Saturday, August 7, 2021

Perlukah Membatasi Kebebasan Berekspresi?

 




Perlukah Membatasi Kebebasan Berekspresi?


Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan tanpa batasam tetapi kebebasan berekspresi itu dapat dibatasi dengan undang-undang agar pemenuhan kebebasan individu tidak mengganggu kebebasan individu lainnya.


Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukanlah pengesahan bahwa setiap individu bisa bertindak secara liar tanpa menghormati martabat individu lainnya, yakni mengabaikan akibat penggunaan kebebasan berekspresi itu bagi individu lainnya. 

 


Kebijakan publik yang mengatur kehidupan bersama sejatinya adalah sebuah konsensus bersama. Karena itu hukum, kebijakan publik sejatinya  harus melindungi setia individu atau kelompok tanpa dekriminasi.


Apabila  implementasi kebijakan publik terindikasi menegasikan individu atau kelompok tertentu, pastilah ada yang salah dalam rumusan kebijakan publik itu. 


Kebebasan beragama

Setiap agama itu unik dan absolud bagi pemeluknya. Maka, tak seorangpun boleh menghina agama apapun. Menghina agama apapun sama saja dengan menghina martabat manusia beragama. 


Berdasarkan hal tersebut jelaslah setiap individu beradab wajib menghargai dan menghormati apapun kepercayaan yang di anut oleh seseorang, dan juga menjauhi usaha-usaha untuk menghakimi agama-agama yang beragam dan berbeda itu.


Sebab itu terhinalah mereka yang menghina agama yang dianut manusia yang bermartabat, karena perbuatan tersebut menghianati kewajibab asasi manusia. Setiap orang tentu boleh saja menyaksikan agama yang diyakininya itu tanpa perlu melecehkan keyakinan agama dan kepercayaan lain. 


Harus diakui bahwa penghinaan terhadap salah satu agama, bukan hanya menyakiti hati penganut agama itu, tapi juga menyakiti hati semua umat beragama. Karena itu  penghinaan pada salah satu agama sepatutnya diposisikan sebagai penghinaan terhadap semua agama, yang patut diwaspadai oleh semua umat beragama.


Kebenaran itu adalah milik Tuhan, interpretasi yang absolud tentang apapun yang kita percayai sesungguhnya hanya ada pada Tuhan. Karena itu tak seorang pun berhak memaksakan apa yang diyakininya kepada orang lain. 


Menjadikan diri hakim atas sesamanya dalam menentukan tafsir yang benar tentang kepercayaan agama-agama lain adalah kesombongan, itu sama saja dengan memposisikan diri sebagai Tuhan, sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang menyadari keterbatasannya.


Apabila kita percaya, di dalam hati nuraninya yang terdalam manusia sesungguhnya mencintai kebenaran, maka manusia sepatutnya diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang sesuai dengan nuraninya, dan itu juga berarti, kebebasan adalah semata-mata untuk melaksanakan kebenaran.  




Marthin Luther dengan tegas mengatakan, “di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia.  Meneguhkan hal itu, Os Guinnes mengatakan, “kebebasan hati nurani adalah  dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara.” Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM). Karena itu pelaksanaan kebebasan berekspresi mestinya didasarkan pada nurani manusia yang terdalam, yakni mengusahakan kebaikan untuk sesamanya.


Apabila kebebasan hati nurani ini menjadi landasan dalam menjalankan hak kebebasan berekspresi, maka kebebasan berekspresi pastilah akan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Sebaliknya, pelaksanaan kebebasan berekspresi tanpa hati nurani akan mengakibakan kekacauan dan ketidaktertiban. Itulah sebabnya, penghinaan atas agama yang bertentangan dengan suara hati nurani itu telah mengakibatkan kekacauan di banyak tempat. 


Proteksi atas kebebasan hati nurani mestinya akan menciptakan ruang publik yang sehat, dimana setiap anggota masyarakat memiliki kerelaan untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya, bukannya saling menyakiti sesamanya. 


Penghinaan terhadap agama tidak boleh ditolerir meski itu dengan alasan untuk mengagungkan hak kebebasan berekspresi. Kebebasan itu tidak liar. Kebebasan bernaung dalam ketaatan pada hukum. Siapapun yang melaksanakan kebebasannya dengan melanggar hukum, harus menerima ganjaran hukum yang setimpal.


Jika kita setuju bahwa kerukunan adalah sebuah kerelaan yang keluar dari nurani manusia yang menghargai kebenaran tentang martabat manusia yang adalah sederajat itu, dan selayaknya hidup harmonis dalam perbedaan di bumi yang satu ini, maka kerukunan tidak mungkin dihadirkan dengan mendewakan“keliaran”. Demikian juga, memaknai kebebasan sebagai kondisi dimana setiap individu boleh melakukan apa saja sangatlah tidak berdasar. Kondisi itu lebih patut disebut “keliaran.” Kebebasan semata-mata diberikan untuk melaksanakan kebenaran yang memuliakan martabat manusia. 


Binsar A. Hutabarat


https://www.joyinmyworld.com/2021/08/perlukah-membatasi-kebebasan-berekspresi.html

Menjadi Seperti Kristus




Menjadi Seperti Kristus 


Orang percaya memiliki iman yang sama terhadap Alkitab sebagai Firman Allah. Karena itu orang percaya menggali isi Alkitab yang sama untuk makin mengenal Allah. 

Perbedaan yang terjadi dalam menafsirkan Alkitab sejatinya menolong orang percaya untuk memahami perlunya saling belajar satu dengan yang lain untuk makin mengenal Allah secara benar, dan bukannya saling mengklaim doktrinnya yang paling benar, dan kemudian menyesatkan yang lain. 

Kristus, Firman Hidup yang bangkit dari kematian, dan menjadi dasar kekuatan gereja adalah Firman yang esa. Gereja yang minum dari sumber air hidup yang sama yaitu Firman Tuhan perlu bertumbuh bersama menjadi seperti Kristus. 


Pengenalan tentang Allah mungkin karena Allah yang transenden bersedia menyatakan diri-Nya. Iman Kepada Allah yang telah menyatakan diri yang tercatat dalam Alkitab, memungkinkan Allah yang tidak dapat dijangkau dengan panca indra dikenal oleh manusia. Karena Allah berinisiatif menyatakan Diri-Nya.


Firman Tuhan dicatat dalam Alkitab, sehingga dapat dikatakan Alkitab adalah objek dari pengetahuan tentang Allah. Jadi untuk mengetahui siapa Allah, karya Allah, rencana serta kehendak Allah untuk manusia, orang percaya membaca dan menggalinya dari dalam Alkitab.


Berdasarkan iman bahwa Alkitab adalah Firman Allah, orang percaya menggunakan akal budinya untuk menggali isi Alkitab untuk mengetahui tentang Allah, Karya, dan kehendaknya sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. 

Usaha manusia mengumpulkan data-data dalam Alkitab itu terbatas, maka sejatinya tidak ada orang atau tokoh Kristen yang dapat mengklaim penafsirannya paling benar, apalagi absolud. Jadi doktrin, atau dogma semua itu harus dibawah Alkitab. 

Pertanyaannya kemudian apa jaminan seorang yang menggali isi Alkitab itu telah menafsirkannya dengan benar. 

Penafsiran kita tentang suatu bagian Alkitab harus dibandingkan dengan hasil rumusan doktrin atau dogma yang diwariskan tokoh-tokoh gereja sebelumnya. Tapi karena penafsiran tokoh gereja sebelumnya juga tidak sempurna atau dibawah Alkitab, bisa saja penafsiran teolog jaman tertentu atau jaman kini memperbaiki penafsiran gereja sebelumnya, tapi sekali lagi itu pun tidak absolud.


Hasil penggalian Alkitab seorang teolog yang dirumuskan menjadi doktrin dan kemudian menjadi dogma itu tetap berada dibawah Alkitab, bahkan pengakuan iman sebagai rumusan dogma juga dibawah Alkitab, dan boleh saja direvisi, tentu jika memiliki dasar yang kuat artinya ada temuan yang didasarkan Alkitab tentang perlunya pengembangan rumusan pengakuan iman.

Karena doktrin dan dogma tidak absolud, maka jaminan penafsiran seorang teolog yang telah dibandingkan dengan rumusan doktrin dan rumusan dogma gereja yang merupakan warisan sejarah juga tidak absolud. Semua hasil penafsiran Alkitab oleh manusia yang terbatas adalah relatif. 


Validasi doktrin seharusnya didasarkan kofirmasi Roh Kudus. Karena hasil penggalian Alkitab tidak otomatis membuat kita percaya pada rumusan hasil penggalian Alkitab itu, meski pun langkah-langkah penggalian Alkitab sudah kita lakukan dengan cara benar. Keyakinan bahwa rumusan doktrin itu benar dihasilkan dan harus dihidupi dalam kehidupan penafsir sedang validasinya berasal dari Roh Kudus. 


Doktrin mengarahkan orang untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Roh kudus berkarya dalam diri seseorang yang bertekad untuk hidup dalam rencana Allah sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, dan pengalaman orang itu kemudian akan mengakui bahwa benar pengetahuan yang di dapat dalam Alkitab itu benar. Inilah yang disebut pengakuan iman. 


Doktrin penting untuk menunjuk pada kehidupan yang benar, dan keabsoudan itu terjadi terjadi ketika orang itu hidup dalam pengetahuan yang dia yakini benar, dan itu juga karena  konfirmasi dari roh kudus. Pengakuan iman bukan untuk menghakimi tetapi untuk menunjuk kepada Tuhan yang hidup, Firman Tuhan yang benar.


Sebagian orang menggali isi Alkitab dengan menekankan pada pengalamannya dengan Tuhan. Orang itu mengalami pengalaman-pengalaman dengan Tuhan yang luar biasa, seperti dipakai Tuhan melakukan mujizat. Mujizat itu sendiri sangat sulit dijelaskan. Maka tidak heran penjelasan orang percaya tentang mujizat, yang disebut juga doktrin tentang mujizat, penjelasannya sangat terbatas, dan tentu saja penjelasan tentang mujizat bergantung pada pengalaman orang itu. Jadi doktrin tentang mujizat itu juga relatif. 


Pengalaman orang itu adalah benar adanya, absolud untuk dirinya, karena faktanya memang demikian. Tapi, interpretasi tentang pengalaman atau penjelasan tentang pengalaman orang itu dipakai Tuhan dalam mujizat adalah relatif. Orang yang mengalami mujizat tidak boleh memberikan jaminan absolud bahwa pengalaman yang dialami akan terjadi dengan cara yang sama pada orang lain. Dia cukup menyaksikan pengalamannya dipakai dalam melakukan mujizat yang diyakininya atas kehendak Allah. Karena pengalaman setiap orang tentu berbeda.


Dengan demikian jelaslah membangun doktrin dari penggalian Alkitab dengan eksegese yang luar biasa tetap saja harus dibandingkan dengan doktrin atau dogma gereja lain, dan itu pun tetap relatif. Demikian juga membangun doktin dari pengalaman dengan Tuhan, secara khusus dalam pengalaman melakukan mujizat untuk kemuliaan Tuhan juga relatif, jadi tidak boleh dipaksakan kepada yang lain.


Gereja harusnya dapat saling belajar satu dengan yang lain. Tidak boleh ada gereja yang mengklaim gerejanya paling mendekati Tuhan, atau mendekati kebenaran. Gereja memerlukan saudara-saudara yang lain untuk bertumbuh bersama menjadi seperti Kristus.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.joyinmyworld.com/2021/08/menjadi-seperti-kristus.html

Wednesday, April 28, 2021

Penjara Berujung Kematian




 



Terkait kondisi penjara yang makin tak nyaman bagi para penghuninya, artis Roy Marten dalam suatu seminar antinarkoba berujar, sebaiknya pecandu narkoba jangan ditahan, melainkan dimasukkan ke dalam lembaga rehabilitasi. 

Menurut Roy, di balik jeruji penjara ternyata para pengedar barang-barang haram tersebut tetap beroperasi. Akibatnya, pecandu narkoba tetap saja dapat mengonsumsi narkoba dan mereka tak mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada benda terlarang itu. 

Untuk mereka yang berkantung tebal dan hanya sedikit tekad untuk melepaskan diri dari keterikatan pada narkoba, penjara memang bukan tempat yang cocok. Tapi uang telah membuat mereka selalu bisa menikmati barang haram itu, meski berada di balik jeruji. 

Sedangkan bagi mereka yang tak punya uang, kemarahanlah yang mereka pendamkan, dan sikap diskriminatif itulah yang mereka terima. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang diharapkan menjadi tempat pembinaan para narapidana untuk kemudian bisa kembalik ke masyarakat, akhirnya benar-benar menjadi penjara bagi para penghuninya. Cukup banyak indikasi pelanggaran hak-hak manusia. Tinginya nyawa yang melayang di balik jeruji besi adalah akibat praktik pembiaran yang kerap dilakukan di LP-LP. Pembiaran napi yang sakit dan kemudian mati merupakan bukti bahwa semangat balas dendam masih kental di LP. Ini adalah perlakuan yang tidak manusiawi. 

Bentham, seorang penganut teori hukum utilitas, mengingatkan, “Jikalau memang terpaksa harus diterima, hukuman itu harus diterima sejauh menjanjikan pengecualian dari kejahatan yang lebih besar”. Hukuman dapat dibenarkan hanya kalau menghasilkan akibat-akibat baik. 

Membiarkan napi mati dalam penjara karena sakit yang diderita atau karena kondisi tahanan yang buruk jelas suatu perbuatan melawan hukum. Apakah akibat baik dari membiarkan napi mati dengan sakit yang dideritanya tanpa memberi pertolongan yang memadai? Tentu saja tidak ada keuntungan sedikit pun bagi narapidana. 

Dari sudut pandang retribusi, pembiaran yang menyebabkan kematian napi juga tidak dapat dibenarkan. Dalam The Chritique of Practical Reason (1788) Kant menulis,”Jikalau seseorang yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai akhirnya menerima cambukan secukupnya, setiap orang menyetujuinya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, meski selanjutnya tak sesuatu pun dihasilkan darinya.” 

Hukuman bisa saja diberikan setimpal dengan pelanggaran seseorang, tapi ia tetap berusaha untuk mengembalikan manusia pada kodratnya. Membiarkan napi tentu saja menyalahi hukum retributif karena di sana terbaca adanya penambahan hukuman, yaitu menghukum manusia dalam kondisi yang bukan manusia (inhuman).

Gotong Royong 

Rumah tahanan yang kini disebut dengan istilah lembaga pemasyarakatan seharusnya menjadi tempat di mana di sana ada kasih dan persahabatan. Hanya dengan demikian narapidana dapat disadarkan untuk kembali ke jalan yang benar, dan dari sana pula mereka bisa merajut kehidupan bersama yang lebih baik di tengah masyarakat. 

Wajah garang para penjaga penjara mestinya tak perlu dipamerkan di sana. Hanya ada kasih dan persahabatan di lembaga permasyarakatan. Tapi kita semua tahu, bahwa rumah tahanan kini menjadi amat menakutkan. Lantas, mengapa istilah lembaga pemasyarakatan tetap saja digunakan? 

Kalau dana yang menjadi alasan sehingga banyak program pemasyarakatan tidak berjalan, mengapa kemudian narapidana diperas secara amat tidak manusiawi? Negeri ini memiliki banyak orang-orang filantrop yang bersedia membantu. Bahkan kalau mau jujur, banyak penjara di Indonesia mendapat kunjungan kaum filantrop. 

Kalau saja ada transparansi, LP tidak perlu kekurangan dana atau ketiadaan tenaga medis. Rakyat di negeri ini sudah terbiasa hidup bergotong royong dan suka membantu. Kebesaran Jiwa Kebesaran jiwa seseorang bisa dilihat dari bagaimana sikapnya terhadap orang yang memusuhinya. Jauh dari sikap membalas dendam apalagi berniat membinasakan musuh adalah suatu sikap yang menunjukkan kebesaran jiwa seseorang. 

Perbuatan jahat dipahami sebagai pelarian manusia dari kodrat dirinya yang merugikan pelaku itu sendiri, karena itu pembalasan dendam tidak diperlukan, karena si pembuat kejahatan pada hakikatnya berada dalam posisi yang sedang memerlukan pertolongan. Pada kesadaran itu kemudian muncul pemahaman bahwa setiap orang perlu mendapat kesempatan untuk dapat berubah, memperbaiki diri, untuk kembali pada harkatnya yang semula. Kesempatan untuk berubah itu diakui menjadi kebutuhan semua manusia yang tidak pernah bebas dari salah. 

Pemberian kesempatan untuk berubah meniscayakan pemberian maaf pada pelaku kejahatan. Pada titik ini terlihat bahwa sikap memaafkan musuh memerlukan jiwa besar yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan diri untuk memahami keterbatasan orang lain. 

Kesadaran untuk memaafkan itu tidak berarti menafikan disiplin atau sanksi yang diperlukan untuk mengembalikan sang tersesat pada jalan yang benar. Tanpa sanksi, kesalahan bisa dianggap sebagai bukan kesalahan, namun pemberian sanksi harus didasarkan pada usaha untuk mengembalikan sang pelanggar hukum pada jalan yang benar. 

Luther mengibaratkan, “Di ujung tongkat harus ada buah apel.” Dilema Hukuman Menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan seseorang adalah tidak mudah. Tidak jarang pelaku kejahatan berat mendapat hukuman ringan sedangkan pelaku pelanggaran ringan mendapatkan hukuman berat. Ini umumnya terkait interpretasi hakim dan kemampuan pelaku menjelaskan fakta yang terjadi. Dilema ini kerap muncul di penjara. Seorang petugas lembaga pemasyarakatan sering tergoda untuk menjadi “hakim” di institusi yang menjadi binaannya. Mengapa hal itu terjadi? Bukankah vonis telah dijatuhkan di lembaga pengadilan, sedangkan penjara tinggal melaksanakan apa yang diputuskan pengadilan? 

Tugas utama lembaga pemasyarakatan adalah mengembalikan napi pada masyarakat, bukan menambahkan hukuman pada napi. Mengeksploitasi napi jelas bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan moralitas. 

Binsar A. Hutabarat

Wednesday, April 14, 2021

Obat Murah Atau Murahan






Untuk Indonesia yang rakyatnya kebanyakan hidup miskin dan mudah terserang penyakit, ketersediaan obat murah tentu saja menjadi harapan. 

Sayangnya, harapan itu tak kunjung datang, obat rakyat yang murah dan berkualitas yang pernah dijanjikan pemerintah hanya dianggap sebagai obat murahan yang tak berkualitas. 

Tahun lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari meluncurkan program obat murah untuk rakyat sedikit miskin yang diproduksi oleh Indofarma. 

Program tersebut telah menghadirkan harapan baru bagi rakyat yang sedang "panik" mengingat harga obat yang terus merangkak naik, dan tentunya sangat menyengsarakan rakyat kecil. 

Kita tentu paham, untuk memenuhi kebutuhan makan saja mereka sudah kepayahan, apalagi harus ditambah dengan kebutuhan obat yang harganya kian melangit. 

Program obat murah itu menyangkut pengadaan 20 jenis obat generik tak berlogo hasil kerja sama pemerintah dengan PT Indofarma. Sepuluh obat serba seribu itu di antaranya adalah obat batuk dan flu, obat flu, batuk berdahak, asma, penurun panas anak, penurun panas, tambah darah, maag, sakit kepala, dan indo obat batuk cair. 

Dilihat dari jenis obat- obat tersebut dapat dimengerti bahwa obat-obat itu sangat dibutuhkan masyarakat, apalagi pada kondisi cuaca buruk. 

Menurut Menteri Kesehatan, program itu juga bertujuan untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi tamatan apoteker yang masih menganggur serta mencegah terjadinya pemalsuan obat. 

Dengan murahnya harga obat, maka pemalsuan obat diharapkan dapat ditekan, dan penggunaan obat generik tak berlogo dalam jumlah besar itu tentunya akan membuka lowongan kerja baru bagi tamatan apoteker. 

Ironisnya, belum juga rakyat miskin bernafas sedikit lega, ada berita tak sedap didengar. Siti Fadilah mengungkapkan, obat Rp 1000 yang menjadi program pemerintah pada 8 Mei 2007 itu sering tak sampai ke tangan konsumen karena langsung dibeli oleh para spekulan. 

Tapi, pemerintah berjanji akan mengemplang para spekulan obat yang tak bermoral itu, dan menjamin, obat murah itu akan dapat dengan mudah didapat di warung-warung pada 3-6 bulan setelah penetapan itu. 

Kini telah enam bulan lebih berlalu sejak penetapan tersebut dan yang terjadi adalah tren pasar obat generik ternyata justru mengalami penurunan. Jika pada tahun 2001 pasar obat generik mencapai 12 persen, tahun lalu tinggal 7,23 persen. 

Artinya program obat murah belum menunjukkan dampak yang berarti bagi rakyat miskin, bahkan boleh dikatakan tak mendapat respons yang cukup tinggi. 

Apalagi dengan banyaknya obat generik yang kini bermunculan timbul anggapan, bahwa itu bukan obat murah dalam arti obat berkualitas dengan harga murah, tapi itu adalah obat murahan yang rendah kualitas. 

Boleh saja pada waktu peluncuran pertamanya, Menteri Kesehatan menjelaskan, "itu obat rakyat yang murah dan berkualitas, dan kualitasnya ada dalam pemantauan", jadi bukan obat murahan yang tidak berkualitas. 

Tapi pada realitasnya program tersebut belum mengena dihati rakyat miskin. Lantas apa yang salah dengan program obat murah tersebut sehingga tidak digemari oleh masyarakat, dan sayangnya juga obat generik tak berlogo itu juga tak dikenal para dokter pada umumnya dengan baik. 

Realisasi Program Niat baik pemerintah untuk menghadirkan obat murah sesungguhnya patut mendapat pujian. Itu adalah kebijakan yang cerdas dan berpihak pada masyarakat, dalam hal ini masyarakat miskin. 

Kita semua tahu, obat adalah kebutuhan yang amat penting, bahkan telah menjadi kebutuhan dasar setiap orang, karena tak seorangpun yang bebas dari serangan penyakit. 

Terlebih lagi ketika terjadi perubahan cuaca, atau pada kondisi cuaca buruk, karena itu, pastilah semua orang membutuhkan obat, dan penetapan obat murah tentu saja akan sangat membantu masyarakat. 

Sangat disayangkan, promosi obat murah yang diluncurkan pemerintah itu, tidak segencar promosi obat yang harganya selangit. Bukan hanya masyarakat yang asing dengan obat murah itu, tetapi juga para dokter.

 Apalagi dengan banyaknya jenis obat generik yang kini beredar, kita tentu paham promosinya tentu saja membutuhkan biaya tinggi. Belum lagi banyaknya obat generik yang kini beredar (obat generik, obat generik tak berlogo, obat generik berlogo) justru membuat masyarakat cenderung meragukan khasiatnya. 

Tren menurunnya obat generik itu mengindikasikan bahwa hingga kini program obat murah itu kurang dipercaya oleh dokter ataupun masyarakat. Setidaknya itulah yang disimpulkan oleh Syamsul Arifin, Direktur PT Kimia Farma, dalam diskusi bertajuk, "Obat Generik, Obat Murah atau Murahan", tanggal 27 Februari 2008. 

Dalam diskusi tersebut terlontar kesaksian bahwa dalam pengalaman penggunaannya, obat generik ternyata juga memiliki kualitas yang rendah, sehingga dokter pun enggan memberikannya pada pasien, belum lagi dengan adanya efek samping yang mengakibatkan efektivitas obat generik itu dipertanyakan. 

Lebih aneh lagi obat generik itu ternyata masih juga sulit di dapat di apotek, padahal jumlahnya mencapai ratusan dan sering membuat pusing dokter untuk mengingatnya. 

Harus diakui, semua kejelekan yang ditempelkan pada obat murah itu memang belum merupakan hasil penyelidikan yang terpercaya, namun setidaknya itu mestinya menjadi pendorong untuk pemerintah mengevaluasi program obat murah tersebut. 

Kalau tidak berapa banyak uang yang harus terbuang percuma untuk membiayai program obat murah itu. Perlu Koordinasi Kegagalan obat murah untuk dipercaya oleh masyarakat sebenarnya terkait minimnya koordinasi pemerintah dengan para dokter. 

Demikian juga dengan penjual obat, dalam hal ini pemilik apotek, yang merupakan media penting bagi promosi tersebut, jika memang pemerintah tak punya cukup uang untuk mempromosikan obat murah itu layaknya promosi obat bermerek. 

Apabila koordinasi Departemen Kesehatan terjalin baik dengan para dokter, masyarakat tentu akan dapat menerima obat murah tersebut, karena yang merekomendasikannya adalah dokter yang bertanggung jawab merawatnya. Ini, tentunya akan memangkas biaya iklan yang sangat tinggi. 

Kurangnya koordinasi itu juga terlihat, dengan tidak bersedianya dokter memberikan obat generik karena kuatir akan efek samping dari penggunaan obat tersebut. 

Padahal, jika ada koordinasi, pastilah ada umpan balik dari para dokter sebagai upaya penjagaan kualitas obat murah tersebut. Sangat disayangkan, jika program obat murah yang terdengar indah di telinga itu hanya indah di atas kertas, apalagi mengingat begitu berartinya obat bagi masyarakat miskin. 

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan sudah sepatutnya mengevaluasi program obat murah tersebut. Jika tidak, obat murah untuk rakyat hanya akan menjadi mimpi indah yang tak pernah menjadi kenyataan. 

Dr. Binsar Hutabarat

Friday, April 9, 2021

Kemerdekaan dan Ekonomi Pancasila





Kemerdekaan adalah “jembatan emas” untuk memerdekakan rakyat Indonesia. 



Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia harus berjuang memanfaatkan seluruh kekayaan alamnya secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat. 

Pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-64 ini, kita perlu bertanya, apakah kemerdekaan itu sungguh-sungguh telah menjadi “jembatan emas” bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat? 

Apakah Negara Republik Indonesia telah dan masih terus memiliki kedaulatan untuk memanfaatkan seluruh kekayaan alamnya hanya untuk kesejahtaraan rakyat? 

 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dalam kongres ke-17 di Bukittinggi, Sumatera Barat, menyimpulkan, ekonomi Indonesia, saat ini, didominasi oleh asing. Ini terjadi karena Indonesia telah membuka diri terlalu jauh terhadap investasi asing. 

Akibatnya, sejumlah bidang strategis yang awalnya dikuasai negara kini telah dikuasai asing. Padahal, bidang strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut, menurut UUD 1945, harus tetap dikuasai negara. 

 Beberapa abad yang lalu, Francis Bacon sudah mengingatkan bahwa landasan teleologis ilmu ialah meningkatkan kesejahteraan manusia. Ilmu (yang memberikan pengetahuan) dan teknologi (yang menunjukkan cara untuk memakai pengetahuan itu) memberikan kemampuan pada manusia untuk dapat mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Itulah sebabnya pengetahuan dan kepandaian telah membuat negara yang miskin sumber alam, seperti Korea Selatan, Jepang, dan khususnya negara-negara Barat, berhasil memajukan negeri mereka. 

 Kemampuan mengolah alam dengan menggunakan teknologi menjadikan negara maju bukan saja dapat memaksimalkan hasil alam mereka, tapi juga telah memberikan mereka kemampuan untuk mengolah hasil alam dari negara-negara yang melimpah sumber alamnya, namun gagap dalam teknologi. 

 Kemajuan teknologi kemudian menimbulkan persoalan baru dalam hubungan antarnegara. Kemajuan teknologi membuat negara-negara maju tergoda untuk merampas kedaulatan negara-negara miskin yang merdeka melalui penguasaan ekonomi demi memuaskan nafsu serakah manusia. 

Teknologi sesungguhnya tidak netral dan teknologi telah dikuasi oleh nafsu manusia untuk berkuasa. Kemajuan teknologi terbukti telah melahirkan era baru penjajah di bidang ekonomi. Ini merupakan fenomena baru setelah Perang Dunia II, dan Indonesia adalah salah satu korbannya. 

 Bacon juga menurunkan diktum yang tersohor bahwa ilmu adalah kekuasaan dan teknologi adalah tangan ilmu. Perusahaan multinasional yang menguasai Indonesia dengan kepemilikan teknologi tinggi haruslah dicurigai. 

Pemerintah Indonesia jangan berpikir bahwa perusahaan multinasional itu akan membagi keuntungannya dengan adil dengan Indonesia, apalagi ketika terjadi perselingkuhan antara penguasa dan perusahaan multinasional. 

Hasil pembangunan tidak akan diarahkan untuk pemenuhan kepentingan hidup orang banyak. Secara de jure, Indonesia masih menjadi negara yang merdeka, namun kedaulatan negara terus mengalami krisis. 

Tergerusnya kedaulatan di bidang ekonomi otomatis akan membuat kemerdekaan tidak lagi efektif sebagai jembatan emas untuk menyejahterakan rakyat, yang masih banyak hidup dalam kemiskinan. 

Jika kondisi ini dibiarkan, bukan mustahil Indonesia akan menjadi negara gagal, sebagaimana terjadi pada negara-negara di benua Afrika. 

 Ekonomi Pancasila 

 Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 secara indah melukiskan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” 

 Pembangunan Indonesia adalah hasil kerja sama seluruh rakyat Indonesia untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menetapkan, rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesejahteraan melalui pengelolaan alam Indonesia yang dikuasai oleh negara. 

Makin lebarnya jurang antara yang kaya dan miskin mengindikasikan adanya penyimpangan dalam pembangunan bangsa Indonesia. Hal yang sama dijelaskan oleh sila kelima dari Pancasila. 

Pembangunan masyarakat, termasuk pembangunan dalam bidang ekonomi, harus memberikan keadilan bagi semua rakyat. Kelima sila Pancasila itu oleh Soekarno diperas menjadi satu sila, yakni Gotong Royong, yang bagi Soekarno merupakan intisari dari Pancasila, dan menjadi dasar bagi pembangunan Indonesia, yakni suatu pembangunan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dalam hal ini bagi seluruh rakyat. 

 Masih relevannya Ekonomi Pancasila ini, juga diteguhkan oleh ISEI dalam kongres ke-17 di Padang, yang mengusulkan agar Indonesia kembali ke Ekonomi Pancasila. 

Denasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang telah menguasai bidang-bidang strategis di negeri ini, harus segera dilakukan untuk mengobati krisis kedaulatan, yang kini terjadi di Indonesia. Hanya dengan cara inilah Indonesia bisa mencapai tujuan negara adil dan makmur. 

Binsar Antoni Hutabarat

Get our how to guide

    We respect your privacy. Unsubscribe at anytime.