google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT: Kebijakan Publik

Halaman

Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan Publik. Show all posts

Potret Kelam Anak Indonesia



 Menurut laporan  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jumlah anak Indonesia yang terlantar saat ini adalah 5.400.000, dan anak-anak yang dipekerjakan 1.760.000. Sekitar 6000 anak berada dalam penjara, 104.497 menjadi anak jalanan. Anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS berjumlah 640.000, sedang anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual berjumlah 55.000 anak, 100.000 anak telah menjadi korban perdagangan anak. Penderitaan anak-anak itu masih ditambah lagi korban tindak kekerasan 2.810.000, korban napza 12.305 anak. Itulah potret kelam anak-anak Indonesia saat ini. Malangnya dari tahun ke tahun penderitaan anak Indonesia itu terus meningkat.

Anak Anak, Saudara Kandung, Saudara
Maraknya penganiayaan, bahkan pembunuhan anak-anak oleh orang tua kandung mereka sendiri semakin meneguhkan bahwa anak-anak Indonesia masih sulit mendapatkan tempat berlindung yang aman, meskipun berada di rumah orang tua mereka sendiri. Bahkan, dengan alasan kemiskinan, orang tua mereka ada yang tega menjual dan menjadikan mereka pemuas nafsu seks mereka yang menjadi budak seks. Maraknya penculikan anak yang disinyalir terkait dengan mafia perdagangan manusia masih menjadi ancaman bagi anak-anak Indonesia.
World Vision melaporkan bahwa kekerasan anak di Indonesia terus meningkat bukan hanya dari segi kuantitas yang bertambah, melainkan juga kualitas. Tahun 2008 terdapat 1.626 kasus, pada tahun 2009 naik menjadi 1.891 kasus. Ini juga diteguhkan oleh laporan Komnas perlindungan anak, tahun 2008 terdapat 1726 laporan, dan tahun 2009 sebanyak 1.998 kasus. Jumlah tersebut bertambah setiap tahunnya. Jika tidak ada tindakan sistematis dari pemerintah untuk menanggulanginya, anak-anak Indonesia akan sulit untuk meraih masa depan mereka.
Secara hukum anak-anak Indonesia memang telah mendapatkan perlindungan yang memadai. Sebut saja Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 63-66, dan Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 88 (Bab XII mengenai Ketentuan Pidana), secara tegas memberikan ganjaran yang berat bagi siapapun mengeksploitasi anak baik secara ekonomi, maupun seksual, yakni pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah.
Apabila undang-undang tersebut diimplementasikan dengan baik, maka hari HAN yang diselenggarakan demikian meriah itu akan menjadi dorongan kuat bagai anak-anak Indonesia untuk berjuang meraih masa depan.
Masa depan bangsa
Bangsa Indonesia meyakini bahwa anak-anak merupakan investasi terbaik bagi sebuah kemajuan dan pembangunan. Keyakinan itu dicantumkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 tahun 1984 yang menetapkan setiap tanggal 23 Juli sebagai hari anak nasional. Keyakinan tersebut kemudian kembali diteguhkan dalam undang-undang perlindungan anak, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Anak-anak sebagai pemilik masa depan yang menjadi pilar penting bagi maju mundurnya sebuah bangsa menjadi kebenaran yang juga diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 20 November sebagai hari anak-anak sedunia. Setidaknya ada 150 negara di dunia  yang memperingati hari anak sedunia tersebut sebagai pengakuan pentingnya memberikan perhatian terhadap  anak-anak bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Bagi Indonesia yang mengakui bahwa pelanggaran HAM bisa dilakukan oleh pemerintah, individu dan masyarakat maka ini berarti bahwa perlindungan hak-hak anak menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Keluarga-keluarga Indonesia mestinya merenungkan apa yang dikatakan Driyarkara, “kandungan ibu hanya bisa dilanjutkan dengan kandungan keluarga.”Anak-anak Indonesia bisa belajar dengan baik untuk meraih masa depan mereka, dan itu menjadi jaminan bagi masa depan bangsa ini.

Binsar A. Hutabarat

Kartel Tarif Dan Moralitas Bisnis






Kartel Tarif menunjukkan bahwa ada yang salah dalam prilaku bisnis di negeri ini. Pemerintah perlu menjaga moralitas bisnis untuk menegakkan keadilan.


   Desakan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir baru-baru ini, agar para operator telepon seluler segera menurunkan tarif Short Message Service (SMS) yang bernuansa bisnis tidak adil dan merugikan konsumen, terkait bisnis kartel dalam penerapan tarif SMS, perlu disikapi serius. 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dalam hal ini sudah semestinya merespons penemuan tersebut. Rakyat telah cukup banyak menderita dan tak perlu lagi dibebani, sebaliknya usaha untuk meringankan beban dan penderitaan rakyat harus menjadi kepedulian semua, termasuk pengusaha bisnis operator telepon seluler. 

 Keberangan Ketua YLKI sesungguhnya dapat dipahami, ada informasi, produksi SMS tersebut hanya sekitar Rp. 76 per SMS, sedang tarif yang diberlakukan operator rata-rata sebesar Rp. 250 hingga Rp. 350 per SMS, berarti Operator seluler telah merengguk profit 400 persen, sejumlah keuntungan yang sangat besar ditengah-tengah kondisi rakyat yang kebanyakan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal, rakyat sangat membutuhkan sarana informasi layaknya telepon seluler, dan sudah semestinya kehadiran telepon seluler dengan segala kemudahannya, khususnya fasilitas SMS, menjadi sarana yang berguna untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat melalui kemudahan usaha, lebih ironis lagi, keuntungan itu diraih melalui cara yang tidak adil, suatu persekongkolan pengusaha kelas kakap. 

 Timbul pertanyaan, mengapa ketidakadilan bisnis kartel dalam penerapan tarif SMS itu baru terungkap setelah berlangsung lama, dan mengapa tampaknya pemerintah belum mengambil tindakan serius, apakah ada keengganan pemerintah untuk mengintervensinya? 

 Dampak negative ekonomi Pasar. Kritik yang bertubi-tubi terhadap penerapan ekonomi pasar yang dilakukan pemerintah, dan seakan sama sekali tak ada lagi kontrol pemerintah, khususnya terkait dengan problem ketidak adilan, bukan tanpa dasar. 

Kita tentu paham, pasar bebas mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan. Mereka yang lemah, miskin, baik materi maupun informasi, akan selalu menjadi objek kerakusan mereka yang kuat, apabila kondisi ini dibiarkan, tentulah yang miskin tetap akan hidup dalam penderitaan dan kemiskinan, tanpa kesempatan untuk merubah nasibnya. 

Moralitas, yang oleh Adam Smith dianggap sebagai “invisible Hand”, tangan yang tidak kelihatan, yang mengendalikan ekonomi pasar untuk dapat befluktuasi secara adil, terbukti hanyalah impian kosong. 

Nafsu kerakusan manusia membuat mereka yang kuat sering kali berusaha memanfaatkan seluruh kelebihannya, tanpa peduli dengan nasib si miskin, ada adagium yang mewakili kebenaran tersebut, mereka yang kaya terus bertambah kaya, sedang mereka yang miskin akan tetap berada dalam lembah kemiskinan”, itulah yang terjadi dalam bisnis kartel penetapan tarif SMS jika memang terbukti. 

 Globalisasi yang kini didorong oleh pasar bebas harus diakui menyisakan masalah tersendiri, yaitu telah menciptakan jurang antara Negara kaya dan Negara miskin yang makin melebar, dan itu juga terjadi pada banyak negara, termasuk di Indonesia. 

 Rakyat yang sangat membutuhkan media informasi, khususnya dalam meningkatkan taraf hidupnya, terhambat, karena tingginya biaya yang harus dibayar per SMS, sedang operator SMS yang umumnya adalah pemilik modal, terus bergelimang dengan keuntungan yang makin memperkaya mereka, tidaklah mengherankan jika dalam bisnis ini terus saja bermunculan operator-operator baru, dan tidak juga mengherankan, jika bisnis itu terus merajalela sampai kedaerah-daerah yang tak terjangkau jaringan telepon kabel, memang ada manfaat besar dari kehadiran teleon seluler itu, namun realitas yang menyedihkan adalah, mereka yang dirugikan bukan hanya yang kaya, tetapi khususnya rakyat yang sedang dalam kondisi miskin, di kota-kota besar, telepon celuler juga telah digunakan oleh pedagang kecil, pembantu-pembantu rumah tangga, buruh, tukang ojek, juga para tukang Becak yang memiliki pandapatan amat minim, namun masih harus dihambat komunikasinya dengan tingginya biaya SMS. 

 Problem Ketidakadilan. 

 Ekonomi memang tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi Negara begitulah tesis liberalisme yang melahirkan pasar bebas, hal itu ada benarnya, tetapi memiliki keterbatasan, karena tidak semua bidang usaha bisa diambil oleh swasta, orientasi individu dalam berusaha yang semata-mata tertuju pada profit pribadi mengakibatkan bidang-bidang yang tidak menguntungkan, meski dibutuhkan, tidak akan diambil oleh swasta, pemerintah dalam hal ini harus mengambilnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat dan untuk membawa kesejahteraan bagi masyarakat. 

Di Negara Amerika Serikat yang adalah pendukung utama pasar bebas sekalipun, tidak ada seorang pun pengusaha swasta yang ingin mengambil alih NASA, karena memang tidak menguntungkan, dan pemerintah mesti mengelolanya walau terus merugi. 

 Hal yang perlu diwaspadai adalah Usaha yang berorientasi pada profit itu tidak mustahil akan merampas kebebasan yang lain dalam berusaha. Pemerintah dalam hal ini yang berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat semestinya berperan untuk menciptakan keadilan, KPPU dalam hal ini berkewajiban untuk mendeteksi kecurangan yang ada. 

Kartel penerapan tarif SMS jika ini benar terjadi, semestinya perlu diambil tindakan agar tidak lagi merugikan masyarakat. Tidaklah mengherankan mengapa Mohammad Hatta menawarkan koperasi, karena itu tidak dimiliki pribadi, usaha dimiliki secara bersama, dalam ekonomi pasar social ini Negara memiliki peran yang jauh lebih besar dibanding ekonomi pasar bebas, yaitu dalam hal pembagian keuntungan, sehingga peristiwa kartel tarif SMS tentu tidak akan terjadi. 

Pemerintah dalam hal ini terkait ketidak adilan dalam kartel penerapan tarif perlu mengeluarkan regulasi untuk menciptakan keadilan. Moral Bisnis Indonesia Kartel penerapan tarif SMS jika terbukti, merupakan potret kelam bisnis Indonesia. Kita semua tentu setuju, dunia bisnis bukanlah daerah bebas nilai. 

Apalagi untuk orang Indonesia yang terkenal relegius, bisnis memiliki nilai-nilai etis yang dipengaruhi oleh agama para pelaku bisnis. Mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari masyarakat yang berada dalam kondisi miskin, dan mau tak mau harus bergantung pada produk tersebut adalah tindakan yang tidak etis, dan tarif SMS yang jelas-jelas sangat berpengaruh bagi banyak orang untuk meningkatkan usahanya dan untuk menambahkan pendapatannya sudah seharusnya dibuat semurah mungkin, suatu kebutuhan masyarakat umum sudah semestinya dibuat semurah mungkin. 

 Dengan keuntungan kecil namun memiliki pasar yang luas, perusahaan telepon seluler akan tetap eksis, sebaliknya dengan menetapkan tarif yang tinggi peran maksimal telepon seluler tidak akan tercapai, kecuali hanya memenuhi napsu kerakusan untuk mendapatkan profit sebasar-besarnya, kemajuan tekhnologi telepon seluler untuk Indonesia ternyata belum didedikasikan untuk kepentingan orang banyak, ini adalah potret kelam bisnis tanpa moralitas yang harus segera diakhiri. 

Tekat telkom untuk menurunkan biaya telepon tidak lama lagi patut dicontoh oleh para operator telepon seluler. 

Binsar Antoni Hutabarat

Sistem Pendidikan Nasional Indonesia

Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang ditetapkan dengan Undang-Undang”. Pemerintah mendapatkan mandat rakyat untuk mengusahakan dan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, itu berarti, isi undang-undang sistem pendidikan nasional mesti mewakili seluruh aspirasi rakyat Indonesia.


Pada sisi lain, usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui gerakan pendidikan nasional Indonesia bukan hanya dilakukan oleh pemerintah melalui pendirian sekolah-sekolah negeri, tetapi juga keterlibatan pendidikan swasta yang amat strategis untuk suksesnya program tersebut, khususnya sekolah-sekolah yang didirikan lembaga-lembaga keagamaan. 

Jauh sebelum kemerdekaan, pendidikan agama di negeri ini telah berpartisipasi aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendirian sekolah-sekolah agama. Bahkan, bisa dikatakan, tanpa partisipasi lembaga-lembaga keagamaan dengan sekolah-sekolah agamanya yang tersebar di seantero negeri ini, kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan yang layak bagi segenap rakyat Indonesia sebagaimana perintah konstitusi tidak mungkin tercapai, setidaknya sebagaimana pencapaian saat ini.

Jasa yang teramat besar dari pendidikan swasta kultural dan pendidikan swasta agama pada masa kini makin terpinggirkan, khususnya setelah lahirnya sisdiknas 1989 dan puncaknya pada sisdiknas 2003. Pendidikan swasta tidak lagi bebas mendirikan sekolah-sekolah agama dalam keunikannya, campur tangan pemerintah dalam ruang privat sekolah swasta khususnya pendidikan agama terlihat jelas dalam sisdiknas 2003. 

Peninjauan ulang terhadap sisdiknas 2003 ini sangat diperlukan untuk membebaskan pendidikan keagamaan dari kungkungan demi suksesnya gerakan pendidikan nasional Indonesia.

Sistem Kebijakan Publik


Menurut Bintoro Tjokroamidjoyo dan Mustopaadidjaya sistem kebijakan publik adalah keseluruhan pola kelembagaan dalam pembuatan kebijakan publik yang melibatkan hubungan diantara 4 elemen (unsur), yaitu masalah kebijakan publik, kebijakan publik dan dampaknya terhadap kelompok sasaran (target groups).


Sebagai sebuah sistem, maka dalam sistem kebijakan publik dikenal adanya unsur-unsur: inputs, Process, Output. Kebijakan publik adalah merupakan produk (output) dari suatu input, yang diproses secara politis.

Selanjutnya mengenai elemen-elemen(unsur-unsur) sistem kebijakan publik itu dapat dijabarkan seperti berikut:
1).Input: masalah kebijakan publik
Masalah Kebijakan Publik timbul karena adanya faktor lingkungan kebijakan publik yaitu suatu keadaan yang melatarbelakangi atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya “masalah kebijakan publik”tersebut, yang berupa tuntutan-tuntutan, keinginan-keinginan masyarakat atau tantangan dan peluang, yang diharapkan segera diatasi melalui suatu kebijakan publik. 

Masalah itu dapat juga timbul karena dkeluarkannya suatu kebijakan yang baru. Misalnya untuk beberapa jalan protocol diwajibkan berpenumpang minimal tiga orang, kebijakan ini mengakibatkan timbulnya masalah “Jockey” yaitu “orang-orang yang dibayar”.

2). Process (proses): pembuatan kebijakan Publik. Proses pembuatan kebijakan publik itu bersifat politis, dimana dalam proses tersebut terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling bertentangan. Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stakeholders, yaitu mereka-mereka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan public. Policy stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, dan juga dari lingkungan masyarakat (bukan pemerintah), misalnya, partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, perusahaan dan sebagainya.

3). Output: Kebijakan Publik, yang berupa serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu seperti yang diinginkan oleh kebijakan publik.

4). Impacts (dampak), yaitu dampaknya terhadap kelompok sasaran.