Humility and the Elevation of the Mind to God
Humility and the Elevation of the Mind to God Kindle Edition
by Thomas A. Kempis (Author) Format: Kindle Edition
Humility and the Elevation of the Mind to God
Humility and the Elevation of the Mind to God Kindle Edition
by Thomas A. Kempis (Author) Format: Kindle Edition
Pertanyaannya kemudian, apakah bisnis online ini memberikan peluang dunia usaha, atau menjadi ancaman akibat banyaknya pemutusan hubungan kerja dengan semakin gencarnya perushaan perdagangan online menawarkan diskon dan fasilitas lainnya.
Demikian juga dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan yang harus ditutup karena sepi pelanggan, secara khusus bisnis fashion.
Pemungutan suara sebagai ruang kedaulatan rakyat dalam menentukan perubahan di Indonesia melalui pergantian kepemimpinan telah berlangsung dengan damai dan aman.
Selanjutnya, masyarakat Indonesia perlu menantikan penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihsn Umum (KPU) dengan damai.
Penghitungan suara cepat atau QUICK COUNT melaporkan bahwa pasangan calon 02 meraih suara mutlak, dan pemilu akan berlangsung dalam satu putaran, tapi tetap saja penetapan final berada ditangan KPU.
Suara-suara yang menginformasikan adanya kecurangan pada saat pemungutan suara terus berlangsung, tapi usaha untuk mendapatkan data yang valid, artinya perlu ada bukti-bukti yang jelas untuk memastikan apakah kecurangan itu sistematis atau tidak membutuhkan data yang cukup.
Kita setuju untuk mengawal terus penghitungan suara yang sedang dilakukan, namun tentu saja dengan penuh kehati-hatian, dan jangan juga menolak penghitungan suara cepat, karena penghitungan suara cepat itu sendiri merupakan usaha untuk mengawal pemilu yang adil dan jujur sebagai penghargaan terhadap kedaulatan rakyat.
Siapapun yang menang dalam pemilihan calon Presiden dan wakil presiden kemenangan untuk rakyat Indonesia, secara khusus dalam memberikan ruang terhadap kedaulatan rakyat.
https://www.binsarinstitute.com/2024/02/pemungutan-suara-telah-selesai-what-next.html
Hidup bersama selalu saja menghadirkan persoalan, meski pada saat bersamaan juga menghadirkan kebaikan bersama.
Bagaimanakah dalam keterbatasan manusia, relasi antar sesama itu bisa menghadirkan kebaikan, dan kedamaian bersama.
Mungkinkah sebuah etika global dapat mewujud dalam hidup bersama manusia yang terbatas itu?
Berbicara terkait etika global, bisa jadi kita hanya akan terjebak pada sebuah mimpi indah, yaitu mimpi tentang kedamaian antarsesama manusia yang tak mungkin mewujud. Kita hanya berandai-andai, jika ada aturan bersama, dan semua individu mengikuti aturan itu, surga tentu akan hadir di bumi ini.
Mimpi indah itu juga diutarakan kaum yang percaya akan keadilan pasar. Pemerintah tidak boleh campur pada urusan pasar, dan pasar akan punya keadilan pasar, Seperti kata Smith, ada tangan Tuhan yang mengendalikan pasar.
Nyatanya, negara maju terus maju, dan negara miskin tetap merana. Mereka yang kaya bisa lebih mudah menumpuk kekayaan yang jauh lebih besar lagi, sedang mereka yang miskin terseok-seok keluar dari kemiskinan. Pasar sesungguhnya tak memiliki keadilan. Pasar tak mungkin mewujudkan etika global yang dapat diataati bersama.
Dunia bisnis tak pernah menghadirkan keadilan, mesti ada aturan yang berada di atasnya untuk mengatur, tapi, dunia bisnia tak akan peduli dengan aturan itu, kecuali aturan itu bisa mempertahankan dan mengembangkan para pebisnis itu. Istilah “win-win solution”sebenarnya hanya sebatas ungkapan kosong, seperti candu untuk membungkam mereka yang miskin.
Bagaimana dengan pemerintahan bangsa-bangsa?
Lihat saja Myanmar, mereka yang berambisi untuk berkuasa tak pernah peduli dengan nasib rakyat. Berapa banyak nyawa rakyat yang dikorbankan untuk sebuah kekuasaan.
Janji kesejahteraan untuk rakyat hanya slogan, politik hanya bisa dipuaskan dengan kekuasaan. Adakah etika bersama yang bisa mengaturnya?
Paradoks Global dan Lokal
Global dan lokal itu suatu paradoks, mendamaikannya tentu saja tidak mudah. Soekarno pernah berusaha mendamaikan internasionalisme dan nasionalisme, dengan kalimatnya yang tersohor, “Nasionalisme Indonesia harus bertumbuh dalam taman sarinya internasionalisme.”Maksudnya adalah jangan buang “Nasionalisme” dan jangan tidak peduli dengan “Internasionalisme.” jangan jadi metropolitanisme dan jangan jadi chauvinisme.
Menurut saya etika global dan lokal adalah sebuah paradoks, etika global tidak boleh menelan etika pada komunitas tertentu, demikian juga etika komunitas tertentu jangan tidak peduli dengan etika global. Berarti etika global mestinya suatu meta etika, yang mengacu pada prinsip-prinsip universal.
Persoalannya, dalam teori kebijakan dipahami bahwa batasan publik dan privat itu tidak memiliki batasan yang tegas. Artinya nilai-nilai privat bisa menjadi nilai-nilai publik, demikian juga nilai-nilai publik bisa jadi hanya sekadar nilai privat.
Deklarasi universal HAM yang diagungkan sebagai piagam mulia, saat ini menjadi polemik, dan tidak semua negara bisa menerimanya, ambil contoh, instrumen hak-hak azasi universal itu yang turunannya ada pada konvensi-konvensi, tidak semua negara meratifikasinya, artinya tidak semua negara bisa menerapkan etika global itu pada batas-batas negara mereka.
Menurut saya, etika global itu bukan suatu kondisi tertentu, tapi sebuah pencapaian yang terus menerus berlangsung, etika global itu tidak pernah berhenti pada titik tertentu. Karena etika berbicara relasi antar manusia, maka sejatinya ketika global itu harus memanusiakan manusia.
Manakala ada aturan yang tidak memanusiakan mansia, maka aturan itu perlu diperbaiki. Etika global itu bukan kitab suci, bukan sebuah standar absolut, meski etika global itu mesti mengacu pada yang absolud, dan yang basolut itu hanya Tuhan.
Memaknai Etika Global secara benar.
Sebuah etika global, adalah sebuah pencapaian umat manusia dalam bersama-sama mengambil keputusan bersama untuk kebaikan bersama.
Etika global bukan produk orang cerdik pandai, meski keterlibatannya diperlukan, tapi kaum cerdik pandai itu tidak bisa menghasilkan etika global dari kepala mereka yang terbatas.
Para cerdik pandai itu, juga tokoh-tokoh agama, jangan pernah merasa memiliki solusi tunggal untuk semua persoalan umat manusia. Sebaliknya, para cerdik pandai, tokoh agama perlu mengakui keterbatasannya, untuk saling mendengarkan dan kemudian menghasilkan aturan yang lebih baik untuk semua.
Jadi, Merumuskan sebuah etika global, seperti juga sebuah kebijakan publik perlu melibatkan semua pemangku kepentingan, dan tidak boleh seorangpun merasa paling tahu yang terbaik untuk semua.
Karena itu saling mendengarkan dan menghargai keragaman pandangan perlu terus didengungkan untuk hadirnya sebuah etika yang menjadi jawaban bagi semua, meski itu sendiri tak pernah mencapai titik akhir.
http://www.binsarinstitute.com/2021/08/etika-global.html
7 Perkataan Yesus di Salib menjelaskan bahwa Yesus telah menyelesaikan rencana Allah Bapa untuk menebus dosa manusia.
Yesus mati di salib bukan karena manusia menginginkan Yesus mati di Salib. Tapi Yesus mati di salib untuk menggenapi rencana Kasih Anugerah Allah.
Penggenapan rencana kasih Allah yang dilaksanakan Yesus di salib terlihat jelas dalam tujuh perkataan Yesus di salib.
1. Ya Bapa, Ampunilah Mereka (lukas 23:34)
2. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus (Lukas23: 43)
3. Ibu inilah anakmu! (Yohanes 19: 25-27)
Setelah mengucapkan tiga perkataan tersebut di atas, selama tiga jam Yesus diam, kegelapan meliputi seluruh daerah itu.
4. AllahKu-AllahKu, Mengaa Engkau meninggalkan Aku? (Matius 27: 46)
5. Aku Haus ( Yohanes 19: 28)
6. Sudah Selesai (Yohanes 19:30)
7. Ya Bapa kedalam tanganMu Kuserahkan nyawa-Ku (Lukas 23: 46)
Perkataan yang keenam, sudah selesai menjelaskan bahwa rencana kasih Allah untuk menebus dosa manusia telah dilakukan dengan sempurna oleh Yesus. Manusia berdosa tidak harus mati karena dosa, tapi medapatkan hidup kekal di surga kekal.
Yesus yang adalah Allah berinkarnasi, mengambil tubuh manusia adalah manusia yang tanpa dosa. Yesus benar-benar mati, karena itulah Yesus dikuburkan. Tapi, Yesus yang mati itu bangkit kembali pada hari yang ketiga.
Kematian Yesus mendamaikan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya sendiri,dan manusia dengan sesamanya. Maka, memperingati Jumat Agung berarti memperingat peristiwa agung yang dilakukan Yesus, dan sejatinya menjadi teladan bagi semua umat manusia di bumi untuk hidup damai dengan Allah, diri sendiri, dan sesama.
Binsar Antoni Hutabarat
http://www.binsarinstitute.com/2021/08/ini-7-perkataan-yesus-di-salib.html
Agama-agama di Indonesia diharapkan kontribusinya untuk pembangunan bangsa, demikian juga hal nya dalam bidang pendidikan. Untuk memberikan kontribusi maksimalnya agama-agama tidak boleh lengket dengan politik, agama tidak boleh membiarkan dirinya dikooptasi oleh kekuatan politik tertentu. Agamaisasi politik, atau politisasi agama keduanya akan merugikan agama itu sendiri.
Meskipun agama dan negara adalah dua entitas yang terpisah dan berbeda, namun pemisahan mutlak di antara keduanya, tidak mungkin dilakukan. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, agama dan negara sebenarnya “disatukan dan diintegrasikan di dalam diri setiap individu.” Setiap individu pada saat yang sama adalah warga dari negara dan juga anggota lembaga agama. Setiap orang adalah, makhluk religius dan politik pada saat yang sama. jadi ide pemisahan mutlak dari perspektif agama sebagai “organisme” tetapi bukan sebagai “lembaga,” dari sudut pandang anggota lembaga agama yang pada saat yang sama adalah warga negara dan mungkin penguasa.
Kedua, penolakan terhadap ide pemisahan mutlak didasarkan pada keyakinannya bahwa selalu ada “karakter religius” di dalam negara dan “dimensi politik” di dalam agama. Mengenai hal ini Mark Juergensmeyer di dalam bukunya, The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State, telah berhasil menegaskan argumentasi ini. Darmaputera setuju dengan Juergensmeyer bahwa salah satu kesalahan besar dari nasionalisme sekuler adalah penegasannya bahwa politik bisa menyingkirkan agama. Dengan mengklaim bahwa politik bisa menyingkirkan agama, nasionalisme sekuler telah menyebabkan serangan balik yang diwakili oleh nasionalisme religius.Tidaklah mengherankan bahwa kaum nasionalis religius dipersatukan, di dalam istilah Juergensmeyer, “oleh musuh bersama – nasionalisme sekuler Barat – dan harapan yang sama bagi kebangkitan agama di dalam ruang publik.” Dengan demikian agama tidak bisa dipisahkan dari politik.
Juergensmeyer telah membuktikan bukan saja aspek politik dari agama, tetapi juga karakter religius dari negara. Nasionalisme sekuler, menurut Juergensmeyer, merupakan sejenis agama karena ia meliputi “doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial.”Garis antara nasionalisme sekuler dan agama selalu sangat tipis.
Dengan demikian ideologi-ideologi sekuler sama sekali tidak sekuler. Setiap ideologi, sebenarnya berfungsi sebagai “supra-agama, agama-sipil, atau agama-semu.” Dengan demikian, “politik murni” atau “agama murni” tidak pernah ada di dalam realitas. “Persimpangan” antara kedua entitas ini menimbulkan pertanyaan dasar, Bagaimana keduanya harus dihubungkan sedemikian rupa sehingga agama bisa melaksanakan tanggung jawab politisnya, dan negara melaksanakan tanggung jawab religiusnya, tanpa melanggar otonomi dan integritas masing-masing. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat relevan bagi Indonesia.
Di dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah satu-satunya alternatif yang paling baik jika Indonesia ingin menjaga kesatuan dan keberagamannya. Menurut Pancasila, agama dan negara tidak boleh sepenuhnya dilebur, atau dipisahkan secara mutlak. Di dalam berhubungan dengan dua ideologi yang berkonflik di antara bapak-bapak pendiri bangsa tahun 1945 – apakah Indonesia Merdeka akan didasarkan pada “dasar sekuler” dimana agama secara mutlak dipisahkan dari negara, atau, apakah akan didirikan atas “dasar agama” dimana negara diatur berdasarkan agama – solusi yang ditawarkan oleh Pancasila adalah bahwa Indonesia tidak akan menjadi negara sekuler atau negara agama.
Pemisahan agama yang ketat dari negara, yang merupakan tanda cara berpikir Barat, tidak cocok bagi Indonesia yang sangat religius. Posisi agama yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan pilihan negara sekuler sangat tidak mungkin.
Agama memiliki peran pemersatu, dan agama juga harus diakui memiliki peran penting di dalam pendidikan. Mengutip apa yang dikatakan Paulo Freire,
“Setiap proyek pendidikan bersifat politis dan penuh ideologi.Masalahnya adalah untukkepentingan atau menentang kepentingan siapa politik pendidikan itu diarahkan.”
Pendidikan nasional Indonesia kehilangan arah, karena tidak konsistennya elit di negeri ini untuk berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 45.
Politik pendidikan nasional belum diarahkan pada kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, dan masih melayani kepentingan tertentu. Itulah sebabnya nasionalisme Indonesia terus tergerus.
Apabila pemerintah konsisiten berpegang pada Pancasila maka agama-agama yang ada di Indonesia dapat memberikan kontribusi positifnya dalam membangun pendidikan nasional Indonesia dalam bingkai Pancasila dan semangat bhinekatunggal ika.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
http://www.binsarinstitute.com/2020/08/hubungan-agama-dan-negara-dalam.html
Pemimpin yang melayani berawal dari kehidupan yang didedikasikan kepada Allah untuk menjalankan misi Allah. Dengan kekuatan Allah seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk melayani Allah dan melayani sesamanya untuk menyelesaikan tugas misi Allah.
Kepemimpinan yang melayani didasarkan pada panggilan Allah, bukan dari manusia atau organisasi. Pemimpin yang melayani melaksanakan tugas dalam lingkup agenda/rencana Allah, dengan berdasarkan karakter Kristus, dan menuntun kepada tujuan yang Allah kehendaki, bukan tujuan manusiawi.
Misi harus diresapi dengan spiritualitas yang kuat, spiritualitas yang membangun karakter besar, dan terbentuk pada landasan hidup dalam hubungan cinta dengan Kristus. Sebuah misi tanpa jenis spiritual-pasti gagal. Itulah inti dari kepemimpinan yang melayani.
Spiritualitas Kristen adalah hadiah dan tugas. Hal ini membutuhkan persekutuan dengan Allah (kontemplasi) serta aksi di dunia (praksis). Ketika dua elemen ini dipisahkan, maka kehidupan dan misi gereja akan sangat terpengaruh.
Kontemplasi tanpa tindakan adalah pelarian dari realitas konkret; tindakan tanpa kontemplasi adalah aktivisme kurang makna transenden.
spiritualitas Kristen dan misi Kristen adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Hanya ketika saya tumbuh dalam iman, harapan, dan cinta, saya bisa melayani semua yang dipercayakan pada saya. Tuhan yang pergi ke tempat yang tenang untuk berdoa adalah pekerja yang sama ajaibnya dengan pekerjaan memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan (Markus 6: 30-44).
Panggilan tertinggi pemimpin yang melayani adalah melayani Allah dan untuk melayani orang-orang yang dipercayakan kepadanya. "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu bahwa Anda harus pergi dan menghasilkan buah dan buah kehidupan Kristen adalah mematuhi Allah."
Tiga peran pemimpin yang melayani:
1. Menunjukkan jalan. Pemimpin berjalan di depan dan pengikut mengikutinya.
2. Menolong kelompok yang dipimpinnya untuk menyelesaikan tugasnya. Setia dalam perkaran kecil, Matius 25:21
3. Seorang pemimpin akan melatih yang dipimpinnya untuk menjadi pemimpin.
Jenis pemimpin yang melayani:
1. Peminpin yang memiliki Karakter, kompetensi dan berpusat pada Kristus (Memiliki pengetahuan, karakter dan skill
2. Dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus
Pemimpin yang melayani dan Keserupaan dengan Kristus :
1. Keserupaan dalam karakter
2. Keserupaan dalam tujuan
3. Keserupaan dalam strategi
4. Kepemimpinan seperti Kristus dalam konteks budaya
Tuntutan Kepemimpinan Melayani:
1. Berkerohanian baik
2. Bermoralitas tinggi
3. Bertalenta mantap
4. berdedikasi penuh
5. Berpengertian dalam
6. Bereputasi indah, seorang yang terhormat, tanpa aib, noda dan cacat cela
Tak seorangpun dapat memenuhi persyaratan kepemimpinan Kristen. Hanya karena anugerah Allah, dalam pimpinan Roh Kudus, kita bisa menjadi pemimpin yang melayani. Seperti Yesus yang melayani murid-murid, dan juga kita semua.
Dr. Binsar A. Hutabarat, M.Th.