google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Tanggung Jawab Gereja Tentang Penginjilan

 








Tanggung Jawab Gereja TentangPenginjilan (Roma 10: 14-15)

Nats pembimbing: yesaya 52:7

Pendahuluan.

“Gereja adalah alat Tuhan untuk memberitakan kerajaan Allah yang menawarkan keselamatan bagi mereka yang menerimanya.” Roma 10:14-15 merupakan teks Alkitab yang menjadi dasar bagi orang percaya atau Gereja untuk menginjili mereka yang belum percaya.

Injiladalah universal

Roma 10 ayat 14 ini tidak dapat dipisahkan dari Roma 10:13, “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan”. Jadi bagi Paulus Injil adalah Universal, bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi juga untuk orang bukan Yahudi. Maka pemberitaan Injil harus ditujukan kepada semua manusia.

Dalam pertanyaan retorik Paulus di Roma 10:13-14 setidaknya kita menemukan empat hal penting  mengenai pentingnya penginjilan, antara lain:

1.      Orang bisa berseru kepada Tuhan jika mereka Percaya Allah sanggup menyelamatkan mereka.

2.      Orang bisa percaya kepada Tuhan jika mereka mendengar berita tentang  Yesus kristus.

3.      Orang bisa mendengar berita tentang Yesus Kristus, jika ada yang memberitakan.

4.      Orang bisa memberitakan Yesus Kristus, jika Tuhan mengutus mereka

Peran penting penginjilan untuk membawa orang percaya kepada Yesus, dan diselamatkan dilukiskan dalam yesaya 52:7, “Betapa Indahnya kedatangan Mereka yang membawa kabar baik”.

Tanggung jawab Gereja.

1.      Gereja diperintahkan untuk menginjil dan memuridkan.

2.      Gereja harus melatih petobat-petobat baru untuk menjadi murid Kristus.

3.      Gereja harus mengutus misionari, penginjil untuk menginjili mereka yang belum percaaya.


Roma 10:14-17  sering digunakan sebagai dasar untuk program misi gereja, dan itu tepat, namun aplikasi pertamanya untuk orang Yahudi. Orang-orang yahudi dapat diselamatkan hanya jika mereka berseru kepada Yesus.

Tapi sebelum mereka berseru kepada Yesus, mereka mesti percaya. Untuk orang Yahudi artinya mereka mesti percaya bahwa Yesus adalah Mesias israel. Yesus Kristus dari nazaret adalah putra Allah, Mati dan dibangkitkan. (Roma 10:9-10). Untuk itu mereka mesti mendengar Firman, karena imanlah yang menciptakan iman dalam hati yang mendengar. (Roma 10:17) Itu berarti seorang pemberita Firman Tuhan harus dikirim, dan Tuhanlah yang mengirim pemberita firman itu. Paulus dalam hal ini mengingat panggilannya untuk memberitakan Firman kepada orang bukan yahudi (Kisah 1:1-3)

Kutipan Roma 10:15 ditemukan dalam Yesaya 52:7 dan nahum 1:15. Pada Nahum menunjuk pada Kehancuran Kerajaan Assyur, kebencian musuh-musuh orang yahudi. Niniwe adalah kota kunci mereka, sebuah kota yang jahat dimana Tuhan telah mengirim Yunus pada 150 tahun sebelumnya. Nahum menulis, Allah sabar pada Ninewe, tapi sekarang penghakimannya akan jatuh pada Ninewe. Itu adalah kabar baik. Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik. Itulah yang membuat kaki-kaki mereka begitu indah.

Yesaya menggunakan statement ini untuk suatu peristiwa akan datang, kedatangan Kristus, dan mendirikan kerajaan-Nya.Yesaya 52:7-10. Kedatangan pemberita itu indah, karena Allah telah mengalahkan musuh-musuh Israel dan mesias memerintah dari Yerusalem. Tapi Paulus menggunakan kutipan itu dalam aplikasi pada masa kini. Pemberita Injil membawa kabar baik untuk Israel pada hari ini. Damai yang diucapkan adalah damai dengan Allah (Roma5:1) Damai dengan Allah berdampak antara orang yahudi dengan orang bukan yahudi, dengan membentuknya menjadi satu tubuh, yakni gereja (Efesus 2:13-17) Penolakan Israel dimpuni melalui mendengar Injil dan percaya pada Yesus Kristus.

Percaya Kristus bukan hanya persoalan percaya, tapi juga mentaatinya (Roma 6:17) Percaya dan taat, Iman yang benar mesti menyentuh kehendak, dan menghasilkan sebuah perubahan hidup.

Manusia tidak bisa selamat jika mereka tidak berseru kepada Yesus, , Tapi mereka tidak dapat berseru kepada Yesus jika mereka tidak percaya, Iman datang dari pendengaran, jadi mereka mesti mendengar berita Injil. Seorang utusan Injil harus datang padang pada mereka membawa berita injil. Itu berarti Allah harus mengutus mereka. Merupakan sebuah keistimewaan menjadi seorang pemberita Injil, memiliki kaki-kaki yang indah.

Dr. Binsar Antoni Hutabarat




https://www.joyinmyworld.com/2020/09/tanggung-jawab-gereja.html




Flower of the Month Club

Kerukunan Umat Beragama dalam Konteks Multikulturalisme

 







Flower of the Month Club THE ROLE OF NON-CIVIL SERVANT RELIGIOUS EXTENSION WORKERS FOSTER RELIGIOUS HARMONY IN THE CONTEXT OF MULTICULTURALISM

PERAN PENYULUH AGAMA NON PNS MEMBINA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM KONTEKS MULTIKULTURALISME






Widyaiswara (Balai Diklat Keagamaan

Papua). ymangapan@gmail.com


Yotan Manga’pan


ABSTRACTS

Implementation of Higher Order Thinking Skill (HOTS) in learning in schools / madrasahs is very necessary with the learning that was initially centered on teachers (teacher centered) turned into student centered. This study aims to determine the improvement of teachers'


ability to develop higher order thinking skill (HOTS) assessment instruments through Training Education activities in the Work Area (DDWK) held in Yapen Islands District. The research method used is descriptive qualitative method with data collection techniques through tests, performances, observations, documentation and interviews. The results of the research showed that the ability of teachers: (1) has been able to design planning and learning based on HOTS; (2) already skilled in selecting, utilizing and developing methods, models, media, learning resources that support HOTS-based learning objectives, (3) teachers are already skilled and understand the development and preparation of HOTS-based assessment. This is evidenced by several indicators, namely the increasing yield of the value of the task before the provision of material that shows an average score of 2.10 (sufficient criteria) to 2.83 (good criteria) after the provision of the material.


Keywords: assessment, Hots, enhancements, ability.



ABSTRAK

Peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Penulisan gagasan ini bertujuan: untuk mengetahui bagaimana pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme serta bagaimana peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Hasil kajian dari penulisan gagasan ini adalah (1) Penyuluh agama non PNS sebagai ujung tombak dalam pembinaan kerukunan umat beragama ternyata belum memiliki pemahaman yang benar terhadap materi multikulturalisme sebagai salah satu bahan dalam melaksanakan pembinaan kepada masyarakat binaannya. Sebagai bangsa yang majemuk Indonesia rawan akan terjadinya kerusuhan yang disulut oleh SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Sehingga perlu dikembangkan wawasan multikultural bagi penyuluh agama non PNS. (2) Penyuluh agama non PNS memiliki peran penting dan sangat dibutuhkan dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme baik itu sebagai Informatif/Edukatif, Konsultatif, dan Administratif.


Kata kunci: kerukunan umat beragama, multikulturalisme




A.PENDAHULUAN

1.Latar belakang

Kementerian Agama sebagai leading sector dalam pembangunan agama di Indonesia memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pembangunan bidang agama sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 2 Tahun


2010, yaitu: (1) Peningkatan kualitas kehidupan beragama; (2) Peningkatan kerukunan umat beragama; (3) Peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan; (4) Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dan; (5) Penciptaan tata kelola kepemerintahan yang


bersih dan berwibawa.

Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 dinyatakan “Penyiaran agama adalah segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran suatu agama” karena itu penyiaran agama harus dilaksanakan dengan etika, moral dan akhlak yang baik. Pelaksanaan penyiaran agama harus dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk dan melaksanakan ibadah menurut agamanya.

Dalam Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 defenisi rumah ibadah adalah bangunan yang memiliki ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara permanen dan tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Adapun pemanfaatan bangunan gedung bukan sebagai rumah ibadah, namun ada aturannya, misalnya adanya ijin pemanfaatan gedung maksimal lamanya dua tahun.

Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan


Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat dijabarkan pengertian kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pengertian dari kata rukun dan kerukunan adalah damai dan perdamaian. Bilamana kata kerukunan dipergunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti antar golongan atau antar bangsa, pengertian rukun ditafsirkan sesuai tujuan, kepentingan dan kebutuhan. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah kerukunan sementara, politis dan hakiki. Kerukunan sementara adalah kerukunan yang dituntut oleh situasi seperti menghadapi musuh bersama. Jika musuh yang dihadapi bersama sudah tidak ada, maka keadaan akan kembali seperti semula, yakni kembali berkonflik. Kerukunan politis adalah kerukunan dimana biasanya terjadi dalam keadaan peperangan yang kemudian untuk sementara waktu mengadakan perdamaian atau bersepakat untuk melakukan gencatan senjata sampai


waktu yang ditentukan. Sedangkan kerukunan hakiki adalah kerukunan yang didorong oleh kesadaran dan hasrat demi kepentingan bersama.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instansi vertikal, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.

Sesuai dengan tingkatannya Forum Kerukunan Umat Beragama (KUB) dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi organisasi masyarakat keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan.

Pembinaan kerukunan umat beragama di masyarakat dapat dilakukan dengan pemberdayaan forum kerukunan umat beragama. Forum ini dibentuk oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh pemerintah, memegang peranan penting


dalam rangka membangun, memelihara dan pemberdayaan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

Manusia dan agama adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan di dalam hidup dan kehidupan manusia. Agama memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup yang mengarahkan manusia pada kehidupan yang tertata. Dalam memandang nilai, dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan disudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme. Pada kedua nilai inilah agama membutuhkan proses dakwah oleh masing - masing penganutnya agar mencapai nilai yang menjadikan manusia mengenali Tuhannya dan mampu berhubungan harmonis dengan sesamanya manusia dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.

Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak


bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang. Oleh karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif, terus-menerus, tidak boleh berhenti. Dalam hal ini, penyuluh agama dan umat beragama dapat memberikan kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial terkait kerukunan umat beragama termasuk membantu mengatasi kemiskinan dan kebodohan.

Menjaga dan melestarikan kerukunan umat beragama merupakan bagian dari tugas penyuluh agama non PNS sebagai moderat dalam kehidupan sosial masyarakat melakukan pembinaan iman sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh kelompok binaan dimasyarakat. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujudkan dengan (1) saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama, (2) tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu, (3) melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan

(4) mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.

Hidup di era sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi kehidupan yang serba majemuk dalam segala bidang kehidupan. Semua keberanekaragaman ada


dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Dalam berpolitik misalnya adanya perbedaan partai, perbedaan sudut pandang dalam isu-isu nasional, maupun perbedaan falsafah dan ideologi yang dianut oleh masing-masing orang meskipun, di Indonesia sendiri sudah ada ideologi pemersatu yakni pancasila. Sedangkan dalam bidang sosial dan budaya adalah adanya perbedaan suku, etnik, adat- istiadat, norma, termasuk agama yang masing-masing dianut oleh warga negara Indonesia.

Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi dewasa ini semakin mempercepat arus interaksi antara satu dengan yang lainnya sehingga keberagaman pun tidak hanya dalam lingkup terbatas disekitar tempat tinggal akan tetapi juga dalam interaksi dengan orang lain pada media cetak maupun elektronik yang sekarang ini maju seperti jejaring sosial Facebook, WhatsApp, Twiter dan media social lainnya. Meskipun hanya melalui jejaring sosial, terkadang bisa timbul kekisruhan, percecokan dan saling lempar hujatan menjadi hal yang biasa. Seolah-olah di dalam dunia maya etika, toleransi dan prinsip hidup toleransi menjadi hal yang asing dan tidak berlaku.

Wacana teologi agama harus dikembangkan, terutama dalam merespon masalah sosial kemanusiaan. Sebagai akar teologis umat beragama, melahirkan dalil kuat


soal kemanusiaan akan menggerakkan umat beragama dalam merespon pentingnya toleransi, kemanusiaan, dan kepentingan dunia global. Maka kemudian muncul banyak istilah teologi yang berkembang dalam membaca wacana-wacana kekinian, yakni teologi pembebasan, teologi kemanusiaan, teologi sosial, teologi kiri dan sebagainya.

Multikulturalisme diungkapkan dalam berbagai kearifan lokal yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Semua suku di Indonesia memiliki kearifan lokal dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok, dengan sesama suku maupun dengan suku lain dalam kehidupan sosial- keagamaan, baik intern sesama penganut agama yang sama maupun ekstern antar penganut agama yang berbeda. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Berdasarkan sejarah agama-agama di Indonesia, corak kultural keagamaan masyarakat pribumi adalah kesantunan dan keluhuran budi. Sebelum Islam datang di Indonesia, agama-agama secara kultural telah membentuk pribadi yang berbudaya. Bukti dari kehidupan kultural rakyat pribumi bisa dirasakan hingga sekarang, seperti tradisi


sembahyang, gamelan, seni wayang, dan sebagainya. Melalui budaya demikian pribudi berbudi rakyat pribumi kental dengan nilai- nilai luhur berupa kerukunan dan kesantunan. Keberadaan masyarakat multikultural inilah yang menuntut kompetensi seorang penyuluh agama non PNS hendaknya memiliki strategi pembinaan kepada masyarakat yang ada di wilayah binaannya. Peran vital penyuluh agama non PNS untuk memberikan dan menanamkan pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran kepada binaannya. Selain berperan dalam internalisasi paham keagamaan yang tidak radikal dan literal, signifikansi peran penyuluh agama non PNS dalam menjaga atau memelihara kerukunan umat beragama juga dikarenakan adanya kedekatan dengan binaannya. Penyuluh agama non PNS tentunya punya pengaruh kuat untuk mengarahkan umat binaannya ke dalam suasana konflik atau rukun. Dengan demikian, kerukunan umat beragama di Indonesia akan sangat bergantung pada peran vital penyuluh agama non PNS sebagai filter terhadap sikap- sikap penuh kecurigaan dan permusuhan, khususnya di daerah-daerah yang memiliki tingkat segregasi sosial tinggi yang

didasarkan pada identitas agama.

2.Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi permasalahan adalah:


1.Masih banyak penyuluh agama non PNS yang belum memahami dengan benar tentang multkulturalisme

2.Para penyuluh agama non PNS belum menyadari dengan sungguh akan tugas pokok dan fungsinya

3.Masih banyak penyuluh agama non PNS belum mengambil perannya dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikuralisme di Indonesia secara benar.


3. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1.Bagaimana pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme?

2.Bagaimana peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.


4. Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1.Untuk mengetahui bagaimana pemahaman penyuluh non PNS tentang multikulturalisme.

2.

Untuk mengetahui peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.

5. Metode Penelitian

Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode deskriptif dengan studi kepustakaan.


B.KERANGKA TEORITIK

Multikulturalisme adalah istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman dan berbagai macam budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik yang dianut mereka. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memiliki perbedaan suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat.

Multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan cultural (tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (sub- kultur) yang terus bermunculan di setiap tahap


sejarah kehidupan masyarakat (Hendri Masduki, 2006:20).

Menurut J.S. Furnivall dalam Middya Boty (2017:4), masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik. Dalam masyarakat multikultur, setiap individu maupun masyarakat memiliki kebutuhan untuk diakui yang menuntut terciptanya penghargaan tertentu secara sosial. Selain itu menurut Suparlan (2002) multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Keanekaragaman dalam masyarakat menuntut hadirnya budaya politik yang sesuai, dalam hal ini yakni budaya demokrasi, sebab dalam budaya ini kepentingan kelompok, perbedaan budaya dan agama, serta kepentingan perempuan dapat diakomodir. Demokrasi dianggap sebagai budaya politik yang paling memadai dalam upaya membangun masyarakat yang multikultural, karena menghargai kebebasan dan kesetaraan.

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Dimana dengan adanya keberagaman mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan ditanggapi secara positif.


Pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme. Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

Sedangkan menurut S.T. Nugroho dalam Hendri Masduki (2016:21) secara deskriptif multikulturalisme dibedakan menjadi lima model penting yaitu: (1) Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain. (2) Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi- akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undangundang, hukum, dan ketentuan-ketentuan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa. (3) Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok- kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian


pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar. (4) Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif- perspektif khas mereka. (5) Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan- percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing- masing

Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep- konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai


budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM (Hak Asasi Manusia), hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memiliki perbedaan suku bangsa, bahasa, agama, dan adat-istiadat. Multikulturalisme berasal dari dua kata, multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua bagian manusia terhadap kehidupannya yang kemudian akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain- lain.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa membedakan perbedaan budaya, adat istiadat, etnis, gender, bahasa maupun agama, mengakui serta mengagungkan perbedaan tersebut dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Sehingga masyarakat multikultural dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal dan hidup


menetap di tempat yang memiliki karakteristik sendiri dan budaya yang mampu membedakan antar satu komunitas dengan komunitas yang lainnya sehingga setiap komunitas akan menghasilkan budaya masing-masing yang khas dalam masyarakat tersebut.

Originality

Banyak penelitian tentang pembinaan kerukunan umat beragama diantaranya Novianty, F. (2019) menekankan pada pembinaan masyarakat multikultural dalam meningkatkan kerukunan antar umat beragama. Selanjutnya pada penelitian lain yang dilakukan oleh Pepi, S. (2016 menekankan pd peran penyuluh agama dalam pengelolaan isu kerukunan antar umat beragama. Juga penelitian yang dilakukan oleh Kaharuddin, K., & Darwis, Muh. (2019) lebih menekankan pada gambaran keberagaman masyarakat dan peran FKUB dalam memelihara harmonisasi trilogi kerukunan beragama masyarakat Luwu Timur. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.


C.PEMBAHASAN

1)Pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme.

Bangsa Indonesia merupakan salah satu

contoh masyarakat yang multikultural.


Multikultural masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut apabila tidak dipelihara dengan baik bisa menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong menolong.

Agama bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk mencapai kebenaran, rahmat dan ridha Tuhan, sebagai seorang penganut agama, kita tidak boleh memaksakan kehendak akan keyakinan kepada orang lain, karena jalan mana yang benar kita belum bisa memastikan, kita sekedar baru meyakini bahwa jalan yang sedang kita tempuh adalah benar. Sehingga dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati pendirian terhadap keyakinan yang dianut oleh masing-masing orang, dan senantiasa membuka diri untuk membangun sebuah interaksi sosial yang sehat dan transformatif.

Masyarakat Indonesia bersifat multietnik, multireligius dan multiideologis. Kemajemukan tersebut menujukkan adanya berbagai unsur yang saling berinteraksi. Berbagai unsur ini merupakan benih-benih


yang dapat memperkaya khasanah budaya untuk membangun bangsa yang kuat, namun sebaliknya hal ini juga dapat memperlemah kekuatan bangsa dengan berbagai percekcokan serta perselisihan. Oleh karena itu proses hubungan sosial perlu diusahakan agar berjalan secara sentripetal, agar terjadi seperti semboyan perjuangan.

Dalam konteks Indonesia, corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan lagi hanya berkutat pada keanekaragaman suku bangsa, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah pandangan yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme dapat berkembang ketika didukung adanya toleransi dan kesediaan untuk saling menghargai.

Teologi dikenal oleh semua agama. Setiap agama memiliki penafsiran dan pemahaman ketuhanan yang berbeda. Secara pengertian, konsep teologisnya sama, setiap agama memiliki keyakinan ketuhanan, namun berbeda dalam hal praktik bahkan keyakinan. Sehingga banyak kita kenal dalam perkembangan agama-agama ada teologi Islam, teologi Kristen, teologi Hindu, dan sebagainya.


Perbedaan konsep teologi masing- masing agama ini sifatnya sensitif. Hal yang paling dasar dalam keyakinan umat beragama adalah konsep teologis. Seringnya terjadi benturan internal maupun eksternal umat beragama kebanyakan dipicu oleh adanya saling singgung soal hal-hal teologis. Dalam konsep pluralisme agama toleransi mestinya yang paling utama adalah mengedepankan kepentingan sosial kemasyarakatan, bukan atas keyakinan. Karena jelas bahwa konsep teologisnya berbeda dan tidak akan pernah bisa bertemu. Dalam melahirkan kerukunan umat beragama harus mengedepankan hubungan dan kepentingan bersama dalam tujuan-tujuan sosial.

Adanya dugaan demi dugaan penistaan agama yang tengah terjadi biasanya dipicu oleh hal-hal teologis semacam ini. Jika urusan keyakinan disinggung meskipun kecil, luapan emosi dan amarah, tidak hanya individu bahkan secara kolektif bergerak melakukan pembelaan atas nama agama. Pemicu ini karena sensitifnya keyakinan beragama pada setiap agama. Maka dari itu, dalam membangun toleransi dalam kemajemukan beragama mesti mengedepankan dasar-dasar sosial kemanusiaan, keramahan, dan juga kesantunan.

Gus Dur sangat kritis terhadap kelompok-kelompok agama yang cenderung “bar-bar”, beragama dengan kata-kata suci


namun sikapnya bengis dan kejam. Inilah yang menurutnya cara pandang ketuhanan yang sesat, karena konsep teologisnya masih teosentris bukan antroposentris. Bagi Gus Dur, Tuhan tidak perlu apa-apa, termasuk pembelaan, meskipun tidak menolak untuk dibela. Tuhan tidak akan pernah berkurang sedikitpun atas apa saja ulah dan sikap makhluknya. Karena itu Tuhan tidak perlu dibela, yang wajib dibela adalah kemanusiaan, penindasan kaum minoritas, dan sebagainya.

Munculnya konflik internal agama, bahkan eksternal hingga menganggu stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara adalah karena lemahnya dan kurangnya pembinaan serta bimbingan yang dilakukan oleh tokoh- tokoh agama maupun oleh pemerintah sendiri dalam hal ini oleh Kementerian Agama melalui para penyuluh agama yg diangkat baik PNS maupun non PNS. Untuk menjaga harmoni dan kerukunan umat beragama di Indonesia, maka para penyuluh agama (PNS dan non PNS) sebagai ujung tombak dalam pembangunan di bidang agama lebih dekat dengan masyarakat, sehingga sangat diperlukan dan mendesak untuk membekalinya dengan pemahaman yang benar dan tepat tentang multikulturalisme dalam menunjang tugas dan fungsinya dalam pembinaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sehingga kerukunan umat


beragama dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seseorang direkrut menjadi penyuluh agama, pertama-tama karena orang tersebut memiliki pemahaman yang baik tentang agamanya, pada saat yang sama, ia harus sanggup menerjemahkan ajaran agamanya kedalam situasi aktual yang dihadapi umat dan masyarakat secara khusus tentang multikulturalisme.

Bagi para penyuluh agama sebagai pelayan publik, maka fenomena keragaman budaya mengharuskan para penyuluh memahami pengetahuan dan kesadaran multikultural, sehingga memiliki kompetensi dalam menghadapi perbedaan, sekecil apapun perbedaan kelompok binaannya. Penyuluh perlu meningkatkan persepsi mereka, mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang keragaman budaya, memahami adanya bentuk-bentuk diskriminasi, stereotip dan rasisme yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat multikultural, para penyuluh diharapkan dapat menjadi fasilitator perubahan dan ahli dalam mengatasi konflik dan melakukan konsultasi kepada pihak-pihak yang terkait untuk meningkatkan keharmonisan kelompok binaannya. Dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan publik terhadap beragam kelompok masyarakat, maka penyuluh dihadapkan dengan jangkauan layanan yang lebih luas, sehingga perlu memahami multikultural


sehingga dapat lebih efektif dalam pelayanan publik (Agus Akhmadi, 2019:2).

Melalui penyuluhan yang dilaksanakan, umat tidak terjebak dalam situasi masa kini yang terkotak-kotak tetapi sebaliknya imannya semakin bertumbuh disisi lain mampu menerapkan hidup yang saling menghormati dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing, bertoleransi dan hidup dalam moderasi beragama agar kerukunan umat beragama di Indonesia benar- benar dapat terwujud. Moderasi beragama adalah cara beragama yang moderat, tidak ekstrim kiri dan tidak ekstrim kanan. Moderasi beragama mengajak setiap umat beragama untuk menjalani ajaran agamanya masing-masing dengan benar. Moderasi beragama sangat penting bagi bangsa Indonesia yang hidup di tengah keragaman etnis, budaya, bahasa dan agama serta adat istiadat.

2)Peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme Maraknya konflik yang terjadi

belakangan ini yang bernuansa suku, agama dan ras (SARA) seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, Ahmadiyah, Syiah, Tanjungbalai Asahan dan di beberapa daerah lainnya, tentunya menjadi tanggungjawab negara untuk mencegah dan mengantisipasinya, sehingga untuk mencegah terjadinya konflik


yang yang tidak diiinginkan tersebut, maka diperlukan aktor kerukunan umat beragama untuk menjaga kondisi kerukunan umat beragama yang kondusif dan terus menerus terpelihara. Salah satu aktor kerukunan umat beragama adalah para penyuluh agama baik yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun Non-PNS yang ada di masing-masing Kementerian Agama tingkat Kabupaten/Kota Terkait dengan tugas dan fungsi kepenyuluhan, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Islam mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non

Pegawai Negeri Sipil.

Di dalam keputusan ini disebutkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan tugas Penyuluh Agama Islam Non PNS, maka dibuat delapan spesialisasi kepenyuluhan yang berkaitan dengan tugas Ditjen Bimas Islam, yaitu: Penyuluh Pengentasan Buta Huruf Al-Quran; Penyuluh Keluarga Sakinah; Penyuluh Pengelolaan Zakat; Penyuluh Pemberdayan Wakaf; Penyuluh Produk Halal; Penyuluh Kerukunan Umat Beragama; Penyuluh Radikalisme dan Aliran Sempalan; dan Penyuluh NAPZA dan HIV/AIDS.

Dari delapan tugas tersebut, untuk spesialisasi kepenyuluhan kerukunan umat


beragama bertugas mendorong masyarakat untuk menciptakan kerukunan dalam kehidupan beragama. Sedangkan, penyuluh dengan spesialisasi radikalisme dan aliran sempalan bertugas untuk membantu instansi berwenang dalam pencegahan tumbuhnya perilaku radikal dan aliran sempalan di masyarakat dengan pendekatan agama.

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kompetensi Penyuluh Agama Kristen Pasal 3 dijelaskan bahwa tugas pokok Penyuluh Agama Kristen adalah memberikan bimbingan atau penyuluhan tentang agama dan pembangunan kepada masyarakat serta prinsip-prinsip dan etika nilai keberagamaan yang baik melalui bahasa agama.

Selanjutnya dalam pasal 4 dijelaskan bahwa Penyuluh Agama Kristen memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi Informatif dan Edukatif ialah Penyuluh Agama Kristen memposisikan dirinya sebagai penyuluh yang berkewajiban memberitakan Firman Allah, menyampaikan penerangan agama dan mendidik masyarakat untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. (2). Fungsi Konsultatif ialah Penyuluh Agama Kristen memberikan dirinya untuk turut memikirkan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik persoalan pribadi,


keluarga atau persoalan masyarakat secara umum dan bersedia membuka mata dan telinga terhadap persoalan yang dihadapi umat serta menjadi tempat bertanya dan tempat mengadu masyarakat dalam upaya memecahkan dan menyelesaikan masalah sehingga Penyuluh Agama Kristen berfungsi sebagai psikolog, dan teman berbagi rasa. (3). Fungsi Administratif ialah Penyuluh Agama Kristen memiliki tugas untuk merencanakan, melaporkan dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan bimbingan yang telah dilakukan. (4). Fungsi Advokatif ialah Penyuluh Agama Kristen memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap umat/ masyarakat dari berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap permasalahan-permasalahan keadilan sosial, penanganan aliran-aliran sempalan, masalah- masalah yang berkaitan dengan kerukunan umat baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah yang selama ini dirasa belum mampu terakomodir dengan dan belum mendapat penanganan sebagaimana semestinya.

Penyuluh Agama dalam hal ini penyuluh agama non PNS sebagai salah satu ujung tombak Kementerian Agama dalam pembinaan kerukunan umat beragama di harapkan dapat berperan sebagai


Informatif/Edukatif, Konsultatif, dan Administratif. Peran sebagai Informatif dan edukatif yaitu menyampaikan Informasi yang benar dan mendidik umat. Sebagai konsultatif adalah mampu memecahkan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat/umat beragama. Sedangkan yang dimaksud Administratif ialah Penyuluh Agama non PNS memiliki tugas untuk merencanakan, melaporkan dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan bimbingan yang telah dilakukan.

Penelitian yang relevan.

Dalam pembahasan ini perlu juga dikemukakan penelitian atau kajian-kajian yang relevan tentang peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Literatur-literatur yang membahas kajian ini masih jarang, lebih banyak menyorot masalah pendidikan multikultural serta indeks kerukunan umat beragama, pluralisme dan multikulturalisme. Adapun penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian sebelumnya adalah yang ditulis Saprillah Pepi pada tahun 2016 berjudul “Penyuluh Agama dan Isu Kerukunan Antar Umat Beragama di Kota Palu”, dalam salah satu kesimpulannya mengatakan secara umum dapat dikatakan peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan masih sangat sedikit. Ini disebabkan oleh setidaknya dua faktor.


Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik. Materi ajar lebih umum diarahkan pada soal ajaran dasar agama yang bersifat internal. Kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) penyuluh. Kedua, tidak adanya peta dakwah yang jelas.

Dalam(http://jurnalalqalam.or.id/index.ph p/Alqalam/article/view/350, akses 5 Juli 2020). Dengan demikian penelitian yang dilakukan Saprillah Pepi diatas dengan mengambil sasaran penyuluh agama dengan hasil peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan umat beragama masih sangat sedikit. Hal itu disebabkan oleh setidaknya oleh dua faktor. Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik. Materi yang diajarkan lebih umum diarahkan pada pada soal agama yang bersifat internal. Kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi penyuluh. Kedua, tidak adanya peta dakwah yang jelas.

Hasil penelitian relevan kedua adalah penelitian yang ditulis Sazali Hasan, Guntoro, Budi., Subejo., & Partini, SU tahun 2015 dengan judul “Penguatan Toleransi Agama “Analisis Komunikasi Pembangunan Agama” (Studi Pemerintahan Kota Bogor). Dalam hasil wawancara dan observasi yang peneliti dilakukan terhadap para penyuluh agama terkait pemahaman mereka tentang toleransi agama dan pluralitas keberagaman sangat beragam. Diantara penyuluh agama yang


tidak memahami aspek pluralitas, multikultural dan konsep-konsep terkait dengan toleransi agama. Dari hasil obsevasi, FGD yang dilakukan peneliti ternyata penyuluh agama belum menjalankan fungsi dan tugasnya dalam melakukan penguatan toleransi agama pada masyarakat. (http://ejournal.uin- suka.ac.id/isoshum/profetik/article/view/109

2) diakses 5 Juli 2020).

Dari kedua penelitian sebelumnya diatas, ternyata peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan umat beragama masih sangat sedikit, penyuluh agama yang tidak memahami aspek pluralitas, multikultural dan konsep-konsep terkait dengan toleransi agama. Hal itu disebabkan oleh setidaknya oleh dua faktor. Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik dalam hal ini materi multikulturalisme yang sangat diperlukan sebagai modal dasar bagi seorang penyuluh agama non PNS dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam membina kerukunan umat beragama. Materi yang diajarkan lebih umum diarahkan pada pada soal agama yang bersifat internal. Materi kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi penyuluh agama non PNS karena kurangnya pembinaan dan pelatihan yang dilakukan oleh Kementerian Agama sebagai instusi tempat mereka bernaung.


Penyuluh agama non PNS dalam kehidupan sosial dan keagamaan memiliki peran dan pengaruh penting. Peranan penting disini karena penyuluh agama non PNS dalam stratafikasi atau struktur sosial menempati posisi atau status sebagai pemimpin informal dalam hal sosial keagamaan tanpa perlu adanya sebuah prosesi pengangkatan. Masyarakat memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap penyuluh agama non PNS karena kapasitas keilmuan agamanya dan moralitasnya. Dengan demikian, kedudukan status dengan peranan tidak dapat dipisahkan karena satu sama lain saling bergantung. Status diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Seseorang yang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, berarti dia menjalankan suatu peranan. Peran diartikan sebagai apa yang dilakukan oleh seorang penyuluh agama non PNS dalam posisinya. Menurut Levinson, seperti dikutip Soerjono Soekanto, posisi merupakan unsur statis yang hanya menunjukkan tempat individu dalam kelompok masyarakat. Sedangkan peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi seseorang dengan mencakup tiga hal diantaranya (1) Peranan meliputi norma- norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan- peraturan yang membimbing seseorang dalam


kehidupan kemasyarakatan. (2) Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. (3) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Kesadaran dan tanggungjawab kolektif akan entitas Indonesia yang plural dalam hal agama akan mendorong adanya early warning system atau usaha pencegahan dini akan potensi konflik yang rawan pecah. Apalagi Indonesia dikatagorikan sebagai masyarakat yang rentan (vulnerable society) karena tingginya tingkat segregasi sosial berbasis pada identitas keagamaan, etnis, dan golongan. Tak dipungkiri, dalam sebuah keragaman, khususnya yang dimiliki bangsa ini terdapat sifat rentan pecah.

Kerukunan umat beragama mengandung beberapa unsur penting yaitu: Pertama, kesediaan untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Ketiga, kemampuan untuk menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana kesahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran agamanya. Dan Keempat, kemauan untuk saling menghormati dan bekerjasama.


Dalam analisa Kartini Kartono, penyuluh agama non PNS yang juga berperan sebagai pemuka agama bisa dikategorikan sebagai pemimpin informal yang tidak perlu pengangkatan, namun karena sejumlah kualitas unggul yang dimilikinya sehingga mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat.

Dengan demikian, penyuluh agama non PNS dengan sejumlah kualitas pribadinya, yakni kualitas keilmuan agamanya, moralitasnya dan juga atas dasar penerimaan dan penghormatan dari masyarakat atau kelompok umat beragama, cenderung memiliki kharisma. Istilah kharisma erat kaitannya dengan teologi dan menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada seseorang sebagai pemimpin agama. Artinya, kharisma ini menyangkut bakat rahmat yang diberikan Tuhan kepada orang-orang tertentu sebagai pemimpin agama. Kharisma ini digunakan oleh Weber untuk menggambarkan pemimpin-pemimpin agama di mana dasar dari kepemimpinan itu adalah kepercayaan dari masyarakat bahwa pemimpin agama memiliki suatu hubungan khusus dengan Ilahi, atau mampu mewujudkan karakteristik- karakteristik Ilahi itu sendiri. Dalam analisa Weber, istilah kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada keperibadian seseorang, yang karenanya


terpisah dari orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi dengan kekuasaan atau mutu yang bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya merupakan kekecualian dalam hal-hal tertentu. Kerukunan antar agama adalah suatu bentuk hubungan yang harmonis dalam dinamika pergaulan hidup bermasyarakat yang saling menguatkan yang diikat oleh sikap pengendalian hidup dalam bentuk diantaranya (1) Saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. (2) saling hormat menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah yang sama- sama bertanggung jawab membangun bangsa dan Negara. (3) Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama

kepada orang lain. PENUTUP

1.Simpulan

a.Penyuluh agama non PNS sebagai ujung tombak dalam pembinaan kerukunan umat beragama ternyata belum memiliki pemahaman yang benar terhadap materi multikulturalisme sebagai salah satu bahan dalam melaksanakan pembinaan kepada masyarakat binaannya. Sebagai bangsa yang majemuk Indonesia rawan akan terjadinya kerusuhan yang disulut oleh


SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Sehingga perlu dikembangkan wawasan multikultural bagi penyuluh agama non PNS.

b.Penyuluh agama non PNS memiliki peran penting dan sangat dibutuhkan dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikultural baik itu sebagai Informatif/Edukatif, Konsultatif dan Administratif.

2.Rekomendasi

a.Penyuluh agama non PNS hendaknya selalu mengembangkan profesi dibidang ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan agar mutu penyuluhan agama semakin meningkat.

b.Pembinaan kerukunan umat beragama di masyarakat yang dilakukan oleh penyuluh agama non PNS dapat dilakukan dengan berkolaborasi dan memberdayakan forum kerukunan umat beragama yang ada didaerah untuk memelihara kerukunan dan kesejahteraan.

c.Kementerian Agama melalui bidang terkait sangat mendesak untuk memberikan pelatihan kepada penyuluh agama non PNS tentang pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks masyarakat multikulturalisme.

d.Penyuluh agama non PNS hendaknya membangun komunikasi dengan Forum


Komunikasi Umat Beragama (FKUB) guna mewujudkan sikap toleransi antar umat beragama dan kedamaian dalam keberagaman yang multikulturalisme.


DAFTAR PUSTAKA

Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagaman Dalam Kontek Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 23


Akhmadi Agus, 2019. Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia. Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 13, no. 2, Pebruari - Maret 2019, diakses tgl 22 Juni 2020.


Asimilation to Multiculturalism?”, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, 2002.


Alo Liliweri, 2001, Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Boty, Middya, 2017. Masyarakat Multikultural: Studi interaksi sosial masyarakat Islam Melayu dengan non Melayu pada masyarakat Sukabangun Kel. Sukajadi Kec. Sukarami Palembang. JSA Vol 1 No 2 2017.

D.Hendropuspito, 2000, Sosiologi Agama,

Yogyakarta; Kanisius.

Dadang Kahmad, 2006, Sosiologi Agama,

Bandung; PT Remaja Rosdakarya.

Kaharuddin, K., & Darwis, Muh. (2019). Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Di Luwu Timur. Palita: Journal of Social- Religion Research, 4(1), 31–46. https://doi.org/10.24256/pal.v4i1.566

Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil.


Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kompetensi Penyuluh Agama Kristen

Masduki, Henri. 2016. Pluralisme dan multikulturalisme dalam Perspektif kerukunan antar umat beragama (telaah dan urgensinya dalam sistem berbangsa dan bernegara). Dimensi, 2016, Vol 9

(1): 15-24.

https://journal.trunojoyo.ac.id/dimensi/arti cle/view/3741, diakses tgl 18 Juni 2020.


Novianty, F. (2019). Pembinaan Masyarakat Multikultural Dalam Meningkatkan Kerukunaan Antar Umat Beragama. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 3(2), 226.

https://doi.org/10.31571/pkn.v3i2.1444

Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Keynote Address Simposium III Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA,

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16– 19 Juli 2002.


Pepi Saprillah, (2016). Penyuluh Agama dan Isu Kerukunan Antar Umat Beragama Di Kota Palu”. http://jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqala m/article/view/350, akses 5 Juli 2020)


Suseno, Franz Magnis, et.al., Memahami Hubungan Antaragama, terj. Burhanudin Dzikri, Yogyakarta: elSAQ Press, 2007


Sazali Hasan, Guntoro, Budi., Subejo., & Partini, SU. (2015). “Penguatan Toleransi Agama “Analisis Komunikasi Pembangunan Agama” (Studi Pemerintahan Kota Bogor). http://ejournal.uin- suka.ac.id/isoshum/profetik/article/view/10

92) diakses 5 Juli 2020).


https://www.kompasiana.com/prakosogalih/5 5186f68a33311b906b66872/trilogi-


kerukunan-umat-beragama. Diakses tanggal 19 Maret 2019


https://www.researchgate.net/publication/314 981576_Teologi_Pancasila_Teologi_K erukunan_Umat_Beragama. diakses tanggal 19 Maret 2019


http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream

/123456789/40292/2/WASIL-FU.pdf.

diakses tanggal 19 Maret 2019


https://news.detik.com/berita/3756465/panca sila-menyatukan-keberagaman- indonesia. diakses tanggal 19 Juli 2018


https://academicwriting2017.com/2018/09/11

/tujuan-pendidikan-multikultural- indonesia/. Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.kompasiana.com/triwidodo/551 7f02881331101699de660/multikulturali


sme-dalam-hubungan-antar-umat- beragama-yang-harmonis. Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.researchgate.net/publication/312 203394_Peran_Agama_Dalam_Multiku lturalisme_Masyarakat_Indonesia.

Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/peng ertian-konflik.html. Diakses tanggal 8 April 2019


http://rizkielibrary.blogspot.com/2016/02/ma najemen-konflik-definisi-penyebab- dan.html. Diakses tanggal 8 April 2019


http://graduate.uinjkt.ac.id/?p=17323.





iakses tanggal 8 April 2019.


https://id.wikipedia.org/wiki/Multikuhtml

https://www.joyinmyworld.com/2021/01/kerukunan-umat-beragama-dalam-konteks.html

Flower of the Month Club