google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT: Etika Global

Halaman

Etika Global


 

Etika Global

Hidup bersama selalu saja menghadirkan persoalan, meski pada saat bersamaan juga menghadirkan kebaikan bersama. 


Bagaimanakah dalam keterbatasan manusia, relasi antar sesama itu bisa menghadirkan kebaikan, dan kedamaian bersama. 


Mungkinkah sebuah etika global dapat mewujud dalam hidup bersama manusia yang terbatas itu?


Berbicara terkait etika global, bisa jadi kita hanya akan terjebak pada sebuah mimpi indah, yaitu mimpi tentang kedamaian antarsesama manusia yang tak mungkin mewujud. Kita hanya berandai-andai, jika ada aturan bersama, dan semua individu mengikuti aturan itu, surga tentu akan hadir di bumi ini.


Mimpi indah itu juga diutarakan kaum yang percaya akan keadilan pasar. Pemerintah tidak boleh campur pada urusan pasar, dan pasar akan punya keadilan pasar, Seperti kata Smith, ada tangan Tuhan yang mengendalikan pasar. 


Nyatanya, negara maju terus maju, dan negara miskin tetap merana. Mereka yang  kaya bisa lebih mudah menumpuk kekayaan yang jauh lebih besar lagi, sedang mereka yang miskin terseok-seok keluar dari kemiskinan. Pasar sesungguhnya tak memiliki keadilan. Pasar tak mungkin mewujudkan etika global yang dapat diataati bersama.


Dunia bisnis tak pernah menghadirkan keadilan, mesti ada aturan yang berada di atasnya untuk mengatur, tapi, dunia bisnia tak akan peduli dengan aturan itu, kecuali aturan itu bisa mempertahankan dan mengembangkan para pebisnis itu. Istilah “win-win solution”sebenarnya hanya sebatas ungkapan kosong, seperti candu untuk membungkam mereka yang miskin.


Bagaimana dengan pemerintahan bangsa-bangsa? 

Lihat saja Myanmar, mereka yang berambisi untuk berkuasa tak pernah peduli dengan nasib rakyat. Berapa banyak nyawa rakyat yang dikorbankan untuk sebuah kekuasaan. 


Janji kesejahteraan untuk rakyat hanya slogan, politik hanya bisa dipuaskan dengan kekuasaan. Adakah etika bersama yang bisa mengaturnya?


Paradoks Global dan Lokal


Global dan lokal itu suatu paradoks, mendamaikannya tentu saja tidak mudah. Soekarno pernah berusaha mendamaikan internasionalisme dan nasionalisme, dengan kalimatnya yang tersohor, “Nasionalisme Indonesia harus bertumbuh dalam taman sarinya internasionalisme.”Maksudnya adalah jangan buang “Nasionalisme” dan jangan tidak peduli dengan “Internasionalisme.” jangan jadi metropolitanisme dan jangan jadi chauvinisme.


Menurut saya etika global dan lokal adalah sebuah paradoks, etika global tidak boleh menelan etika pada komunitas tertentu, demikian juga etika komunitas tertentu jangan tidak peduli dengan etika global. Berarti etika global mestinya suatu meta etika, yang mengacu pada prinsip-prinsip universal.


Persoalannya, dalam teori kebijakan dipahami bahwa batasan publik dan privat itu tidak memiliki batasan yang tegas. Artinya nilai-nilai privat bisa menjadi nilai-nilai publik, demikian juga nilai-nilai publik bisa jadi hanya sekadar nilai privat.


Deklarasi universal HAM yang diagungkan sebagai piagam mulia, saat ini menjadi polemik, dan tidak semua negara bisa menerimanya, ambil contoh, instrumen hak-hak azasi universal itu yang turunannya ada pada konvensi-konvensi, tidak semua negara meratifikasinya, artinya tidak semua negara bisa menerapkan etika global itu pada batas-batas negara mereka. 


Menurut saya, etika global itu bukan suatu kondisi tertentu, tapi sebuah pencapaian yang terus menerus berlangsung, etika global itu tidak pernah berhenti pada titik tertentu. Karena etika berbicara relasi antar manusia, maka sejatinya ketika global itu harus memanusiakan manusia. 


Manakala ada aturan yang tidak memanusiakan mansia, maka aturan itu perlu diperbaiki. Etika global itu bukan kitab suci, bukan sebuah standar absolut, meski etika global itu mesti mengacu pada yang absolud, dan yang basolut itu hanya Tuhan.


Memaknai Etika Global secara benar.


Sebuah etika global, adalah sebuah pencapaian umat manusia dalam bersama-sama mengambil keputusan bersama untuk kebaikan bersama. 


Etika global bukan produk orang cerdik pandai, meski keterlibatannya diperlukan, tapi kaum cerdik pandai itu tidak bisa menghasilkan etika global dari kepala mereka yang terbatas. 


Para cerdik pandai itu, juga tokoh-tokoh agama, jangan pernah merasa memiliki solusi tunggal untuk semua persoalan umat manusia. Sebaliknya, para cerdik pandai, tokoh agama perlu mengakui keterbatasannya, untuk saling mendengarkan dan kemudian menghasilkan aturan yang lebih baik untuk semua.


Jadi, Merumuskan sebuah etika global, seperti juga sebuah kebijakan publik perlu melibatkan semua pemangku kepentingan, dan tidak boleh seorangpun merasa paling tahu yang terbaik untuk semua. 


Karena itu saling mendengarkan dan menghargai keragaman pandangan perlu terus didengungkan untuk hadirnya sebuah etika yang menjadi jawaban bagi semua, meski itu sendiri tak pernah mencapai titik akhir.

http://www.binsarinstitute.com/2021/08/etika-global.html


No comments:

Post a Comment