google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Kemiskinan






 Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, perang terhadap kemiskinan di Indonesia terus dikumandangkan, bahkan itu menjadi tujuan utama yang menjadi cita-cita negara 

Namun, implementasinya ternyata terlalu lambat, apalagi ketika penduduk miskin kemudian hanya jadi komoditas politik, data yang ditampilkan tentang jumlah penduduk miskin selalu menimbulkan kecurigaan dan perbantahan, seperti yang terjadi pada laporan data penduduk miskin yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini yang kemudian dibantah oleh LIPI. 

Kepala BPS Rusman Heriawan menyatakan pendekatan kemiskinan Indonesia menggunakan metode basic need approach, bukan income approach. Dengan kebutuhan 2.100 kalori per hari, kemudian ditentukan berapa nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan itu. Garis kemiskinan Rp 186.636 dibentuk melalui konsumsi beras, sayuran, dan lain-lain. 

Jika, seseorang mampu memenuhi kebutuhan setara 2.100 kalori per hari, berarti dia memenuhi garis kemiskinan makanan, sehingga tidak tergolong miskin. Berdasarkan standar tersebut dilaporkan Jumlah penduduk miskin hingga Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang atau setara 15,42 persen, angka tersebut mengalami penurunan sebesar 2,21 juta bila dibandingkan pada Maret 2007 lalu yang mencapai 37,17 juta atau setara 16,58 persen. Berbeda dengan apa yang dilaporkan BPS, kajian P2E-LIPI melaporkan bahwa kenaikan harga BBM Mei 2008 membuat warga miskin bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92 5%), artinya ada kenaikan penduduk miskin sebesar 4,5 juta dibandingkan posisi 2007. 

Perbedaan itu menurut BPS karena LIPI memasukan kenaikan BBM, sedang Maret 2008 kenaikan BBM belum terjadi. Persoalan menentukan standar kemiskinan memang tidak mudah, apalagi dalam dunia yang makin kompleks, karena itu persoalan kemiskinan juga semakin kompleks. Namun itu tidak berarti bahwa tak ada formula ampuh untuk mengurangi kemiskinan, karena ternyata formula untuk mengurangi angka kemiskinan dari jaman ke jaman tidak pernah berubah, yaitu meningkatkan kompetensi manusia (memerangi kebodohan) dan membelenggu kerakusan manusia (menumpas kejahatan dan ketidak adilan). 

Yang menjadi persoalan sekarang adalah, berapa serius pemerintah bertekad untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan bukan hanya puas pada pelaporan angka kemiskinan yang sering kali bertentangan dengan realitas yang ada. 

Memerangi Kebodohan

Abraham Kuyper, seorang Perdana Menteri Belanda, yang terkenal dengan politik etisnya, yang menguntungkan Indonesia pada masa Penjajahan Belanda, dalam pidatonya pernah mengatakan, “tugas untuk memelihara dan mengusahakan bumi memerlukan pengetahuan. 

Untuk menyingkapkan potensi yang terkandung di dalam alam, atau mengarahkan kekayaan liar yang ada di dalam alam, manusia memerlukan kepandaian.” Pengetahuan dan kepandaian itulah yang menyebabkan banyak Negara yang miskin sumber alamnya, seperti Korea Selatan misalnya, telah berhasil menjadi Negara maju, karena mampu mengolah alam yang dianugerahi Tuhan. 

Sebaliknya ada Negara dengan sumber alam yang kaya, seperti Indonesia, namun rakyatnya masih banyak yang hidup dalam kemiskinan karena tidak memiliki kemampuan untuk mengolah alamnya. Kebodoham membuat manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengolah alam, dan tentu saja tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya melalui alam. 

Demikian juga kegagapan terhadap tekhnologi telah membuat Negara-negara dengan sumber alam melimpah tidak berhasil memanfaatkan sumber alamnya, sebaliknya Negara-negara dengan sumber alam yang minim, namun memiliki tenaga-tenaga yang akrab dengan tekhnologi telah mampu menarik manfaat dari kelimpahan sumber alam yang dimiliki oleh Negara-negara lain, khususnya dari Negara-negara miskin dengan kualitas kompetensi tenaga kerjanya yang lemah. 

Banyak rakyat Indonesia terus hidup dalam kemiskinan bukan karena mereka malas, tetapi karena memiliki kompetensi yang rendah, tak terdidik dan hidup kurang gizi. Malangnya, keseriusan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini untuk memerangi kebodohan masih terbilang minim, itu terlihat dari perdebatan alot mengenai anggaran pendidikan yang juga terkait dengan peningkatan kualitas guru. 

Melawan ketidakadilan 

Kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh kebodohan manusia, tetapi juga oleh ketidakadilan. Mengenai hal ini Penulis kitab Pengkhotbah menjelaskan, “Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi dibawah matahari, dan lihatlah air mata orang –orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena dipihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan” ( Pengkhotbah 4:1) Secara harfiah memang manusia bukan serigala atas sesamanya, manusia tidak saling memakan sesamanya. Tetapi dalam masyarakat yang tidak menghargai keadilan, manusia yang kuat memanfaatkan manusia yang lemah, dan yang lemah tak mampu memghindarinya. Ini adalah suatu kejahatan. 

Ketidak adilan, penindasan terhadap orang miskin, atau yang menyebabkan kemiskinan adalah salah satu persoalan serius yang menyebabkan kemiskinan terus bertambah, khususnya kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha, lebih parah lagi jika kejahatan itu dilakukan dalam perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. 

Penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, suap, merupakan persoalan serius yang membuat penduduk miskin terus bertambah. Penebangan hutan secara liar biasanya dilakukan melalui kerja sama antara pengusaha dan penguasa, pembabatan hutan secara semena-mena telah membuat rakyat miskin dengan pendidikannya yang rendah tidak lagi mampu mencukupi kebutuhannya melalui hasil hutan, belum lagi dengan adanya ancaman banjir yang makin memiskinkan mereka. 

Manusia yang kuat membengkokan hukum dan undang-undang untuk melampiaskan kerakusannya, itu adalah kejahatan yang memiskinkan manusia lainnya dan telah dilakukan sepanjang jaman. Kejahatan itu juga terlihat pada pengelolaan sumber daya alam yang tak membuat rakyat disekitarnya mengalami peningkatan taraf hidup, demikian juga dengan kecurangan dalam persaingan usaha, pemberian kredit usaha dll. 


Kemiskinan memang terus menjadi persoalan bagi negeri ini, tapi bukan berarti Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari belenggu kemiskinan, tetapi itu lebih disebabkan karena pemerintah dan kita kurang konsisten untuk berjuang melawan kemiskinan. Pemerintah memang wajib bekerja keras untuk melawan kemiskinan, namun perjuangan melawan kemiskinan semestinya tidak hanya menunggu niat baik pemerintah, melainkan harus dimulai dari setiap pribadi di negeri ini. 

Berjuang untuk menjadi cerdas dan mencerdaskan bangsa ini untuk memiliki kemampuan mengelola alam Indonesia yang subur dan bertindak adil terhadap sesama, adalah formula ampuh untuk melawan kemiskinan yang mesti kita kerjakan dan bukan untuk sekedar didengungkan apalagi hanya menjadi komoditas parta-partai politik.

Dr.  Binsar A. Hutabarat 

Diskriminasi





Berdasarkan jumlah penderita HIV/AIDS, Papua menduduki urutan kedua terbanyak setelah DKI Jakarta. Namun, berdasarkan prevalensinya Papua menduduki urutan pertama di Indonesia. 

Itulah sebabnya pemerintah daerah Papua berusaha dengan segenap tenaga untuk menekan laju pertumbuhan HIV/AIDS yang mematikan itu.

Gubernur Papua, Barnabas Suebu telah mencanangkan tanggal 1 Desember 2009 sebagai hari gerakan seluruh masyarakat Papua dalam menanggulangi HIV/AIDS. Keputusan ini tentu saja harus mendapat dukungan seluruh masyarakat Papua, karena semua orang di Papua khususnya memiliki kepentingan yang sama, yakni menekan laju pertumbuhan HIV yang mengancam setiap orang di Papua.

Kita semua mafhum, HIV /AIDS bukan hanya mengancam mereka yang terlibat seks bebas, atau kelompok berisiko tinggi, tetapi juga pada istri dalam keluarga baik-baik dan anak-anak, yang merupakan gelombang keempat dan kelima penularan HIV/AIDS. 

HIV/AIDS pertama kali berjangkit dikalangan pria homoseksual dan para pengguna narkoba. Gelombang kedua pada para pekerja seksual. Gelombang ketiga pada para laki-laki pelanggan, kemudian menulari istri dan pacar mereka, dan selanjutnya pada anak-anak mereka. Salah satu persoalan klasik yang bisa menjegal perjuangan seluruh masyarakat Papua dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah pemberian stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Apabila kejadian itu terus berlanjut, bukan mustahil tekad mulia Gubernur Papua itu tidak akan mendapat dukungan seluruh masyarakat Papua. Karena itu, menurut penulis, pemerintah daerah Papua harus mendampingi gerakan tersebut dengan gerakan anti stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. 

Stigma dan Diskriminasi 

Stigmatisasi (sangka buruk) dan diskriminasi terhadap mereka yang menderita HIV/AIDS telah menjadi fenomena biasa di Indonesia, juga di Papua. Penderita HIV/AIDS dituding sebagai orang yang tidak bermoral dan pendosa. Dalam masyarakat Papua masih ada kepercayaan bahwa HIV/AIDS adalah akibat dari sebuah kutukan. Stigmatisasi dan diskriminasi itu mengakibatkan orang dengan HIV bukan saja sulit mencari pekerjaan, tetapi juga akan membuat mereka kehilangan pekerjaan, perumahan dan menghadapi berbagai hinaan, perlakuan yang tidak manusiawi. 

Media sudah banyak melaporkan penderitaan mereka yang disingkirkan oleh masyarakat. Tindakan itu lahir akibat kepanikan anggota masyarakat yang sangat takut terjangkit HIV/AIDS, karena kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS dan cara menghindarinya. Ketakutan yang berlebihan itu sering kali mampu mengikis perasaan belas kasihan pada penderita HIV/AIDS. 

Stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA di Papua terbaca jelas pada usulan pemaksaan penggunaan chips atau pemberian tato sebagai tanda pada penderita HIV yang berbahaya, yang dikuatirkan akan dengan sengaja menyebarkan virus itu kepada orang lain. Tujuannya adalah, dengan adanya chips itu orang yang belum terinfeksi bisa waspada ketika berdekatan dengan mereka yang menderita HIV, dan orang yang terinfeksi tidak akan berani secara sengaja menyebarkan virus tersebut kepada orang lain. 

Jika penderita HIV nekat menyebarkan virus itu pada orang lain, mereka akan terkena sanksi hukuman. Semangat diskriminasi beberapa anggota DPRD Papua itu bermuara pada usaha melegalkan tindakan diskriminasi itu dalam bentuk peraturan daerah provinsi (raperdasi), yang kemudian melahirkan kontroversi dan berakibat dihentikannya pembahasan raperdasi tersebut. Semangat pencetus aturan yang diskriminatif terhadap ODHA itu tentu tidak dengan sendirinya padam setelah pembekuan raperdasi yang kontroversial itu. 

Kepanikan karena takut terjangkit HIV/AIDS akan membuat mereka nekat, dan dengan sengaja melakukan diskriminasi terhadap ODHA dengan menghadirkan aturan-aturan yang diskriminatif untukmelindungi diri mereka. Ini adalah persoalan yang harus diatasi oleh pemerintah Papua untuk mensukseskan gerakan penanggulangan HIV/AIDS di Papua. 

Pemerintah daerah Papua perlu mendengar perasaan frustasi penderita HIV/AIDS sebagaimana yang pernah diungkapkan di Jakarta, 29 November 2006, lewat empat puluh orang penderita HIV/AIDS yang berdemo di bundaran Hotel Indonesia (HI) menolak perlakuan tidak adil yang mereka terima. Demonstrasi itu merupakan cetusan betapa pahitnya hidup penderita HIV/AIDS. Disamping harus berjuang melawan penyakit karena menurunnya kekebalan tubuh akibat terinfeksi HIV, mereka juga harus mengalami penderitaan karena ditolak oleh masyarakat, bahkan oleh anggota keluarga mereka. Suara frustasi penderita HIV pada demonstrasi itu tercetus saat mereka melontarkan ancaman akan menularkan virus yang ada dalam tubuh mereka kepada masyarakat umum, termasuk dokter dan aparat kepolisian jika diskriminasi terhadap mereka tidak dihentikan. 

Rumor tentang pelaksanaan ancaman itu kemudian juga terdengar di berbagai tempat, juga di Papua. Ancaman itu tentu saja amat menakutkan, tapi secara bersamaan mestinya mengingatkan masyarakat bahwa itu adalah luapan rasa frustasi ODHA yang tak lagi mampu menanggung penderitaan, dan membutuhkan pertolongan semua pihak. 

Penderita HIV/AIDS jangan lagi dibebani dengan stigmatisasi dan diskriminasi. Ancaman penderita HIV/AIDS yang sedang frustasi itu juga tidak boleh dijadikan “kambing hitam” atas tingginya penularan virus tersebut. Apalagi jika kemudian itu dijadikan dasar untuk melegalkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Kepanikan dalam menangani bencana HIV/AIDS bisa saja melahirkan kebijakan prematur yang bersifat diskriminatif. 

Kebijakan prematur tersebut tentu saja tidak produktif dalam mengatasi bencana HIV/AIDS yang sesungguhnya membutuhkan kerja sama semua fihak, baik penderita maupun mereka yang belum terjangkit, dan pemerintah daerah harus berusaha mengatasi persoalan itu. ODHA juga manusia Tepatlah apa yang dikatakan Prof Jonathan Mann (almarhum), perintis paduan ilmu kesehatan dan HAM Universitas Harvard dan mantan Direktur Program Global WHO, ketika menjelaskan bahwa program penanggulangan AIDS di suatu negara bisa berhasil dengan cara merangkul, “memanusiakan” orang-orang dengan HIV/AIDS. 

Penderita HIV/AIDS yang diterima dengan baik tentu saja akan bersedia ikut dalam usaaha penaggulangan wabah itu. Hanya dengan cara itulah keterlibatan seluruh masyarakat Papua dimungkinkan. Sesungguhnya, penderita HIV/AIDS memiliki martabat yang sama dengan manusia lainnya, kemanusiaan mereka tidak pernah terhapus karena penyakit yang mereka derita, apalagi penyakit itu juga bukan pilihan mereka. ODHA juga manusia dan kemanusiaannya itu tidak bisa tercabut. Perlakuan manusiawi itu akan membuat mereka tidak akan merelakan saudara-saudara mereka di Papua menderita penyakit yang sama dengan apa yang mereka sedang derita. 

Secara internasional, pengakuan pentingnya menghargai ODHA sesuai dengan martabatnya sebagai manusia yang mulia juga tertuang dalam deklarasi UNGASS (United Nations General Assembly Special Session) pada tahun 2001. Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara yang menandatangani deklarasi tersebut. Karena itu sudah seharusnya penggulangan HIV/AIDS di Papua, dan seantero Indonesia memerhatikan deklarasi itu. 

Penderita HIV/AIDS sudah semestinya mendapatkan perlakuan yang manusiawi, dan dengan bekerjasama dengan merekalah kita bisa memutus rantai penyebaran penyakit itu. Anti Stigma dan Diskriminasi Sesungguhnya tak ada alasan sahih untuk mendiskriminasikan mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, apalagi saat ini banyak diantara mereka yang terinfeksi HIV/AIDS adalah anggota keluarga baik- baik. Melalui berbagai cara, HIV/AIDS menjangkiti banyak anggota keluarga baik-baik itu, bahkan diantara mereka yang menderita HIV/AIDS ada juga anak-anak, karena terlahir dalam kandungan ibu penderita HIV. 

Mengacu pada Deklarasi Universal HAM, siapapun tak boleh mencabut hak asasi seseorang, demikian juga sebuah virus HIV tidak bisa mencabutnya. Sikap-sikap yang diskriminatif dan mendeskreditkan kedudukan ODHA dalam masyarakat jelas pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Penanggulangan HIV/AIDS yang melibatkan seluruh masyarakat Papua, hanya mungkin terjadi jika promosi anti stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dilaksanakan dengan konsisten dan konsekwen seiring dengan gerakan penanggulangan HIV/AIDS. Hanya dengan itulah program penanggulangan HIV/AIDS yang melibatkan seluruh masyarakat Papua dapat terwujud. 

Disamping itu, kampanye anti stigma dan diskriminasi yang menjadi bagian dalam program penggulangan HIV/AIDS ini juga akan menolong pemerintah daerah dalam menekan angka kemiskinan di Papua, karena HIV/AIDS bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga memiskinkan keluarga yang terjangkit HIV/AIDS, apalagi jka mereka diperlakukan secara diskriminatif. 

Binsar Antoni Hutabarat