebebasan semata-mata diberikan untuk melaksanakan kebenaran yang memuliakan martabat manusia. 


Binsar A. Hutabarat


https://www.joyinmyworld.com/2021/08/perlukah-membatasi-kebebasan-berekspresi.html

Kemerdekaan dan Ekonomi Pancasila





Kemerdekaan adalah “jembatan emas” untuk memerdekakan rakyat Indonesia. 



Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia harus berjuang memanfaatkan seluruh kekayaan alamnya secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat. 

Pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-64 ini, kita perlu bertanya, apakah kemerdekaan itu sungguh-sungguh telah menjadi “jembatan emas” bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat? 

Apakah Negara Republik Indonesia telah dan masih terus memiliki kedaulatan untuk memanfaatkan seluruh kekayaan alamnya hanya untuk kesejahtaraan rakyat? 

 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dalam kongres ke-17 di Bukittinggi, Sumatera Barat, menyimpulkan, ekonomi Indonesia, saat ini, didominasi oleh asing. Ini terjadi karena Indonesia telah membuka diri terlalu jauh terhadap investasi asing. 

Akibatnya, sejumlah bidang strategis yang awalnya dikuasai negara kini telah dikuasai asing. Padahal, bidang strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut, menurut UUD 1945, harus tetap dikuasai negara. 

 Beberapa abad yang lalu, Francis Bacon sudah mengingatkan bahwa landasan teleologis ilmu ialah meningkatkan kesejahteraan manusia. Ilmu (yang memberikan pengetahuan) dan teknologi (yang menunjukkan cara untuk memakai pengetahuan itu) memberikan kemampuan pada manusia untuk dapat mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Itulah sebabnya pengetahuan dan kepandaian telah membuat negara yang miskin sumber alam, seperti Korea Selatan, Jepang, dan khususnya negara-negara Barat, berhasil memajukan negeri mereka. 

 Kemampuan mengolah alam dengan menggunakan teknologi menjadikan negara maju bukan saja dapat memaksimalkan hasil alam mereka, tapi juga telah memberikan mereka kemampuan untuk mengolah hasil alam dari negara-negara yang melimpah sumber alamnya, namun gagap dalam teknologi. 

 Kemajuan teknologi kemudian menimbulkan persoalan baru dalam hubungan antarnegara. Kemajuan teknologi membuat negara-negara maju tergoda untuk merampas kedaulatan negara-negara miskin yang merdeka melalui penguasaan ekonomi demi memuaskan nafsu serakah manusia. 

Teknologi sesungguhnya tidak netral dan teknologi telah dikuasi oleh nafsu manusia untuk berkuasa. Kemajuan teknologi terbukti telah melahirkan era baru penjajah di bidang ekonomi. Ini merupakan fenomena baru setelah Perang Dunia II, dan Indonesia adalah salah satu korbannya. 

 Bacon juga menurunkan diktum yang tersohor bahwa ilmu adalah kekuasaan dan teknologi adalah tangan ilmu. Perusahaan multinasional yang menguasai Indonesia dengan kepemilikan teknologi tinggi haruslah dicurigai. 

Pemerintah Indonesia jangan berpikir bahwa perusahaan multinasional itu akan membagi keuntungannya dengan adil dengan Indonesia, apalagi ketika terjadi perselingkuhan antara penguasa dan perusahaan multinasional. 

Hasil pembangunan tidak akan diarahkan untuk pemenuhan kepentingan hidup orang banyak. Secara de jure, Indonesia masih menjadi negara yang merdeka, namun kedaulatan negara terus mengalami krisis. 

Tergerusnya kedaulatan di bidang ekonomi otomatis akan membuat kemerdekaan tidak lagi efektif sebagai jembatan emas untuk menyejahterakan rakyat, yang masih banyak hidup dalam kemiskinan. 

Jika kondisi ini dibiarkan, bukan mustahil Indonesia akan menjadi negara gagal, sebagaimana terjadi pada negara-negara di benua Afrika. 

 Ekonomi Pancasila 

 Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 secara indah melukiskan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” 

 Pembangunan Indonesia adalah hasil kerja sama seluruh rakyat Indonesia untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menetapkan, rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesejahteraan melalui pengelolaan alam Indonesia yang dikuasai oleh negara. 

Makin lebarnya jurang antara yang kaya dan miskin mengindikasikan adanya penyimpangan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Hal yang sama dijelaskan oleh sila kelima dari Pancasila. 

Pembangunan masyarakat, termasuk pembangunan dalam bidang ekonomi, harus memberikan keadilan bagi semua rakyat. Kelima sila Pancasila itu oleh Soekarno diperas menjadi satu sila, yakni Gotong Royong, yang bagi Soekarno merupakan intisari dari Pancasila, dan menjadi dasar bagi pembangunan Indonesia, yakni suatu pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dalam hal ini bagi seluruh rakyat. 

 Masih relevannya Ekonomi Pancasila ini, juga diteguhkan oleh ISEI dalam kongres ke-17 di Padang, yang mengusulkan agar Indonesia kembali ke Ekonomi Pancasila. 

Denasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang telah menguasai bidang-bidang strategis di negeri ini, harus segera dilakukan untuk mengobati krisis kedaulatan, yang kini terjadi di Indonesia. Hanya dengan cara inilah Indonesia bisa mencapai tujuan negara adil dan makmur. 

Binsar Antoni Hutabarat

EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT SAAT COVID 19





Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mungkin cocok dengan mencontoh kehidupan masyarakat Adat. Saat saya berada di Desa Sinar Resmi, masuk keluar orang dari desa tersebut terpantau dengan baik. Bahkan mereka yang berkunjung ke desa tersebut mendapatkan tempat tersendiri dalam pemantauan pimpinan desa. 


Mungkin itulah sebabnya, penyebaran Covid 19 tidak begitu terdengar melanda daerah masyarakat adat yang tertata dengan baik dengan aturan adat yang dipatuhi masyarakat desa. Berbeda dengan penerapan PSBB di Provinsi DKI Jakarta yang sarat pelanggaran.


Masyarakat adat melekat dengan agamanya, berarti juga melekat dengan aturan yang ditaati masyarakat sebagai standar hidup bersama. Ketaatan pada aturan adat menjadikan toleransi dalam msyarakat adat tertata dengan baik. Berdasarkan hal tersebut maka menghormati masyarakat dalam daerah urban saat ini berarti juga menghormati agama dan kepercayaan masyarakat adat. Eksistensi masyarakat adat perlu tetap diproteksi dalam masyarakat urban. Karena menjaga eksistensi masyarakat adat adalah merawat nilai-nilai toleransi yang secara bersamaan juga merawat NKRI.

 

Marthin Luther dengan tegas mengatakan, “di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Kebebasan memilih agama dan kepercayaan adalah hak dari Tuhan, karena suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia. Kebebasan hati nurani menjadi hak asasi yang paling mendasar. Dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara. Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM).

 

Kebebasan hati nurani merupakan kunci kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Tanpa kebebasan hati nurani tidak mungkin tercipta ruang publik yang sehat yang mensyaratkan kerelaan setiap anggota masyarakat untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya. Dan itu bisa diwujudkan di negeri ini jika Kepercayaan diposisikan setara dengan agama-agama resmi. 



Menegasikan masyarakat adat, penganut agama suku, aliran kepercayaan yang menjadi identitas masyarakat adat, serta menjadikan mereka warga kelas dua di negeri ini, sama saja dengan menghianati perjuangan kemerdekaan indonesia yang dilakukan oleh segenap rakyat Indonesia, termasuk didalamnya adalah masyarakat adat, mereka yang menganut agama suku dan aliran kepercayaan. Karena itu, kolonialisasi terhadap agama suku dan aliran kepercayaan tidak boleh terjadi di negeri toleran ini.

 

Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.joyinmyworld.com/2020/07/eksistensi-masyarakat-adat-saat-covid-19.html