google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT: Agama dan masyarakat

Halaman

Showing posts with label Agama dan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label Agama dan masyarakat. Show all posts

Etika Global


 

Etika Global

Hidup bersama selalu saja menghadirkan persoalan, meski pada saat bersamaan juga menghadirkan kebaikan bersama. 


Bagaimanakah dalam keterbatasan manusia, relasi antar sesama itu bisa menghadirkan kebaikan, dan kedamaian bersama. 


Mungkinkah sebuah etika global dapat mewujud dalam hidup bersama manusia yang terbatas itu?


Berbicara terkait etika global, bisa jadi kita hanya akan terjebak pada sebuah mimpi indah, yaitu mimpi tentang kedamaian antarsesama manusia yang tak mungkin mewujud. Kita hanya berandai-andai, jika ada aturan bersama, dan semua individu mengikuti aturan itu, surga tentu akan hadir di bumi ini.


Mimpi indah itu juga diutarakan kaum yang percaya akan keadilan pasar. Pemerintah tidak boleh campur pada urusan pasar, dan pasar akan punya keadilan pasar, Seperti kata Smith, ada tangan Tuhan yang mengendalikan pasar. 


Nyatanya, negara maju terus maju, dan negara miskin tetap merana. Mereka yang  kaya bisa lebih mudah menumpuk kekayaan yang jauh lebih besar lagi, sedang mereka yang miskin terseok-seok keluar dari kemiskinan. Pasar sesungguhnya tak memiliki keadilan. Pasar tak mungkin mewujudkan etika global yang dapat diataati bersama.


Dunia bisnis tak pernah menghadirkan keadilan, mesti ada aturan yang berada di atasnya untuk mengatur, tapi, dunia bisnia tak akan peduli dengan aturan itu, kecuali aturan itu bisa mempertahankan dan mengembangkan para pebisnis itu. Istilah “win-win solution”sebenarnya hanya sebatas ungkapan kosong, seperti candu untuk membungkam mereka yang miskin.


Bagaimana dengan pemerintahan bangsa-bangsa? 

Lihat saja Myanmar, mereka yang berambisi untuk berkuasa tak pernah peduli dengan nasib rakyat. Berapa banyak nyawa rakyat yang dikorbankan untuk sebuah kekuasaan. 


Janji kesejahteraan untuk rakyat hanya slogan, politik hanya bisa dipuaskan dengan kekuasaan. Adakah etika bersama yang bisa mengaturnya?


Paradoks Global dan Lokal


Global dan lokal itu suatu paradoks, mendamaikannya tentu saja tidak mudah. Soekarno pernah berusaha mendamaikan internasionalisme dan nasionalisme, dengan kalimatnya yang tersohor, “Nasionalisme Indonesia harus bertumbuh dalam taman sarinya internasionalisme.”Maksudnya adalah jangan buang “Nasionalisme” dan jangan tidak peduli dengan “Internasionalisme.” jangan jadi metropolitanisme dan jangan jadi chauvinisme.


Menurut saya etika global dan lokal adalah sebuah paradoks, etika global tidak boleh menelan etika pada komunitas tertentu, demikian juga etika komunitas tertentu jangan tidak peduli dengan etika global. Berarti etika global mestinya suatu meta etika, yang mengacu pada prinsip-prinsip universal.


Persoalannya, dalam teori kebijakan dipahami bahwa batasan publik dan privat itu tidak memiliki batasan yang tegas. Artinya nilai-nilai privat bisa menjadi nilai-nilai publik, demikian juga nilai-nilai publik bisa jadi hanya sekadar nilai privat.


Deklarasi universal HAM yang diagungkan sebagai piagam mulia, saat ini menjadi polemik, dan tidak semua negara bisa menerimanya, ambil contoh, instrumen hak-hak azasi universal itu yang turunannya ada pada konvensi-konvensi, tidak semua negara meratifikasinya, artinya tidak semua negara bisa menerapkan etika global itu pada batas-batas negara mereka. 


Menurut saya, etika global itu bukan suatu kondisi tertentu, tapi sebuah pencapaian yang terus menerus berlangsung, etika global itu tidak pernah berhenti pada titik tertentu. Karena etika berbicara relasi antar manusia, maka sejatinya ketika global itu harus memanusiakan manusia. 


Manakala ada aturan yang tidak memanusiakan mansia, maka aturan itu perlu diperbaiki. Etika global itu bukan kitab suci, bukan sebuah standar absolut, meski etika global itu mesti mengacu pada yang absolud, dan yang basolut itu hanya Tuhan.


Memaknai Etika Global secara benar.


Sebuah etika global, adalah sebuah pencapaian umat manusia dalam bersama-sama mengambil keputusan bersama untuk kebaikan bersama. 


Etika global bukan produk orang cerdik pandai, meski keterlibatannya diperlukan, tapi kaum cerdik pandai itu tidak bisa menghasilkan etika global dari kepala mereka yang terbatas. 


Para cerdik pandai itu, juga tokoh-tokoh agama, jangan pernah merasa memiliki solusi tunggal untuk semua persoalan umat manusia. Sebaliknya, para cerdik pandai, tokoh agama perlu mengakui keterbatasannya, untuk saling mendengarkan dan kemudian menghasilkan aturan yang lebih baik untuk semua.


Jadi, Merumuskan sebuah etika global, seperti juga sebuah kebijakan publik perlu melibatkan semua pemangku kepentingan, dan tidak boleh seorangpun merasa paling tahu yang terbaik untuk semua. 


Karena itu saling mendengarkan dan menghargai keragaman pandangan perlu terus didengungkan untuk hadirnya sebuah etika yang menjadi jawaban bagi semua, meski itu sendiri tak pernah mencapai titik akhir.

http://www.binsarinstitute.com/2021/08/etika-global.html


Kebebasan dan Kerukunan Beragama









 Pada tes wawancara  seleksi tahap IV  calon Komisioner Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) 2012-2017  (tes psikologi, uji publik, wawancara), penulis sebagai salah seorang calon diminta menjelaskan pasal 28J ayat 2, UUD 1945, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Sebelum pertanyaan tersebut penulis mengungkapkan bahwa peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif tak sesuai dengan konstitusi negeri ini dan harus dicabut. Peraturan-peraturan yang diskriminatif  itu antara lain seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006, hasil revisi SKB 2 Menteri tahun 1969 yang kini dijadikan instrumen penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, dan juga HKBP Filadelfia, dan  hingga kini belum mendapatkan jalan keluar penyelesaian.

 

Peraturan-peraturan dan undang-undang yang diskriminatif di negeri ini seakan mendapatkan pembenaran konstitusi karena konstitusi menetapkan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan dengan undang-undang. Apabila pemerintah membuat pembatasan-pembatasan yang dituangkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan, meskipun itu terindikasi bersifat diskriminatif, ayat tersebut seakan mewajibkan agar setiap warga untuk tunduk kepada undang-undang atau peraturan-peraturan tersebut. Pembangkangan terhadap hal itu bisa dianggap melawan konstitusi.

 

 

 Pembatasan kebebasan

 

Apabila kebebasan memiliki pembatasan-pembatasan, masih bisakah kebebasan dimaknai sebagai kebebasan?

 

Kebebasan tanpa pembatasan hanya akan melahirkan republik “rimba”. Sebuah neraka dimana yang kuat bisa bertindak sekehendak hatinya, dan yang lemah menjadi sasaran kebuasan yang kuat.

 

Kebebasan sesungguhnya  tak bisa dimaknai sebagai kondisi tanpa pembatasan. Karena dalam kebebasan tersebut ada sanksi yang diberikan bagi mereka yang melanggar hukum, yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara. Mereka yang melanggar hukum, meski dengan alasan kebebasan tetap harus dihukum, karena kebebasannya dipergunakan untuk membatasi kebebasan orang lain. Karena itu kebebasan tanpa pembatasan tak layak disebut kebebasan. Itu lebih layak disebut sebagai keliaran. Seperti layaknya berada dalam hutan belantara yang tak mengenal aturan hukum bersama.

 

Namun, pembatasan kebebasan haram hukumnya jika dilakukan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi, atau politik. Pembatasan kebebasan hanya layak jika itu dilakukan demi kebebasan itu sendiri, yaitu agar setiap orang memiliki kebebasan yang sama. Pembatasan-pembatasan itu diperlukan demi terciptanya kesamaan (equal liberty).

 

Dengan demikian jelaslah aturan-aturan yang bersifat diskriminatif yang digelontorkan di negeri ini  tak memiliki pijakannya dalam konstitusi, sebaliknya itu merupakan perlawanan terhadap konstitusi, karena itu harus direvisi agar sesuai dengan konstitusi,  atau dicabut.

 

Terciptanya kebebasan beragama sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah. Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan anti diskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama.

 

Pemerintah memang tidak perlu mengatur kehidupan internal agama, namun regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beraganma tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang  menjaminan kebebasan beragama dan anti diskriminasi agama. Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusip bagi perjumpaan agama-agama yang damai di ruang publik.

 

 

Kerukunan beragama

 

Umat beragama dapat memenuhi panggilannya untuk membangun kerukunan antarumat beragama secara optimal hanya apabila hak-hak umat beragama itu dipenuhi. Hak kebebasan menyembah Tuhan baik secara pribadi maupun secara berkelompok dalam hal ini adalah hak yang paling asasi dalam diri manusia, mengabaikan hak itu sama saja dengan menyangkali martabat kemanusiaan. Menurut Os Guiness, kebebasan hati nurani (freedom of conscience) merupakan hal yang amat penting dalam setiap masyarakat dan menjadi dasar bagi  kebebasan berbicara (freedom of speech), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly).

 

Pengakuan kebebasan beragama dan kebebasan hati nurani merupakan syarat utama bagi hadirnya saling pengertian bersama yang akan menjadi pengikat yang kuat dalam hubungan  antar anggota masyarakat, ini merupakan dasar yang amat penting bagi lahirnya kehidupan yang harmonis dalam sebuah masyarakat. 

 

Apabila seseorang dilarang untuk menyembah Tuhan baik secara perorangan maupun berkelompok, sebagaimana yang terjadi pada GKI Taman Yasmin dan HKBP Filadelfia, bagaimana mungkin umat beragama itu bisa hadir pada ruang publik secara medeka serta menghadirkan keharmonisan dalam hubungan dengan sesamanya.

 

Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan beragama melalui undang-undang mestinya bukanlah pembelengguan kebebasan beragama. Sebaliknya supaya semua agama-sgama di bumi Indonesia itu menikmati kebebasan yang sama. Karena itu inkonsistensi pemerintah dalam mentransformasi nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, setidaknya terindikasi dengan lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif terkait dengan keberadaan agama-agama, jelas tak mendapat pembenaran konstitusi.

 

Apabila pada waktu transformasi Pancasila  kedalam  perundang-undangan terjadi dominasi dan hegemoni agama, maka  perundang-undangan yang dihasilkan niscaya bertentangan dengan Pancasila yang inklusif dan nondiskriminatif.

 

Pemerintah mesti merenungkan apa yang dikatakan Trasymachus dan mewaspadainya, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Bila hukum menjadi kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat maka hukum pastilah menjauh dari keadilan. Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesuai dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal.

 

Pembuat undang-undang harus menjauh dari apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya. Lahirnya peraturan-peraturan yang diskriminatif di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan. Akibatnya peraturan dan undang-undang enggan bermesraan dengan keadilan.  

 

 

 

Binsar Antoni Hutabarat

 

Kerukunan Umat Beragama dalam Konteks Multikulturalisme

 







Flower of the Month Club THE ROLE OF NON-CIVIL SERVANT RELIGIOUS EXTENSION WORKERS FOSTER RELIGIOUS HARMONY IN THE CONTEXT OF MULTICULTURALISM

PERAN PENYULUH AGAMA NON PNS MEMBINA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM KONTEKS MULTIKULTURALISME






Widyaiswara (Balai Diklat Keagamaan

Papua). ymangapan@gmail.com


Yotan Manga’pan


ABSTRACTS

Implementation of Higher Order Thinking Skill (HOTS) in learning in schools / madrasahs is very necessary with the learning that was initially centered on teachers (teacher centered) turned into student centered. This study aims to determine the improvement of teachers'


ability to develop higher order thinking skill (HOTS) assessment instruments through Training Education activities in the Work Area (DDWK) held in Yapen Islands District. The research method used is descriptive qualitative method with data collection techniques through tests, performances, observations, documentation and interviews. The results of the research showed that the ability of teachers: (1) has been able to design planning and learning based on HOTS; (2) already skilled in selecting, utilizing and developing methods, models, media, learning resources that support HOTS-based learning objectives, (3) teachers are already skilled and understand the development and preparation of HOTS-based assessment. This is evidenced by several indicators, namely the increasing yield of the value of the task before the provision of material that shows an average score of 2.10 (sufficient criteria) to 2.83 (good criteria) after the provision of the material.


Keywords: assessment, Hots, enhancements, ability.



ABSTRAK

Peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Penulisan gagasan ini bertujuan: untuk mengetahui bagaimana pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme serta bagaimana peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Hasil kajian dari penulisan gagasan ini adalah (1) Penyuluh agama non PNS sebagai ujung tombak dalam pembinaan kerukunan umat beragama ternyata belum memiliki pemahaman yang benar terhadap materi multikulturalisme sebagai salah satu bahan dalam melaksanakan pembinaan kepada masyarakat binaannya. Sebagai bangsa yang majemuk Indonesia rawan akan terjadinya kerusuhan yang disulut oleh SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Sehingga perlu dikembangkan wawasan multikultural bagi penyuluh agama non PNS. (2) Penyuluh agama non PNS memiliki peran penting dan sangat dibutuhkan dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme baik itu sebagai Informatif/Edukatif, Konsultatif, dan Administratif.


Kata kunci: kerukunan umat beragama, multikulturalisme




A.PENDAHULUAN

1.Latar belakang

Kementerian Agama sebagai leading sector dalam pembangunan agama di Indonesia memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pembangunan bidang agama sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 2 Tahun


2010, yaitu: (1) Peningkatan kualitas kehidupan beragama; (2) Peningkatan kerukunan umat beragama; (3) Peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan; (4) Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dan; (5) Penciptaan tata kelola kepemerintahan yang


bersih dan berwibawa.

Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 dinyatakan “Penyiaran agama adalah segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran suatu agama” karena itu penyiaran agama harus dilaksanakan dengan etika, moral dan akhlak yang baik. Pelaksanaan penyiaran agama harus dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk dan melaksanakan ibadah menurut agamanya.

Dalam Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 defenisi rumah ibadah adalah bangunan yang memiliki ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara permanen dan tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Adapun pemanfaatan bangunan gedung bukan sebagai rumah ibadah, namun ada aturannya, misalnya adanya ijin pemanfaatan gedung maksimal lamanya dua tahun.

Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan


Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat dijabarkan pengertian kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pengertian dari kata rukun dan kerukunan adalah damai dan perdamaian. Bilamana kata kerukunan dipergunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti antar golongan atau antar bangsa, pengertian rukun ditafsirkan sesuai tujuan, kepentingan dan kebutuhan. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah kerukunan sementara, politis dan hakiki. Kerukunan sementara adalah kerukunan yang dituntut oleh situasi seperti menghadapi musuh bersama. Jika musuh yang dihadapi bersama sudah tidak ada, maka keadaan akan kembali seperti semula, yakni kembali berkonflik. Kerukunan politis adalah kerukunan dimana biasanya terjadi dalam keadaan peperangan yang kemudian untuk sementara waktu mengadakan perdamaian atau bersepakat untuk melakukan gencatan senjata sampai


waktu yang ditentukan. Sedangkan kerukunan hakiki adalah kerukunan yang didorong oleh kesadaran dan hasrat demi kepentingan bersama.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instansi vertikal, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.

Sesuai dengan tingkatannya Forum Kerukunan Umat Beragama (KUB) dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi organisasi masyarakat keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan.

Pembinaan kerukunan umat beragama di masyarakat dapat dilakukan dengan pemberdayaan forum kerukunan umat beragama. Forum ini dibentuk oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh pemerintah, memegang peranan penting


dalam rangka membangun, memelihara dan pemberdayaan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

Manusia dan agama adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan di dalam hidup dan kehidupan manusia. Agama memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup yang mengarahkan manusia pada kehidupan yang tertata. Dalam memandang nilai, dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan disudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme. Pada kedua nilai inilah agama membutuhkan proses dakwah oleh masing - masing penganutnya agar mencapai nilai yang menjadikan manusia mengenali Tuhannya dan mampu berhubungan harmonis dengan sesamanya manusia dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.

Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak


bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang. Oleh karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif, terus-menerus, tidak boleh berhenti. Dalam hal ini, penyuluh agama dan umat beragama dapat memberikan kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial terkait kerukunan umat beragama termasuk membantu mengatasi kemiskinan dan kebodohan.

Menjaga dan melestarikan kerukunan umat beragama merupakan bagian dari tugas penyuluh agama non PNS sebagai moderat dalam kehidupan sosial masyarakat melakukan pembinaan iman sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh kelompok binaan dimasyarakat. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujudkan dengan (1) saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama, (2) tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu, (3) melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan

(4) mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.

Hidup di era sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi kehidupan yang serba majemuk dalam segala bidang kehidupan. Semua keberanekaragaman ada


dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Dalam berpolitik misalnya adanya perbedaan partai, perbedaan sudut pandang dalam isu-isu nasional, maupun perbedaan falsafah dan ideologi yang dianut oleh masing-masing orang meskipun, di Indonesia sendiri sudah ada ideologi pemersatu yakni pancasila. Sedangkan dalam bidang sosial dan budaya adalah adanya perbedaan suku, etnik, adat- istiadat, norma, termasuk agama yang masing-masing dianut oleh warga negara Indonesia.

Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi dewasa ini semakin mempercepat arus interaksi antara satu dengan yang lainnya sehingga keberagaman pun tidak hanya dalam lingkup terbatas disekitar tempat tinggal akan tetapi juga dalam interaksi dengan orang lain pada media cetak maupun elektronik yang sekarang ini maju seperti jejaring sosial Facebook, WhatsApp, Twiter dan media social lainnya. Meskipun hanya melalui jejaring sosial, terkadang bisa timbul kekisruhan, percecokan dan saling lempar hujatan menjadi hal yang biasa. Seolah-olah di dalam dunia maya etika, toleransi dan prinsip hidup toleransi menjadi hal yang asing dan tidak berlaku.

Wacana teologi agama harus dikembangkan, terutama dalam merespon masalah sosial kemanusiaan. Sebagai akar teologis umat beragama, melahirkan dalil kuat


soal kemanusiaan akan menggerakkan umat beragama dalam merespon pentingnya toleransi, kemanusiaan, dan kepentingan dunia global. Maka kemudian muncul banyak istilah teologi yang berkembang dalam membaca wacana-wacana kekinian, yakni teologi pembebasan, teologi kemanusiaan, teologi sosial, teologi kiri dan sebagainya.

Multikulturalisme diungkapkan dalam berbagai kearifan lokal yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Semua suku di Indonesia memiliki kearifan lokal dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok, dengan sesama suku maupun dengan suku lain dalam kehidupan sosial- keagamaan, baik intern sesama penganut agama yang sama maupun ekstern antar penganut agama yang berbeda. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Berdasarkan sejarah agama-agama di Indonesia, corak kultural keagamaan masyarakat pribumi adalah kesantunan dan keluhuran budi. Sebelum Islam datang di Indonesia, agama-agama secara kultural telah membentuk pribadi yang berbudaya. Bukti dari kehidupan kultural rakyat pribumi bisa dirasakan hingga sekarang, seperti tradisi


sembahyang, gamelan, seni wayang, dan sebagainya. Melalui budaya demikian pribudi berbudi rakyat pribumi kental dengan nilai- nilai luhur berupa kerukunan dan kesantunan. Keberadaan masyarakat multikultural inilah yang menuntut kompetensi seorang penyuluh agama non PNS hendaknya memiliki strategi pembinaan kepada masyarakat yang ada di wilayah binaannya. Peran vital penyuluh agama non PNS untuk memberikan dan menanamkan pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran kepada binaannya. Selain berperan dalam internalisasi paham keagamaan yang tidak radikal dan literal, signifikansi peran penyuluh agama non PNS dalam menjaga atau memelihara kerukunan umat beragama juga dikarenakan adanya kedekatan dengan binaannya. Penyuluh agama non PNS tentunya punya pengaruh kuat untuk mengarahkan umat binaannya ke dalam suasana konflik atau rukun. Dengan demikian, kerukunan umat beragama di Indonesia akan sangat bergantung pada peran vital penyuluh agama non PNS sebagai filter terhadap sikap- sikap penuh kecurigaan dan permusuhan, khususnya di daerah-daerah yang memiliki tingkat segregasi sosial tinggi yang

didasarkan pada identitas agama.

2.Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi permasalahan adalah:


1.Masih banyak penyuluh agama non PNS yang belum memahami dengan benar tentang multkulturalisme

2.Para penyuluh agama non PNS belum menyadari dengan sungguh akan tugas pokok dan fungsinya

3.Masih banyak penyuluh agama non PNS belum mengambil perannya dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikuralisme di Indonesia secara benar.


3. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1.Bagaimana pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme?

2.Bagaimana peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.


4. Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1.Untuk mengetahui bagaimana pemahaman penyuluh non PNS tentang multikulturalisme.

2.

Untuk mengetahui peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.

5. Metode Penelitian

Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode deskriptif dengan studi kepustakaan.


B.KERANGKA TEORITIK

Multikulturalisme adalah istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman dan berbagai macam budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik yang dianut mereka. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memiliki perbedaan suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat.

Multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan cultural (tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (sub- kultur) yang terus bermunculan di setiap tahap


sejarah kehidupan masyarakat (Hendri Masduki, 2006:20).

Menurut J.S. Furnivall dalam Middya Boty (2017:4), masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik. Dalam masyarakat multikultur, setiap individu maupun masyarakat memiliki kebutuhan untuk diakui yang menuntut terciptanya penghargaan tertentu secara sosial. Selain itu menurut Suparlan (2002) multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Keanekaragaman dalam masyarakat menuntut hadirnya budaya politik yang sesuai, dalam hal ini yakni budaya demokrasi, sebab dalam budaya ini kepentingan kelompok, perbedaan budaya dan agama, serta kepentingan perempuan dapat diakomodir. Demokrasi dianggap sebagai budaya politik yang paling memadai dalam upaya membangun masyarakat yang multikultural, karena menghargai kebebasan dan kesetaraan.

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Dimana dengan adanya keberagaman mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan ditanggapi secara positif.


Pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme. Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

Sedangkan menurut S.T. Nugroho dalam Hendri Masduki (2016:21) secara deskriptif multikulturalisme dibedakan menjadi lima model penting yaitu: (1) Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain. (2) Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi- akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undangundang, hukum, dan ketentuan-ketentuan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa. (3) Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok- kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian


pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar. (4) Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif- perspektif khas mereka. (5) Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan- percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing- masing

Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep- konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai


budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM (Hak Asasi Manusia), hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memiliki perbedaan suku bangsa, bahasa, agama, dan adat-istiadat. Multikulturalisme berasal dari dua kata, multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua bagian manusia terhadap kehidupannya yang kemudian akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain- lain.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa membedakan perbedaan budaya, adat istiadat, etnis, gender, bahasa maupun agama, mengakui serta mengagungkan perbedaan tersebut dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Sehingga masyarakat multikultural dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal dan hidup


menetap di tempat yang memiliki karakteristik sendiri dan budaya yang mampu membedakan antar satu komunitas dengan komunitas yang lainnya sehingga setiap komunitas akan menghasilkan budaya masing-masing yang khas dalam masyarakat tersebut.

Originality

Banyak penelitian tentang pembinaan kerukunan umat beragama diantaranya Novianty, F. (2019) menekankan pada pembinaan masyarakat multikultural dalam meningkatkan kerukunan antar umat beragama. Selanjutnya pada penelitian lain yang dilakukan oleh Pepi, S. (2016 menekankan pd peran penyuluh agama dalam pengelolaan isu kerukunan antar umat beragama. Juga penelitian yang dilakukan oleh Kaharuddin, K., & Darwis, Muh. (2019) lebih menekankan pada gambaran keberagaman masyarakat dan peran FKUB dalam memelihara harmonisasi trilogi kerukunan beragama masyarakat Luwu Timur. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.


C.PEMBAHASAN

1)Pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme.

Bangsa Indonesia merupakan salah satu

contoh masyarakat yang multikultural.


Multikultural masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut apabila tidak dipelihara dengan baik bisa menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong menolong.

Agama bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk mencapai kebenaran, rahmat dan ridha Tuhan, sebagai seorang penganut agama, kita tidak boleh memaksakan kehendak akan keyakinan kepada orang lain, karena jalan mana yang benar kita belum bisa memastikan, kita sekedar baru meyakini bahwa jalan yang sedang kita tempuh adalah benar. Sehingga dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati pendirian terhadap keyakinan yang dianut oleh masing-masing orang, dan senantiasa membuka diri untuk membangun sebuah interaksi sosial yang sehat dan transformatif.

Masyarakat Indonesia bersifat multietnik, multireligius dan multiideologis. Kemajemukan tersebut menujukkan adanya berbagai unsur yang saling berinteraksi. Berbagai unsur ini merupakan benih-benih


yang dapat memperkaya khasanah budaya untuk membangun bangsa yang kuat, namun sebaliknya hal ini juga dapat memperlemah kekuatan bangsa dengan berbagai percekcokan serta perselisihan. Oleh karena itu proses hubungan sosial perlu diusahakan agar berjalan secara sentripetal, agar terjadi seperti semboyan perjuangan.

Dalam konteks Indonesia, corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan lagi hanya berkutat pada keanekaragaman suku bangsa, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah pandangan yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme dapat berkembang ketika didukung adanya toleransi dan kesediaan untuk saling menghargai.

Teologi dikenal oleh semua agama. Setiap agama memiliki penafsiran dan pemahaman ketuhanan yang berbeda. Secara pengertian, konsep teologisnya sama, setiap agama memiliki keyakinan ketuhanan, namun berbeda dalam hal praktik bahkan keyakinan. Sehingga banyak kita kenal dalam perkembangan agama-agama ada teologi Islam, teologi Kristen, teologi Hindu, dan sebagainya.


Perbedaan konsep teologi masing- masing agama ini sifatnya sensitif. Hal yang paling dasar dalam keyakinan umat beragama adalah konsep teologis. Seringnya terjadi benturan internal maupun eksternal umat beragama kebanyakan dipicu oleh adanya saling singgung soal hal-hal teologis. Dalam konsep pluralisme agama toleransi mestinya yang paling utama adalah mengedepankan kepentingan sosial kemasyarakatan, bukan atas keyakinan. Karena jelas bahwa konsep teologisnya berbeda dan tidak akan pernah bisa bertemu. Dalam melahirkan kerukunan umat beragama harus mengedepankan hubungan dan kepentingan bersama dalam tujuan-tujuan sosial.

Adanya dugaan demi dugaan penistaan agama yang tengah terjadi biasanya dipicu oleh hal-hal teologis semacam ini. Jika urusan keyakinan disinggung meskipun kecil, luapan emosi dan amarah, tidak hanya individu bahkan secara kolektif bergerak melakukan pembelaan atas nama agama. Pemicu ini karena sensitifnya keyakinan beragama pada setiap agama. Maka dari itu, dalam membangun toleransi dalam kemajemukan beragama mesti mengedepankan dasar-dasar sosial kemanusiaan, keramahan, dan juga kesantunan.

Gus Dur sangat kritis terhadap kelompok-kelompok agama yang cenderung “bar-bar”, beragama dengan kata-kata suci


namun sikapnya bengis dan kejam. Inilah yang menurutnya cara pandang ketuhanan yang sesat, karena konsep teologisnya masih teosentris bukan antroposentris. Bagi Gus Dur, Tuhan tidak perlu apa-apa, termasuk pembelaan, meskipun tidak menolak untuk dibela. Tuhan tidak akan pernah berkurang sedikitpun atas apa saja ulah dan sikap makhluknya. Karena itu Tuhan tidak perlu dibela, yang wajib dibela adalah kemanusiaan, penindasan kaum minoritas, dan sebagainya.

Munculnya konflik internal agama, bahkan eksternal hingga menganggu stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara adalah karena lemahnya dan kurangnya pembinaan serta bimbingan yang dilakukan oleh tokoh- tokoh agama maupun oleh pemerintah sendiri dalam hal ini oleh Kementerian Agama melalui para penyuluh agama yg diangkat baik PNS maupun non PNS. Untuk menjaga harmoni dan kerukunan umat beragama di Indonesia, maka para penyuluh agama (PNS dan non PNS) sebagai ujung tombak dalam pembangunan di bidang agama lebih dekat dengan masyarakat, sehingga sangat diperlukan dan mendesak untuk membekalinya dengan pemahaman yang benar dan tepat tentang multikulturalisme dalam menunjang tugas dan fungsinya dalam pembinaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sehingga kerukunan umat


beragama dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seseorang direkrut menjadi penyuluh agama, pertama-tama karena orang tersebut memiliki pemahaman yang baik tentang agamanya, pada saat yang sama, ia harus sanggup menerjemahkan ajaran agamanya kedalam situasi aktual yang dihadapi umat dan masyarakat secara khusus tentang multikulturalisme.

Bagi para penyuluh agama sebagai pelayan publik, maka fenomena keragaman budaya mengharuskan para penyuluh memahami pengetahuan dan kesadaran multikultural, sehingga memiliki kompetensi dalam menghadapi perbedaan, sekecil apapun perbedaan kelompok binaannya. Penyuluh perlu meningkatkan persepsi mereka, mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang keragaman budaya, memahami adanya bentuk-bentuk diskriminasi, stereotip dan rasisme yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat multikultural, para penyuluh diharapkan dapat menjadi fasilitator perubahan dan ahli dalam mengatasi konflik dan melakukan konsultasi kepada pihak-pihak yang terkait untuk meningkatkan keharmonisan kelompok binaannya. Dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan publik terhadap beragam kelompok masyarakat, maka penyuluh dihadapkan dengan jangkauan layanan yang lebih luas, sehingga perlu memahami multikultural


sehingga dapat lebih efektif dalam pelayanan publik (Agus Akhmadi, 2019:2).

Melalui penyuluhan yang dilaksanakan, umat tidak terjebak dalam situasi masa kini yang terkotak-kotak tetapi sebaliknya imannya semakin bertumbuh disisi lain mampu menerapkan hidup yang saling menghormati dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing, bertoleransi dan hidup dalam moderasi beragama agar kerukunan umat beragama di Indonesia benar- benar dapat terwujud. Moderasi beragama adalah cara beragama yang moderat, tidak ekstrim kiri dan tidak ekstrim kanan. Moderasi beragama mengajak setiap umat beragama untuk menjalani ajaran agamanya masing-masing dengan benar. Moderasi beragama sangat penting bagi bangsa Indonesia yang hidup di tengah keragaman etnis, budaya, bahasa dan agama serta adat istiadat.

2)Peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme Maraknya konflik yang terjadi

belakangan ini yang bernuansa suku, agama dan ras (SARA) seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, Ahmadiyah, Syiah, Tanjungbalai Asahan dan di beberapa daerah lainnya, tentunya menjadi tanggungjawab negara untuk mencegah dan mengantisipasinya, sehingga untuk mencegah terjadinya konflik


yang yang tidak diiinginkan tersebut, maka diperlukan aktor kerukunan umat beragama untuk menjaga kondisi kerukunan umat beragama yang kondusif dan terus menerus terpelihara. Salah satu aktor kerukunan umat beragama adalah para penyuluh agama baik yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun Non-PNS yang ada di masing-masing Kementerian Agama tingkat Kabupaten/Kota Terkait dengan tugas dan fungsi kepenyuluhan, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Islam mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non

Pegawai Negeri Sipil.

Di dalam keputusan ini disebutkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan tugas Penyuluh Agama Islam Non PNS, maka dibuat delapan spesialisasi kepenyuluhan yang berkaitan dengan tugas Ditjen Bimas Islam, yaitu: Penyuluh Pengentasan Buta Huruf Al-Quran; Penyuluh Keluarga Sakinah; Penyuluh Pengelolaan Zakat; Penyuluh Pemberdayan Wakaf; Penyuluh Produk Halal; Penyuluh Kerukunan Umat Beragama; Penyuluh Radikalisme dan Aliran Sempalan; dan Penyuluh NAPZA dan HIV/AIDS.

Dari delapan tugas tersebut, untuk spesialisasi kepenyuluhan kerukunan umat


beragama bertugas mendorong masyarakat untuk menciptakan kerukunan dalam kehidupan beragama. Sedangkan, penyuluh dengan spesialisasi radikalisme dan aliran sempalan bertugas untuk membantu instansi berwenang dalam pencegahan tumbuhnya perilaku radikal dan aliran sempalan di masyarakat dengan pendekatan agama.

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kompetensi Penyuluh Agama Kristen Pasal 3 dijelaskan bahwa tugas pokok Penyuluh Agama Kristen adalah memberikan bimbingan atau penyuluhan tentang agama dan pembangunan kepada masyarakat serta prinsip-prinsip dan etika nilai keberagamaan yang baik melalui bahasa agama.

Selanjutnya dalam pasal 4 dijelaskan bahwa Penyuluh Agama Kristen memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi Informatif dan Edukatif ialah Penyuluh Agama Kristen memposisikan dirinya sebagai penyuluh yang berkewajiban memberitakan Firman Allah, menyampaikan penerangan agama dan mendidik masyarakat untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. (2). Fungsi Konsultatif ialah Penyuluh Agama Kristen memberikan dirinya untuk turut memikirkan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik persoalan pribadi,


keluarga atau persoalan masyarakat secara umum dan bersedia membuka mata dan telinga terhadap persoalan yang dihadapi umat serta menjadi tempat bertanya dan tempat mengadu masyarakat dalam upaya memecahkan dan menyelesaikan masalah sehingga Penyuluh Agama Kristen berfungsi sebagai psikolog, dan teman berbagi rasa. (3). Fungsi Administratif ialah Penyuluh Agama Kristen memiliki tugas untuk merencanakan, melaporkan dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan bimbingan yang telah dilakukan. (4). Fungsi Advokatif ialah Penyuluh Agama Kristen memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap umat/ masyarakat dari berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap permasalahan-permasalahan keadilan sosial, penanganan aliran-aliran sempalan, masalah- masalah yang berkaitan dengan kerukunan umat baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah yang selama ini dirasa belum mampu terakomodir dengan dan belum mendapat penanganan sebagaimana semestinya.

Penyuluh Agama dalam hal ini penyuluh agama non PNS sebagai salah satu ujung tombak Kementerian Agama dalam pembinaan kerukunan umat beragama di harapkan dapat berperan sebagai


Informatif/Edukatif, Konsultatif, dan Administratif. Peran sebagai Informatif dan edukatif yaitu menyampaikan Informasi yang benar dan mendidik umat. Sebagai konsultatif adalah mampu memecahkan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat/umat beragama. Sedangkan yang dimaksud Administratif ialah Penyuluh Agama non PNS memiliki tugas untuk merencanakan, melaporkan dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan bimbingan yang telah dilakukan.

Penelitian yang relevan.

Dalam pembahasan ini perlu juga dikemukakan penelitian atau kajian-kajian yang relevan tentang peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Literatur-literatur yang membahas kajian ini masih jarang, lebih banyak menyorot masalah pendidikan multikultural serta indeks kerukunan umat beragama, pluralisme dan multikulturalisme. Adapun penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian sebelumnya adalah yang ditulis Saprillah Pepi pada tahun 2016 berjudul “Penyuluh Agama dan Isu Kerukunan Antar Umat Beragama di Kota Palu”, dalam salah satu kesimpulannya mengatakan secara umum dapat dikatakan peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan masih sangat sedikit. Ini disebabkan oleh setidaknya dua faktor.


Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik. Materi ajar lebih umum diarahkan pada soal ajaran dasar agama yang bersifat internal. Kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) penyuluh. Kedua, tidak adanya peta dakwah yang jelas.

Dalam(http://jurnalalqalam.or.id/index.ph p/Alqalam/article/view/350, akses 5 Juli 2020). Dengan demikian penelitian yang dilakukan Saprillah Pepi diatas dengan mengambil sasaran penyuluh agama dengan hasil peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan umat beragama masih sangat sedikit. Hal itu disebabkan oleh setidaknya oleh dua faktor. Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik. Materi yang diajarkan lebih umum diarahkan pada pada soal agama yang bersifat internal. Kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi penyuluh. Kedua, tidak adanya peta dakwah yang jelas.

Hasil penelitian relevan kedua adalah penelitian yang ditulis Sazali Hasan, Guntoro, Budi., Subejo., & Partini, SU tahun 2015 dengan judul “Penguatan Toleransi Agama “Analisis Komunikasi Pembangunan Agama” (Studi Pemerintahan Kota Bogor). Dalam hasil wawancara dan observasi yang peneliti dilakukan terhadap para penyuluh agama terkait pemahaman mereka tentang toleransi agama dan pluralitas keberagaman sangat beragam. Diantara penyuluh agama yang


tidak memahami aspek pluralitas, multikultural dan konsep-konsep terkait dengan toleransi agama. Dari hasil obsevasi, FGD yang dilakukan peneliti ternyata penyuluh agama belum menjalankan fungsi dan tugasnya dalam melakukan penguatan toleransi agama pada masyarakat. (http://ejournal.uin- suka.ac.id/isoshum/profetik/article/view/109

2) diakses 5 Juli 2020).

Dari kedua penelitian sebelumnya diatas, ternyata peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan umat beragama masih sangat sedikit, penyuluh agama yang tidak memahami aspek pluralitas, multikultural dan konsep-konsep terkait dengan toleransi agama. Hal itu disebabkan oleh setidaknya oleh dua faktor. Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik dalam hal ini materi multikulturalisme yang sangat diperlukan sebagai modal dasar bagi seorang penyuluh agama non PNS dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam membina kerukunan umat beragama. Materi yang diajarkan lebih umum diarahkan pada pada soal agama yang bersifat internal. Materi kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi penyuluh agama non PNS karena kurangnya pembinaan dan pelatihan yang dilakukan oleh Kementerian Agama sebagai instusi tempat mereka bernaung.


Penyuluh agama non PNS dalam kehidupan sosial dan keagamaan memiliki peran dan pengaruh penting. Peranan penting disini karena penyuluh agama non PNS dalam stratafikasi atau struktur sosial menempati posisi atau status sebagai pemimpin informal dalam hal sosial keagamaan tanpa perlu adanya sebuah prosesi pengangkatan. Masyarakat memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap penyuluh agama non PNS karena kapasitas keilmuan agamanya dan moralitasnya. Dengan demikian, kedudukan status dengan peranan tidak dapat dipisahkan karena satu sama lain saling bergantung. Status diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Seseorang yang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, berarti dia menjalankan suatu peranan. Peran diartikan sebagai apa yang dilakukan oleh seorang penyuluh agama non PNS dalam posisinya. Menurut Levinson, seperti dikutip Soerjono Soekanto, posisi merupakan unsur statis yang hanya menunjukkan tempat individu dalam kelompok masyarakat. Sedangkan peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi seseorang dengan mencakup tiga hal diantaranya (1) Peranan meliputi norma- norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan- peraturan yang membimbing seseorang dalam


kehidupan kemasyarakatan. (2) Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. (3) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Kesadaran dan tanggungjawab kolektif akan entitas Indonesia yang plural dalam hal agama akan mendorong adanya early warning system atau usaha pencegahan dini akan potensi konflik yang rawan pecah. Apalagi Indonesia dikatagorikan sebagai masyarakat yang rentan (vulnerable society) karena tingginya tingkat segregasi sosial berbasis pada identitas keagamaan, etnis, dan golongan. Tak dipungkiri, dalam sebuah keragaman, khususnya yang dimiliki bangsa ini terdapat sifat rentan pecah.

Kerukunan umat beragama mengandung beberapa unsur penting yaitu: Pertama, kesediaan untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Ketiga, kemampuan untuk menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana kesahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran agamanya. Dan Keempat, kemauan untuk saling menghormati dan bekerjasama.


Dalam analisa Kartini Kartono, penyuluh agama non PNS yang juga berperan sebagai pemuka agama bisa dikategorikan sebagai pemimpin informal yang tidak perlu pengangkatan, namun karena sejumlah kualitas unggul yang dimilikinya sehingga mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat.

Dengan demikian, penyuluh agama non PNS dengan sejumlah kualitas pribadinya, yakni kualitas keilmuan agamanya, moralitasnya dan juga atas dasar penerimaan dan penghormatan dari masyarakat atau kelompok umat beragama, cenderung memiliki kharisma. Istilah kharisma erat kaitannya dengan teologi dan menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada seseorang sebagai pemimpin agama. Artinya, kharisma ini menyangkut bakat rahmat yang diberikan Tuhan kepada orang-orang tertentu sebagai pemimpin agama. Kharisma ini digunakan oleh Weber untuk menggambarkan pemimpin-pemimpin agama di mana dasar dari kepemimpinan itu adalah kepercayaan dari masyarakat bahwa pemimpin agama memiliki suatu hubungan khusus dengan Ilahi, atau mampu mewujudkan karakteristik- karakteristik Ilahi itu sendiri. Dalam analisa Weber, istilah kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada keperibadian seseorang, yang karenanya


terpisah dari orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi dengan kekuasaan atau mutu yang bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya merupakan kekecualian dalam hal-hal tertentu. Kerukunan antar agama adalah suatu bentuk hubungan yang harmonis dalam dinamika pergaulan hidup bermasyarakat yang saling menguatkan yang diikat oleh sikap pengendalian hidup dalam bentuk diantaranya (1) Saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. (2) saling hormat menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah yang sama- sama bertanggung jawab membangun bangsa dan Negara. (3) Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama

kepada orang lain. PENUTUP

1.Simpulan

a.Penyuluh agama non PNS sebagai ujung tombak dalam pembinaan kerukunan umat beragama ternyata belum memiliki pemahaman yang benar terhadap materi multikulturalisme sebagai salah satu bahan dalam melaksanakan pembinaan kepada masyarakat binaannya. Sebagai bangsa yang majemuk Indonesia rawan akan terjadinya kerusuhan yang disulut oleh


SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Sehingga perlu dikembangkan wawasan multikultural bagi penyuluh agama non PNS.

b.Penyuluh agama non PNS memiliki peran penting dan sangat dibutuhkan dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikultural baik itu sebagai Informatif/Edukatif, Konsultatif dan Administratif.

2.Rekomendasi

a.Penyuluh agama non PNS hendaknya selalu mengembangkan profesi dibidang ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan agar mutu penyuluhan agama semakin meningkat.

b.Pembinaan kerukunan umat beragama di masyarakat yang dilakukan oleh penyuluh agama non PNS dapat dilakukan dengan berkolaborasi dan memberdayakan forum kerukunan umat beragama yang ada didaerah untuk memelihara kerukunan dan kesejahteraan.

c.Kementerian Agama melalui bidang terkait sangat mendesak untuk memberikan pelatihan kepada penyuluh agama non PNS tentang pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks masyarakat multikulturalisme.

d.Penyuluh agama non PNS hendaknya membangun komunikasi dengan Forum


Komunikasi Umat Beragama (FKUB) guna mewujudkan sikap toleransi antar umat beragama dan kedamaian dalam keberagaman yang multikulturalisme.


DAFTAR PUSTAKA

Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagaman Dalam Kontek Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 23


Akhmadi Agus, 2019. Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia. Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 13, no. 2, Pebruari - Maret 2019, diakses tgl 22 Juni 2020.


Asimilation to Multiculturalism?”, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, 2002.


Alo Liliweri, 2001, Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Boty, Middya, 2017. Masyarakat Multikultural: Studi interaksi sosial masyarakat Islam Melayu dengan non Melayu pada masyarakat Sukabangun Kel. Sukajadi Kec. Sukarami Palembang. JSA Vol 1 No 2 2017.

D.Hendropuspito, 2000, Sosiologi Agama,

Yogyakarta; Kanisius.

Dadang Kahmad, 2006, Sosiologi Agama,

Bandung; PT Remaja Rosdakarya.

Kaharuddin, K., & Darwis, Muh. (2019). Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Di Luwu Timur. Palita: Journal of Social- Religion Research, 4(1), 31–46. https://doi.org/10.24256/pal.v4i1.566

Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil.


Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kompetensi Penyuluh Agama Kristen

Masduki, Henri. 2016. Pluralisme dan multikulturalisme dalam Perspektif kerukunan antar umat beragama (telaah dan urgensinya dalam sistem berbangsa dan bernegara). Dimensi, 2016, Vol 9

(1): 15-24.

https://journal.trunojoyo.ac.id/dimensi/arti cle/view/3741, diakses tgl 18 Juni 2020.


Novianty, F. (2019). Pembinaan Masyarakat Multikultural Dalam Meningkatkan Kerukunaan Antar Umat Beragama. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 3(2), 226.

https://doi.org/10.31571/pkn.v3i2.1444

Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Keynote Address Simposium III Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA,

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16– 19 Juli 2002.


Pepi Saprillah, (2016). Penyuluh Agama dan Isu Kerukunan Antar Umat Beragama Di Kota Palu”. http://jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqala m/article/view/350, akses 5 Juli 2020)


Suseno, Franz Magnis, et.al., Memahami Hubungan Antaragama, terj. Burhanudin Dzikri, Yogyakarta: elSAQ Press, 2007


Sazali Hasan, Guntoro, Budi., Subejo., & Partini, SU. (2015). “Penguatan Toleransi Agama “Analisis Komunikasi Pembangunan Agama” (Studi Pemerintahan Kota Bogor). http://ejournal.uin- suka.ac.id/isoshum/profetik/article/view/10

92) diakses 5 Juli 2020).


https://www.kompasiana.com/prakosogalih/5 5186f68a33311b906b66872/trilogi-


kerukunan-umat-beragama. Diakses tanggal 19 Maret 2019


https://www.researchgate.net/publication/314 981576_Teologi_Pancasila_Teologi_K erukunan_Umat_Beragama. diakses tanggal 19 Maret 2019


http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream

/123456789/40292/2/WASIL-FU.pdf.

diakses tanggal 19 Maret 2019


https://news.detik.com/berita/3756465/panca sila-menyatukan-keberagaman- indonesia. diakses tanggal 19 Juli 2018


https://academicwriting2017.com/2018/09/11

/tujuan-pendidikan-multikultural- indonesia/. Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.kompasiana.com/triwidodo/551 7f02881331101699de660/multikulturali


sme-dalam-hubungan-antar-umat- beragama-yang-harmonis. Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.researchgate.net/publication/312 203394_Peran_Agama_Dalam_Multiku lturalisme_Masyarakat_Indonesia.

Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/peng ertian-konflik.html. Diakses tanggal 8 April 2019


http://rizkielibrary.blogspot.com/2016/02/ma najemen-konflik-definisi-penyebab- dan.html. Diakses tanggal 8 April 2019


http://graduate.uinjkt.ac.id/?p=17323.





iakses tanggal 8 April 2019.


https://id.wikipedia.org/wiki/Multikuhtml

https://www.joyinmyworld.com/2021/01/kerukunan-umat-beragama-dalam-konteks.html

Flower of the Month Club

Menghidupi Kesejatian Agama

 



MENGHIDUPI KESEJATIAN AGAMA: TAWARAN YANG MENGGUGAT EKSISTENSI AGAMA SEBAGAI USAHA PARTISIPATIF DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA


Edy Syahputra Sihombing

Mahasiswa Magister Unika Parahyangan, Bandung



ABSTRACT: Since the existence of human culture, religion is also exist in its variety. Religion has become the mode of existence for human being. Basically, religion is the place which gives space for humans to communicate and meet with the ultimate reality. In the development of human culture, religion is experiencing a growing change in its form and content. Earlier, religion was a relationship between human  and the ultimate reality; and  over the time, it then turned into an institution that has systematized and conceptualized doctrines in dogmatic form. The purpose of religion also shifted from efforts to be closer with the ultimate reality into attempts to increase followers. It seems that religion is concerned with the quantity than the quality. The shift likely leads to a conflict and violence in many people. This becomes the responsibility for all religions in Indonesia. This paper wants to explain the truth of supposed religion and look for the positive influence of all religions in Indonesia in an attempt to build Indonesia becoming a nation which is able to thrive in religious pluralism.

KEYWORDS: Religion, Paradigm, Ideology, Religious violence, Religious repentance, Indonesian development.


Pergeseran Cara Pandang Hakikat Agama

Di mana manusia hidup, di sana agama juga hidup. Sejak manusia ada, sesungguhnya di sana agama juga sudah ada dengan berbagai macam



bentuknya yang bervariasi. Dengan kata lain, sejak awal mula sejarah peradaban manusia, agama sudah menjadi bagian dari peradaban itu sendiri. Sejatinya, agama adalah bagian dasar hidup manusia, baik secara individual maupun komunal.1 Mengutip apa yang dikatakan Echart, di dalam Urgrund2 atau di dalam relung batin manusia yang terdalam yang tak didasari lagi, manusia mempunyai kerinduan dan kedalaman relasi dengan realitas yang tak terbatas yang dalam bahasa agama disebut sebagai realitas yang ilahi. Agama sesunguhnya mempunyai isi makna tentang bagaimana manusia berelasi secara mendalam dengan yang ilahi dalam eksistensi hidupnya. Relasi yang mendalam ini menjadi dasar cara berada manusia, sehingga ia menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang tidak dapat dipisahkan dari aspek yang lainnya dalam hidup manusia. Oleh karena relasi dengan yang ilahi sebagai dasar eksistensi manusia, sejak awal agama sudah menjadi mode of being serta menjadi mode of living. Singkatnya, sejak awal, agama telah menjadi bagian eksistensi manusia dalam peradaban manusia.

Perkembangan peradaban dan sejarah tidak membuat agama tetap nyaman dalam makna sejatinya. Agama juga mengalami perubahan makna bahkan tujuan. Agama mengalami perubahan, baik dalam bentuk maupun isinya. Agama yang tadinya sebagai dasar eksistensi manusia bergeser menjadi instrumen untuk mendapatkan dan meraup sebanyak mungkin sesuatu yang diinginkan.3 Dalam hal ini agama tidak lagi hanya tampak sebagai aktivitas terdalam manusia berkaitan dengan relasinya dengan yang



1 Agama berkembang berdasarkan letak geografis tertentu serta dalam kultur tertentu. Hal ini dapat dikuatkan dari hasil penelitian paleontologi yang menunjukkan bahwa manusia purba sudah melakukana ritual-ritual keagamaan dalam hidupnya.

2 Maurice Friedman, Martin Buber’s: Life and Work (New York: Wayne State University Press Detroit, 1988), 82.

3 Bdk. Bruce David Forbes and Jeffrey H. Mahan (Ed.), Religion and Popular Culture in America

(Los Angeles: University of California Press, 2000), 141.



ilahi yang terwujud dalam praksis ritual simbolik. Dengan kata lain, kini agama cenderung berubah wajah menjadi komoditi. Awalnya agama adalah pengungkapan pengalaman mistis dalam perjumpaan yang personal dengan yang ilahi. Namun dengan perkembangan zaman, agama pun berubah dari mitos menjadi logos. Mitos yang terungkap dalam cerita-cerita kultural yang mengandung makna moral dan spiritual kurang diminati lagi, maka begeser pada fakultas logos yang terungkap dalam sistematika yang apik, klasifikasi, kategori-kategori kritis serta kemasukakalan yang jelas. Ke-logos-an itu terungkap dalam apa yang dikatakan oleh Descartes, Clara et Distincta.4

Pergeseran dari mitos ke logos kemudian melahirkan dua macam bentuk agama yakni, agama tradisional yang bersandar pada bentuk-bentuk kearifan lokal, kultural serta menonjol dalam sifat afektifnya, dan agama konvensional yang didasari dengan pemikiran konseptual yang  rasional  serta objektif. Agama yang tradisional, masih meyakini adanya makna moral maupun spiritual yang disampaikan lewat mitos ataupun cerita-cerita rakyat. Sedangkan agama konvensional lebih tampak dalam  konsep-konsep  teologis dalam bentuk doktrin, dogma ataupun ajaran, yang disepakati oleh pengikutnya sebagai kebenaran yang diwahyukan oleh yang ilahi. Agama tradisional tampak dalam kesalehan-kesalehan rakyat atau kebatinan yang mungkin tidak memiliki satu sistem teologi yang rasional dan masuk akal, bahkan cenderung tampak bersifat irasional. Dalam perkembangan selanjutnya, justru agama konvensional yang seolah-olah menjadi agama kultural. Agama konvensional dianggap agama yang mungkin paling dapat



4 Descartes dijuluki sebagai bapak filsafat modern. Filsafat modern tampak dalam karakter yang disebut oleh Descartes sebagai Clara et Distincta. Ungkapan tersebut menunjuk pada makna bahwa realitas bisa dijelaskan secara jelas, lugas, dan bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain oleh kesadaran akal budi atau pikiran manusia. Maka, kebenaran bagi Descartes adalah cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Dengan demikian, zaman modern itu ditandai oleh kebangkitan akal budi manusia sebagai subjek yang berpikir. (Lih. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 34-42.



mewujudkan kerinduan dasar manusia akan yang ilahi dengan paham teologis yang sistematis, rasional dan masuk akal. Beberapa agama sesungguhnya mencoba untuk mengembangkan sayap dengan ini. Konsekuensinya, paham agama sebagai pengalaman langsung dengan realitas yang ilahi bergeser menjadi sekadar bagaimana membangun konsep telogis agama yang tersirat dalam dogma maupun doktrin serta keyakinan nilai-nilai moral dan spiritual yang diusung masing-masing agama.5

Dalam perkembangan selanjutnya, agama bergeser menjadi suatu sistem dengan nilai-nilai yang diyakini sebagai benar. Misi dan visi berkembang dan agama berikhtiar untuk menyebarluaskan  nilai-nilai tersebut dengan tujuan agar semakin banyak manusia yang mengimani nilai-nilai tersebut dan diselamatkan. Dengan kata lain, agama sebagai sebuah sistem yang mempunyai visi dan  misi  hendak  mewujudnyatakan visi misi tersebut ke berbagai belahan dunia. Maka, tujuannya menjadi mengarah pada produktivitas yang tampak dalam kuantitas pengikut yang meyakini ajaran-ajaran agama tersebut. Agama sebagai sistem organisasi yang baik dan terorganisir membutuhkan struktur  organisatoris  yang tampak dalam kepemimpinan dan hirarki dalam organisasi agama.6 Oleh karenanya dalam hal ini agama menjadi suatu lembaga institusional yang menawarkan nilainya masing-masing dan mewartakan keselamatan.


Kekerasan: Konsekuensi Pergeseran Makna Agama?

Agama megalami pergeseran dari yang sifatnya tradisional menjadi konvensional dan instutisional, dari yang personal kemudian berkehendak menjadi yang universal, serta dari yang tadinya bersumber dari kerangka


5 Bdk. Dennis Ford, The Search for Meaning: A Short History (Los Angeles: University of California Press, 2007), xxi.

6 Bdk. Brian Morris, Religion and Anthropology: A Critical Introduction (London: Cambridge University Press, 2006), 1.



pola pikir mitos kini dibangun dalam kerangka logos. Dalam perubahan paradigma mengenai agama, ada tiga hal yang menopang makna baru tentang agama yang sadar atau tidak sadar sesungguhnya rawan akan  konflik. Yang pertama, agama sebagai institusi  tentunya  mempunyai struktur hirarki dengan mengusung nilai-nilai hakiki yang dianggap benar serta institusi agama juga mempunyai visi misi. Visi dan misi ini biasanya bersumber dari ajaran teologis dogmatis yang sudah dirumuskan secara sistematis. Nilai-nilai yang diusung agama menjadi ideologi biasanya bersumber dari penafsiran teks-teks kitab suci. Dengan nilai-nilai yang hendak diwartakan serta ideologi yang dipegang agama dapat menjadi sumber benih-benih konflik, karena tidak semua manusia bisa menerima begitu saja ideologi agama tertentu. Dalam hal ini agama dengan fungsi ideologisnya bisa berbenturan dengan ideologi lainnya. Ideologi mengandung klaim bahwa ideologi tersebut yang paling benar dan tak bisa salah. Meminjam pemikiran Edward Schillebeeckx yang berpendapat bahwa klaim yang mengatakan bahwa nilai-nilai dan ideologi satu agama adalah yang paling benar serta menjadi jaminan langsung terwujudnya kesejahteraan masyarakat sosial adalah salah satu pemicu kekerasan dalam agama.7 Monopoli akan hakikat yang ilahi dalam ideologi dan konsep- konsep telogis agama mengandung pernyataan bahwa  kebenaran  agama  lain adalah salah. Dari sinilah konflik yang mengarah pada kekerasan bertumbuh, dipupuk dengan sifat eksklusivisme dan arogansinya sehingga berkehendak untuk menyerang mereka yang dianggap sesat. Dengan ideologinya, agama yakin bahwa ideologinyalah satu-satunya yang


7 Edward Schillebeeckx berbicara tentang hubungan antar agama dalam kaitannya dengan kekerasan yang cenderung muncul dari agama. Schillebeeckx memaparkan beberapa alasan yang menyebabkan munculnya kekearasan atas nama agama. Antara lain, yang pertama karena adanya klaim kebenaran, yang kedua, karena jaminan kesejahteraan bahkan keselamatan yang diberikan agama, yang ketiga, kekerasan agama karena penyalahgunaan ideologi. (Lih. Edward Schillebeeckx, Menschen. Die Geschichte on God (Freirberg: Herder, 1990), 206-219.



mengusung kebenaran dan mampu membawa manusia sampai pada keselamatan, walaupun dengan kekerasan. Pertanyaannya, apakah keselamatan mengandaikan kekerasan? Dalam fungsi agama  sebagai institusi yang mempunyai ideologi, visi misi untuk mewartakan nilai-nilai dan keselamatan rupanya rentan akan kekerasan.

Yang kedua, agama juga menjadi identitas bagi mereka yang memeluknya. Agama sebagai identitas dapat diartikan sebagai milik pribadi atau kelompok tertentu. Identitas ini menjadi status diri dan juga menjadi cara bertindak seseorang. Identitas yang diberikan oleh agama juga menjadi simbol harga diri dan martabat manusia. Di balik agama sebagai identitas tersebut menyimpan ideologi dan kebenaran sendiri  yang  tentunya  dianggap paling benar. Oleh karenanya, ketika identitas itu diusik, maka  akan melahirkan reaksi yang menjurus pada kekerasan. Identitas mengandung perbedaan dengan identitas lainnya. Herman Haring menegaskan bahwa kekerasan dalam agama cenderung sering  muncul  ketika identitas agama tersebut dikucilkan dan dilecehkan.8 Maka, ketika identitas tidak dihormati dan dilecehkan, ini sama dengan  menyelimuti  singa yang sedang tidur.

Ketiga, dalam perkembangannya kemudian, agama menjadi acuan moralitas dengan nilai-nilai yang sudah dikonsepkan. Maka, nilai-nilai tersebut menjadi legitimasi etis atau landasan relasi manusia dengan  manusia lainnya. Agama dengan visi-misi dan ideologinya berkehendak untuk melandasi hubungan sosial masyarakat baik dalam sistem sosial, politik, ekonomi bahkan kebudayaan. Sehingga tidak jarang unsur-unsur politik, ekonomi, sosial dan budaya dilandasi dengan nilai-nilai agama tertentu. Berpolitik dengan membawa ayat-ayat kitab suci, sistem perdagangan yang mengusung nilai agama tertentu atau pertunjukan

8 Wim Beuken and Karl-Josef Kuschel (Ed.), Religion as A Source of Violence (London: SCM Press, 1997), 81.



kebudayaan dengan latar agama tertentu.9 Dalam hal ini, nilai-nilai agama yang merasa paling benar dan biasanya menyebut diri sebagai mayoritas, berkehendak mau melandasi segala gerak-gerik pribadi bahkan negara dengan klaim kebenaran agama. Faktanya tidak semua orang bisa menerima itu sehingga ketika nilai-nilai tersebut dipaksakan, sama artinya menunggu pecah konflik yang kerap diberengi kekerasan.

Agama tidak bisa menolak kenyataan ini, bahwa arogansi terhadap keindahan diri yang dianggap paling indah dan benar telah seolah-olah melegalkan kekerasan. Kekerasan juga dipicu oleh misi agama untuk menambah jumlah pengikut, karena kuantitas dianggap sebagai kebenaran, walaupun bisa jadi kuantitas belum tentu diikuti oleh kualitas. Agama cenderung jatuh ke dalam godaan untuk menjadikan nilai dan keyakinan agama tersebut menjadi nilai yang harus dipegang oleh banyak orang, kalau tidak mau, maka butuh sedikit pemaksaan atau kekerasan, baik kekerasan fisik, maupun kekerasan secara psikologis dan sosial. Hannah  Arendt  pernah mengingatkan bahwa “ada kecenderungan  manusia  untuk  mengubah dan menjadikan agama hanya sebagai ideologi saja, serta mengkhianati perjuangan untuk melawan totalitarisme dengan fanatisme, sementara kita tahu bahwa fanatisme adalah musuh bagi kebebasan”.10 Hal ini telah menjadi kenyataan dan telah sering terjadi. Sudah sering kita mendengar dan mungkin melihat secara langsung kekerasan  demi  kekerasan berlatar belakang agama.

Sebagian agama mengalami perubahan ini dan cenderung jatuh ke dalam bentuk-bentuk kekerasan demi membela kebenaran agama. Houtart pernah menulis dengan menderetkan berbagai macam contoh dan bentuk kekerasan yang terjadi dalam agama-agama. Dia mengatakan bahwa Hinduisme yang mengklaim diri sebagai aliran yang anti-kekerasan (ahimsa)

9 Ibid., 1-10.

10 Haryatmoko, “Menggugat Agama” Melintas No. 55 (2002), 9.



rupanya di dalam kitab sucinya Bhagavadgita ternyata juga mengijinkan pembunuhan dalam peperangan dan kekerasan dalam situasi tertentu. Demikian juga dalam Buddhisme yang juga berorientasi pada cinta  dan belas kasih rupanya juga tidak menolak kekerasan walaupun bukan menjadi tujuan. Begitu juga dengan Islam yang menekankan kedamaian dan cinta kasih serta menolak bentuk-bentuk ketidakadilan dan kekerasan, namun nyatanya juga cenderung terjerumus dalam bentuk-bentuk kekerasan. Kita juga mengenal Yudaisme yang berpegang pada Kitab Suci, dan kita tahu bahwa Allah selalu hadir dalam peperangan yang menunjukkan Allah  terlibat dalam bentuk-bentuk kekerasan. Sama halnya juga dengan kristianitas tidak lepas dari kekerasan. Perang Salib menjadi bukti adanya kekerasan demi kebenaran. Lebih konkrit lagi Houtart menulis beberapa contoh riil konflik antara agama yang terjadi. Misalnya konflik antara kaum fundamentalis Hindu dengan Islam di India, pembunuhan dan  kekerasan atas nama kebenaran agama di Algeria, bentuk-bentuk terorisme di Timur Tengah yang diklaim sebagai bentuk kesetiaan pada iman. Pembunuhan dan kekerasan yang terjadi di belahan Amerika Latin, konflik perbedaan agama antara Kroasia dan Slovenia, perang saudara antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara.11 Data ini menunjukkan bahwa pergeseran paradigma dalam agama rupanya mengandung konsekuensi kekerasan. Agama berikhtiar untuk menyelamatkan, memberi damai, memberi kesejahteraan, namun pertanyaannya, apakah tujuan menghalalkan segala cara?


Menghidupi Kembali Hakikat Agama

Pergeseran paradigma yang terjadi dalam perkembangan agama tentunya mengandung konsekuensi. Agama yang berubah wujud menjadi suatu sistem struktural yang dijaga oleh nilai-nilai moral-spiritual yang


11 Wim Beuken and Karl-Josef Kuschel (Ed), Religion as a Source of Violence, Op. Cit., 1-10.



diyakini sabagi benar, ternyata tidak jarang justru menjadi bumerang bagi sebagian orang. Agama yang tadinya dianggap sebagai sumber kedamaian dan menawarkan keselamatan, rupanya terjatuh dalam bentuk-bentuk kekerasan baik secara fisik, psikologis maupun sosial. Situasi ini membuat sebagian orang muak dengan keberadaan agama instutisional yang ternyata alih-alih menjadi sumber perdamaian justru menjadi sumber kekerasan.  Oleh karenanya, tidak sedikit orang yang mulai meragukan serta menolak agama dan bahkan berpuncak dalam bentuk penolakan terhadap eksistensi Tuhan.

Walau demikian, manusia tetap mempunyai kerinduan akan yang ilahi dalam dirinya. Manusia senantiasa membutuhkan kedekatan kepada yang ilahi seperti yang ditawarkan oleh agama, hal ini didasari oleh karena sejatinya manusia adalah homo religiouso.12 Dalam situasi keterpurukan agama institusional, usaha manusia untuk tetap mengisi kerinduan tersebut akhirnya cenderung dicari dalam bentuk-bentuk agama alternatif. Agama- agama alternatif muncul sebagai reaksi atas agama instutisional yang terpeleset dari tujuan hakikinya. Agama alternatif mempunyai banyak bentuk seperti aliran-aliran kebatinan, spiritisisme, saintisme dan sebagainya. Dalam perjalanan waktu, ternyata agama alternatif dianggap kurang mampu memenuhi kebutuhan fundamental manusia sebagai makhluk rohani. Agama alternatif yang sifatnya mudah muncul dan tenggelam dicurigai hadir dengan motif-motif tertentu. Lalu ke manakah manusia harus mencari kerinduan akan yang ilahi? Manusia tetap mempunyai hasrat dan kerinduan akan yang ilahi. Agama sesungguhnya telah membuka jalan untuk itu. Namun, dengan segala kekurangan dan kelemahan, harus diterima bahwa agama ternyata dapat salah, agama bisa terpeleset dan jatuh serta melenceng dari tujuan hakikinya sebagai agama.

12 Karen Amstrong, A History of God: The 4000-Year of Judaism, Christianity and Islam (New York: Ballatine Books, 1993), xix.



Walaupun demikian, agama tidak perlu ditolak atau dikucilkan  dan dianggap tidak relevan lagi. Kehadiran agama juga memberikan banyak sumbangan bagi perkembangan manusia dan bangsa Indonesia. Yang terpenting adalah bagaimana kita harus mengajak agama untuk kembali kepada makna sejatinya.

Apa yang harus dilakukan oleh agama agar dapat melihat dan menghidupi kembali secara jernih dan murni tujuan hakikinya? Yang pertama, agama harus terbuka terhadap evaluasi  dan  berani  menerima kritik serta mengkritisi diri sendiri. Agama harus terus-menerus mengevaluasi ideologi dan nilai-nilai moral spiritual yang diusungnya. Agama sejatinya adalah medium untuk memenuhi hasrat religiusitas manusia, dan berfokus pada usaha untuk mendekatkan manusia atau pemeluknya dengan yang ilahi. Fokus ini harusnya mengatasi pembelaan mati-matian terhadap doktrin-doktrin atau Tuhan dalam konsep teologis agama. Bukan berarti bahwa rumusan teologis itu tidak perlu, namun selain itu, masih ada hal yang lebih penting sebagai tujuan agama yakni memfasilitasi perjumpaan antara manusia dengan yang ilahi. Agama harus berani mengkritisi ideologi dan visi misinya, apakah sudah menghantar manusia sungguh mengenal yang ilahi atau justru menjadi sumber yang memunculkan konflik. Setiap agama harusnya menyadari dan  mengajak para pemeluknya untuk tidak jatuh pada bentuk-bentuk fanatisme radikal. Untuk mengembalikan hakikat sejati agama sebagai sumber kedamaian, agama harus mampu mengantar manusia untuk  berjumpa  dengan  yang  ilahi dalam pengalaman religiusitasnya. Meminjam pemikiran Rudolf Otto, pengalaman perjumpaan akan yang ilahi itu adalah pengalaman akan yang kudus, di mana orang masuk ke dalam “mysterium tramendum et fascines”.13 Di dalam pegalaman perjumpaan akan yang kudus itu, manusia merasa


13 Rudolf Otto, The Idea of The Holy, terj. oleh J. W. Harvey (London: Penguin Books, 1923), 19.



kecil, merasa tak pantas, merasa takut, merasa tak berguna, merasa hanya seperti sebutir pasir di tepi laut. Sadar akan kekecilan itu, manusia diharapkan akan sampai pada sikap rendah hati karena menyadari dirinya bukanlah apa-apa di hadapan Allah yang Maha Besar.

Karl Marx, Nietzsche dan Feurbach adalah beberapa contoh dari  tokoh yang melontarkan kritik terhadap eksistensi agama. Bagi Marx, agama hanya candu yang menyembunyikan realitas kepedihan yang dialami manusia, sehingga manusia seakan-akan dininabobokkan  dengan  hal  itu dan tidak perlu kritis dengan situasi yang dihadapi saat ini. Nietzsche, berangkat dari pengamatannya atas kemerosotan moral kristiani,  mengatakan bahwa Allah telah mati, God is death. Feurbach mengatakan bahwa konsep Allah dalam diri manusia adalah proyeksi dari diri manusia  itu sendiri, itu berarti manusialah yang menciptakan Tuhan dalam dirinya.14 Kritik ini muncul atas pengalaman akan eksistensi agama yang dirasanya memuakkan. Agama seharusnya berani terbuka, merefleksikan dan mengevaluasi diri tidak perlu harus memunculkan sikap reaktif yang mengarah pada tindakan destruktif. Kritik ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang peduli terhadap eksistensi agama yang dirasa telah seolah-olah lari dari hakikat sejatinya. Mungkin saja kritik ini bersifat destruktif terhadap agama namun  harusnya  ditransformasi  menjadi otokritik yang membangun. Keterbukaan  dan  kemauan  untuk merefleksikan serta mengevaluasi diri atas kritik semacam ini tidak memunculkan sikap apologetik yang reaktif, sebaliknya menjadi jalan untuk mentransformasi diri sebagai jalan pemurnian dan pemahaman atas nilai- nilai keagamaan. Ideologi yang cenderung menyebabkan konflik menjadi bahan renungan agama saat ini. Evaluasi kritis terhadap ideologi, ajaran teologis tentang nilai kebenaran ilahi harusnya sampai pada penerimaan


14 Bdk. Fransz Dahler, Asal dan Tujuan Hidup Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1971), 32-3.



ideologi agama lain karena sadar akan keterbatasan konsep tentang yang ilahi yang tetap menjadi misteri. Makna sejati fanatisme dalam agama adalah ketika manusia sungguh-sungguh memahami apa yang dia yakini dan setia pada keyakinan itu sehingga ia tidak perlu merasa takut ketika harus bersentuhan dengan kebenaran dari agama lain. Maka ketika agama terbuka untuk mengkritisi diri sendiri, terbukalah jalan untuk sampai pada kesadaran dalam menerima pemahaman lain tentang Allah yang berbeda dari dirinya, sehingga Allah itu semakin kaya dalam keberagaman keyakinan.

Yang kedua, agama harus memurnikan kembali visi dan misi hakikinya. Agama sejatinya hadir dengan sifatnya yang meneduhkan diri manusia, mewartakan keselamatan dan kabar sukacita, membagikan perdamaian, membuka ruang maaf dan pengampunan serta mewujudkan sikap saling membantu. Selain itu, agama juga hadir sebagai pelepas dahaga manusia atas pertanyaan fundamental tentang asal dan tujuan manusia, tentang takdir dan makna kehidupan, tentang akhirat dan  hari  akhir,  tentang mengapa ada kejahatan dan tentang yang ilahi itu sendiri. Untuk memurnikan visi misi ini, ajaran akan yang ilahi tidak perlu diputarbalikkan menjadi ilusi-ilusi yang dilatarbelakangi motivasi-motivasi kepentingan dan keuntungan pribadi maupun kelompok. Ilusi-ilusi ini adalah ilusi yang menciptakan sikap eksklusivisme. Sikap eksklusivisme mengandung penolakan terhadap kelompok lainnya. Pembongkaran ilusi-ilusi dengan motivasi tertentu semacam ini sangat diperlukan agama saat ini. Tantangan agama saat ini adalah bagaimana menghantar manusia untuk sampai pada perjumpaan dengan Yang Kudus, bukan sebaliknya menghantar manusia untuk terjerembab dalam radikalisme ideologinya. Membongkar ilusi termasuk membongkar klaim kebenaran akan Allah yang seolah-olah mendiskriminasikan kebenaran yang lain tentang yang ilahi. Mengutip apa



yang dikatakan Karl Rahner, Allah adalah tetap misteri absolut,15 maka tidak ada konsep yang sungguh-sungguh mampu menjelaskan Allah secara ontologis. Dengan mau membongkar ilusi dan motivasi terselubung di balik ideologi, agama semakin terhindar terhadap penyalahgunaan ajaran. Ajaran agama dengan cara ini diterima bukan karena paksaan melainkan dengan kebebasan.

Yang ketiga adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi mengandaikan adanya dua sikap dasar yakni penerimaan (acceptance) dan memaafkan (forgiveness). Rekonsiliasi ini bertolak ke tiga arah yakni, rekonsiliasi dengan Tuhan, rekonsiliasi dengan diri, dan rekonsiliasi dengan yang lain. Pertama-tama, agama harus berekonsiliasi dengan Tuhan, berdamai dengan Tuhan dalam arti bahwa agama menyadari bahwa ternyata eksistensinya banyak mengalami kemelencengan dari apa yang seharusnya. Aspek ini membutuhkan sikap kesadaran diri akan kesalahan dan perasaan berdosa di hadapan Allah. Dengan kesadaran tersebut, maka muncul harapan untuk mewujudkan eksistensi yang lebih utuh dan otentik lagi sebagai  agama. Yang kedua, agama hendaknya berekonsiliasi dengan diri sendiri, dalam arti ini, agama diajak untuk memurnikan kembali segala tujuannya  sesuai dengan hakikatnya. Berdamai dengan diri sendiri dalam arti ini, menghapus segala bentuk-bentuk motivasi terselubung (hidden agenda) yang ada dalam setiap agama demi kepentingan tertentu. Motivasi-motivasi terselubung tersebut, hanya berpotensi untuk menjadikan diri sebagai kelompok yang eksklusif. Berdamai dalam arti ini juga ditempatkan dalam kerangka menyucikan ideologi atau dengan kata lain menjadikan kembali ideologi, ajaran dan nilai-nilai tersebut sebagai yang suci dan dapat memberikan partisipasi positif bagi kebaikan bersama (bonum commune). Yang terkahir, tentu juga penting adalah berekonsiliasi dengan mereka yang tersakiti dan


15 Karen Kilby, Karl Rahner (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 14.



menderita karena eksistensi agama. Hendaknya agama membuka diri untuk bertanggung jawab atas segala kerugian dari bentuk-bentuk kekerasan yang membuat banyak pihak kecewa. Bertanggung jawab berarti bukan hanya menanggung segala kerugian yang telah disebabkan oleh agama. Tanggung jawab mempunyai arti pertobatan. Artinya dalam pertanggungjawaban tersebut, agama mempunyai harapan untuk tidak terpeleset kembali dalam bentuk-bentuk kekerasan, dan mengutamakan aksi sosoial sebagai bentuk nyata pertobatan. Pertobatan juga mencakup pembangunan relasi yang baik dengan mereka yang sudah dikecewakan atau dilukai oleh eksistensi agama. Emile Durkheim mengatakan bahwa dari sekian banyak definisi tentang agama, namun ada karakter yang pasti melekat dalam agama sebagai agama yakni the characteristic of the supernatural dan the idea of divinity.16 Kedua karakter ini, menunjukkan bahwa agama adalah tempat orang mencari kerinduan akan yang ilahi. Agama dalam hal ini adalah rumah pendidikan kebijaksanaan yang bersumber dari yang ilahi. Agama adalah pabrik manusia-manusia bijaksana yang percaya kepada  realitas yang ilahi, menyadari diri kecil di hadapan yang ilahi, serta merasa bahwa dirinya bukanlah apa-apa di hadapan yang ilahi. Maka untuk  kembali kepada posisi itu, agama harus duduk kembali dalam wilayah adikodarti, kesucian, dan dunia ilahi yang sudah menjadi bagiannya. Agama seharusnya adalah wakil dan menjadi personifikasi kerajaan yang ilahi di dunia ini yang berusaha mewujudkan kesejahteraan manusia, keselamatan manusia, kedamaian dunia, menjawab persoalan fundamental manusia, bukan sebaliknya. Semua tujuan dan eksistensi agama itu sesungguhnya mempunyai tujuan baik, hanya saja cukup sering dibumbui dengan hal-hal tidak penting yang justru membuat citarasa agama itu menjadi tidak senikmat seharusnya. Tawaran bagi agama untuk kembali pada hakikat

16 Peter Hamilton (Ed.), Emile Durkheim, Critical Assessment: Volume V (London: Routledge, 1995), 85.



sejatinya saat ini adalah dengan menghidupi dirinya sebagai tempat perjumpaan manusia dengan yang ilahi dan menjadi sumber inspirasi untuk menghadapi dunia sekuler. Dengan itu, agama dengan aktivitasnya yang khas memberikan landasan visi misi dan evaluasi terhadap permasalahan dunia baik dalam tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, sebagai sumber kebijaksanaan ilahi, agama berperan sebagai penerang jalan aktivitas dunia yang tidak jarang dipenuhi dosa. Itulah sejatinya agama sebagai penerang yang bersumber dari yang ilahi untuk dunia yang membutuhkan penerangan.


Pembangunan Indonesia: Wujud Pertobatan Religius

Agama mempunyai banyak peran dalam sendi-sendi kehidupan manusia dan berkembang menjadi pembimbing negara Indonesia untuk maju, berkembang, berprestasi. Dan yang utama adalah menjadikan manusia sungguh-sungguh manusia yang mengalami kedamaian, kesejahteraan, kebebasan dalam haknya sebagai manusia dan warga negara. Salah satu identitas Indonesia tampak dalam bentuk negara yang berketuhanan. Pembangunan dan perkembangan bangsa ini tidak lepas dari peran agama yang membimbing dan menempatkan kebenaran dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya dalam rel yang benar demi menjunjung tinggi kemanusiaan. Di balik prestasi tersebut, harus diakui bahwa ternyata agama bisa melenceng dari hakikatnya yang sejati sebagai penerang perjalanan dinamika bangsa ini. Harus diakui bahwa agama tidak lepas dari kesalahan. Agama adalah institusi yang menawarkan nilai-nilai ilahi yang dipenggawai oleh manusia, oleh karenanya, manusia yang juga mempunyai kelemahan, terkadang dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa menjadikan institusi agama tidak lepas dari salah dan dapat kehilangan jati diri yang sejati.



Agama yang bertransformasi dari mitos menuju logos, dari agama tradisional menjadi agama konvensional dengan bentuk lembaga institusional serta konsep-konsep nilai-nilai yang rasional mengandung godaan yang membuat agama terpeleset dari tugas hakikinya. Agama terjatuh karena mereduksi kekayaan akan pengalaman perjumpaan dengan yang ilahi kedalam bentuk rasionalitas, konsep-konsep teologis dan nilai- nilai ideologis. Agama bukan hanya perkara rasionalitas ajaran dan yang harus dipaksakan, agama bukan hanya  masalah  intelektualitas  dalam bidang keagamaan, agama adalah tempat manusia belajar mencintai Allah dan manusia. Akhirnya agama jatuh dan terpuruk serta tidak  sedikit  manusia yang menyebut diri sebagai manusia sekuler menolak agama dan bahkan menolak Allah dalam dinamika kehidupan mereka. Ke manakah agama harus melangkah? Bagiamanakah agama harus melangkah di tengah kemuakan manusia akan keterpurukan agama, di tengah situasi Indonesia yang dikungkungi dosa, di tengah keputusasaan manusia atas pencariannya akan yang ilahi?

Agama harus kembali ke hakikatnya sebagai agama.  Untuk kembali ke hakikatnya, agama membutuhkan pertobatan. Pertobatan berarti bahwa agama menyadari keterjatuhannya. Dari keterjatuhan itu, agama  diajak untuk kembali ke hadapan yang ilahi,  berlutut,  merunduk,  menyembah. Dan yang terpenting adalah mendengarkan yang ilahi berbicara, bukan  hanya berbicara dan terlalu cerewet tentang yang ilahi yang sudah dikonsepkan dalam bentuk doktrin-doktrin kepada banyak orang yang jutru cenderung berujung kepada pelecehan martabat manusia. Tantangan dalam agama saat ini adalah beranikah agama mengoreksi diri, merefleksikan diri, menyadari keterjatuhan dan membangun visi misi baru yang lebih membela kemanusiaan dan kebaikan bangsa ini. Pertobatan membutuhkan keterbukaan diri dan membangun niat baru untuk memberikan sumbangsih yang berarti bagi kemanusiaan dan pembangunan bangsa Indonesia.



Pertobatan menjadi dasar untuk  memberikan  partisipasi  yang berguna bagi kemanusiaan dan bangsa ini. Pertobatan mengarahkan agama sampai pada kesadaran bahwa agama bukan hanya masalah rasionalitas ajaran, kebenaran ajaran dan ideologi, singkatnya agama bukan hanya masalah logos atau mitos. Agama harus menyadari kembali kepada pemahaman bahwa eksistensi agama bukan hanya tampak dalam institusi yang menjala banyak pengikut. Agama juga dihidupi dalam kerangka etika- moralitas dan rasa empati-simpati yang memperjuangkan kemanusiaan. Agama mungkin akan hilang perlahan atau cenderung kurang diminati apabila ia kehilangan nilai moralitasnya. Agama mempunyai tugas untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan seraya menjunjung tinggi moralitas. Aspek ini sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan pembangunan Indonesia saat ini. Agama hendaknya lebih memprioritaskan pewartaan akan kebenaran, keadilan dan moralitas daripada mewartakan Allah dalam bentuk-bentuk doktrin, apalagi dengan memaksa masyarakat untuk mengikuti ajarannya tentang Allah.

Negara kita tercinta Indonesia saat ini ditandai  keterpurukan moralitas, kebenaran dan keadilan. Keterpurukan ini tampak dalam wilayah politik dan pemerintahan dan berbagai lapisan masyarakat. Sungguh ironi bahwa begitu banyak pejabat yang terlibat korupsi, adalah penganut agama, atau sebaliknya agama dijadikan modal utama atau alat  untuk  berpolitik agar mendapat jabatan demi kepentingan pribadi. Dalam bidang ekonomi juga tampak kecenderungan ketidakadilan yang dilandasi sikap kapitalisme radikal, meraup untung sebesar-besarnya dan tidak terlalu berbicara banyak tentang kesejahteraan manusia lainnya (bonum commune). Kita juga sering mendengarkan tindakan pembunuhan, tindakan asusila, kekerasan, pemerkosaan, perampokan yang membuat tidak sedikit rakyat Indonesia menderita. Bagaimana mungkin negara Indonesia ini dapat berkembang dalam pembangunan apabila kehilangan sikap keadilan, kebenaran dan dan kehilangan sikap dalam menjunjung tinggi moralitas? Maka dari itu,



pembangunan yang utama bukan hanya pembangunan secara fisik, yang tampak nyata namun palsu, melainkan pembangunan spiritual yakni menanamkan sikap keadilan, kebenaran dan moralitas dalam diri masyarakat sebagai jati dirinya. Inilah sesungguhnya tugas agama. Agama adalah institusi yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan moralitas yang dengan itu agama dapat membimbing bangsa ini menjadi bangsa yang berkembang dengan rakyat yang mengalami kesejahteraan dan kedamaian.

Selain itu, agama sebagai media perjumpaan manusia dengan yang ilahi dan mendengarkan yang ilahi bertujuan untuk membentuk  diri  manusia sebagai pribadi yang mempunyai sikap empati dan simpati. Oleh karena itu, dalam dan melalui agama, manusia dididik untuk mau terlibat  dan bersimpati terhadap penderitaan dan kesakitan yang dialami oleh orang lain. Dalam hal ini, agama diajak kembali untuk menjadi institusi yang peduli dalam menjaga dan membela martabat manusia tanpa pilih kasih berdasarkan etnis tertentu, kelompok tertentu ataupun  karena  agama tertentu yang berbeda keyakinan. Membela kemanusiaan berarti membela mereka yang ditindas oleh karena kekuasaan yang diselewengkan.

Membela mereka yang miskin dan yang tersisihkan. Inilah tugas agama. Pembangunan Indonesia mengalami keterlambatan oleh karena kecenderungan sikap egoisme manusia yang tidak mau peduli terhadap  orang lain apalagi yang berbeda dengannya. Pembangunan Indonesia tidak dimaksudkan untuk kelompok tertentu, etnis tertentu  apalagi  agama tertentu. Indonesia adalah negara yang berketuhanan seperti yang termuat dalam sila yang pertama, dan di dalam sila tersebut hanya disebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di dalam sila tersebut dan di dalam sila selanjutnya, tidak dijelaskan Tuhan yang seperti apa, apakah Tuhan yang disalib, atau Tuhan dalam agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan juga tidak dijelaskan Tuhan dalam etnis tertentu. Oleh karena itu, agama diajak untuk kembali menjadi pembela kemanusiaan lepas dari perbedaan yang  ada. Pembangunan Indonesia adalah bagi seluruh rakyat Indonesia yang



memeluk agamanya masing-masing. Maka, agama berperan dalam pembangunan Indonesia ketika dia berani menyatakan diri dan bertindak sebagai pembela kemanusiaan tanpa pandang bulu.

Pertobatan religius khususnya di dalam diri agama bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa agama yang saya peluk dihidupi di Indonesia yang mengakui pluralitas agama. Tema mengenai  pluralitas agama menjadi tema yang sangat diharapkan dapat menjadi nyata di dalam aplikasi kehidupan umat beragama. Pluralitas  mengandaikan  kesadaran akan keberagaman agama. Keberagaman itu sangat membutuhkan penghormatan dan penghargaan. Kehilangan akan rasa penghormatan terhadap agama lain, sering kali cenderung menjadi benih kekerasan. Indonesia adalah negara yang cenderung sensitif dengan masalah ini.  Banyak persoalan yang dapat dijadikan contoh, baik bentuk-bentuk pembakaran gereja dan masjid di Tolikara, Papua, pengusiran umat Ahmadiyah di Bangka17 dan masih banyak bentuk-bentuk persoalan lainnya. Konflik agama sangat mudah diprovokasi dan menjadi masalah serius bagi Indonesia. Bentuk-bentuk radikalisme yang menegasi kehadiran agama lain cukup sering muncul di tengah kehidupan bangsa Indonesia.  Oleh karenanya, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus  diselesaikan  bukan hanya oleh pemerintah melainkan juga yang utama adalah agama- agama yang hidup di Indonesia ini.

Hans Kung karena keprihatinannya akan masalah konflik agama membuat suatu proyek yang di sebut “Projekt Welthethos”. Proyek ini bertujuan untuk memberikan inspirasi dalam usaha menciptakan perdamaian di antara pluralitas agama. Hans Kung menjelaskan dan menegaskan bahwa di dalam agama-agama sesungguhnya ada kesamaan yang fundamental. Kesamaan fundamental inilah yang harusnya menjadi


17 Lih. Majalah Tempo Edisi 05 Februari 2016.



tempat berpijak agama-agama untuk menghidupi agama  di  tengah  pluralitas agama. Hanya saja hal ini jarang sekali dilihat dan disadari oleh agama-agama.18 Pluralitas agama di Indonesia sesungguhnya adalah kekuatan Indonesia untuk menciptakan pembangunan yang  menyejahterakan rakyat Indonesia. Pertobatan religius baik secara personal maupun komunal menjadi penting agar agama tidak lagi menjadi  sosok yang arogan yang memangsa agama lain. Agama menciptakan perdamaian dan menyumbang bagi pembangunan Indonesia dan berpartisipasi dalam kemanusiaan ketika ia memberikan penghargaan dan penghormatan  terhadap agama lain.

Di sini kembali ditegaskan, bahwa untuk sampai kepada hal tersebut, agama harus terbuka dan berani mengkritisi diri serta mengubah cara pandang kebenaran yang dipegang tentang konsep Allah. Pluralitas agama harus diterima setiap agama. Agama hendaknya berlomba untuk berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia dan kemanusiaan, bukan berlomba untuk memperbanyak pemeluk agama sendiri. Ketika agama- agama saling menerima keberagaman, ini langkah kebangkitan yang besar bagi perkembangan Indonesia. Pluralitas diterima tidak hanya karena realitas, penerimaan pluralitas di bentuk dalam pemahaman bahwa Tuhan akan lebih kaya di dalam keberagaman itu. Perang dan konflik dengan latar agama tidak memberikan keuntungan di bumi, dan mungkin juga di surga. Penerimaan dan penghormatan adalah benih kebersatuan di dalam keberagaman. Ketika benih itu berkembang menjadi kesatuan, di situlah agama-agama di Indonesia bisa saling berpartisipasi untuk memikirkan pembangunan mental manusia Indonesia, pembangunan pendidikan Indonesia, kemajuan ekonomi, kemajuan politik dan pembangunan  Indonesia bagi kesajahteraan, kerukunan, kedamaian dan keselamatan

18 Bdk. Leo Samosir, Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks

(Jakarta: Obor, 2010), 125.



seluruh rakyat Indonesia. Itulah peran agama. Maka agama tidak perlu ditolak. Yang perlu adalah menjadi orang yang beragama, bukan orang yang diagamakan.