google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT: Agama dan negara

Halaman

Showing posts with label Agama dan negara. Show all posts
Showing posts with label Agama dan negara. Show all posts

Pluralitas Agama Bukan Ancaman

 

 Pada Konsultasi Teologi Nasional Persekutuan gereja-gereja di Indonesia (31 oktober- 4 November 2011) di Cipayung dengan tema, “Berjuang Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan” disimpulkan  bahwa larangan beribadah dan penutupan rumah ibadah secara paksa oleh kelompok -kelompok tertentu semakin banyak terjadi.  Itu membuktikan, di negeri yang amat beragam ini, masih terdapat kelompok-kelompok yang memusuhi keberagaman agama-agama.

 Ubud, Indonesia, Candi, Bali, Sejarah

Lebih lanjut, Konsultasi Teologi tersebut menegaskan, “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan agama-agama, namun keragaman itu dilihat dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.”Masih banyak individu atau kelompok yang memandang keberagaman agama-agama bukan sebagai kekayaan yang harus disyukuri melainkan dianggap sebagai malapetaka.

 

Terbukti, sampai akhir Oktober  2011, berdasarkan laporan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI), telah terjadi penutupan dan ancaman terhadap 34 Gereja di negeri ini. Rentetan peristiwa ancaman kekerasan agama tersebut makin bertambah panjang dengan terjadinya gangguan terhadap 9 buah gereja di kampung rawa kalong, Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun selatan, kabupaten bekasi, Jawa Barat pada bulan November yang baru lalu.  Dan pada awal Desember, bulan dimana seringkali ancaman terhadap kebebasan beragama kerap terjadi, lima buah gereja di Kecamatan Pracimantoro, kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, juga mengalami gangguan.

Pada 2011 tercatat  47 Gereja mengalami gangguan di tanah air ini. Jadi, ancaman terhadap kebebasan beribadah di negeri ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Menjelang perayaan Natal tahun ini, jika pemerintah tidak segera mengantisipasinya Gereja-gereja yang mengalami gangguan pada tahun ini bisa lebih banyak lagi. Artinya, ancaman terhadap kebebasan beragama pada tahun ini bisa jadi akan lebih hebat dibandingkan tahun -tahun sebelumnya.

 

 

Bergerak mundur

 

Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let die). Agama-agama hidup bersama tapi tak memiliki kerjasama yang baik sehingga tak terjadi pergaulan yang saling memperkaya. Realitas tersebut bertolak belakang dengan masa lalu negeri ini.

 

Masyarakat Indonesia mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai. Indonesia terkenal dengan pluralismenya dan semangat interdepedensi agama-agama yang tinggi. Indonesia tersohor dengan sebutan surganya agama-agama. Di Indonesia agama-agama mendapatkan tempat persemaiannya yang subur. Itulah sebabnya   agama-agama besar yang berasal dari luar negeri ini, seperti Islam, Kristen, Hindu,  Budha serta Kong Fu Tsu dapat bertumbuh subur. Bahkan agama-agama itu kemudian bercampur menjadi aliran-aliran kebatinan yang hingga kini tetap eksis di negeri ini.

 

Pancasila dengan semangat Bhineka Tunggal Ika Nya menjadi payung yang lebar bagi semua agama-agama yang berbeda dan beragam, dan agama-agama yang berbeda dan beragam itu diterima sebagai kekayaan dan bukan sebagai ancaman. Jadi, sikap curiga antaragama bukanlah warisan leluhur bangsa ini. Bisa dipastikan, makin tergerusnya nilai-nilai ke-Indonesiaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila adalah penyebab utama raibnya rasa saling percaya antarwarga bangsa di negeri ini.

 

Hubungan harmonis antar agama-agama yang lama bersemi di negeri ini lambat laun kian memudar, hubungan antar agama bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam. Khususnya setelah berakhirnya era absolutisme Soeharto. Kekerasan agama-agama meledak di berbagai tempat di seantero negeri ini. Ironisnya, pemerintah era reformasi seakan tak berdaya meredam maraknya kekerasan agama di negeri ini.

 

Meningkatnya intoleransi agama di negeri ini diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus menguat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu justru makin melemah.

 

 

Pluralitas bukan ancaman

 

 

Intoleransi agama yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan agama sesungguhnya melanggar konstitusi  negeri ini yang mengatur hak setiap warga negara untuk beribadah. Pemerintah sebagai penerima mandat konstitusi tidak boleh membiarkan penyerangan terhadap kebebasan beragama terjadi di negeri ini. Sebaliknya pemerintah harus konsisten mendorong kehidupan yang saling menghargai antarwarga bangsa yang berbeda dan beragam agama.

 

Tidak tuntasnya penyelesaian kasus penutupan, penyegelan, sampai pada perusakan dan  pembakaran rumah ibadah yang terjadi di negeri ini  telah menjadi preseden buruk bagi  penegakan HAM di Indonesia. Pembiaran terhadap kasus tersebut telah melahirkan banyak kasus di berbagai daerah di Indonesia.  Akibatnya, ancaman terhadap kebebasan beragama terus berlangsung di negeri ini. Pluralitas agama masih di tolak oleh banyak orang di negeri karena minimnya konsisitensi pemerintah dalam menangani kasus-kasus bernuansa agama.

 

Lemahnya konsisitensi pemerintah dalam memberikan proteksi kebebasan beribadah terlihat jelas pada kasus penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Sejak 2008, umat GKI Yasmin berjuang untuk mendapatkan hak mereka yang dilindungi oleh konstitusi, bahkan perjuangan itu mendapatkan dukungan umat berbagai agama yang pro-pluralisme, namun IMB yang telah mereka dapatkan  secara sepihak dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Meski telah memenangi  gugatan di PTUN Bandung, bahkan telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA), Wali kota  Bogor Diani Budiarto bergeming dengan sikapnya, yakni tetap membekukan IMB GKI Yasmin, bahkan melarang umat beribadah di lokasi tersebut.

 

Herannya, pemerintah pusat tetap tak bereaksi. Padahal, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi  mengakui bahwa peristiwa itu akan menciptakan instabilitas Kota Bogor setelah beberapa partai politik mencabut dukungannya kepada Diani Budiarto.

 

Pemerintah, sebagai pemegang mandat konstitusi bertanggung jawab langsung untuk menegakkan konstitusi. Pemerintah harus aktif memproteksi hak kebebasan beragama setiap warga negara yang memeluk agama apapun. Karena pluralitas agama adalah realitas yang diakui oleh konstitusi di negeri ini.

Sikap tegas pemerintah terhadap kelompok-kelompok intoleran yang gemar melakukan kekerasan tentu saja akan mendapat dukungan mayoritas rakyat di negeri ini. Sikap tegas pemerintah dalam berpegang pada konstitusi akan berbuah manis, yakni bertumbuhnya semangat toleransi yang merupakan nilai-nilai bermutu bangsa ini, sehingga keberagaman agama-agama dapat diterima sebagai sebuah kekayaan, bukan ancaman.

 

Binsar A. Hutabarat


http://www.binsarinstitute.com/2020/07/pluralitas-agama-bukan-ancaman.html


Clip Studio Paint

Pancasila dan kata bersama

 “PANCASILA DAN KATA BERSAMA”



Kristen dan Islam mengakui bahwa dunia yang mereka tempati diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Tuhan Yang Esa tersebut juga berdaulat atas dunia ini, dan telah memerintahkan kepada kedua agama itu untuk hidup “mengasihi Allah dan sesamanya,”yang dikenal dengan sebutan kata bersama (common word). Lantas, mengapa kekerasan atas nama agama masih saja terus berlanjut di negeri ini, dan ini juga terjadi pada kedua agama itu?


Populasi umat Islam dan Kristen yang merupakan jumlah terbesar di negeri ini memiliki peran strategis bagi terciptanya Indonesia yang penuh kedamaian. Indonesia seharusnya bisa menjadi teladan bagi negera-negara lain dalam menciptakan kedamaian antara agama-agama, apalagi Indonesia telah memiliki kata bersama jauh sebelum dokumen  itu dilahirkan, yakni di dalam Pancasila yang adalah konsensus bersama agama-agama di Indonesia.


Geneologi “kata bersama”


September 2007, bentuk akhir dari dokumen yang berisi Sebuah “Persamaan di antara Kami dan Kamu” yang digagas oleh 138 cendikiawan, ulama dan intelektual Muslim diperlihatkan dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Akademi Kerajaan dan Institut Aal al- Bayt, dengan tema “Kasih di dalam Al Quran”.


Dokumen yang menetapkan adanya kata bersama antara umat Islam dan Kristen tersebut ditanda tangani oleh setiap denominasi, dan kelompok pemikiran Islam. Setiap negara atau wilayah Islam besar di dunia terwakili dalam pesan yang disingkat menjadi kata bersama.  Dan pesan tersebut ditujukan kepaada pemimpin, dan Gereja di seluruh dunia.


Dalam pesan tersebut juga dinyatakan bahwa sesungguhnya Umat Islam dan Kristen sama-sama mengakui adanya Allah yang esa dan kedua agama sama-sama diperintahkan untuk mengasihi Allah dan sesamanya, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. Dan Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Bunyi kata bersama itu ada dalam kedua kitab suci agama itu, dan bukan merupakan usaha mengkompromikan ajaran agama-agama yang mereduksikan nilai-nilai agama-agama itu.


Apabila kita melihat lebih jauh pada agama-agama di luar Islam dan Kristen, pengakuan adanya “kata bersama” sebenarnya bukan hanya ada pada agama Islam, Kristen dan Yahudi yang memiliki akar tradisi yang dekat, namun juga terdapat pada agama-agama lain. Jadi, agama-agama sesungguhnya memiliki tugas mulia untuk menciptakan kedamaian di bumi, sebagaimana dikatakan oleh Hans Kung, “tidak mungkin ada kedamaian tanpa kedamaian di antara agama-agama. Sebagai seorang yang beragama, tidaklah patut berbicara tentang kedamaian tanpa berusaha untuk hidup damai dengan agama-agama lain.


Pengakuan kata bersama menjadi penting bagi umat Islam dan Kristen, bukan hanya karena keduanya memiliki garis tradisi yang dekat, namun Islam dan Kristen merupakan agama-agama yang dipeluk oleh banyak masyarakat di dunia. Artinya, apabila ada kedamaian antara kedua agama tersebut, maka kedamaian dunia sudah hampir dapat dipastikan terjadi. Hubungan Islam dan Kristen yang harmonis sudah pasti dapat menjadi motivasi bagi semua agama-agama untuk hidup bersama dengan damai.


Pancasila dan  kata bersama


Umat beragama di Indonesia menerima Pancasila bukan karena Pancasila itu menguntungkan bagi kelompok agama tertentu. Tapi lebih karena sebagaimana dikatakan oleh TB Simatupang, Pancasila ibarat payung yang lebar bagi agama-agama. Identitas agama-agama yang beragam di Indonesia diakui identitasnya, bahkan agama-agama didorong untuk dapat memberikan kontribusinya bagi pembangunan bangsa sebagaimana pernah didengungkan para pendidri bangsa ini.  


Pancasila adalah konsensus bersama agama-agama sebagaimana tertuang dalam “kata bersama,” karena tidak satu pun agama di negeri ini yang menganggap agama lain sebagai musuh, dan sila-sila di dalam Pancasila memiliki pembenaran pada setiap agama-agam yang ada di negeri ini. 


Kalau saja semua orang dinegeri ini mau konsisten dengan Pancasila, maka koflik antar agama atau konflik dalam agama yang terjadi karena perbedaan ajaran atau doktrin, sesungguhnya tidak perlu terjadi. Pancasila memberikan tempat pada agama-agama tanpa harus melepaskan identitasnya. Demikian juga perbedaan ajaran agama dapat diselesaikan dengan cara-cara yang santun sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. 


Sebagaimana kata bersama adalah dasar bagi dialog antar agama untuk saling memahami, demikian juga adanya dengan Pancasila. Masyarakat Indonesia sepatutnya tidak jemu-jemu mendengungkan Pancasila sebagai kata bersama semua umat beragama di Indonesia untuk menghadirkan Indonesia yang penuh dengan kedamaian.



Binsar A. Hutabarat

http://www.binsarinstitute.com/2021/08/pancasila-dan-kata-bersama.html


KERUKUNAN BERAGAMA, SUARA NURANI UMAT BERAGAMA








 Pada tahun-tahun belakangan ini memang konflik antarumat beragama di negeri ini terus meningkat, namun usaha masyarakat sipil yang semakin besar untuk mengembangkan kerukunan beragama mestinya juga mampu memotivasi pemerintah untuk memaksimalkan fungsinya  demi mengembalikan  kerukunan beragama yang pernah bersemayam di negeri ini.

Pada galibnya, kerukunan beragama merupakan panggilan agama-agama, karena itu  mestinya agama-agama tak mengenal kata lelah untuk mengusahakan kerukunan diantara agama-agama yang berbeda dan beragam. Apabila umat beragama di negeri ini tetap konsisten dalam mengusung misi perdamaian agama-agama itu, maka  kerukunan bergama tak perlu dipaksakan. Keinginan untuk hidup rukun ada pada sanubari setiap umat beragama. Hidup  rukun merupakan semangat agama-agama.

Kebebasan Nurani sebagai dasar
Mengutip apa yang dikatakan Os Guinnes “Jika kita tidak bisa  menyampaikan apa yang kita imani di ruang publik, itu berarti  pengabaian hak kita sebagai manusia.”Kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, dan mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan. Kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat. Kebebasan hati nurani sesungguhnya merupakan dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly).

Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling pengertian bersama yang menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan  antar anggota masyarakat, dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat.

Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, bagaimana mungkin umat beragam agama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesama.

Kerukunan antar umat beragama pada galibnya tidak boleh menafikan hak kebebasan beragama, sebuah hak yang tidak boleh ditangguhkan dalam keadaan apapun. Tepatlah apa yang pernah dikatakan oleh Johan Effendi, mantan ketua litbang Departemen Agama RI, prinsip kebebasan beragama berisi pengakuan dan jaminan bahwa setiap orang bebas dan merdeka menganut agama yang diyakininya. Prinsip ini, jauh-jauh hari juga telah ditegaskan oleh  Kyai Haji Agus Salim, seorang tokoh Islam yang terlibat langsung dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945.

Pemberian kebebasan beragama dalam hal ini penting untuk mengoptimalkan fungsi agama-agama bagi perdamaian. Kerjasama antar agama kemudian bisa menjadi tempat dimana agama-agama itu dapat mempromosikan kebaikannya. Sebaliknya, Pembelengguan agama hanya akan menimbulkan “balas dendam” agama, meminjam istilah Gilles Kepel, yang terbaca jelas pada legitimasi kekerasan pada aksi terorisme.

Binsar Antoni Hutabarat

Agama Dan Pembentukan Realitas




AGAMA DAN PEMBENTUKAN REALITAS DALAM PANDANGAN PETER LUDWIG BERGER1



Oleh: Rudy Harold2

ABSTRACT

This paper attempts to peer into the mind of Peter L.Berger in understanding the reality of religion. With the aim to obtain a description of sociological and t heoretical fuller on how religion plays a role in the formation and preservation of the human world created for the benefit of the formation itself as being the "unfinished".

From the results of the study found that religion is a means of legitimacy to pe rpetuate the human nomos varied created that can be received from one generation to the next. The authors recognize that the thought of Peter L. Berger is also not spared from the reductionist understandings of the reality of religion, but would not it be reductionist if we can not accept that religion has contributed greatly to the establishment and maintenance  of  the  created  world  humans  in daily life -day which takes place dialectically.


KeywordsPet: Lebenswelt, Externalization, Objectification, Int ernalization, Dialectics, Nomos and Kosmos.


1PeterLudwig Berger lahir pada tanggal 17 Maret1929. Ia adalah seorang sosiolog dan teolog Amerika. Peter L. Berger dilahirkan di Vienna, Austria, kemudian dibesarkan di Wina dan kemudian berimigrasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II. Pada 1949, ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952).Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di Universitas Boston, dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi , yang beberapa tahun lalu berubah menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia. https://id.wikipedia.org/wiki/Peter_L._Berger , diakses pada tanggal 15 Oktober 2015.


2 Staff Pengajar di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Menyelesaikan Program Studi Sarjana Teologi (S.Th) di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jaffray Makassar dan kemudian melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana Sosiologi Agama (M.Si) di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (rudy_harold@ung.ac.id)

1. PENDAHULUAN

Beberapa tahun belakangan ini, dunia diperhadapkan masalah radikalisasi ag ama dalam bentuk tindakan te ror, motif para pelakunya terkait erat dengan ajaran dan keyakinan a gama yang dianut oleh para pelaku t eror. Maka munculah pertanyaan di benak kita, apakah agama memang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan tindakan -tindakan yang tidak manusiawi semacam itu.

Esai ini tidak dimaksudkan untuk menganalisa tentang apa yang melatar - belakangi munculnya tindakan  teror yang mengatasnamakan agama atau radikalisasi agama. Karya tulis ini hanya ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk menelaah bersama keberadaan agama bersama dengan dogma dan etika di dalamnya, tidak sepenuhnya hanya merupakan pranata yang “diturunkan dari langit” , suatu entitas yang diwahyukan atau bersifat adikodrati . Karena faktanya, seiring dengan perubahan kebudayaan, agama pun juga mengalami proses transformasi. 3 Sebuah proses yang memungkinkan agama bisa menjadi radikal atau sebaliknya m embawa pesan-pesan perdamaian, perlawanan terhadap ketidakadilan, atau keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang termarginalkan. Kenyataan ini membuka kesadaran bahwa agama tidak cukup bila hanya dikaji dari satu sudut pandang ilmu, karena pada kenyataa nnya agama menampakkan dirinya juga sebagai suatu entitas yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai

3 Dalam tulisannya yang berjudul, “A Tradition In Process: The Changing Face Of Theology” ,


T. Howland Sanks, seorang guru besar di bidang sejarah dan teologi sistematika di The Jesuit School of Theology of Santa Clara University di Berkeley, California, mengemukakan bahwa pada abad ini, teologi Katolik sedang mengalami proses transformasi pasca Konsili Vatikan


II. Bahkan berkembang sebuah diskursus (perdebatan) teologi yang serupadengan polemik mengenai dogma tentang Kristus yang pernah berlangsung pada masa awal pembentukan gereja (the early Church). T. Howland Sanks, A Tradition In Process: The Changing Face Of Theology, American Magazine: The National Catholic Review, vol. 2015, 24 Oktober 2011, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, http://americanmagazine.org/sites/default/files/issues/cf/pdfs/791_1.pdf .

mahluk yang beriman atau yang memberikan jawaban atau tanggapa n terhadap Allah yang mewahyukan dirinya .

Dengan kajian lintas ilmu tersebu t semoga akan diperoleh penjelasan yang lebih utuh untuk memahami agama .4 Dalam hal ini, mengacu pada pemikiran Peter L. Berger, kolerasi antara perspektif teologi dan sosiologi, dan atau disiplin ilmu -ilmu empiris lainnya, akan memungkinkan bagi pengembangan pengetahuan yang menemukan makna-makna transendensi dalam kenyataan hidup manusia dengan menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmu sosiologi, filasafat, antropologi, dan rumpun ilmu pengetahuan humaniora lainnya. Sekalipun pada akhirnya penelit ian semacam ini akan menggiring kajian -kajian teologis menjadi lebih terarah pada karya ilmiah antropologis dari pada teologis.

Tapi itulah jalan yang harus ditempuh , tidak lain karena teorisasi tentang agama dalam ilmu sosiologi , sebagaimana yang diuraikan dalam beberapa teori, sejak awal telah mengembangkan pemahaman tentang agama sebagai suatu yang  memproyeksikan  atau mengekspresikan realitas yang dimungkinkan untuk ditelaah secara rasional. Kalaupun dalam agama terdapat realitas yang adikodrati, bebera pa ahli berpandangan bahwa realitas tersebut tidaklah sepenuhnya bersifat adikodrati, Sebagai contoh pemikiran Emile Durkheim. Ia menyatakan dalam teorinya tentang agama bahwa keyakinan dan ritual yang ada dalam agama mengekspresikan tentang sesuatu yang sakral. Dan menurut pandangannya, yang sakral itu tidak lain dari pada tatanan sosial yang dibangun oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, realitas seseungguhnya dari fenomena agama tidak lain daripada tatanan sosial yang dibangun oleh

4 Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk meneliti fenomena agama dari berbagai sudut pandang keilmuan. Secara khusus, tulisan ini hanya dimaksudkan memahami agama sebagai suatu gejala atau fenomena yang dimungkinkan untuk dianalisa sebagai suatu objek studi dengan menggunakan pendekatan, teori, dan metode yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu empirik, khususnya disiplin ilmu sosiologi.

manusia.5 Pendekatan dan pemikiran Durkheim tersebut menuai kritikan dan dikategorikan sebagai pemahaman yang reduksionis dalam menelaah fenomena agama dalam masyarakat. 6

Penelisikan yang lebih dalam mengenai teori sasi agama yang reduksionis membukakan penjelasan bahwa p emahaman tersebut berakar pada problem yang muncul dalam memahami realitas sosial. Dalam sejarah perkembangan pemikiran ilmu filsafat dan sosiologi, cukup lama diperdebatkan mengenai bagaimanakah memahami hubungan antara individu dan masyarakat. Terdapat s uatu diskursus mengenai apakah masyarakat merupakan suatu kenyataan sui generis , mempunyai wujud dalam dirinya sendiri, sehingga berdiri sendiri, dan berkembang menurut prinsip dan hukum yang tidak bergantung pada individu, ataukah tidak demikian. 7

Diskursus ini sudah mulai sejak dari awal kelahiran ilmu sosiologi modern.8 Dalam teorinya tentang proses evolusi pikiran manusia dan masyarakat, Auguste Comte 9 menjelaskan tentang masyarakat sebagai kesatuan yang holistis dan organis, yang dalam perkembangannya tidak bergantung pada inisiatif dari individu -individu di dalam masyarakat itu, melainkan pada proses spontan -otomatis dari perkembangan akal budi manusia. Senada dengan pemikiran Comte, Karl Marx 10 melihat pada sisi struktur sosial untuk menjelaskan bagaim ana kesadaran manusia


5 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCISOD, 2012).


6 Lebih jelasnya mengenai pemahaman dan kritikan terhadap pendekatan dan pandangan Emile Durkheim tentang agama dapat dipelajari lebih lanjut dalam buku Seven Theories of Religion karangan Daniel L. Pals.


7 K.J. Veeger. RealitasSosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 8-9.


8 Penjelasan lebih lanjut mengenai diskursus pembentukan realitas sosial antar a dua kutub, individu dan masyarakat bersumber dari pemikiran Irfan M. Noor. Irfan M. Noor, Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris (Kajian Filsafat Ilmu atas Pemikiran Peter L. Berger), diakses 15 Oktober 2015, http://id.scribd.com/doc/7980498/Aga ma-Dan-Filsafat- Ilmu-Irfan-Noor.


9 Idem.


10 Idem.

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Pemikiran lain yang lebih cenderung menekankan pengaruh masyarakat terhadap individu adalah pandangan Emile Durkheim 11 yang menekankan masyarakat sebagai sesuatu yang riil, berada secara l epas dari individu. Dengan pemikirannya tentang fakta sosial, ia begitu menekankan keberadaan masyarakat sebagai suatu entitas yang mengatasi kesadaran subjektif manusia. Pada kutub pemikiran yang lain, Max Weber mencoba untuk menganalisa dan memahami moti vasi subjektif untuk memperoleh pemahaman lebih utuh tentang masyarakat. Berbeda dengan Durkheim yang menekankan tentang fakta sosial yang bersifat eksternal dan memaksa individu dalam pembentukan kenyataan sosial, Max Weber justru mengembangkan pemikirann ya tentang verstehen (pemahaman subjektif) sebagai metode untuk membedah dan mengetahui berbagai motif dan tindakan sosial manusia dalam masyarakat. 12

Dalam menanggapi diskursus tersebut di atas, Peter L. Berger berpandangan bahwa kurang tepat bila kita me mahami persoalan tersebut semata-mata sebagai persoalan filosofis. Dalam buku yang ditulisnya bersama Thomas Luckman, “The Social Construction of Reality ”, kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa dalam menganalisa mengenai bagaimanakah hubungan antara indiv idu dan masyarakat, masalah tersebut sebaiknya dipandang sebagai suatu kenyataan yang dibangun secara dialektik. Artinya bahwa eksistensi manusia yang utuh hanya mungkin ada di dalam masyarakat, dan demikian juga sebaliknya, eksistensi masyarakat hanya mun gkin ada karena aktifitas manusia sebagai penciptanya.

Pemikiran Peter L. Berger tentang pembentukan realitas secara dialektik ini juga yang menjadi alasan mengapa penulis ingin mengajak para pembaca untuk menelusuri dan merefleksikan pemikiran -pemikiran Peter L. Berger.


11 Idem.


12 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I. (Jakarta: PT Gramedia, 1988) 216.


mengenai agama dalam konteks bagaimanakah agama ikut berperan dalam proses pembentukan realitas atau kenyataan yang tidak dapat dipisahkan dari teoritisisasi Peter L. Berger tentang dialektika pembentukan realitas.

2. PEMBAHASAN Realitas dalam Sosiologi Pengetahuan

Kenyataan atau realitas 13 bukanlah suatu istilah yang asing bagi kita. Kata ini sangat sering kita dengarkan atau kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Dalam percakapan sehari -hari, pemahaman tentang kenyataan tidaklah serumi t pengertiannya dalam bidang ilmu filsafat yang mencoba untuk menjawab apakah hakikat paling mendasar dari kenyataan itu.

Mengenai hal ini, Peter L. Berger berpendirian bahwa sosiologi memiliki pemahaman tentang kenyataan yang agak berbeda dengan ilmu fil safat. Dalam konteks sosiologi (khususnya sosiologi pengetahuan sebagai cabang atau subdisiplin ilmu sosiologi), kenyataan dianalisa untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan kenyataan itu dalam masyarakat ( social construction of reality ). Itu sebabnya Peter L. Berger menegaskan bahwa sosiologi, khususnya sosiologi pengetahuan, tidak bermaksud menganalisa kenyataan untuk menjawab pertanyaan tentang apakah ultimate status atau hakikat yang paling mendasar dari kenyataan itu. Dalam tulisannya tentang sosi ologi pengetahuan, Peter L. Berger menegaskan bahwa persoalan -persoalan filsafat tentang

13 Peter L. Berger menggunakan frasa “kenyataan” dengan makna yang lebih mengacu pada pengetahuan yang membimbing tindakan manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Bila ditambhakan dengan istilah sosial, maka kata sosial yang mengikuti kata tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pengetahuan tersebut terbentuk dalam suatu konteks sosial. Pengetahuan semacam ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari salah satu contohnya wejangan atau petuah-petuah yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar dapat menjalani hidup dengan baik.

“kenyataan” dan “pengetahuan” yang menjadi diskursus dalam perkembangan sosiologi pengetahuan telah mengaburkan apa yang sesungguhnya menjadi fokus studi dari disiplin ilmu sosiologi pengetahuan.

Namun sebelum lebih jauh bicara soal kekaburan itu, ada baiknya dijelaskan secara ringkas mengenai sejarah keberadaan dari sosiologi pengetahuan (Wissenssoziogie) sebagai cabang ilmu sosiologi yang pertama kali diperkenalkan ol eh seorang filsuf asal Jerman bernama Max Scheler pada dasawarsa 1920-an14. Dari keterangan ringkas asal mula tersebut dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa subdisiplin ilmu ini lahir dan berkembang dalam konteks sejarah pemikiran filsafat Jerman yang meng alami apa yang disebut Peter L. Berger sebagai vertigo (kepeningan) relatifitas akibat dari akumulasi ilmu pengetahuan sejarah yang sangat besar, yakni pada aras empiris meneliti tentang sejauhmana hubungan yang konkrit antara pemikiran dan situasi histori s. Dari latar belakang tersebut maka semakin dapat dipahami bila hakikat dan cakupan kajian dari sosiologi pengetahuan adalah penelitian mengenai hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di mana pemikiran itu timbul.

Kajian mengenai korelasi te rsebut dapat kita temukan dari pemikiran Karl Marx, Neitzsche, dan paham historisisme. Dalam pemikiran Karl Marx, sosiologi pengetahuan memperoleh proposisinya dari pemikiran Karl Marx tentang kesadaran manusia, ideologi, kesadaran palsu, substruktur dan supersturuktur. Dari Nietzsche, sosiologi pengetahuan memperoleh sumbangan pemikiran Neitzche yang mengembangkan teorinya sendiri mengenai kesadaran palsu, yakni kajian terhadap pemikiran manusia sebagai alat dalam perjuangan mempertahankan kelangsungan hid up dan kekuasaan. Suatu pemikiran yang telah dikembangkan terlebih dulu oleh Karl Marx. Sedangkan

14 Tentang sejarah asal-usul dan perkembangan sosiologi pengetahuan, tulisan ini sepenuhnya mengacu pada uraian perkembangan disiplin ilmu ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Peter L. Berger dalam bukunya “Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan”.

warisan historisme bagi sosiologi pengetahuan tidak lain dari tentang historitas yang tak terelakkan dari pemikiran manusia, dengan konsep -konsepnya mengenai “determinasi situasional” dan “kedudukan dalam kehidupan”, yang keduanya dapat diterjemahkan mengacu pada apa yang disebut dengan “lokasi sosial” dari pemikiran.

Dalam konteks pemikiran tersebut, Max Scheler mengembangkan suatu subdisiplin ilmu sosiologi y ang disebutnya dengan istilah sosiologi pengetahuan (Wissenssoziologie ) yang menganalisa mengenai bagaimana pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Lebih jelasnya, Scheler menegaskan bahwa:

“Pengetahuan manusia diberikan oleh masyarakat sebagai suatu a priori kepada individu-individu dengan memberikan kepadanya tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio - historis tertentu, menampakkan diri kepada manusia sebagai cara yang sudah sewajarnya untuk memandang dunia (yang d iungkapkan oleh Scheler dengan istilah “pandangan dunia yang relative -natural” dari masyarakat)”.15

Selanjutnya perkembangan sosiologi pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Karl Manheim, yang juga mempersoalkan mengenai bagaimana hubungan antara gagasan dengan konteks sosialnya, dan pertanyaan - pertanyaan epistimologis lainnya dari pemikiran manusia. Hal ini yang kemudian oleh Peter L. Berger dipandang mengakibatkan pengertian teoritis dari sosiologi pengetahuan menjadi kabur. Tapi ini bukan berarti s osiologi pengetahuan mengabaikan pertanyaan -pertanyaan epistemologis dan metodologis mengenai pengetahuan/ pemikiran manusia, namun pertanyaan - pertanyaan itu bukan merupakan ruang lingkup kajian yang utama dari disiplin ilmu sosiologi yang empiris, karena p ertanyaan itu adalah suatu bidang yang termasuk dalam ilmu filsafat. Dengan tegas Peter L. Berger menyatakan bahwa sosiologi pengetahuan merupakan bagian dari disiplin ilmu sosiologi empiris


15 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. (Jakarta: LP3ES,1990), 12

yang pada aras teoritis tidak dimaksudkan untuk melakukan penyeli dikan terhadap persoalan -persoalan epistemologis dan metodologis. Namun demikian, Peter L. Berger tidak memungkiri bahwa persoalan -persoalan epistemologis mengenai pengetahuan manusia memang merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari ruang lingk up kajian sosiologi pengetahuan, namun itu hanya merupakan salah satu masalah dan juga bukan merupakan permasalahan utama dari sosiologi pengetahuan.

Fokus utama kajian sosiologi pengetahuan adalah meneliti segala sesuatu yang dianggap sebagai “pengetahuan” (commonsense)16 dalam masyarakat. Artinya bahwa sosiologi pengetahuan terutama harus meneliti apa yang “diketahui” oleh masyarakat sebagai “kenyataan” dalam kehidupan sehari -hari yang  tidak  teoritis  atau  prateoritis. 17 Karena pemikiran teoritis atau perumusan Weltanschauung hanya merupakan aktivitas berpikir dari sekelompok masyarakat yang sangat terbatas jumlahnya. Maka dengan demikian pemikiran teoritis itu sebagian dari apa yang disebut dengan sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat, yang tanpa “pengetah uan” itu sebagai jaringan makna, tak satupun masyarakat dapat eksis. 18 Karena “pengetahuan” itulah yang membimbing perilaku manusia dalam kehidupan sehari -harinya dan yang membentuk “kenyataan” atau dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah lebenswelt (ter jemahan bahasa Inggris life-world).

16 Konsep ini bertautan erat dengan pemikiran Alfred Schutz mengenai sturuktur dunia akal sehat dalam kehidupan sehari-hari. Ibid., 22


17 Pengetahuan prateoritis tidak lain dari apa yang disebut dengan istilah commonsense. Ini adalah sejenis pengetahuan yang dihasilkan tanpa melalui kajian secara ilmiah . Lebih jelasnya sebagai contoh yakni pemahaman tentang gereja. Bagi seorang teolog, gereja tidak hanya dipahami berdasarka analisa data atau informasi yang diperoleh melalui pengamatan terhadap kemengadaan gereja yang nampak tetapi pemahamannya merupakan suatu hasil analisa atau kajian dengan menggunakan suatu pendekatan, teori, dan metode tertentu untuk menghasilkan suatu pemahaman tentang gereja yang ilmiah dan bersesuaian dengan paham teologi yang dianut oleh teolog itu sendiri.


18 Idem.



Agama dan Pembangunan Dunia

Pada awal kajian tentang agama dalam masyarakat, Peter L. Berger menuliskan   bahwa setiap  masyarakat merupakan suatu usaha untuk membangun dunia.19 Dan agama memiliki apa yang disebutnya sebaga i “a distinctive place in this enterprise”. Untuk lebih memahami peran agama dalam usaha pembangunan dunia tersebut, ada baiknya bila kita mencoba untuk terlebih dulu memahami apa yang Berger maksudkan dengan pernyataan bahwa tiap masyarakat adalah suatu u saha untuk membangun dunia.

Dalam terminologi paham fenomenologi, kata “dunia” tersebut tidak lain dari apa yang disebut dengan istilah lebenswelt . Sebagaimana kita ketahui, istilah lebenswelt (terjemahan dalam bahasa Indonesia, “dunia kehidupan”) merupakan salah konsep utama dari mazhab pemikiran filsafat fenomenologi, yang pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Husserl. Konsep ini dapat kita pahami sebagai ‘dunia’ atau ‘semesta’ yang terdiri atas lingkungan fisik dan sosial manusia yang dipahami oleh manu sia hanya dengan menggunakan akal sehat (commonsense) tanpa menggunakan perspektif dari ilmu alam dan sosial.20


 


Menurut Berger, kenyataan atau dunia kehidupan menyatakan eksistensinya sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi kesadaran manusia dengan cara yang paling masif, mendesak, dan mendalam, sehingga sangat


19Dalam buku yang diberi judul “The Sacred Canopy” , Berger mengemukakan bahwa istilah dunia yang digunakan dalam pernyataannya tersebut mengandung pengertian yang khusus, karena itu kata tersebut semestinya ditulis dalam tanda petik.Kekhususan makna kata ini, karena kata dunia tersebut oleh Berger dipahami berdasarkan pada pemikiran filsafat fenomenologi dan sosiologi pengetahuan.Dunia yang dibentuk tersebut, berdasarkan paradigma fenomenologi, rupanya menunjuk pada kesadaran manusia terhadap fenomen- fenomen yang diakui memiliki keberadaan dan tidak bergantung pada kehendak manusia. Peter L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES,1991), 3.


20 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 24-27.

sukar bagi manusia untuk mengabaikannya. 21 Tidak lain karena kenyataan itu sudah diobjektifikasi 22 sedemikian rupa sebagai sesuatu yang telah ditata sebelum keberadaan seorang individu.

Lebih lanjut Berger menjelaskan bahwa kenyataan itu menghadirkan dirinya kepada individu sebagai sesuatu yang bersifat intersubjektif, suatu dunia atau kenyataan yang dapat dialami dan dipahami secara bersama -sama dengan  individu-individu  yang  lain. Sekalipun mungkin ad a perbedaan pemahaman tentang kenyataan tersebut namun kenyataan tersebut adalah sesuatu yang telah membentuk kesadaran/ pengetahuan akal sehat (commonsense knowledge) dari semua individu yang mengalaminya.

Menurut Berger, terbentuknya lebenswelt bagi manusia, erat kaitannya dengan kondisi manusia sebagai mahluk hidup yang dalam proses menjadi manusia berhubungan secara timbal balik dengan lingkungannya, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan manusia (suatu tatanan budaya dan sosial, yang diperoleh mela lui orang-orang yang berpengaruh dalam hidup tiap individu).23Berbeda dengan mahluk menyusui lainnya, manusia dilahirkan dalam kondisi struktur biologi dan naluri yang masih perlu untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Sebagaimana yang dikemukak an oleh Berger,

“Perkembangan organ yang penting, yang pada binatang telah mencapai penyelesaiannya dalam rahim induknya, pada bayi manusia berlangsung.

21 Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES,1990), 31-32.


22 Objekstifikasi merupakan konsep yang digunakan oleh Peter L. Berger untuk mengungkapkan tentang keberadaan dari segala sesuatu yang manusia ciptakan (fisik maupun mental) sebagai suatu realitas atau kefaktaan yang berhadapan, berbeda, dan berada di luar diri manusia sebagai pihak yang telah memproduksi realitas tersebut. sehingga dengan demikian, melalui objektifikasi, masyarakat, sebagai salah satu ciptaan manusia, menjadi suatu realitas yang “sui generis” . Peter L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES, 1991), 5.

23Ibid., 68

setelah ia keluar dari kandungan. Tetapi pada masa ini, bayi manusia itu tidak hanya sudah berada dalam dunia luar; ia juga mempunyai hubungan timbal balik dengannya, dengan sejumlah cara yang kompleks.”24

Karena kondisi inilah, maka dapat dikatakan bahwa menjadi manusia secara fundamental berarti mengada ( to exist ).25 Dan karena itu, mengutip pandangan Berger, ”eksternalisasi 26 adalah suatu keharusan antropologis. Manusia tidak bisa dibayangkan tanpa pencurahan dirinya (eksternalisasi) secara terus menerus ke dalam dunia yang dihuninya”. 27 Tidak lain penyebabnya karena manusia dilahirkan dengan struktur naluri / instiktual yang belum diarahkan atau disesuaikan dengan suatu lingkungan yang khas bagi spesiesnya. Manusia harus membentuk lingkungannya, dunianya sendiri (dunia manusia), dan mengutip pendapat Peter L. Berger, dunia itu tidak lain dari pada kebudayaan. 28 Berdasarkan pemikiran Berger mengenai eksternalisasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan ciptaan manusia, yang diciptakan oleh manusia dalam proses pembentukan dirinya.

Namun pemikiran Berger tidak hanya sampai di situ dalam mengan alisa fenomena kebudayaan. Kenyataan bahwa dunia yang manusia ciptakan itu merupakan sesuatu yang eksis di luar kesadaran manusia memunculkan


24Idem.


25 Irfan M. Noor, op.cit., 8


26 Peter L. Berger menggunakan konsep eksternalisasi untuk mengungkapkan bahwa manusia adalah mahluk hidup yang secara terus menerus mencurahkan, mengungkapkan, mengekspresikan dirinya ke dalam dunia sekelilingnya, baik itu dalam bentuk aktivitas fisik maupun mental. Menurut Berger, eksternalisasi diri manusia ke dalam dunia sekelilingnya merupakan suatu keharusan antropologis karena homosapiens menempati posisi yang istimewa karenan memiliki keistemewaan dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan maupun dengan lingkungan atau dunia disekelilingnya. Tidak seperti binatang menyusui tingkat tinggi lainnya, yang dilahirkan dengan kondisi organisme yang pada pokoknya sudah lengkap, manusia sebaliknya “belum selesai” ketika dia dilahirkan. Lebih lanjut penjelasan tentang konsep eksternalisasi dapat dibaca dalam buku “Langit Suci” dan “Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan”.


27 Ibid., 5.


28Ibid., 8.

pemahaman tentang objektifikasi dari semua yang dihasilkan oleh manusia dalam proses eksternalisasi. Jadi objektif ikasi adalah transformasi dari hasil pencurahan diri manusia dalam proses eksternalisasi sehingga apa yang dihasilkan tersebut kemudian menjadi sesuatu yang menghadapi manusia sebagai fakta di luar diri manusia. Salah satu bukti dari objektifikasi tersebut adalah peralatan -peralatan yang manusia ciptakan biasanya memaksakan logika keberadaannya kepada manusia sebagai pemakai peralatan tersebut. 29

Selanjutnya masyarakat, dan produk -produk budaya (material maupun bukan material) manusia lainnya yang terobjekti fikasi tersebut diserap ke dalam kesadaran subjektif individu, proses inilah yang disebut dengan internalisasi. 30 Sedangkan yang dimaksud dengan sosialisasi, menurut Peter L. Berger, adalah proses mendidik individu agar hidup bersesuaian dengan program-program kelembagaan masyarakat dari satu generasi ke generasi lainnya.31 Dalam proses internalisasi , individu tidak hanya mengalami apa yang disebut dengan proses belajar tetapi lebih dari itu, individu menyerapnya dan menjadikan sebagai miliknya sendiri, bahka n dapat mengekspresikannya. Namun sekalipun manusia adalah mahluk yang “belum selesai” dan terbuka pada dunia sekitarnya dalam pembentukan dirinya, tapi itu bukan berarti bahwa manusia hanya bersikap pasif. Pada kenyataannya, manusia itu tidak lembam (diam), justru sebaliknya manusia berpartisipasi secara aktif dalam proses pembentukan jati dirinya dan pembentukan dunia ciptaannya. Dan hal ini menunjukkan pada kita bahwa manusia secara terus menerus akan memberikan tanggapan terhadap dunia yang diciptakan d an membentuknya

29Bahkan alat itu (misalnya telepon selular) dapat mengara hkan aktifitas para pemakainya.


30Ibid., 19.

31 Sosialisasi dibedakan dari internalisasi. Mengacu pada pemikiran Berger dan Luckmann, internalisasi merupakan aktifitas individu (subjek) dalam menyerap produk -produk budaya yang dihasilkan oleh masyarakat. Sedangkan sosialisasi adalah aktifitas di luar individu yang bertujuan untuk mendidik individu agar hidup bersesuaian dengan program-program kelembagaan masyarakat.

dan karenannya juga manusia dituntut untuk harus terus memelihara dunia ciptaan itu.

Dalam proses pemeliharan dunia ciptaan manusia inilah, kita sudah dimungkinkan untuk mempercakapkan tentang agama. Karena setelah tiba pada penjelasan tersebut kita sudah bisa menarik kesimpulan, sebagaimana yang diutarakan Peter L. Berger, bahwa masyarakat sebagai suatu aktivitas membangun dunia terutama adalah merupakan aktivitas penataanpengalaman secara kognigtif maupun normatif, atau yang biasa juga di sebut dengan istilah nomisasi. Dalam proses pembentukan nomos tersebutlah, agama memainkan suatu peran khusus di dalam pembangunan dan pemeliharaan dunia 32 yang berlangsung secara dialektik.

Agama Sebagai Sumber Legitimasi Nomos Yang Adiluhung

Untuk memahami nomos33 lebih mendalam, kita perlu kembali melihat kondisi manusia yang secara biologis tidak mempunyai suatu mekanisme penataan diri sebagaimana yang melekat pada species mahluk hidup lainnya. Itu sebabnya manusia harus menciptakan sendiri suatu mekani sme penataan pengalaman dan dunia di sekitarnya. Penataan itulah yang disebut dengan nomos yang kemudian menjadi referensi/ pedoman bagi manusia dalam mengatur tingkah lakunya sehari -hari. Tanpa tatanan yang bermakna terhadap setiap pengalaman tersebut, man usia tidak akan dapat bertahan hidup karena akan dirundung kecemasan tenggelam dalam dunia yang tanpa makna, kacau,

32 Dunia yang dimaksudkan di sini adalah ciptaan manusia dan itu juga dapat dipahami sebagai kebudayaan yang merupakan hasil karya manusia dalam rangka menjalankan wewenangnya sebagai mandataris Allah di dalam dunia ciptaan-NYA.

33Istilah nomos diambil dari pemikiran Emile Durkheim mengenai konsep nomos yang dikontradiktifkan dengan konsep anomi, sebagaimana yang dikemukakannya dalam tulisannya tentang Suicede (bunuh diri)tidak berperasaan dan gila. 34 Itulah sebabnya, mengutip pendapat Peter L. Berger,

“Berada dalam masyarakat berarti “waras” dalam pengertian t erlindungi dari “kegilaan” purna dalam kecemasan anomik tersebut.Anomi itu tidak tertanggungkan sehingga bisa saja individu merasa lebih baik mati daripada mengalaminya.Sebaliknya eksistensi di dalam suatu dunia nomik mungkin sangat diidamkan dengan member ikan segala pengorbanan dan menanggung segala derita –dan bahkan berkorban jiwa, jika individu itu yakin, bahwa pengorbanan itu membawa makna nomik.”35

Jadi ketiadaan nomos adalah suatu bencana terbesar bagi manusia, baik secara individual maupun kolektif. Apapun ragam historis dan kebudayaannya, nomos merupakan suatu keharusan dalam dunia yang manusia bentuk. Karena lawan dari nomos adalah anomi, suatu kondisi kehidupan yang tentunya tak diinginkan. Secara individual, anomi berarti keterasingan dari dunia s osial di sekitarnya, bahkan dalam kondisi yang paling ekstrem, individu akan kehilangan “rasa” dan identitas dirinya sendiri.

Namun malang tak dapat ditolak, tiap nomos yang dibentuk oleh manusia secara sosial tersebut selalu diperhadapkan pada ancaman ker untuhan dan menciptakan gangguan anomik bagi manusia. 36 Situasi anomik ini nampak misalnya ketika suatu negara menetapkan undang -undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis kelamin.Sebagian orang melihat itu sebagai suatu situasi anomik tapi ada juga yan g beranggapan justru sebaliknya, bahwa peraturan negara itu telah menciptakan suatu tatanan dunia yang memungkinkan bagi mereka untuk menemukan realitas dan identitas diri


34 Ibid., 27-28


35 Ibid., 28


36Nomos yang dimaksudkan di sini adalah bentukan manusia. Mengenai nomos yang diyakini bersumber dari wahyu tentu akan timbul silang pendapat. Dan dalam hal sil ang pendapat tersebut, tulisan ini tidak dapat berbicara banyak karena tujuan karya tulis ini hanyalah untuk mengulas pemikiran Berger mengenai kontribusi agama dalam pembentukan realitas. Tapi walaupun demikian, berharap melalui tulisan ini dapat beroleh kesempatan untuk bertukar pikiran dan menimba pengetahuan teologis tentang hal tersebut .

mereka. Perubahan tatanan norma tersebut menunjukkan betapa rentannya suatu nomos yang dibangun oleh manusia secara sosial terhadap kehancuran. Peter L. Berger menjelaskan bahwa, “semua dunia yang dibangun secara sosial, secara inheren adalah rawan. Karena didukung oleh aktivitas manusia, maka dunia-dunia tersebut terancam oleh fakta kepe ntingan diri dan kebodohan manusiawi. Program -program kelembagaan disabot oleh individu -individu yang memiliki kepentingan yang bertentangan.” 37 Untuk itu nomos memerlukan sumber peneguhan agar dapat bertahan dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan dalam hal inilah agama memainkan perannya.

Tapi sebelum membicarakan tentang bagaimana peran agama tersebut, terlebih dulu perlu untuk dijelaskan tentang bagaimana pemahaman Peter L. Berger sendiri tentang agama. Senada dengan pemikiran beberapa ilmuwan filsafat dan sosiologi lainnya, menurut Peter L. Berger, agama itu merupakan hasil dari pantulan, refleksi, atau proyeksi yang dilakukan oleh manusia. 38 Bila demikian apakah fenomena yang manusia proyeksikan di dalam dan melalui agama ? Peter L. Berger menjawa b bahwa manusia mengeksternalisasikan agama karena manusia diperhadapkan pada ancaman -ancaman anomik dalam dunia yang merupakan hasil dari aktifitas manusia itu sendiri melalui proses eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Dalam menanggulangi kecemasan manusia terhadap situasi anomik, masyarakat telah menciptakan instrumen-instrumen semacam sosialisasi dan kontrol sosial, namun tampaknya instrumen itu tidak cukuplah memadai untuk menegasikan ancaman-ancaman terciptanya kondisi anomik, baik secara individu maupun kolektif. Karena itu, demi untuk memperkokoh tatanan sosial maka manusia


37 Ibid., 36


38 Inilah salah satu pemahaman yang menjadi sumber perdebatan antar ilmu teologi dan sosiologi dalam menelaah fenomena agama. Tulisan tidak cukup memadai untuk menelaah perdebatan tersebut. Lebih lanjut untuk mendiskusikan mengenai bagaimana dialog antara kedua disiplin ilmu tersebut dapat dipelajari dalam tulisan Peter L. Berger mengenai “Perspektif-Perspektif Sosiologis dan Teologis” yang merupakan lampiran dalam bukunya “The Sacred Canopy” . Buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES dengan judul “Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial” .

secara kolektif menciptakan proses legitimasi 39, dalam proses legitimasi inilah agama memainkan perannya sebagai universum simbolik yang menjadi lambaran bagi dunia sosial dan biografi manusia yang ada di dalamnya.

Dijelaskan bahwa proses legitimasi ini merupakan semacam “pengetahuan” yang diobyektifikasi secara sosial yang berfungsi untuk menjelaskan dan membenarkan suatu tatanan sosial. 40 Dalam proses legitimasi, semua pertanyaan – pertanyaan yang menyangsikan suatu tatanan sosial mendapatkan jawabannya. Jawaban-jawaban tersebut bukan hanya merupakan suatu yang bersifat kognigtif lebih dari itu “pengetahuan” atau jawaban - jawaban dalam proses legitimasi itu juga bersifat normatif.

“Merupakan suatu kesalahan besar bila mengidentifikasikan legitimasi dengan ideasi teoritis. “Gagasan -gagasan”, memang diperlukan bagi kepentingan legitimasi. “Namun apa yang bisa dianggap sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat sama sekali tidak identik dengan kesatuan “gagasan-gagasan” yang ada dalam masyarakat. Sebagian orang memiliki minat terhadap “gagasan -gagasan”, biasanya mereka tidak lebih dari suatu minoritas yang agak kecil. Jika legitimasi itu selalu harus terdiri dari dalil -dalil yang secara teoritis bisa dipahami, maka legitimasi itu akan mendukung tatanan sosial terutama bagi minoritas intelektual yang memiliki minat -minat teoritis seperti itu – ini jelas bukan suatu program yang sangat praktis. Akibatnya banyak legitimasi yang bersifat prateoritis. ”41

Pemikiran ini juga yang melatar belakangi konstruksi pemikiran Peter L. Berger mengenai sosiologi pengetahuan sebagai suatu perspektif yang lebih

39 Legitimasi di sini dipahami sebagai “pengetahuan” yang bertujuan untuk menjawab setiap pertanyaan yang mempertanyakan keabsahan dari suatu tatanan sosial. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, objektifikasi dunia yang dibangun oleh manusia sebenarnya telah menunjukkan bahwa dengan sendirinya semua “pengetahuan” yang manusia ciptakan terkandung adanya legitimasi di dalamnya. Namun, legitimasi- legitimasi tambahan masih diperlukan untuk mewariskan “pengetahuan” tersebut dari generasi ke generasi untuk menjawab pertanyaan yang pasti timbul dalam alam berpikir generasi-generasi yang baru.


40Idem.


41 Ibid., 37.

diarahkan untuk menelaah “pengetahuan akal sehat” dalam masyarakat dari pada menelaah konstruksi teoritis dari kalangan intelektual. 42

Lalu bagaimana hubungan atau peran agama dalam proses legitimasi. Bila kita mengamati dalam masyarakat, semua legitimasi yang dibangun menjelaskan keberadaan nomos itu secara sosial dan empirik. Sementara agama melegitimasi nomos dengan sangat efektif karena menghubungkan bentukan-bentukan dunia sosial (yang didalamnya terdapat nomos) dengan realitas purna, realissimum keramat, yang menurut definisinya berada di luar kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari makna -makna manusiawi dan aktivitas -aktivitas manusia. 43 Sebagai contoh, kita dapat menemukannya dalam pengetahuan yang menjelaskan keberadaan dari lembaga ataupun jabatan - jabatan keagamaan. Hampir semua pengetahuan itu menghubungkan lembaga dan jabatan keagamaan tersebut dengan realitas yang sakral, semacam pengetahuan yang diwahyukan. Di antara pengetahuan tersebut, sebagai contoh, adalah gereja sebagai “tubuh” Kristus, dan dengan demikian, gereja tidak dapat hanya dipandang sebagai suatu lembaga yang terbentuk k arena dibangun oleh manusia secara kolektif dalam suatu konteks sosial budaya tertentu. Dalam hal inilah, agama menunjukkan dirinya sebagai sumber legitimasi tatanan sosial yang adiluhung.

Keampuhan legitimasi agama ini terkait erat dengan pemahaman tentan g agama sebagai konstruksi pengetahuan manusia dalam memahami tentang alam semesta, atau yang biasa disebut dengan istilah kosmos. Menurut Peter L. Berger, agama juga dapat dipahami sebagai usaha manusia membentuk suatu kosmos keramat. Adapun kata “keramat ” atau sakral di sini mengandung arti suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan, bukan berasal dari manusia dan yang diyakini berada dalam objek -objek pengalaman tertentu. 44

42 Idem.


43 Ibid., 40


44 Ibid., 32

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas tersebut dapat disematkan pada berbagai berbagai objek alami atau buatan (artifisial), mahluk, roh, dewa, hingga kekuatan atau asas purna yang menciptakan dan mengatur kosmos yang tidak lagi dibayangkan dalam kerangka personal. Kosmos yang konstruksi oleh agama ini, bagi manusia merupa kan suatu realitas yang transenden (di luar lingkaran kemengadaan manusia dalam dunia) tapi sekaligus juga imanen (melingkupi) kehidupan manusia dan menjadi tatanan bermakna bagi manusia dalam membentuk kebudayaan dan peradabannya.

Dan rupanya ada kecender ungan yang dapat kita temukan, khususnya dalam masyarakat pra modern, nomos yang terbentuk kemudian dipadukan dengan makna-makna fundamental dalam semesta sebagaimana yang menjadi pemahaman kosmologi suatu masyarakat. Sebagaimana yang dikemukan oleh Peter L. Berger, dalam masyarakat lama, nomos sering kali tampak sebagai refleksi mikrokosmos, sehingga dengan demikian, nomos yang dibangun dalam masyarakat kemudian menjadi suatu penjelasan tentang “hakikat sesuatu” yang dipahami secara kosmologis dan antropol ogis.45 Keterpaduan inilah yang menciptakan keajegan suatu nomos karena sumber legitimasinya berasal dari sumber-sumber pengetahuan yang lebih kuat bila dibandingkan dengan usaha - usaha historis manusia dalam melegitimasi suatu nomos.

3. KESIMPULAN

Mengulang kembali apa yang dikemukakan oleh Peter L. Berger bahwa setiap masyarakat merupakan suatu usaha untuk membangun dunia dan agama memiliki apa yang disebut sebagai a distinctive place in this enterprise . Pemikiran ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk me ngawali pemahaman kita tentang bagaimana analisa Peter L. Berger terhadap fenomena agama dalam.

45 Ibid., 31-32

masyarakat. Lebih jelasnya ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan dalam memahami pemikiran Peter L. Berger mengenai agama, yakni :

1. Agama tidak dapat dipisahka n dari proses pembentukan berbagai realitas atau “dunia” yang manusia ciptakan yang melalui tiga momentum yakni eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi.

2. Peran utama agama dalam pembentukan dan pemeliharaan “dunia” tersebut terletak pada kekuatan ag ama untuk membenarkan/ meligitimasi nomos yang menata kehidupan manusia dalam “dunia” ciptaannya sendiri. Sehingga terbuka kemungkinan yang besar untuk melanggengkan tatanan tersebut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial . Jakarta: LP3ES.

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan . Jakarta: LP3ES.

Pals, Daniel L. 2012. Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: IRCISOD.

Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I . Jakarta: PT Gramedia.

Noor, Irfan. Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah -Empiris (Kajian Filsafat Ilmu  atas  Pemikiran  Peter L. Berger) , diakses 15 Oktober 2015,

http:// id.scribd.com/ doc/ 7980498/ Agama -Dan-Filsafat -Ilmu-Irfan- Noor.

Sanks, T. Howland. A Tradition In Process: The Changing Face Of T heology, American Magazine: The National Catholic Review, vol. 2015, 24 Oktober 2011, diakses pada tanggal 15 Oktober2015, http:/ / americanmagazine.org/ sites/ default/ files/ issues/ cf/ pdfs/ 791_1 pdf Veeger, K.J. 1988. RealitasSosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1988.



https://www.joyinmyworld.com/2021/01/agama-dan-pembentukan-realitas.html

Flower of the Month Club

DIFERENSIASI AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA


 

OLEH: BINSAR ANTONI HUTABARAT


Konflik antar agama dan negara, agama dan agama adalah realitas pada banyak negara. Negara sekular yang mendasari pandangannya pada keyakinan bahwa pelan-pelan agama akan kehilangan perngaruhnya ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Hingga saat ini agama terus memiliki pengaruh dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Sebaliknya negara agama yang menempatkan agama tertentu sebagai agama negara terbukti telah mendeskriminasikan agama tertentu.


Agama dan negara tampaknya tidak dapat dipisahkan, namun agama dan negara juga tidak bisa saling menaklukkan. Hubungan antara agama dan negara yang tidak saling menaklukkan ini tampak dalam hubungan agama dan negara di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Apalagi hubungan antara agama dan negara ini merupakan sebuah kesepakatan Bersama. Pertanyaanya kemudian apakah ada dasar teori hubungan agama dan negara yang didasarkan sebuah kompromi bersama sebagaimana ditetapkan Pancasila sebagai dasar hubungan agama dan negara yang tidak saling menaklukkan?

 

 

Temuan mengenai hubungan agama dan negara

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama dalam dunia modern dikumandangkan jauh sejak Zaman Pencerahan. Mereka yang mendeklarasikan kematian agama itu bukan hanya tokoh-tokoh filsafat yang anti agama, tapi juga tokoh-tokoh antropologi, dan psikologi, “bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu  yang akan memudar dalam masa modern.” Ippa Norris dan Ronald Inglehart menjelaskan: Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.

Senada dengan hal itu, C. Wright Mills menjelaskan mengenai proses kematian agama ini seperti berikut: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral-dalam pemikiran praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi”.

Berpijak pada tesis kematian agama itulah ketika perang dingin berakhir Francis Fukuyama mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia. Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati. Peter L Berger, salah seorang pendukung teori sekularisasi selama 19660-an, secara dramatis menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang ini dengan beberapa pengecualian, … amat sangat religius sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut teori sekularisasi pada dasarnya salah.”

Selaras dengan Berger, Rodney Stark dan Roger Finke berujar, “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar doktrin itu “beristirahat dengan tenang.” 

Tesis negara sekular yang menapikkan peran agama jelas perlu ditinjau kembali. Namun, fakta-fakta yang mendasari konsep sekularisasi perlu dipahami secara benar, sehingga pengulangan kesalahan tidak terjadi. Istilah “secular”, “secularized” dan “secularization” menurut José Casanova berasal dari kata Latin (zaman pertengahan) “saeculum” yang berarti “dunia”. Dalam Hukum Kanun (Canon Law), sekularisasi merujuk pada suatu “aksi legal”manakala seorang “religious”meninggalkan biara untuk kembali ke “dunia”dengan segala godaannya yang oleh karenanya menjadi manusia “sekuler”. Secara Kanonik, para pendeta bisa religious sekaligus sekuler, sehingga pengertian religious tidak selalu berkaitan dengan “dunia lain” (other wordly) melainkan juga suatu cara hidup (a mode of being) di dunia ini. 

Jadi pemisahan yang sakral dengan sekular secara total adalah mustahil. Untuk memahami pembedaan sekular dan yang sakral ini, identifikasi José Casanova terkait tiga makna utama dari agama dalam teori sekularisasi perlu dipahami dengan baik: (1) sekularisasi sebagai kemunduran agama ( Secularization as religious decline), yang mengklaim bahwa agama akan terus-menerus mengalami kemunduran di dalam dunia modern sampai pada akhirnya akan lenyap; (2) sekularisasi sebagai privatisasi  (secularization as privatization), menyatakan, diferensiasi institusi modern mau tidak mau mengharuskan agama dimasukkan ke dalam wilayah institusionalnya sendiri, karena agama mau tidak mau mengancam struktur-struktur diferensiasi modern; dan (3) sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation), yang mengacu kepada diferensiasi fungsional dari institusi-institusi religius dari wilayah-wilayah lain di dalam masyarakat modern, khususnya negara, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.

Sekularisasi sebagai kemunduran agama ( Secularization as religious decline), dan sekularisasi sebagai privatisasi  (secularization as privatization), dipegang oleh tokoh-tokoh ilmu-ilmu pengetahuan sosial mulai dari Karl Marx, John Stuart Mill, Auguste Comte, dan Herbert Spencer sampai kepada Emile Durkheim, Max Weber, dan Sigmund Freud. Pandangan tokoh tokoh tersebut kurang mempunyai bukti empiris karena agama tidak mengalami kemunduran.

Menurut Casanova sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation) merupakan pilihan yang tepat. Deprivatisasi agama dalam dunia modern adalah sebuah keharusan. Bagi Casanova, deprivatisasi agama ini tidak terbatas pada masyarakat-masyarakat Barat. Tetapi juga meliputi tradisi-tradisi religius lain juga, seperti Islam, Yudaisme, Hindu, dan Buddha di dalam masyarakat-masyarakat non-Barat. Karena deprivatisasi agama itu meliputi seluruh dunia dan pada berbagai tradisi religius, maka tesis privatisasi patut dipertanyakan. David Hollenbach berpendapat, setiap usaha untuk mendukung teori privatisasi semacam itu sebagai “tujuan normatif” bisa dipertanyakan juga.

Karena dimana agama menjadi selera pribadi tersendiri, kehidupan publik kehilangan kedalaman makna yang bisa menimbulkan kesetiaan dan komitmen di antara para warga negara. Hasilnya yang merupakan anomali bisa menciptakan sebuah ruang hampa dimana kekuatan-kekuatan fundamentalis bisa masuk ke dalamnya, hampir pasti tanpa kesantunan dan mungkin dengan kekerasan.

Hollenbach dengan demikian setuju dengan tesis sentral Casanova: agama harus dibedakan dari wilayah-wilayah lain kehidupan publik seperti negara. Sekularisasi sebagai diferensiasi meliputi pembedaan wilayah masyarakat dimana agama tidak lagi mendefinisikan “realitas yang meliputi segala sesuatu” dimana ruang sekular menemukan tempatnya yang tepat. Mengutip Hollenbach, Benyamin F. Intan menjelaskan, istilah “diferensiasi” seharusnya dipahami sebagai “pembedaan,” dan bukan sebagai “pemisahan ke dalam ruang-ruang yang terpisah ketat.”

Diferensiasi agama dan berbagai dimensi kehidupan publik mempunyai konotasi berbeda dengan “pemisahan.” Di Amerika Serikat, pemisahan gereja dari negara sering kali disamakan dengan pembatasan agama menjadi sepenuhnya wilayah pribadi yang terpisah dari kekuasaan pemerintah. Berlawanan dengan hal ini, diferensiasi agama dari wilayah kekuasaan negara tidak menyingkirkan semua pengaruh agama di dalam kehidupan publik atau di dalam dunia politik pada umumnya ... Tetapi, pengaruh agama di dalam kehidupan publik dan bahkan politik bisa terjadi bahkan dimana negara dan gereja secara institusi berbeda. Bisa saja terjadi pengaruh publik oleh agama yang diberikan tanpa kontrol negara oleh gereja. Jadi ada pilihan ketiga bagi “integralisme” [kesatuan gereja-negara] di satu sisi dan privatisasi agama di sisi lain. Di dalam pilihan ketiga ini, komunitas-komunitas religius bisa memberikan dampak terhadap kehidupan publik sementara, pada saat yang sama, pelaksanaan agama yang bebas dan  bukan sebagai agama negara (non-establishment) sepenuhnya dilindungi.

Sekularisasi yang tidak menyangkali peran agama tidak harus menyebabkan kemunduran agama atau berarti privatisasi agama. Modernisasi tidak memiliki hubungan langsung dengan kemunduran agama. Modernisasi tidak menghilangkan agama dalam masyarakat. Modernisasi hanya menggeser lokasi sosial dari agama.

Tesis sekularisasi mengenai kematian agama perlu diperbaiki karena agama tidak menghilang, dan tampaknya agama memang tidak mungkin menghilang. Karena itu dalam hubungan agama dan negara seharusnya agama tetap mendapatkan tempat yang terhormat. 

Selaras dengan Casanova Yudi Latif menjelaskan:

Bila sekularisasi sebagai proses pemudaran dan pemisahan peran agama (dari negara) tidak memiliki bukti empiris yang kuat , teori modernisasi (termasuk sekularisasi) menyisakan satu asumsi yang bisa diterima, yakni sekularisasi sebagai proses “pembedaan” (differentiation). Hal ini merujuk pada perbedaan fungsional antara institusi-institusi keagamaan dari ranah lain dalam masyarakat modern, terutama negara, ekonomi dan sains.

Sejalan dengan Casanova selanjutnya Yudie Latief menerangkan:

Dengan proses differensiasi ini, terjadi pembedaan antara ranah sosial (social sphere) ke dalam ragam fungsi yang di dalamnya agama tidak lagi menjadi pendefinisi tunggal semua realitas, yang memungkinkan bidang sekuler menemukan tempatnya yang pas, istilah differentiation ini harus dipahami sebagai distinction (pembedaan) , bukanlah separation, yang membawa kearah isolasi secara terpisah . Sebagai realitas politik , konsep ini mengacu pada prinsip distinction antara otoritas agama dan politik, berdasarkan pemahaman bahwa masing-masing terhubung dengan ranah kehidupan yang berbeda secara konseptual (meskipun saling berhubungan) dalam tujuan, metode, bentuk pemikiran, wacana dan tindakan.

Dalam pandangan Casanova, diferensiasi modern menjadi penyangkal dari asumsi pemudaran agama, karena ternyata berperan penting dalam menumbuhkan gairah kegamaan dalam masyarakat modern. Ketika agama terintegrasi dengan negara, represi negara membawa konsekwensi ketidakpercayaan public pada agama yang dampaknya bertahan lamaseperti dalam masyarakat Eropa. Dalam penilaian Mohammad Hatta, “Negara teokrasi tidak memperdalam perasaan agama atau memperkuat semangat agama, melainkan mempergunakan agama untuk keperluan negara” Dengan adanya diferensiasi, agama bisa mengembangkan otonomi relative dalam menyediakan landasan moralitas baik untuk menopang maupun untuk menentang kekuasaan politik. Hal ini memberikan sandaran alternative bagi warga ketika mengalami kekecewaan atas kekuasaan politik dan dunia kehidupan.

Mengutip Stepan, Yudie Latie berpendapat bahwa tersedianya kerangka diferensiasi inilah yang memberi peluang bagi pengembangan “toleransi kembar” antara negara dan agama bisa mengembangkan peran publiknya masing-masing tanpa saling memaksa karena menemukan konteks keterlibatannya yang tepat. Diferensiasi agama dari domain kekuasaan negara tidak melucuti seluruh pengaruh agama dalam ruang publik. Pengaruh agama dalam kehidupan publik bahkan politik tetap bisa berlangsung ketika negara dan agama berbeda secara institusional. Terbuka peluang bagi pengaruh agama atas negara. Dengan alternative di luar kerangka integrasi dan separasi ini. Komunitas agama tetap bisa memiliki pengaruh publik, berkelindan dengan kewenangan negara untuk mengembangkan institusi-institusi demokratis dalam kerangka konstitusi dan hak-hak asasi manusia. 

 

Diferensiasi agama dan negara dalam negara Pancasila

Pernyataan Indonesia sebagai bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang sebelumnya tidak pernah ada, pada awalnya belum mendapatkan landasan teoritis, kecuali sebagai sebuah kesepakatan bersama dari rakyat Indonesia yang beragam agama. Namun, mengacu pada pandangan Casanova tentang sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation), jelaslah bahwa pembedaan agama dan negara yang dinyatakan bukan negara agama dan bukan negara sekular yang menolak agama merupakan jalan tengah yang terbaik untuk menghadirkan kehidupan publik yang baik mendapatkan landasan teoritisnya.

Melihat sejarah ditetapkannya Pancasila di Indonesia sebagai dasar bagi hubungan agama dan negara harus diakui itu tidak terlepas dari peran aktif agama-agama yang ada di Indonesia. Muslim Indonesia sebagai agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Indonesia juga jauh dari monolitik. Demikian juga agama-agama suku yang tersebar diberbagai daerah Indonesia. Semua agama di Indonesia memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Penetapan hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila merupakan sumbangsih agama-agama di Indonesia yang diakui memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Agama Islam, memainkan peran yang sangat krusial di dalam mendorong nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Muslim Indonesia dalam hal ini harus dipahami dalam keragamannya, karena Muslim Indonesia tidak monolitis.

Gelombang gerakan nasionalis Indonesia juga tidak terlepasa dari perjuangan orang-orang Kristen juga mengambil bagian di dalam gerakan tersebut. Seperti banyak organisasi nasionalis Indonesia lain, sejak pendiriannya tahun 1925, Partai Katolik  telah mendukung gerakan nasionalis. Para pemimpin Indonesia pada waktu itu menyadari agar mereka bisa mencapai kemerdekaan Indonesia, mereka harus bekerja sama dengan organisasi-organisasi politik nasionalis Indonesia lain. Di dalam konteks historis gerakan nasionalis Indonesia ini, muncullah dua kelompok berbeda di dalam wacana politik Indonesia: golongan kebangsaan (secular nationalists) dan golongan Islam (Muslim nationalists).  Kompromi antara kelompok nasionalis sekular dan nasionalis Muslim dalam pembentukan negara Pancasila yang membedakan agama dan negara ini dijelaskan Supomo demikian:

Menciptakan sebuah Negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mengkaitkan negara itu sendiri dengan kelompok yang terbesar, kelompok Islam. Jika sebuah Negara Islam diciptakan di Indonesia, maka tentunya golongan minoritas akan bangkit, masalah kelompok-kelompok kecil religius, dari kalangan Kristen dan yang lain-lain. Meskipun Negara Islam akan melindungi kepentingan-kepentingan kelompok lain sebaik mungkin, kelompok-kelompok religius yang lebih kecil ini tentunya tidak akan bisa merasa terlibat di dalam negara.

 

Selanjutnya, Supomo menerangkan:

Di dalam negara Indonesia para warga negara harus didorong untuk mencintai tanah leluhurnya, untuk memberikan diri mereka kepada dan mengorbankan diri mereka demi negara, untuk melayani dengan senang tanah leluhur, untuk mencintai dan melayani para pemimpin mereka dan negara, untuk tunduk kepada Tuhan, untuk memikirkan Tuhan setiap saat. Semua hal ini harus terus-menerus didukung dan digunakan sebagai dasar moral bagi negara kesatuan nasional ini. Dan saya yakin bahwa Islam akan memperkuat prinsip-prinsip ini.

dari awal masa pra-kemerdekaan Indonesia, agama-agama berperan penuh dan memberikan sumbangsih-sumbangsih utama bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Inspirasi agama adalah salah satu faktor terpenting yang mendukung gerakan nasionalis Indonesia dengan mendukung kesatuan nasional melawan penjajahan Belanda.

Mengenai hubungan antara agama dan negara dalam Darmaputera seorang teolog Kristen menjelaskan demikian:

 

Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara terus menerus dan bersama-sama, artinya, kerangka landasan moral etik dan spiritual itu tidak hanya kontribusi satu agama saja.

 

Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia terbukti mampu menaungi semua, karena ia adalah isi dari jiwanya bangsa Indonesia, kesepakatan Bersama rakyat Indonesia. Soekarno mengakui bukan pembuat Pancasila, tetapi menggali di dalam buminya rakyat Indonesia. Pancasila sebagai nilai-nilai yang universal diterima sebagai kompromi kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Penerimaan Pancasila tidak akan menghapuskan identitas yang ada.

Hubungan antara agama dan negara di Indonesia telah dirumuskan dengan jelas. Ungkapan Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang unik itu didasarkan pada Pancasila. Bentuk negara Pancasila yang dimaksud dalam hal ini adalah negara yang memisahkan antara agama dan negara. Negara Pancasila bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama, namun negara memberikan perlindungan terhadap agama, serta memperlakukan agama-agama secara sama dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.

 

 

Ambiguitas Diferensiasi Agama dan Negara di Indonesia

 

Agama dan negara berbeda. Agama tidak boleh menguasai negara, demikian juga negara tidak boleh meyingkirkan peran agama di tengah masyarakat.  Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama bertanggung jawab untuk mengingatkan negara apabila negara tidak melakukan kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis keagamaannya melanggar undang-undang dan keteriban umum. Maka negara wajib untuk melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungan bersama antar agama dan kelompok yang ada.

Realitas hubungan agama dan negara di Indonesia tidak selalu berjalan pada jalan yang telah ditentukan. Setidaknya itu terlihat jika diukur berdasarkan skala kebebasan beragama yang dikembangkan berdasarkan 20 kriteria yang dimuat dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Kebebasan Keagamaan Internasional, 2002.  Skala tersebut mewakili versi yang diperluas dari skala Chaves dan Cann1992 yang digunakan untuk mengukur peraturan negara dalam 18 masyarakat pasca-industri.

 

1. Konstitusi membatasi kebebasan beragama. 2. Konstitusi tidak mengakui kebebasan beragama. (Atau hukum tidak mengakui kebebasan beragama, dalam sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis). 3. Terdapat sebuah gereja resmi negara. 4. Negara mendukung satu agama. 5. Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. 7. Negara mengangkat atau menyetujui para pemimpin gereja, para pemimpin gereja mengangkat atau menyetujui para pejabat pemerintah, dan/atau para pemimpin gereja memiliki posisi khusus dalam pemerintahan. 8. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua gereja. 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua gereja. 11. Negara melarang pendeta/pemimpin agama dari semua/beberapa agama tertentu untuk memegang jabatan publik. 12. Negara memiliki sebagian properti dan bangunan-bangunan gereja. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolahsekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan. 15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte. 16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut. 18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu. 19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas. 20. Negara tersebut disebut sebuah negara khusus dalam hal kebebasan beragama oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

 

Ambiguitas kebijakan diferensiasi agama dan negara di Indonesia terlihat pada beberapa hal antara lain: Negara mendukung beberapa agama, dan tidak mendukung beberapa agama termasuk agama-agama suku atau kepercayaan meski tetap memberikan hak hadir di bumi Indonesia (4). Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. Di Indonesia aturan ini telah digunakan menjadi alat untuk menutup rumah ibadah yang bermasalah dalam perizinan dan yang tidak memiliki izin. 7. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua agama (negara memberikan bantuan terhadap agama tertentu) 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua agama. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan.15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte.16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut.18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu.19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas.

 

Berdasarkan skala di atas jelaslah bahwa kebijakan terkait agama di Indonesia tidak sesuai dengan kebijakan Pancasila yang membedakan agama dan negara. Karena negara terlihat dalam undang-undang dan peraturan tururnannya tidak mengacu pada Pancasila. Ambiguitas kebijakan tersebut membuat hubungan antara agama dan negara, agama dan agama atau toleransi kembar tidak terimplementasi dengan baik. Ambiguitas ini terjadi karena adanya Keragaman apresiasi terhadap Pancasila. Ketidak puasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara, apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.

Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya kedalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan negara. Keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun.Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat Pancasila yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada.

Lahirnya otonomi daerah di era reformasi ternyata menimbulkan persoalan baru, khususnya dalam hubungan antar agama. Daerah dengan mayoritas agama tertentu kemudian menuntut kekhusussannya meski harus mendiskriminasikan agama-agama lain. Peraturan daerah (perda) agama pun muncul di berbagai tempat dan mengancam kebebasan beragama. Kehadiran perda-perda bernuansa agama pada umumnya tidak secara terang-terangan menamakan dirinya sebagai perda agama, namun isinya yang memuat nilai-nilai agama tertentu dan terindikasi mendiskriminasikan agama-agama lain mengidentikkan dirinya sebagai perda agama, biasa juga disebut perda yang melanggar hak-hak asasi manusia. Perda bernuansa agama itu sukses diberlakukan di beberapa provinsi di Indonesia, setidaknya itu telah ditetapkan di 13 provinsi di Indonesia.

Sifat diskriminatif yang melekat pada perda-perda agama itu menimbulkan perlawanan dari mereka yang terdiskriminasikan, namun perda-perda agama tersebut terus saja melenggang sambil mengklaim diri terlahir secara demokratis. Apalagi ketika demokrasi direduksi hanya pada pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Diskriminasi yang dihadirkan oleh perda agama Islam kemudian memicu lahirnya raperda bernuansa agama Kristen. Meskipun raperda bernuansa agama Kristen tersebut tidak pernah ditetapkan sebagai kebijakan daerah karena tidak disetujui mayoritas.

 

Ambiguitas diferensiasi negara dan agama di Indonesia terjadi karena pembuatan kebijakan publik terkait agama sering kali gagal untuk tunduk pada prinsip-prinsip Public reason dan public deliberation. Dalam negara Pancasila, ajaran keagamaam boleh saja memberikan inspirasi, namun formulasinya harus mengalami proses substansial (tidak secara literer merujuk pada kitab dan doktrin keagamaan) guna memenuhi legitimasi demokratis yang bersifat rasional dan imparsial. Ini dapat dipahami karena keputusan publik-politik dianggap rasional imparsial jika didasarkan pada fakta (bukan doktrin semata), dan diorientasikan bagi kepentingan banyak orang dan jangka panjang, serta melibatkan partisipasi semua kalangan secara inklusif. Sehingga tidak satu agama dapat mengklaim bahwa kebijakan publik itu adalah hasil penguasaan kelompok agama tertentu.

 

PENUTUP

 

Menata hubungan agama dan negara dalam sebuah negara Indonesia yang beragam memang bukan merupakan suatu hal yang mudah. Karena semua agama merasa memilki jalan terbaik untuk terciptanya hubungan antar agama dalam sebuah negara yang beragam. Apalagi pada daerah-daerah dimana konflik bernuansa agama telah terjadi. Konflik kekerasan antar agama itu telah menimbulkan kecurigaan antarpemeluk agama yang berbeda, dan perasaan curiga tersebut tidak mudah dihapuskan. Oknum-oknum  yang terlalu lama menikmati kekuasaan dengan memanfaatkan agama tidak dengan sendirinya akan melepaskan nikmatnya kekuasaan tersebut. Namun perjuangan semua rakyat Indonesia yang menyadari arti pentingnya negara Indonesia bagi mereka menjadi modal dalam usaha mencapai Indonesia yang lebih baik

Apabila perjuangan semua rakyat Indonesia yang beragama adalah perjuangan untuk pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, dengan semangat yang inklusif bagi terbentuknya demokrasi yang berkeadilan, maka peran agama-agama tidak akan berubah menjadi usaha untuk saling menguasai dengan memakai negara sebagai senjata untuk meredam sesamanya. Perjuangan tersebut seharusnya menjadi perjuangan yang suci menghargai keragaman agama-agama yang adalah realitas Indonesia. Pancasila adalah dasar yang kokoh bagi negara demokrasi yang menghargai Pluralisme agama. Demokrasi yang menghargai pluralisme agama ini adalah pilihan terbaik Untuk Indonesia, dan juga bangsa -bangsa di dunia.

Negara Pancasila yang membedakan agama dan negara sejalan dengan teori Casanova secara bersamaan juga menyempurnakan demokrasi Barat yang sekuler, yang meminggirkan agama. Salah satu negara di dunia yang menganut pemerintahan demokrasi yang tidak meminggirkan agama adalah Turki, negara ini terus mengembangkan  demokrasi yang tidak didasarkan agama dan juga bukan negara sekuler yang menolak agama.Demokrasi sekuler yang meminggirkan agama saat ini semakin ditolak seiring tuduhan bahwa sekularisme adalah juga agama, meski ide sekularisme sebagai agama itu sendiri merupakan paradoks.

Pancasila merupakan kesepakan bersama agama-agama di Indonesia untuk menaungi semua agama-agama yang beragam di Indonesia. Model pemerintahan negara Pancasila ini dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menentukan hubungan ideal antara agama dan negara. Pancasila adalah negara pluralisme agama yang memposisikan agama-agama pada tempat terhormat tanpa mendeskriminasikan agama tertentu. Perjalanan negara Pancasila itu tidak selalu mulus, bahkan tidak jarang ditemukan konflik suku, agama, ras dan antar golongan hingga skala besar. Namun, semua itu terjadi karena terjadinya keragaman apresiasi terhadap Pancasila, bukan karena kelemahan yang ada pada diri Pancasila.