google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT: Penjara Berujung Kematian

Halaman

Penjara Berujung Kematian




 



Terkait kondisi penjara yang makin tak nyaman bagi para penghuninya, artis Roy Marten dalam suatu seminar antinarkoba berujar, sebaiknya pecandu narkoba jangan ditahan, melainkan dimasukkan ke dalam lembaga rehabilitasi. 

Menurut Roy, di balik jeruji penjara ternyata para pengedar barang-barang haram tersebut tetap beroperasi. Akibatnya, pecandu narkoba tetap saja dapat mengonsumsi narkoba dan mereka tak mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada benda terlarang itu. 

Untuk mereka yang berkantung tebal dan hanya sedikit tekad untuk melepaskan diri dari keterikatan pada narkoba, penjara memang bukan tempat yang cocok. Tapi uang telah membuat mereka selalu bisa menikmati barang haram itu, meski berada di balik jeruji. 

Sedangkan bagi mereka yang tak punya uang, kemarahanlah yang mereka pendamkan, dan sikap diskriminatif itulah yang mereka terima. Lembaga pemasyarakatan (LP) yang diharapkan menjadi tempat pembinaan para narapidana untuk kemudian bisa kembalik ke masyarakat, akhirnya benar-benar menjadi penjara bagi para penghuninya. Cukup banyak indikasi pelanggaran hak-hak manusia. Tinginya nyawa yang melayang di balik jeruji besi adalah akibat praktik pembiaran yang kerap dilakukan di LP-LP. Pembiaran napi yang sakit dan kemudian mati merupakan bukti bahwa semangat balas dendam masih kental di LP. Ini adalah perlakuan yang tidak manusiawi. 

Bentham, seorang penganut teori hukum utilitas, mengingatkan, “Jikalau memang terpaksa harus diterima, hukuman itu harus diterima sejauh menjanjikan pengecualian dari kejahatan yang lebih besar”. Hukuman dapat dibenarkan hanya kalau menghasilkan akibat-akibat baik. 

Membiarkan napi mati dalam penjara karena sakit yang diderita atau karena kondisi tahanan yang buruk jelas suatu perbuatan melawan hukum. Apakah akibat baik dari membiarkan napi mati dengan sakit yang dideritanya tanpa memberi pertolongan yang memadai? Tentu saja tidak ada keuntungan sedikit pun bagi narapidana. 

Dari sudut pandang retribusi, pembiaran yang menyebabkan kematian napi juga tidak dapat dibenarkan. Dalam The Chritique of Practical Reason (1788) Kant menulis,”Jikalau seseorang yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai akhirnya menerima cambukan secukupnya, setiap orang menyetujuinya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, meski selanjutnya tak sesuatu pun dihasilkan darinya.” 

Hukuman bisa saja diberikan setimpal dengan pelanggaran seseorang, tapi ia tetap berusaha untuk mengembalikan manusia pada kodratnya. Membiarkan napi tentu saja menyalahi hukum retributif karena di sana terbaca adanya penambahan hukuman, yaitu menghukum manusia dalam kondisi yang bukan manusia (inhuman).

Gotong Royong 

Rumah tahanan yang kini disebut dengan istilah lembaga pemasyarakatan seharusnya menjadi tempat di mana di sana ada kasih dan persahabatan. Hanya dengan demikian narapidana dapat disadarkan untuk kembali ke jalan yang benar, dan dari sana pula mereka bisa merajut kehidupan bersama yang lebih baik di tengah masyarakat. 

Wajah garang para penjaga penjara mestinya tak perlu dipamerkan di sana. Hanya ada kasih dan persahabatan di lembaga permasyarakatan. Tapi kita semua tahu, bahwa rumah tahanan kini menjadi amat menakutkan. Lantas, mengapa istilah lembaga pemasyarakatan tetap saja digunakan? 

Kalau dana yang menjadi alasan sehingga banyak program pemasyarakatan tidak berjalan, mengapa kemudian narapidana diperas secara amat tidak manusiawi? Negeri ini memiliki banyak orang-orang filantrop yang bersedia membantu. Bahkan kalau mau jujur, banyak penjara di Indonesia mendapat kunjungan kaum filantrop. 

Kalau saja ada transparansi, LP tidak perlu kekurangan dana atau ketiadaan tenaga medis. Rakyat di negeri ini sudah terbiasa hidup bergotong royong dan suka membantu. Kebesaran Jiwa Kebesaran jiwa seseorang bisa dilihat dari bagaimana sikapnya terhadap orang yang memusuhinya. Jauh dari sikap membalas dendam apalagi berniat membinasakan musuh adalah suatu sikap yang menunjukkan kebesaran jiwa seseorang. 

Perbuatan jahat dipahami sebagai pelarian manusia dari kodrat dirinya yang merugikan pelaku itu sendiri, karena itu pembalasan dendam tidak diperlukan, karena si pembuat kejahatan pada hakikatnya berada dalam posisi yang sedang memerlukan pertolongan. Pada kesadaran itu kemudian muncul pemahaman bahwa setiap orang perlu mendapat kesempatan untuk dapat berubah, memperbaiki diri, untuk kembali pada harkatnya yang semula. Kesempatan untuk berubah itu diakui menjadi kebutuhan semua manusia yang tidak pernah bebas dari salah. 

Pemberian kesempatan untuk berubah meniscayakan pemberian maaf pada pelaku kejahatan. Pada titik ini terlihat bahwa sikap memaafkan musuh memerlukan jiwa besar yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan diri untuk memahami keterbatasan orang lain. 

Kesadaran untuk memaafkan itu tidak berarti menafikan disiplin atau sanksi yang diperlukan untuk mengembalikan sang tersesat pada jalan yang benar. Tanpa sanksi, kesalahan bisa dianggap sebagai bukan kesalahan, namun pemberian sanksi harus didasarkan pada usaha untuk mengembalikan sang pelanggar hukum pada jalan yang benar. 

Luther mengibaratkan, “Di ujung tongkat harus ada buah apel.” Dilema Hukuman Menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan seseorang adalah tidak mudah. Tidak jarang pelaku kejahatan berat mendapat hukuman ringan sedangkan pelaku pelanggaran ringan mendapatkan hukuman berat. Ini umumnya terkait interpretasi hakim dan kemampuan pelaku menjelaskan fakta yang terjadi. Dilema ini kerap muncul di penjara. Seorang petugas lembaga pemasyarakatan sering tergoda untuk menjadi “hakim” di institusi yang menjadi binaannya. Mengapa hal itu terjadi? Bukankah vonis telah dijatuhkan di lembaga pengadilan, sedangkan penjara tinggal melaksanakan apa yang diputuskan pengadilan? 

Tugas utama lembaga pemasyarakatan adalah mengembalikan napi pada masyarakat, bukan menambahkan hukuman pada napi. Mengeksploitasi napi jelas bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan moralitas. 

Binsar A. Hutabarat

No comments:

Post a Comment