google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT: Isu-isu Pendidikan

Halaman

Showing posts with label Isu-isu Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Isu-isu Pendidikan. Show all posts

Hubungan agama dan negara


     


         




 Hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila sesungguhnya sudah final. Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Meski Indonesia memosikan agama pada tempat terhormat. Dengan demikian agama menjadi landasan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang secara khusus dinyatakan dalam sila ketuhanan yang maha esa.


Agama-agama di Indonesia diharapkan kontribusinya untuk pembangunan bangsa, demikian juga hal nya dalam bidang pendidikan. Untuk memberikan kontribusi maksimalnya agama-agama tidak boleh lengket dengan politik, agama tidak boleh membiarkan dirinya dikooptasi oleh kekuatan politik tertentu. Agamaisasi politik, atau politisasi agama keduanya akan merugikan agama itu sendiri.



Pemisahan Agama dan Negara.

Meskipun agama dan negara adalah dua entitas yang terpisah dan berbeda, namun pemisahan mutlak di antara keduanya, tidak mungkin dilakukan. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, agama dan negara sebenarnya “disatukan dan diintegrasikan di dalam diri setiap individu.” Setiap individu pada saat yang sama adalah warga dari negara dan juga anggota lembaga agama. Setiap orang adalah, makhluk religius dan politik pada saat yang sama. jadi ide pemisahan mutlak dari perspektif agama sebagai “organisme” tetapi bukan sebagai “lembaga,” dari sudut pandang anggota lembaga agama yang pada saat yang sama adalah warga negara dan mungkin penguasa.

Kedua, penolakan  terhadap ide pemisahan mutlak didasarkan pada keyakinannya bahwa selalu ada “karakter religius” di dalam negara dan “dimensi politik” di dalam agama. Mengenai hal ini Mark Juergensmeyer di dalam bukunya, The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State,  telah berhasil menegaskan argumentasi ini. Darmaputera setuju dengan Juergensmeyer bahwa salah satu kesalahan besar dari nasionalisme sekuler adalah penegasannya bahwa politik bisa menyingkirkan agama. Dengan mengklaim bahwa politik bisa menyingkirkan agama, nasionalisme sekuler telah menyebabkan serangan balik yang diwakili oleh nasionalisme religius.Tidaklah mengherankan bahwa kaum nasionalis religius dipersatukan, di dalam istilah Juergensmeyer, “oleh musuh bersama – nasionalisme sekuler Barat – dan harapan yang sama bagi kebangkitan agama di dalam ruang publik.” Dengan demikian agama tidak bisa dipisahkan dari politik.

Juergensmeyer telah membuktikan bukan saja aspek politik dari agama, tetapi juga karakter religius dari negara. Nasionalisme sekuler, menurut Juergensmeyer, merupakan sejenis agama karena ia meliputi “doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial.”Garis antara nasionalisme sekuler dan agama selalu sangat tipis.

Dengan demikian ideologi-ideologi sekuler sama sekali tidak sekuler. Setiap ideologi, sebenarnya berfungsi sebagai “supra-agama, agama-sipil, atau agama-semu.” Dengan demikian, “politik murni” atau “agama murni” tidak pernah ada di dalam realitas. “Persimpangan” antara kedua entitas ini menimbulkan pertanyaan dasar, Bagaimana keduanya harus dihubungkan sedemikian rupa sehingga agama bisa melaksanakan tanggung jawab politisnya, dan negara melaksanakan tanggung jawab religiusnya, tanpa melanggar otonomi dan integritas masing-masing. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat relevan bagi Indonesia.

Di dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah satu-satunya alternatif yang paling baik jika Indonesia ingin menjaga kesatuan dan keberagamannya. Menurut Pancasila, agama dan negara tidak boleh sepenuhnya dilebur, atau dipisahkan secara mutlak. Di dalam berhubungan dengan dua ideologi yang berkonflik di antara bapak-bapak pendiri bangsa tahun 1945 – apakah Indonesia Merdeka akan didasarkan pada “dasar sekuler” dimana agama secara mutlak dipisahkan dari negara, atau, apakah akan didirikan atas “dasar agama” dimana negara diatur berdasarkan agama – solusi yang ditawarkan oleh Pancasila adalah bahwa Indonesia tidak akan menjadi negara sekuler atau negara agama.

Pemisahan agama yang ketat dari negara, yang merupakan tanda cara berpikir Barat, tidak cocok bagi Indonesia yang sangat religius. Posisi agama yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan pilihan negara sekuler sangat tidak mungkin.

 

Peran penting agama dalam pendidikan.


Agama memiliki peran pemersatu, dan agama juga harus diakui memiliki peran penting di dalam pendidikan. Mengutip apa yang dikatakan Paulo Freire, 

“Setiap proyek pendidikan bersifat politis dan penuh ideologi.Masalahnya adalah untukkepentingan atau menentang kepentingan siapa politik pendidikan itu diarahkan.”  

Pendidikan nasional Indonesia kehilangan arah, karena tidak konsistennya elit di negeri ini untuk berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 45. 

Politik pendidikan nasional belum diarahkan pada kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, dan masih melayani kepentingan tertentu. Itulah sebabnya nasionalisme Indonesia terus tergerus. 

Apabila pemerintah konsisiten berpegang pada Pancasila maka agama-agama yang ada di Indonesia dapat memberikan kontribusi positifnya dalam membangun pendidikan nasional Indonesia dalam bingkai Pancasila dan semangat bhinekatunggal ika.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

http://www.binsarinstitute.com/2020/08/hubungan-agama-dan-negara-dalam.html

Guru, Pendidik professional


 



 

Guru sebagai jabatan profesional bukan hal yang baru, di negara-negara maju, seperti AS dan Jerman, yang menjadikan sekolah sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan mengarahkannya sesuai dengan kemampuan dasar; bakat, dan minatnya, telah lama menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional yang pendidikannya setara dengan pendidikan jabatan profesional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.

Hubungan yang kuat antara guru dan peserta didik merupakan pusat proses pengajaran. 

Pengetahuan bisa diperoleh dalam berbagai cara, apalagi dengan penggunaan teknologi baru di dalam kelas yang telah terbukti efektif. 

Namun, untuk sebagian besar peserta didik, terutama mereka yang belum menguasai keterampilan berpikir dan belajar, guru tetap menjadi katalis penting. 

Demikian juga hal nya dalam kapasitas penelitian independen, kapasitas ini hanya mungkin setelah terjadi interaksi dengan guru atau mentor intelektual. 

Peran guru dalam keberhasilan proses pendidikan sesungguhnya amat krusial, apalagi pada tahap awal pendidikan dimana citra diri pelajar terbentuk. Tuntutan terhadap guru semakin tinggi pada  pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah tertinggal, kemampuan guru untuk memotivasi pelajar untuk hadir di sekolah amat penting untuk pelaksanaan wajib belajar yang dicanangkan pemerintah. 


https://www.joyinmyworld.com/2020/07/guru-pendidik-professional.html

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi




  Flower of the Month Club EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA

DI PERGURUAN TINGGI

 

Binsar Antoni Hutabarat

 

 

Abstrak: Artikel yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Penerapan Kerangka Kualifikasi nasional Indonesia (KKNI) di Perguruan Tinggi” ini fokus pada bagaimana penerapan KKNI telah dilaksanakan di perguruan tinggi. Sampai sejauh ini belum ada penelitian terkait evaluasi kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi. Penelitian ini dilakukan di tiga universitas di Jakarta dan Tangerang. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, pemberian kuesioner dan observasi dokumen, serta beragam sumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa  penerapan kebijakan KKNI dipengaruhi komponen Rumusan Kebijakan, Karakteristik Pelaksana,  Sikap Pelaksana, Aktivitas Implementasi yang memiliki hubungan linier terhadap hasil kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi. Tujuan kebijakan KKNI untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia melalui peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan.  

 

Kata kunci. Kebijakan publik, evaluasi kebijakan, kerangka kualifikasi nasional Indonesia.

 

 

Indonesia saat ini menghadapi berbagai persaingan global dalam bidang pendidikan tinggi seiring dengan bergulirnya globalisasi dalam segala bidang kehidupan. Pendidikan tinggi di Indonesia memasuki sebuah dekade baru setelah pemerintah Indonesia meratifikasi beberapa perjanjian dan komitmen global. Dalam konteks ASEAN, sejak tanggal 31 Desember 2015 adalah era dimulainya Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), mulai 1 januari 2016, bukan hanya barang yang dapat bergerak bebas diantara ke-10 negara anggota ASEAN, melainkan juga tenaga kerja, antara lain perawat, arsitek, dokter dan akuntan (Sailah,  2014)

Kondisi persaingan global dalam area pendidikan secara khusus direspon oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan meluncurkan sebuah kajian yang dituangkan dalam booklet tentang  Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang berisi tentang implikasi dan strategi implementasi KKNI (2010/2011), untuk menjawab tantangan pendidikan pada era global, yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) pada Tahun 2012. Petunjuk pelaksanaan kebijakan penerapan KKNI di tuangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 73 Tahun 2013.

Fokus penelitian ini adalah pada bagaimana penerapan KKNI telah dilaksanakan di perguruan tinggi, dan apakah pelaksanaannya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Untuk lebih operasional fokus tersebut diturunkan dalam beberapa pertanyaan masalah: 1. Apakah struktur dan rumusan kebijakan KKNI ini merupakan alternatif kebijakan yang tepat bagi perguruan tinggi di Indonesia dalam menghadapi tantangan global saat ini. 2. Apakah kebijakan penerapan KKNI dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi di Indonesia yang amat beragam? 3. Apakah intervensi pemerintah terhadap perguruan tinggi melalui kebijakan penerapan KKNI berhasil meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia?

Istilah “kebijakan publik” yang dimaksud dalam kajian ini adalah keputusan yang dibuat pemerintah sebagai strategi merealisasikan tujuan sebuah negara (Tilaar dan Nugroho, 2009). Menurut Thomas R Dye, Pusat perhatian kebijakan publik  tidak hanya pada apa yang dilakukan pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah (Dye, 1978., Wahab, 2008).

Model perumusan kebijakan publik ini memiliki banyak model, bergantung pada sistem kekuasaan (Dunn, 2003). Pada umumnya model-model perumusan kebijakan publik itu dapat dibagi menjadi dua tipologi model, yaitu model proses (berdasarkan tahapan pembuatan kebijakan), dan model kekuasaan (power), yaitu pembuatan keputusan kebijakan dibentuk dan ditentukan oleh struktur kekuasaan (Parsons, 2006).

Sebuah kebijakan publik yang unggul haruslah dapat diimplementasikan, kebijakan publik yang tidak dapat diimplementasikan bukanlah kebijakan publik yang unggul. Model implementasi kebijakan publik ini. terbagi  dalam tiga model, yaitu model rasional atas-bawah (top down), model rasional bawah-atas (bottom-up) dan model teori-teori  sintesis (hybrid theories) (Parson, 2006). Model atas-bawah menekankan terutama pada kemampuan pembuat keputusan  untuk menghasilkan tujuan kebijakan yang tegas dan pada pengendalian tahap implementasi. model bawah-atas adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus (Frank, et al.,  2015).

Kajian evaluasi kebijakan ini didasarkan pada pemahaman bahwa evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada setiap tahapan kebijakan Evaluasi kebijakan dapat dibedakan menjadi evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan, untuk kemudian menilai hasil atau dampak dari pelaksanaan sebuah kebijakan (Nugroho, 2006).

Kerangka kualifikasi nasional bukan hanya ada di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia. Kualifikasi capaian pembelajaran (learning outcome) secara nasional dan internasional ini yang membedakan dengan kualifikasi yang pernah ada (Chakroun, 2010). Kerangka kualifikasi nasional dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengkualifikasikan level-level pendidikan yang berbeda dan membandingkannya baik secara nasional maupun internasional dengan cara yang memungkinkan. Jadi, kerangka kualifikasi nasional ini merupakan instrumen penting untuk perguruan tinggi (Maruk, 2000). Secara umum kerangka kualifikasi dapat didefinisikan sebagai deskripsi sistematis kualifikasi suatu sistem pendidikan (Heron Gavin & Pam Green Lister, 2014). Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin untuk mengklaim bahwa setiap negara memiliki kerangka kualifikasi nasional (Spûdytë, et al., 2006).

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) ditetapkan dalam Peraturan Presiden yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006, dan memiliki tujuan yang sama sebagai kerangka penjenjangan. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 Pasal 1 menerangkan, “Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.

Untuk mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan penerapan KKNI kajian ini menggunakan Model Evaluasi CIPP (Context   Input   Process   Product) (Stutfflebeam, 2014). Stufflebeam adalah seorang yang sangat berpengaruh  memajukan konsep evaluasi ini. Di antara empat komponen ini, unsur “konteks” berfokus pada pertanyaan, Apa tujuan program? Apakah tujuan program itu mencerminkan kebutuhan peserta, dalam hal ini perguruan tinggi yang menjadi sasaran kebijakan penerapan KKNI (Frank Fisher et al., 2015).

Penelitian evaluasi kebijakan memerlukan kriteria, atau rumusan tentang keadaan yang ingin dicapai mengenai sesuatu yang direncanakan. Semakin kecil kesenjangan (gap) antara hasil implementasi dengan kriteria evaluasi, maka dapat dilihat indikator keberhasilan sebuah kebijakan. Kriteria evaluasi dalam tulisan ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2013 tentang penerapan KKNI bidang pendidikan Tinggi.

 

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode qualitatif ini digunakan dengan alasan karena masalah-masalah penelitian perlu di gali untuk mendapatkan sebuah pengertian yang mendalam (Cresswell, 2012). Lebih jauh Creswell menjelaskan: This exploration is needed, in turn, because of a need to study a group of population, identify variable that can then be measured, or hear silenced voices.” (Creswell, 2007: 39-40).

Data kualitatif bisa berupa dokumen atau catatan dari interview, catatan observasi lapangan, hasil kuesioner, hasil foto, video, email dan hasil pertemuan dengan responden ( Patricia J. Rogers, Delwyn Goodrick, Qualitative Data Analysis, dalam Joseph S. Wholey, et.al., 429).

Data kualitatif ini memungkinkan pembaca mendapatkan pemahaman yang melampaui angka-angka dan statistik inferensi (Wholey, et.al., 429). Teknik pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik kondisi yang alami, sumber data primer, dan teknik observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi (M Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, 2012). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian evaluasi ini adalah wawancara (interview) untuk mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari responden (Sugiyono, 2012). Teknik yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam (Sugiyono, 2012).

Teknik analisis data kualitatif secara tipikal mengikuti langkah-langkah pengumpulan data yang dikumpulkan kedalam kategori-kategori informasi yang disusun (John W. Cresswell and Vicki L. Plano Clark, 2007). Teknik pengumpulan data secara kualitatif menggunakan teknik triangulasi artinya pengumpulan data dilakukan secara terus-menerus sampai mendapatkan data  jenuh (Sugiyono, 2012).

Selanjutnya, mengenai teknik analisis data kualitatif ini dilakukan dengan menyusun data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sitematis agar temuan tersebut dapat menjadi bahan informasi. Analisis data dilakukan dengan mengorganisir data berupa informasi itu, menjabarkannya dalam unit-unit dengan melakukan sintesa, kemudian menyusun dalam pola, memilih yang penting untuk dipelajari, dan kemudian dibuat kesimpulan (Sugiyono, 2012). 

 

HASIL

Evaluasi Struktur dan Rumusan Kebijakan KKNI

Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang KKNI ini ditetapkan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah no 32 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, maka model rumusan kebijakan KKNI dalam peraturan Presiden ini bisa dikelompokkan ke dalam model inkremental, yakni model perumusan kebijakan yang  melihat kebijakan publik pada hakikatnya sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah di masa lampau. Jadi model inkremental  kebijakan hanya menghasilkan rumusan kebijakan berupa perubahan-perubahan  seperlunya (Wahab, 2008). Kelemahan kebijakan inkremental ini terlihat dari alasan yang mendasari digunakannya model ini, antara lain pembuat kebijakan tidak memiliki waktu, intelektualitas maupun biaya memadai untuk penelitian terhadap nilai-nilai yang merupakan landasan bagi perumusan kebijakan (Wibawa, 1994).

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat variasi pemahaman dosen terhadap kebijakan KKNI. Terdapat dosen yang mengungkapkan bahwa isi kebijakan KKNI itu masih menjadi sesuatu yang asing meski penetapan kebijakan KKNI itu telah berlangsung lama, yakni  sejak tahun  2012. Hal ini menunjukkan sosialisasi tentang KKNI belum berhasil menyatukan pemahaman pelaksana kebijakan tentang struktur, isi, landasan dan manfaat kebijakan penerapan KKNI.

Evaluasi Lingkungan Implementasi Kebijakan

 Perguruan tinggi sebagai pelaksana penerapan kebijakan KKNI memiliki karakteristik yang berbeda-beda, karena itu perguruan tinggi yang berbeda tersebut melaksanakan kebijakan penerapan KKNI dengan cara yang berbeda bergantung dengan input yang tersedia.

lingkungan eksternal kebijakan perguruan tinggi di Indonesia terkait dengan era global menjelaskan bahwa perguruan tinggi di Indonesia sedang menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk bertahan dalam persaingan global. Era keterbukaan itu bagi pendidikan tinggi yang bermutu dapat memanfaatkannya untuk menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi. Namun, kondisi persaingan global itu sekaligus juga menjadi ancaman bagi pendidikan tinggi dengan mutu rendah, dan pada umumnya mutu pendidikan di Indonesia masih rendah dilihat dari tingkat akreditasi isntitusi perguruan tinggi yang sebagian besar terakreditas C dan belum terakreditasi.

Melihat kodisi perguruan tinggi yang sedang menghadapi ancaman pendidikan era global itu, seharusnya kebijakan KKNI dapat menjadi alternatif kebijakan untuk mengatasi ancaman pendidikan era global. Namun, temuan data menyatakan belum belum semua pendidikan tinggi setuju bahwa kebijakan penerapan KKNI sesuai dengan tujuan dan sasaran pendidikan tinggi.

 

Evaluasi Penerapan KKNI di Perguruan Tinggi

Hasil kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan yang ditetapkan. Belum maksimalnya penerapan kebijakan KKNI ini tepat seperti yang dikatakan Parsons, sebuah kebijakan dinilai dari segi pembuat kebijakannya ketimbang dari segi implementasi dari para pembuat kebijakan lokal dan nasional (Parsons, 2006). Penerapan kebijakan KKNI ini masih melandasi perumusan dan implementasi kebijakan, seperti apa yang dikatakan Parsons, mengutip Emile karya Rousseau, segala sesuatu adalah baik, jika dirahkan ke tangan pencipta. Segala sesuatu buruk di tangan manusia (Parson, 2006). Itulah sebabnya, penerapan KKNI bergantung pada kontrol pemerintah, sebagaimana layaknya, model atas-bawah. Di mana Implementasi kebijakan mulai dengan keputusan yang dibuat pemerintah pusat.  Model atas-bawah ini menunjukkan bahwa studi ini di dasarkan pada “model kotak hitam” Proses kebijakan yang terinspirasi oleh analisis sistem (Parsons, 2006).

Tanpa implementasi, kebijakan-kebijakan hanya berupa impian atau rencana yang tersimpan dalam arsip (Lembaga Administrasi Negara, 2008). Berdasarkan kondisi di atas sesuai dengan temuan data,  pada masa penerapan KKNI  belum disertai sanksi, belum semua perguruan tinggi mempunyai komitmen untuk menerapkan KKNI, setidaknya itu terlihat dari belum tersedianya produk yang diharapkan dari hasil penerapan kenijakan KKNI, apalagi tujuan kebijakan KKNI itu sendiri belum dianggap menjadi tujuan pendidikan tinggi.

Kinerja pelaksanaan penerapan KKNI berdasarkan temuan penelitian dipengaruhi faktor-faktor penting yang mempengaruhi penerapan KKNI di perguruan tinggi yang tidak tersedia dengan cukup  dan konsisten. Masih adanya dosen yang belum memahami kebijakan KKNI dan adanya variasi pemahaman terhadap kebijakan KKNI membuktikan bahwa kurangnya pemahaman terhadap kebijakan KKNI, tujuan serta manfaat kebijakan penerapan KKNI, realitas tersebut menurut temuan data mempengaruhi komitmen dosen dan perguruan tinggi untuk menerapkan KKNI. Faktor komunikasi pemerintah dan perguruan tinggi yang belum berjalan dengan cukup baik.

Evaluasi Hasil Penerapan Kebijakan KKNI

Menilai pelaksanaan kebijakan penerapan KKNI dalam hal ini berarti menilai hasil dari kebijakan penerapan KKNI. Berdasarkan data wawancara dan kuesioner terlihat bahwa tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan. Kebijakan penerapan KKNI  berdasarkan data wawancara belum sesuai dengan harapan dari tujuan dan sasaran kebijakan KKNI, yakni untuk meningkatkan kualitas luaran perguruan tinggi, dan mendekatkan luaran perguruan tinggi dengan dunia kerja. Berdasarkan data wawancara ditemukan bahwa peningkatan kualitas produk kurikulum perguruan tinggi belum sesuai dengan yang diharapkan, ini terjadi karena kompetensi dosen belum mendukung pelaksanaan kebijakan penerapan KKNI.  Demikian juga dengan sikap pelaksana yang dipengaruhi oleh kompetensi dosen dan sumber daya lainnya, akibatnya output yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Temuan data mengenai produk kurikulum mengacu KKNI belum semua dosen menyetujui bahwa penerapan KKNI  memenuhi harapan sebagai acuan kualifikasi yang dapat menyetarakan lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Faktor-faktor yang dibutuhkan untuk dapat membuat penyetaraan pendidikan formal dan informal tidak tersedia dengan cukup. Jadi produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan input yang diharapkan.

Melihat kerja sama antar institusi pelaksana yang belum berjalan sesuai dengan harapan, dan belum semua program studi memiliki asosiasi program studi sejenis, dengan sendirinya hasil yang di dapat tidak sesuai dengan harapan. Laporan data mengenai pemahaman dosen dan perguruan tinggi terhadap tujuan dan sasaran kebijakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui lulusan perguruan tinggi di mana belum semua perguruan tinggi memenuhi kompetensi sesuai dengan kriteria berakibat, tujuan dan sasaran penerapan kebijakan KKNI belum sesuai dengan harapan.

 

PEMBAHASAN

Kebijakan KKNI Merupakan Produk Elite

Perumusan kebijakan KKNI mengikuti model campuran, yakni  antara model elite, model rasional dan model publik. Model elite lebih dominan dibandingka kedua model lain. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kebijakan ini “merupakan produk elite, dan bisa dikatakan merefleksikan nilai-nilai elite untuk penguatan kepentingan-kepentingan elite (Winarno, 2007).

Berdasarkan proses perumusannya, dapat diketahui bahwa kebijakan KKNI merupakan hasil interaksi di antara institusi-institusi negara, seperti layaknya jenis kebijakan Kontinentalis. Berbeda dengan kebijakan Anglo-saxon yang memahami kebijakan publik sebagai turunan politik demokrasi, dan melihat kebijakan publik sebagai sebuah interaksi antara negara rakyat atau publik (Nugroho, 2009). Dengan demikian dapat dipahami bahwa model perumusan kebijakan KKNI yang elitis, inkrementalis ini, tidak sesuai dengan konstitusi negeri ini yang menetapkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Mestinya model rumusan pendidikan sebuah negara demokratis seperti Indonesia mengadopsi model kebijakan publik yang demokratis. Perumusan kebijakan KKNI yang elitis ini kurang memperhatikan bahwa suatu kebijakan yang dipandang baik oleh pemerintah, boleh jadi tidak baik bagi kalangan perguruan  tinggi. Keberhasilan kebijakan sesungguhnya terkait erat dengan strategi kebijakan yang tepat, yang mampu mengakomodasi berbagai pandangan serta kepentingan yang beragam (Abidin, 2016).

 

Kebijakan KKNI Bertentangan dengan Otonomi Pendidikan Tinggi

 Secara rasional, sulit dipahami bagaimana pemerintah bisa merasa lebih tahu, bahwa solusi terbaik untuk menjadikan perguruan tinggi lebih berkualitas ada  pada birokrasi, padahal aktor-aktor diperguruan tinggi sesungguhnyalah yang lebih paham perihal bagaimana menjadikan perguruan tinggi dapat menghasilkan luaran perguruan tinggi yang berkualitas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.  Itulah sebabnya, Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi pasal 22 ayat 1 menetapkan, bahwa  Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi.

Otonomi pengelolaan perguruan tinggi antara lain adalah otonomi di bidang akademik, yakni dalam hal penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi perguruan tinggi tersebut jelaslah, bahwa Peraturan Presiden tentang kebijakan KKNI bertentangan dengan otonomi perguruan tinggi.

Kebijakan KKNI Belum Memperhatikan Kebutuhan Perguruan Tinggi  

Kebijakan penerapan KKNI telah menimbulkan kontroversi. Salah satu alasan dari kelompok yang menolak kebijakan penerapan KKNI yang bertujuan mengintegrasikan luaran pendidikan tinggi dan dunia kerja adalah adanya kekuatiran seperti yang dikatakan Tilaar, Pendidikan tinggi akan kehilangan kekuatan moralnya oleh karena fungsinya terutama untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan perkembangan industri semata-mata (Tilaar, 2005). Kontroversi tentang hal tersebut terlihat pada penggunaan istilah “kompetensi”. Pada sistem pelatihan kerja digunakan istilah, kompetensi kerja, dan kata kompetensi ini juga digunakan untuk kompetensi lulusan. Berdasarkan buku Panduan Penyusunan Kurikulum yang mengacu pada permendikti 2015 dikatakan, bahwa, kompetensi kerja, berbeda dengan “kemampuan lulusan”, kemampuan lulusan tidak tepat menggunakan kompetensi lulusan, karena kompetensi adalah bagian dari kemampuan lulusan. Penggunaan istilah “kemampuan lulusan” untuk menggantikan “kompetensi lulusan” untuk luaran pendidikan tinggi tampaknya sebagai sebuah klarifikasi terhadap kontroversi pemaknaan kompetensi kerja. Istilah “kompetensi lulusan” melahirkan pandangan bahwa visi, misi institusi pendidikan di reduksi hanya untuk menjadi pemasok tenaga kerja. Pendidikan tinggi dijadikan arena pengembangan sikap persaingan tuntutan dunia industri. Motif persaingan menjadi motor untuk meningkatkan kualitas tanpa mementingkan pertimbangan-pertimbangan moral. Itulah sebabnya tidak ada korelasi antara output pendidikan tinggi dengan perbaikan moral di dalam masyarakat. Output pendidikan tinggi semakin besar, namun korupsi dan nepotisme semakin besar (Tilaar, 2005).

Strategi Bottom-up

Rumusan kebijakan KKNI semestinya mudah dipahami oleh pendidikan tinggi jika perumusannya melibatkan perguruan tinggi (model pilihan publik), dan sebelum rumusan itu ditetapkan, sosialisasi terhadap rumusan kebijakan KKNI telah dilakukan pada setiap perguruan tinggi dengan alokasi waktu yang memadai. Pemerintah selayaknya memberi kesempatan perguruan tinggi memberikan revisi-revisi agar kebijakan KKNI dapat diterapkan di perguruan tinggi, karena persoalan pengelolaan pendidikan tinggi, yang lebih memahami adalah aktor-aktor yang berada di perguruan tinggi. Hal itu sesuai dengan otonomi perguruan tinggi yang juga telah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah tentang pengelolaan pendidikan tinggi. Karena itu dalam hal penerapan KKNI di perguruan tinggi cara yang lebih tepat adalah model atas bawah (bottom-up), peran pemerintah lebih kepada memfasilitasi kebutuhan perguruan tinggi dalam hal penerapan KKNI. Pendekatan atas-bawah berarti pemerintah memberikan kesempatan yang lebih luas untuk perguruan tinggi menerapkan KKNI (Frank, et al., 2015).

KKNI Sebagai Petunjuk Pelaksanaan

Isi peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang KKNI, hanya memuat hal-hal yang sedikit berbeda dengan ketentuan KKNI dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Kerja Nasional. Perbedaan utamanya hanyalah, jika pada peraturan sistem kerja nasional KKNI ditetapkan sebagai kualifikasi untuk lulusan pelatihan kerja, maka dalam Peraturan Presiden KKNI mencakup kualifikasi kompetensi lulusan untuk semua jenis pendidikan, baik itu pelatihan kerja (pendidikan nonformal), pendidikan formal, dan pendidikan Informal.

Untuk menyelaraskan dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi secara khusus terkait dengan otonomi perguruan tinggi, maka penerapan KKNI di perguruan tinggi tepatnya dalam bentuk petunjuk pelaksanaan, di mana penerapannya diberikan kesempatan yang lebih luas pada perguruan tinggi.

 

 

KESIMPULAN

Kebijakan KKNI yang perumusannya bersifat inkremental dan elitis belum berhasil disosialisasikan pada semua dosen dan pengelola perguruan tinggi. Belum semua dosen memahami dengan baik isi, landasan, manfaat, tujuan dan sasaran kebijakan KKNI.    

Kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui lulusan perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan karena karena tidak tersedianya sumber daya manusia, dan dan akses informasi. Pengaruh lainnya adalah kurangnya kerja sama antarpelaksana penerapan KKNI, demikian juga kerjasama antar lembaga-lembaga lain yang memiliki pengaruh terhadap peningkatan kualitas perguruan tinggi. Hal ini antara lain disebabkan karena kebijakan KKNI bertentangan dengan otonomi perguruan tinggi.

Kondisi perguruan tinggi di Indonesia yang beragam, dan tidak tersedianya faktor-faktor sumber daya yang dibutuhkan mempengaruhi sikap pelaksana yang akhirnya mempengaruhi hasil penerapan KKNI di perguruan tinggi. Ditambah lagi, kebijakan KKNI belum memperhatikan kebutuhan perguruan tinggi di Indonesia yang sedang menghadapi ancaman persaingan global dalam bidang pendidikan tinggi.

REKOMENDASI

Penerapan KKNI di perguruan tinggi di rekomendasikan untuk  dilanjutkan dengan perbaikan, yakni dengan memperhatikan otonomi perguruan tinggi. Karena itu penerapan KKNI diperguruan tinggi harus tetap menghargai Visi, Misi perguruan tinggi yang tidak hanya menjadi pemasok tenaga kerja. Acuan KKNI sebagai kualifikasi lulusan perguruan tinggi harus tetap terbuka pada perkembangan ilmu pengetahuan, dan penyetaraan antara dunia kerja dan dunia pendidikan diserahkan kepada perguruan tinggi dengan otonominya, untuk kemudian menyediakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi kinerja penerapan KKNI di perguruan tinggi. Penetapan batas waktu penerapan KKNI tidak perlu diberlakukan, dan pemerintah sebaiknya menempatkan diri sebagai fasilitator dengan dengan memberikan akses informasi yang cukup dan konsisten baik pada perguruan tinggi, maupun pengguna lulusan perguruan tinggi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abidin, Said Zainal. (2016), Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika.

 

Chakroun, Borhene. (2010), National Qualifikation Frameworks: from policy borrowing to policy lerning. European Journal of Education, 45 (2).

 

Creswell, John W, Vicki L. Plano Calrk. (207), London: Sage Publications.

 

Creswell, John W. (2012), Educational Research, Boston: Pearson.

 

Creswell, John W. (2007), Qualitatif Inquiry and Research Design, London: Sage Publications.

 

Dunn, William N. (2013)  Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University.

 

Dye, Thomas R. Understanding Public Policy.(1978). Florida: Euglewood Cliffs.

 

Frank Fisher, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. (2015) Handbook Analisis Kebijakan Publik. penerjemah Imam Baihaqie, Bandung: Nusa Media.

 

Ghony, M Djunaidi dan Fauzan Almanshur. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

 

Heron, Gavin, & Pam Green Lister. (2014), Influence of National Qualifications Frameworks in Conceptualising Feedback to Students, Social Work Education, 33 (4).  

 

Lembaga Administrasi Negara. (2008), Analisis Kebijakan Publik. Jakarta.

 

Marliyah, Lili. (2015), Analisis Kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Majalah Ilmiah Pawayitan, 22 (1).

 

Maruk C. Van Der Wend. (2000) The Bologna Declaration: Enhancing the Transparency and Competitiveness of European Higher Education, Higher Education in Europe, XXV (3).

 

 

Nugroho, Riant. (2006), Kebijakan Publik. Jakarta: PT Gramedia.

 

Nugroho, Riant. (2009), Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

 

Parsons, Wayne. (2006). Public Policy. Jakarta: Kencana.

 

Sailah, Illah.dkk, (2014). Buku Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Spûdytë, Irma. Saulius Vengris, Mindaugas Misiûnas. (2006). Qualification of Higher Education in The national Qualification Framework. Vocational education: Research and reality.

 

Stufflebeam, Daniel L. Chris L. S. Coryn. (2014). Evaluation, Theory, Models, and Aplications. New York: Josse-Bass.

 

Tilaar, H.A.R. dan Riant Nugroho. (2008), Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

 

Tilaar, H.A.R. (2005), Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas.

 

Wahab, Abdul Solichin. (2008). Pengantar Analisis Kebijakan. Malang: UMM Press.

 

Wibawa, Samodra. (1994), Kebijakan Publik. Jakarta: Intermedia.

 

Wholey, Joseph S. (2010). Handbook of Practical Program Evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass.

 

Widodo, Joko. (2006) Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media.

 

Winarno, Budi. (2007), Kebijakan Publik: Teori, Proses, Kasus. Jakarta: Center of Academic Publishing Serivice.

 

Maruk C. Van Der Wend. (2000) The Bologna Declaration: Enhancing the Transparency and Competitiveness of European Higher Education, Higher Education in Europe, XXV (3).

 

 https://www.joyinmyworld.com/2021/01/kerangka-kualifikasi-nasional-indonesia.html

Flower of the Month Club