google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Pluralitas Agama Bukan Ancaman

 

 Pada Konsultasi Teologi Nasional Persekutuan gereja-gereja di Indonesia (31 oktober- 4 November 2011) di Cipayung dengan tema, “Berjuang Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan” disimpulkan  bahwa larangan beribadah dan penutupan rumah ibadah secara paksa oleh kelompok -kelompok tertentu semakin banyak terjadi.  Itu membuktikan, di negeri yang amat beragam ini, masih terdapat kelompok-kelompok yang memusuhi keberagaman agama-agama.

 Ubud, Indonesia, Candi, Bali, Sejarah

Lebih lanjut, Konsultasi Teologi tersebut menegaskan, “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan agama-agama, namun keragaman itu dilihat dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.”Masih banyak individu atau kelompok yang memandang keberagaman agama-agama bukan sebagai kekayaan yang harus disyukuri melainkan dianggap sebagai malapetaka.

 

Terbukti, sampai akhir Oktober  2011, berdasarkan laporan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI), telah terjadi penutupan dan ancaman terhadap 34 Gereja di negeri ini. Rentetan peristiwa ancaman kekerasan agama tersebut makin bertambah panjang dengan terjadinya gangguan terhadap 9 buah gereja di kampung rawa kalong, Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun selatan, kabupaten bekasi, Jawa Barat pada bulan November yang baru lalu.  Dan pada awal Desember, bulan dimana seringkali ancaman terhadap kebebasan beragama kerap terjadi, lima buah gereja di Kecamatan Pracimantoro, kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, juga mengalami gangguan.

Pada 2011 tercatat  47 Gereja mengalami gangguan di tanah air ini. Jadi, ancaman terhadap kebebasan beribadah di negeri ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Menjelang perayaan Natal tahun ini, jika pemerintah tidak segera mengantisipasinya Gereja-gereja yang mengalami gangguan pada tahun ini bisa lebih banyak lagi. Artinya, ancaman terhadap kebebasan beragama pada tahun ini bisa jadi akan lebih hebat dibandingkan tahun -tahun sebelumnya.

 

 

Bergerak mundur

 

Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let die). Agama-agama hidup bersama tapi tak memiliki kerjasama yang baik sehingga tak terjadi pergaulan yang saling memperkaya. Realitas tersebut bertolak belakang dengan masa lalu negeri ini.

 

Masyarakat Indonesia mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai. Indonesia terkenal dengan pluralismenya dan semangat interdepedensi agama-agama yang tinggi. Indonesia tersohor dengan sebutan surganya agama-agama. Di Indonesia agama-agama mendapatkan tempat persemaiannya yang subur. Itulah sebabnya   agama-agama besar yang berasal dari luar negeri ini, seperti Islam, Kristen, Hindu,  Budha serta Kong Fu Tsu dapat bertumbuh subur. Bahkan agama-agama itu kemudian bercampur menjadi aliran-aliran kebatinan yang hingga kini tetap eksis di negeri ini.

 

Pancasila dengan semangat Bhineka Tunggal Ika Nya menjadi payung yang lebar bagi semua agama-agama yang berbeda dan beragam, dan agama-agama yang berbeda dan beragam itu diterima sebagai kekayaan dan bukan sebagai ancaman. Jadi, sikap curiga antaragama bukanlah warisan leluhur bangsa ini. Bisa dipastikan, makin tergerusnya nilai-nilai ke-Indonesiaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila adalah penyebab utama raibnya rasa saling percaya antarwarga bangsa di negeri ini.

 

Hubungan harmonis antar agama-agama yang lama bersemi di negeri ini lambat laun kian memudar, hubungan antar agama bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam. Khususnya setelah berakhirnya era absolutisme Soeharto. Kekerasan agama-agama meledak di berbagai tempat di seantero negeri ini. Ironisnya, pemerintah era reformasi seakan tak berdaya meredam maraknya kekerasan agama di negeri ini.

 

Meningkatnya intoleransi agama di negeri ini diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus menguat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu justru makin melemah.

 

 

Pluralitas bukan ancaman

 

 

Intoleransi agama yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan agama sesungguhnya melanggar konstitusi  negeri ini yang mengatur hak setiap warga negara untuk beribadah. Pemerintah sebagai penerima mandat konstitusi tidak boleh membiarkan penyerangan terhadap kebebasan beragama terjadi di negeri ini. Sebaliknya pemerintah harus konsisten mendorong kehidupan yang saling menghargai antarwarga bangsa yang berbeda dan beragam agama.

 

Tidak tuntasnya penyelesaian kasus penutupan, penyegelan, sampai pada perusakan dan  pembakaran rumah ibadah yang terjadi di negeri ini  telah menjadi preseden buruk bagi  penegakan HAM di Indonesia. Pembiaran terhadap kasus tersebut telah melahirkan banyak kasus di berbagai daerah di Indonesia.  Akibatnya, ancaman terhadap kebebasan beragama terus berlangsung di negeri ini. Pluralitas agama masih di tolak oleh banyak orang di negeri karena minimnya konsisitensi pemerintah dalam menangani kasus-kasus bernuansa agama.

 

Lemahnya konsisitensi pemerintah dalam memberikan proteksi kebebasan beribadah terlihat jelas pada kasus penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Sejak 2008, umat GKI Yasmin berjuang untuk mendapatkan hak mereka yang dilindungi oleh konstitusi, bahkan perjuangan itu mendapatkan dukungan umat berbagai agama yang pro-pluralisme, namun IMB yang telah mereka dapatkan  secara sepihak dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Meski telah memenangi  gugatan di PTUN Bandung, bahkan telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA), Wali kota  Bogor Diani Budiarto bergeming dengan sikapnya, yakni tetap membekukan IMB GKI Yasmin, bahkan melarang umat beribadah di lokasi tersebut.

 

Herannya, pemerintah pusat tetap tak bereaksi. Padahal, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi  mengakui bahwa peristiwa itu akan menciptakan instabilitas Kota Bogor setelah beberapa partai politik mencabut dukungannya kepada Diani Budiarto.

 

Pemerintah, sebagai pemegang mandat konstitusi bertanggung jawab langsung untuk menegakkan konstitusi. Pemerintah harus aktif memproteksi hak kebebasan beragama setiap warga negara yang memeluk agama apapun. Karena pluralitas agama adalah realitas yang diakui oleh konstitusi di negeri ini.

Sikap tegas pemerintah terhadap kelompok-kelompok intoleran yang gemar melakukan kekerasan tentu saja akan mendapat dukungan mayoritas rakyat di negeri ini. Sikap tegas pemerintah dalam berpegang pada konstitusi akan berbuah manis, yakni bertumbuhnya semangat toleransi yang merupakan nilai-nilai bermutu bangsa ini, sehingga keberagaman agama-agama dapat diterima sebagai sebuah kekayaan, bukan ancaman.

 

Binsar A. Hutabarat


http://www.binsarinstitute.com/2020/07/pluralitas-agama-bukan-ancaman.html


Clip Studio Paint

Pancasila dan kata bersama

 “PANCASILA DAN KATA BERSAMA”



Kristen dan Islam mengakui bahwa dunia yang mereka tempati diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Tuhan Yang Esa tersebut juga berdaulat atas dunia ini, dan telah memerintahkan kepada kedua agama itu untuk hidup “mengasihi Allah dan sesamanya,”yang dikenal dengan sebutan kata bersama (common word). Lantas, mengapa kekerasan atas nama agama masih saja terus berlanjut di negeri ini, dan ini juga terjadi pada kedua agama itu?


Populasi umat Islam dan Kristen yang merupakan jumlah terbesar di negeri ini memiliki peran strategis bagi terciptanya Indonesia yang penuh kedamaian. Indonesia seharusnya bisa menjadi teladan bagi negera-negara lain dalam menciptakan kedamaian antara agama-agama, apalagi Indonesia telah memiliki kata bersama jauh sebelum dokumen  itu dilahirkan, yakni di dalam Pancasila yang adalah konsensus bersama agama-agama di Indonesia.


Geneologi “kata bersama”


September 2007, bentuk akhir dari dokumen yang berisi Sebuah “Persamaan di antara Kami dan Kamu” yang digagas oleh 138 cendikiawan, ulama dan intelektual Muslim diperlihatkan dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Akademi Kerajaan dan Institut Aal al- Bayt, dengan tema “Kasih di dalam Al Quran”.


Dokumen yang menetapkan adanya kata bersama antara umat Islam dan Kristen tersebut ditanda tangani oleh setiap denominasi, dan kelompok pemikiran Islam. Setiap negara atau wilayah Islam besar di dunia terwakili dalam pesan yang disingkat menjadi kata bersama.  Dan pesan tersebut ditujukan kepaada pemimpin, dan Gereja di seluruh dunia.


Dalam pesan tersebut juga dinyatakan bahwa sesungguhnya Umat Islam dan Kristen sama-sama mengakui adanya Allah yang esa dan kedua agama sama-sama diperintahkan untuk mengasihi Allah dan sesamanya, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. Dan Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Bunyi kata bersama itu ada dalam kedua kitab suci agama itu, dan bukan merupakan usaha mengkompromikan ajaran agama-agama yang mereduksikan nilai-nilai agama-agama itu.


Apabila kita melihat lebih jauh pada agama-agama di luar Islam dan Kristen, pengakuan adanya “kata bersama” sebenarnya bukan hanya ada pada agama Islam, Kristen dan Yahudi yang memiliki akar tradisi yang dekat, namun juga terdapat pada agama-agama lain. Jadi, agama-agama sesungguhnya memiliki tugas mulia untuk menciptakan kedamaian di bumi, sebagaimana dikatakan oleh Hans Kung, “tidak mungkin ada kedamaian tanpa kedamaian di antara agama-agama. Sebagai seorang yang beragama, tidaklah patut berbicara tentang kedamaian tanpa berusaha untuk hidup damai dengan agama-agama lain.


Pengakuan kata bersama menjadi penting bagi umat Islam dan Kristen, bukan hanya karena keduanya memiliki garis tradisi yang dekat, namun Islam dan Kristen merupakan agama-agama yang dipeluk oleh banyak masyarakat di dunia. Artinya, apabila ada kedamaian antara kedua agama tersebut, maka kedamaian dunia sudah hampir dapat dipastikan terjadi. Hubungan Islam dan Kristen yang harmonis sudah pasti dapat menjadi motivasi bagi semua agama-agama untuk hidup bersama dengan damai.


Pancasila dan  kata bersama


Umat beragama di Indonesia menerima Pancasila bukan karena Pancasila itu menguntungkan bagi kelompok agama tertentu. Tapi lebih karena sebagaimana dikatakan oleh TB Simatupang, Pancasila ibarat payung yang lebar bagi agama-agama. Identitas agama-agama yang beragam di Indonesia diakui identitasnya, bahkan agama-agama didorong untuk dapat memberikan kontribusinya bagi pembangunan bangsa sebagaimana pernah didengungkan para pendidri bangsa ini.  


Pancasila adalah konsensus bersama agama-agama sebagaimana tertuang dalam “kata bersama,” karena tidak satu pun agama di negeri ini yang menganggap agama lain sebagai musuh, dan sila-sila di dalam Pancasila memiliki pembenaran pada setiap agama-agam yang ada di negeri ini. 


Kalau saja semua orang dinegeri ini mau konsisten dengan Pancasila, maka koflik antar agama atau konflik dalam agama yang terjadi karena perbedaan ajaran atau doktrin, sesungguhnya tidak perlu terjadi. Pancasila memberikan tempat pada agama-agama tanpa harus melepaskan identitasnya. Demikian juga perbedaan ajaran agama dapat diselesaikan dengan cara-cara yang santun sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. 


Sebagaimana kata bersama adalah dasar bagi dialog antar agama untuk saling memahami, demikian juga adanya dengan Pancasila. Masyarakat Indonesia sepatutnya tidak jemu-jemu mendengungkan Pancasila sebagai kata bersama semua umat beragama di Indonesia untuk menghadirkan Indonesia yang penuh dengan kedamaian.



Binsar A. Hutabarat

http://www.binsarinstitute.com/2021/08/pancasila-dan-kata-bersama.html