google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Kerukunan Umat Beragama dalam Konteks Multikulturalisme

 







Flower of the Month Club THE ROLE OF NON-CIVIL SERVANT RELIGIOUS EXTENSION WORKERS FOSTER RELIGIOUS HARMONY IN THE CONTEXT OF MULTICULTURALISM

PERAN PENYULUH AGAMA NON PNS MEMBINA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM KONTEKS MULTIKULTURALISME






Widyaiswara (Balai Diklat Keagamaan

Papua). ymangapan@gmail.com


Yotan Manga’pan


ABSTRACTS

Implementation of Higher Order Thinking Skill (HOTS) in learning in schools / madrasahs is very necessary with the learning that was initially centered on teachers (teacher centered) turned into student centered. This study aims to determine the improvement of teachers'


ability to develop higher order thinking skill (HOTS) assessment instruments through Training Education activities in the Work Area (DDWK) held in Yapen Islands District. The research method used is descriptive qualitative method with data collection techniques through tests, performances, observations, documentation and interviews. The results of the research showed that the ability of teachers: (1) has been able to design planning and learning based on HOTS; (2) already skilled in selecting, utilizing and developing methods, models, media, learning resources that support HOTS-based learning objectives, (3) teachers are already skilled and understand the development and preparation of HOTS-based assessment. This is evidenced by several indicators, namely the increasing yield of the value of the task before the provision of material that shows an average score of 2.10 (sufficient criteria) to 2.83 (good criteria) after the provision of the material.


Keywords: assessment, Hots, enhancements, ability.



ABSTRAK

Peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Penulisan gagasan ini bertujuan: untuk mengetahui bagaimana pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme serta bagaimana peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Hasil kajian dari penulisan gagasan ini adalah (1) Penyuluh agama non PNS sebagai ujung tombak dalam pembinaan kerukunan umat beragama ternyata belum memiliki pemahaman yang benar terhadap materi multikulturalisme sebagai salah satu bahan dalam melaksanakan pembinaan kepada masyarakat binaannya. Sebagai bangsa yang majemuk Indonesia rawan akan terjadinya kerusuhan yang disulut oleh SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Sehingga perlu dikembangkan wawasan multikultural bagi penyuluh agama non PNS. (2) Penyuluh agama non PNS memiliki peran penting dan sangat dibutuhkan dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme baik itu sebagai Informatif/Edukatif, Konsultatif, dan Administratif.


Kata kunci: kerukunan umat beragama, multikulturalisme




A.PENDAHULUAN

1.Latar belakang

Kementerian Agama sebagai leading sector dalam pembangunan agama di Indonesia memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pembangunan bidang agama sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 2 Tahun


2010, yaitu: (1) Peningkatan kualitas kehidupan beragama; (2) Peningkatan kerukunan umat beragama; (3) Peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan; (4) Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dan; (5) Penciptaan tata kelola kepemerintahan yang


bersih dan berwibawa.

Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 dinyatakan “Penyiaran agama adalah segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran suatu agama” karena itu penyiaran agama harus dilaksanakan dengan etika, moral dan akhlak yang baik. Pelaksanaan penyiaran agama harus dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk dan melaksanakan ibadah menurut agamanya.

Dalam Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 defenisi rumah ibadah adalah bangunan yang memiliki ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara permanen dan tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Adapun pemanfaatan bangunan gedung bukan sebagai rumah ibadah, namun ada aturannya, misalnya adanya ijin pemanfaatan gedung maksimal lamanya dua tahun.

Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan


Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat dijabarkan pengertian kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pengertian dari kata rukun dan kerukunan adalah damai dan perdamaian. Bilamana kata kerukunan dipergunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti antar golongan atau antar bangsa, pengertian rukun ditafsirkan sesuai tujuan, kepentingan dan kebutuhan. Hal inilah yang kemudian memunculkan istilah kerukunan sementara, politis dan hakiki. Kerukunan sementara adalah kerukunan yang dituntut oleh situasi seperti menghadapi musuh bersama. Jika musuh yang dihadapi bersama sudah tidak ada, maka keadaan akan kembali seperti semula, yakni kembali berkonflik. Kerukunan politis adalah kerukunan dimana biasanya terjadi dalam keadaan peperangan yang kemudian untuk sementara waktu mengadakan perdamaian atau bersepakat untuk melakukan gencatan senjata sampai


waktu yang ditentukan. Sedangkan kerukunan hakiki adalah kerukunan yang didorong oleh kesadaran dan hasrat demi kepentingan bersama.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instansi vertikal, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.

Sesuai dengan tingkatannya Forum Kerukunan Umat Beragama (KUB) dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi organisasi masyarakat keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan.

Pembinaan kerukunan umat beragama di masyarakat dapat dilakukan dengan pemberdayaan forum kerukunan umat beragama. Forum ini dibentuk oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh pemerintah, memegang peranan penting


dalam rangka membangun, memelihara dan pemberdayaan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

Manusia dan agama adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan di dalam hidup dan kehidupan manusia. Agama memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup yang mengarahkan manusia pada kehidupan yang tertata. Dalam memandang nilai, dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan disudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme. Pada kedua nilai inilah agama membutuhkan proses dakwah oleh masing - masing penganutnya agar mencapai nilai yang menjadikan manusia mengenali Tuhannya dan mampu berhubungan harmonis dengan sesamanya manusia dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.

Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak


bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang. Oleh karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara komprehensif, terus-menerus, tidak boleh berhenti. Dalam hal ini, penyuluh agama dan umat beragama dapat memberikan kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial terkait kerukunan umat beragama termasuk membantu mengatasi kemiskinan dan kebodohan.

Menjaga dan melestarikan kerukunan umat beragama merupakan bagian dari tugas penyuluh agama non PNS sebagai moderat dalam kehidupan sosial masyarakat melakukan pembinaan iman sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh kelompok binaan dimasyarakat. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujudkan dengan (1) saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama, (2) tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu, (3) melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan

(4) mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.

Hidup di era sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi kehidupan yang serba majemuk dalam segala bidang kehidupan. Semua keberanekaragaman ada


dalam bidang politik, sosial, dan budaya. Dalam berpolitik misalnya adanya perbedaan partai, perbedaan sudut pandang dalam isu-isu nasional, maupun perbedaan falsafah dan ideologi yang dianut oleh masing-masing orang meskipun, di Indonesia sendiri sudah ada ideologi pemersatu yakni pancasila. Sedangkan dalam bidang sosial dan budaya adalah adanya perbedaan suku, etnik, adat- istiadat, norma, termasuk agama yang masing-masing dianut oleh warga negara Indonesia.

Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi dewasa ini semakin mempercepat arus interaksi antara satu dengan yang lainnya sehingga keberagaman pun tidak hanya dalam lingkup terbatas disekitar tempat tinggal akan tetapi juga dalam interaksi dengan orang lain pada media cetak maupun elektronik yang sekarang ini maju seperti jejaring sosial Facebook, WhatsApp, Twiter dan media social lainnya. Meskipun hanya melalui jejaring sosial, terkadang bisa timbul kekisruhan, percecokan dan saling lempar hujatan menjadi hal yang biasa. Seolah-olah di dalam dunia maya etika, toleransi dan prinsip hidup toleransi menjadi hal yang asing dan tidak berlaku.

Wacana teologi agama harus dikembangkan, terutama dalam merespon masalah sosial kemanusiaan. Sebagai akar teologis umat beragama, melahirkan dalil kuat


soal kemanusiaan akan menggerakkan umat beragama dalam merespon pentingnya toleransi, kemanusiaan, dan kepentingan dunia global. Maka kemudian muncul banyak istilah teologi yang berkembang dalam membaca wacana-wacana kekinian, yakni teologi pembebasan, teologi kemanusiaan, teologi sosial, teologi kiri dan sebagainya.

Multikulturalisme diungkapkan dalam berbagai kearifan lokal yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Semua suku di Indonesia memiliki kearifan lokal dalam berinteraksi baik secara individu maupun kelompok, dengan sesama suku maupun dengan suku lain dalam kehidupan sosial- keagamaan, baik intern sesama penganut agama yang sama maupun ekstern antar penganut agama yang berbeda. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Berdasarkan sejarah agama-agama di Indonesia, corak kultural keagamaan masyarakat pribumi adalah kesantunan dan keluhuran budi. Sebelum Islam datang di Indonesia, agama-agama secara kultural telah membentuk pribadi yang berbudaya. Bukti dari kehidupan kultural rakyat pribumi bisa dirasakan hingga sekarang, seperti tradisi


sembahyang, gamelan, seni wayang, dan sebagainya. Melalui budaya demikian pribudi berbudi rakyat pribumi kental dengan nilai- nilai luhur berupa kerukunan dan kesantunan. Keberadaan masyarakat multikultural inilah yang menuntut kompetensi seorang penyuluh agama non PNS hendaknya memiliki strategi pembinaan kepada masyarakat yang ada di wilayah binaannya. Peran vital penyuluh agama non PNS untuk memberikan dan menanamkan pemahaman keagamaan yang moderat dan toleran kepada binaannya. Selain berperan dalam internalisasi paham keagamaan yang tidak radikal dan literal, signifikansi peran penyuluh agama non PNS dalam menjaga atau memelihara kerukunan umat beragama juga dikarenakan adanya kedekatan dengan binaannya. Penyuluh agama non PNS tentunya punya pengaruh kuat untuk mengarahkan umat binaannya ke dalam suasana konflik atau rukun. Dengan demikian, kerukunan umat beragama di Indonesia akan sangat bergantung pada peran vital penyuluh agama non PNS sebagai filter terhadap sikap- sikap penuh kecurigaan dan permusuhan, khususnya di daerah-daerah yang memiliki tingkat segregasi sosial tinggi yang

didasarkan pada identitas agama.

2.Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi permasalahan adalah:


1.Masih banyak penyuluh agama non PNS yang belum memahami dengan benar tentang multkulturalisme

2.Para penyuluh agama non PNS belum menyadari dengan sungguh akan tugas pokok dan fungsinya

3.Masih banyak penyuluh agama non PNS belum mengambil perannya dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikuralisme di Indonesia secara benar.


3. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1.Bagaimana pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme?

2.Bagaimana peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.


4. Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1.Untuk mengetahui bagaimana pemahaman penyuluh non PNS tentang multikulturalisme.

2.

Untuk mengetahui peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.

5. Metode Penelitian

Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode deskriptif dengan studi kepustakaan.


B.KERANGKA TEORITIK

Multikulturalisme adalah istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman dan berbagai macam budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan dan politik yang dianut mereka. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memiliki perbedaan suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat.

Multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan cultural (tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (sub- kultur) yang terus bermunculan di setiap tahap


sejarah kehidupan masyarakat (Hendri Masduki, 2006:20).

Menurut J.S. Furnivall dalam Middya Boty (2017:4), masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik. Dalam masyarakat multikultur, setiap individu maupun masyarakat memiliki kebutuhan untuk diakui yang menuntut terciptanya penghargaan tertentu secara sosial. Selain itu menurut Suparlan (2002) multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Keanekaragaman dalam masyarakat menuntut hadirnya budaya politik yang sesuai, dalam hal ini yakni budaya demokrasi, sebab dalam budaya ini kepentingan kelompok, perbedaan budaya dan agama, serta kepentingan perempuan dapat diakomodir. Demokrasi dianggap sebagai budaya politik yang paling memadai dalam upaya membangun masyarakat yang multikultural, karena menghargai kebebasan dan kesetaraan.

Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Dimana dengan adanya keberagaman mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan ditanggapi secara positif.


Pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme. Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

Sedangkan menurut S.T. Nugroho dalam Hendri Masduki (2016:21) secara deskriptif multikulturalisme dibedakan menjadi lima model penting yaitu: (1) Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain. (2) Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi- akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undangundang, hukum, dan ketentuan-ketentuan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa. (3) Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok- kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian


pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar. (4) Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif- perspektif khas mereka. (5) Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan- percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing- masing

Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep- konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai


budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM (Hak Asasi Manusia), hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memiliki perbedaan suku bangsa, bahasa, agama, dan adat-istiadat. Multikulturalisme berasal dari dua kata, multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua bagian manusia terhadap kehidupannya yang kemudian akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain- lain.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa membedakan perbedaan budaya, adat istiadat, etnis, gender, bahasa maupun agama, mengakui serta mengagungkan perbedaan tersebut dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Sehingga masyarakat multikultural dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang tinggal dan hidup


menetap di tempat yang memiliki karakteristik sendiri dan budaya yang mampu membedakan antar satu komunitas dengan komunitas yang lainnya sehingga setiap komunitas akan menghasilkan budaya masing-masing yang khas dalam masyarakat tersebut.

Originality

Banyak penelitian tentang pembinaan kerukunan umat beragama diantaranya Novianty, F. (2019) menekankan pada pembinaan masyarakat multikultural dalam meningkatkan kerukunan antar umat beragama. Selanjutnya pada penelitian lain yang dilakukan oleh Pepi, S. (2016 menekankan pd peran penyuluh agama dalam pengelolaan isu kerukunan antar umat beragama. Juga penelitian yang dilakukan oleh Kaharuddin, K., & Darwis, Muh. (2019) lebih menekankan pada gambaran keberagaman masyarakat dan peran FKUB dalam memelihara harmonisasi trilogi kerukunan beragama masyarakat Luwu Timur. Sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme.


C.PEMBAHASAN

1)Pemahaman penyuluh agama non PNS tentang multikulturalisme.

Bangsa Indonesia merupakan salah satu

contoh masyarakat yang multikultural.


Multikultural masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, budaya, bahasa, ras tapi juga dalam hal agama. Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut apabila tidak dipelihara dengan baik bisa menimbulkan konflik antar umat beragama yang bertentangan dengan nilai dasar agama itu sendiri yang mengajarkan kepada kita kedamaian, hidup saling menghormati, dan saling tolong menolong.

Agama bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk mencapai kebenaran, rahmat dan ridha Tuhan, sebagai seorang penganut agama, kita tidak boleh memaksakan kehendak akan keyakinan kepada orang lain, karena jalan mana yang benar kita belum bisa memastikan, kita sekedar baru meyakini bahwa jalan yang sedang kita tempuh adalah benar. Sehingga dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati pendirian terhadap keyakinan yang dianut oleh masing-masing orang, dan senantiasa membuka diri untuk membangun sebuah interaksi sosial yang sehat dan transformatif.

Masyarakat Indonesia bersifat multietnik, multireligius dan multiideologis. Kemajemukan tersebut menujukkan adanya berbagai unsur yang saling berinteraksi. Berbagai unsur ini merupakan benih-benih


yang dapat memperkaya khasanah budaya untuk membangun bangsa yang kuat, namun sebaliknya hal ini juga dapat memperlemah kekuatan bangsa dengan berbagai percekcokan serta perselisihan. Oleh karena itu proses hubungan sosial perlu diusahakan agar berjalan secara sentripetal, agar terjadi seperti semboyan perjuangan.

Dalam konteks Indonesia, corak masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika bukan lagi hanya berkutat pada keanekaragaman suku bangsa, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah pandangan yang mengakui dan mengagumkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme dapat berkembang ketika didukung adanya toleransi dan kesediaan untuk saling menghargai.

Teologi dikenal oleh semua agama. Setiap agama memiliki penafsiran dan pemahaman ketuhanan yang berbeda. Secara pengertian, konsep teologisnya sama, setiap agama memiliki keyakinan ketuhanan, namun berbeda dalam hal praktik bahkan keyakinan. Sehingga banyak kita kenal dalam perkembangan agama-agama ada teologi Islam, teologi Kristen, teologi Hindu, dan sebagainya.


Perbedaan konsep teologi masing- masing agama ini sifatnya sensitif. Hal yang paling dasar dalam keyakinan umat beragama adalah konsep teologis. Seringnya terjadi benturan internal maupun eksternal umat beragama kebanyakan dipicu oleh adanya saling singgung soal hal-hal teologis. Dalam konsep pluralisme agama toleransi mestinya yang paling utama adalah mengedepankan kepentingan sosial kemasyarakatan, bukan atas keyakinan. Karena jelas bahwa konsep teologisnya berbeda dan tidak akan pernah bisa bertemu. Dalam melahirkan kerukunan umat beragama harus mengedepankan hubungan dan kepentingan bersama dalam tujuan-tujuan sosial.

Adanya dugaan demi dugaan penistaan agama yang tengah terjadi biasanya dipicu oleh hal-hal teologis semacam ini. Jika urusan keyakinan disinggung meskipun kecil, luapan emosi dan amarah, tidak hanya individu bahkan secara kolektif bergerak melakukan pembelaan atas nama agama. Pemicu ini karena sensitifnya keyakinan beragama pada setiap agama. Maka dari itu, dalam membangun toleransi dalam kemajemukan beragama mesti mengedepankan dasar-dasar sosial kemanusiaan, keramahan, dan juga kesantunan.

Gus Dur sangat kritis terhadap kelompok-kelompok agama yang cenderung “bar-bar”, beragama dengan kata-kata suci


namun sikapnya bengis dan kejam. Inilah yang menurutnya cara pandang ketuhanan yang sesat, karena konsep teologisnya masih teosentris bukan antroposentris. Bagi Gus Dur, Tuhan tidak perlu apa-apa, termasuk pembelaan, meskipun tidak menolak untuk dibela. Tuhan tidak akan pernah berkurang sedikitpun atas apa saja ulah dan sikap makhluknya. Karena itu Tuhan tidak perlu dibela, yang wajib dibela adalah kemanusiaan, penindasan kaum minoritas, dan sebagainya.

Munculnya konflik internal agama, bahkan eksternal hingga menganggu stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara adalah karena lemahnya dan kurangnya pembinaan serta bimbingan yang dilakukan oleh tokoh- tokoh agama maupun oleh pemerintah sendiri dalam hal ini oleh Kementerian Agama melalui para penyuluh agama yg diangkat baik PNS maupun non PNS. Untuk menjaga harmoni dan kerukunan umat beragama di Indonesia, maka para penyuluh agama (PNS dan non PNS) sebagai ujung tombak dalam pembangunan di bidang agama lebih dekat dengan masyarakat, sehingga sangat diperlukan dan mendesak untuk membekalinya dengan pemahaman yang benar dan tepat tentang multikulturalisme dalam menunjang tugas dan fungsinya dalam pembinaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sehingga kerukunan umat


beragama dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seseorang direkrut menjadi penyuluh agama, pertama-tama karena orang tersebut memiliki pemahaman yang baik tentang agamanya, pada saat yang sama, ia harus sanggup menerjemahkan ajaran agamanya kedalam situasi aktual yang dihadapi umat dan masyarakat secara khusus tentang multikulturalisme.

Bagi para penyuluh agama sebagai pelayan publik, maka fenomena keragaman budaya mengharuskan para penyuluh memahami pengetahuan dan kesadaran multikultural, sehingga memiliki kompetensi dalam menghadapi perbedaan, sekecil apapun perbedaan kelompok binaannya. Penyuluh perlu meningkatkan persepsi mereka, mencukupkan diri dengan pengetahuan tentang keragaman budaya, memahami adanya bentuk-bentuk diskriminasi, stereotip dan rasisme yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat multikultural, para penyuluh diharapkan dapat menjadi fasilitator perubahan dan ahli dalam mengatasi konflik dan melakukan konsultasi kepada pihak-pihak yang terkait untuk meningkatkan keharmonisan kelompok binaannya. Dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan publik terhadap beragam kelompok masyarakat, maka penyuluh dihadapkan dengan jangkauan layanan yang lebih luas, sehingga perlu memahami multikultural


sehingga dapat lebih efektif dalam pelayanan publik (Agus Akhmadi, 2019:2).

Melalui penyuluhan yang dilaksanakan, umat tidak terjebak dalam situasi masa kini yang terkotak-kotak tetapi sebaliknya imannya semakin bertumbuh disisi lain mampu menerapkan hidup yang saling menghormati dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing, bertoleransi dan hidup dalam moderasi beragama agar kerukunan umat beragama di Indonesia benar- benar dapat terwujud. Moderasi beragama adalah cara beragama yang moderat, tidak ekstrim kiri dan tidak ekstrim kanan. Moderasi beragama mengajak setiap umat beragama untuk menjalani ajaran agamanya masing-masing dengan benar. Moderasi beragama sangat penting bagi bangsa Indonesia yang hidup di tengah keragaman etnis, budaya, bahasa dan agama serta adat istiadat.

2)Peran penyuluh agama non PNS dalam membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme Maraknya konflik yang terjadi

belakangan ini yang bernuansa suku, agama dan ras (SARA) seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, Ahmadiyah, Syiah, Tanjungbalai Asahan dan di beberapa daerah lainnya, tentunya menjadi tanggungjawab negara untuk mencegah dan mengantisipasinya, sehingga untuk mencegah terjadinya konflik


yang yang tidak diiinginkan tersebut, maka diperlukan aktor kerukunan umat beragama untuk menjaga kondisi kerukunan umat beragama yang kondusif dan terus menerus terpelihara. Salah satu aktor kerukunan umat beragama adalah para penyuluh agama baik yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun Non-PNS yang ada di masing-masing Kementerian Agama tingkat Kabupaten/Kota Terkait dengan tugas dan fungsi kepenyuluhan, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Islam mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non

Pegawai Negeri Sipil.

Di dalam keputusan ini disebutkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan tugas Penyuluh Agama Islam Non PNS, maka dibuat delapan spesialisasi kepenyuluhan yang berkaitan dengan tugas Ditjen Bimas Islam, yaitu: Penyuluh Pengentasan Buta Huruf Al-Quran; Penyuluh Keluarga Sakinah; Penyuluh Pengelolaan Zakat; Penyuluh Pemberdayan Wakaf; Penyuluh Produk Halal; Penyuluh Kerukunan Umat Beragama; Penyuluh Radikalisme dan Aliran Sempalan; dan Penyuluh NAPZA dan HIV/AIDS.

Dari delapan tugas tersebut, untuk spesialisasi kepenyuluhan kerukunan umat


beragama bertugas mendorong masyarakat untuk menciptakan kerukunan dalam kehidupan beragama. Sedangkan, penyuluh dengan spesialisasi radikalisme dan aliran sempalan bertugas untuk membantu instansi berwenang dalam pencegahan tumbuhnya perilaku radikal dan aliran sempalan di masyarakat dengan pendekatan agama.

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kompetensi Penyuluh Agama Kristen Pasal 3 dijelaskan bahwa tugas pokok Penyuluh Agama Kristen adalah memberikan bimbingan atau penyuluhan tentang agama dan pembangunan kepada masyarakat serta prinsip-prinsip dan etika nilai keberagamaan yang baik melalui bahasa agama.

Selanjutnya dalam pasal 4 dijelaskan bahwa Penyuluh Agama Kristen memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi Informatif dan Edukatif ialah Penyuluh Agama Kristen memposisikan dirinya sebagai penyuluh yang berkewajiban memberitakan Firman Allah, menyampaikan penerangan agama dan mendidik masyarakat untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. (2). Fungsi Konsultatif ialah Penyuluh Agama Kristen memberikan dirinya untuk turut memikirkan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik persoalan pribadi,


keluarga atau persoalan masyarakat secara umum dan bersedia membuka mata dan telinga terhadap persoalan yang dihadapi umat serta menjadi tempat bertanya dan tempat mengadu masyarakat dalam upaya memecahkan dan menyelesaikan masalah sehingga Penyuluh Agama Kristen berfungsi sebagai psikolog, dan teman berbagi rasa. (3). Fungsi Administratif ialah Penyuluh Agama Kristen memiliki tugas untuk merencanakan, melaporkan dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan bimbingan yang telah dilakukan. (4). Fungsi Advokatif ialah Penyuluh Agama Kristen memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap umat/ masyarakat dari berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap permasalahan-permasalahan keadilan sosial, penanganan aliran-aliran sempalan, masalah- masalah yang berkaitan dengan kerukunan umat baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah yang selama ini dirasa belum mampu terakomodir dengan dan belum mendapat penanganan sebagaimana semestinya.

Penyuluh Agama dalam hal ini penyuluh agama non PNS sebagai salah satu ujung tombak Kementerian Agama dalam pembinaan kerukunan umat beragama di harapkan dapat berperan sebagai


Informatif/Edukatif, Konsultatif, dan Administratif. Peran sebagai Informatif dan edukatif yaitu menyampaikan Informasi yang benar dan mendidik umat. Sebagai konsultatif adalah mampu memecahkan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat/umat beragama. Sedangkan yang dimaksud Administratif ialah Penyuluh Agama non PNS memiliki tugas untuk merencanakan, melaporkan dan mengevaluasi pelaksanaan penyuluhan dan bimbingan yang telah dilakukan.

Penelitian yang relevan.

Dalam pembahasan ini perlu juga dikemukakan penelitian atau kajian-kajian yang relevan tentang peran penyuluh agama Non PNS membina kerukunan umat beragama dalam konteks multikulturalisme. Literatur-literatur yang membahas kajian ini masih jarang, lebih banyak menyorot masalah pendidikan multikultural serta indeks kerukunan umat beragama, pluralisme dan multikulturalisme. Adapun penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian sebelumnya adalah yang ditulis Saprillah Pepi pada tahun 2016 berjudul “Penyuluh Agama dan Isu Kerukunan Antar Umat Beragama di Kota Palu”, dalam salah satu kesimpulannya mengatakan secara umum dapat dikatakan peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan masih sangat sedikit. Ini disebabkan oleh setidaknya dua faktor.


Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik. Materi ajar lebih umum diarahkan pada soal ajaran dasar agama yang bersifat internal. Kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) penyuluh. Kedua, tidak adanya peta dakwah yang jelas.

Dalam(http://jurnalalqalam.or.id/index.ph p/Alqalam/article/view/350, akses 5 Juli 2020). Dengan demikian penelitian yang dilakukan Saprillah Pepi diatas dengan mengambil sasaran penyuluh agama dengan hasil peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan umat beragama masih sangat sedikit. Hal itu disebabkan oleh setidaknya oleh dua faktor. Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik. Materi yang diajarkan lebih umum diarahkan pada pada soal agama yang bersifat internal. Kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi penyuluh. Kedua, tidak adanya peta dakwah yang jelas.

Hasil penelitian relevan kedua adalah penelitian yang ditulis Sazali Hasan, Guntoro, Budi., Subejo., & Partini, SU tahun 2015 dengan judul “Penguatan Toleransi Agama “Analisis Komunikasi Pembangunan Agama” (Studi Pemerintahan Kota Bogor). Dalam hasil wawancara dan observasi yang peneliti dilakukan terhadap para penyuluh agama terkait pemahaman mereka tentang toleransi agama dan pluralitas keberagaman sangat beragam. Diantara penyuluh agama yang


tidak memahami aspek pluralitas, multikultural dan konsep-konsep terkait dengan toleransi agama. Dari hasil obsevasi, FGD yang dilakukan peneliti ternyata penyuluh agama belum menjalankan fungsi dan tugasnya dalam melakukan penguatan toleransi agama pada masyarakat. (http://ejournal.uin- suka.ac.id/isoshum/profetik/article/view/109

2) diakses 5 Juli 2020).

Dari kedua penelitian sebelumnya diatas, ternyata peran penyuluh agama dalam konteks kerukunan umat beragama masih sangat sedikit, penyuluh agama yang tidak memahami aspek pluralitas, multikultural dan konsep-konsep terkait dengan toleransi agama. Hal itu disebabkan oleh setidaknya oleh dua faktor. Pertama, sistem kepenyuluhan tidak berbasis pada isu spesifik dalam hal ini materi multikulturalisme yang sangat diperlukan sebagai modal dasar bagi seorang penyuluh agama non PNS dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam membina kerukunan umat beragama. Materi yang diajarkan lebih umum diarahkan pada pada soal agama yang bersifat internal. Materi kerukunan dianggap bukan bagian dari tugas pokok dan fungsi penyuluh agama non PNS karena kurangnya pembinaan dan pelatihan yang dilakukan oleh Kementerian Agama sebagai instusi tempat mereka bernaung.


Penyuluh agama non PNS dalam kehidupan sosial dan keagamaan memiliki peran dan pengaruh penting. Peranan penting disini karena penyuluh agama non PNS dalam stratafikasi atau struktur sosial menempati posisi atau status sebagai pemimpin informal dalam hal sosial keagamaan tanpa perlu adanya sebuah prosesi pengangkatan. Masyarakat memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap penyuluh agama non PNS karena kapasitas keilmuan agamanya dan moralitasnya. Dengan demikian, kedudukan status dengan peranan tidak dapat dipisahkan karena satu sama lain saling bergantung. Status diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Seseorang yang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, berarti dia menjalankan suatu peranan. Peran diartikan sebagai apa yang dilakukan oleh seorang penyuluh agama non PNS dalam posisinya. Menurut Levinson, seperti dikutip Soerjono Soekanto, posisi merupakan unsur statis yang hanya menunjukkan tempat individu dalam kelompok masyarakat. Sedangkan peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi seseorang dengan mencakup tiga hal diantaranya (1) Peranan meliputi norma- norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan- peraturan yang membimbing seseorang dalam


kehidupan kemasyarakatan. (2) Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. (3) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Kesadaran dan tanggungjawab kolektif akan entitas Indonesia yang plural dalam hal agama akan mendorong adanya early warning system atau usaha pencegahan dini akan potensi konflik yang rawan pecah. Apalagi Indonesia dikatagorikan sebagai masyarakat yang rentan (vulnerable society) karena tingginya tingkat segregasi sosial berbasis pada identitas keagamaan, etnis, dan golongan. Tak dipungkiri, dalam sebuah keragaman, khususnya yang dimiliki bangsa ini terdapat sifat rentan pecah.

Kerukunan umat beragama mengandung beberapa unsur penting yaitu: Pertama, kesediaan untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Ketiga, kemampuan untuk menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana kesahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran agamanya. Dan Keempat, kemauan untuk saling menghormati dan bekerjasama.


Dalam analisa Kartini Kartono, penyuluh agama non PNS yang juga berperan sebagai pemuka agama bisa dikategorikan sebagai pemimpin informal yang tidak perlu pengangkatan, namun karena sejumlah kualitas unggul yang dimilikinya sehingga mencapai kedudukan sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat.

Dengan demikian, penyuluh agama non PNS dengan sejumlah kualitas pribadinya, yakni kualitas keilmuan agamanya, moralitasnya dan juga atas dasar penerimaan dan penghormatan dari masyarakat atau kelompok umat beragama, cenderung memiliki kharisma. Istilah kharisma erat kaitannya dengan teologi dan menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada seseorang sebagai pemimpin agama. Artinya, kharisma ini menyangkut bakat rahmat yang diberikan Tuhan kepada orang-orang tertentu sebagai pemimpin agama. Kharisma ini digunakan oleh Weber untuk menggambarkan pemimpin-pemimpin agama di mana dasar dari kepemimpinan itu adalah kepercayaan dari masyarakat bahwa pemimpin agama memiliki suatu hubungan khusus dengan Ilahi, atau mampu mewujudkan karakteristik- karakteristik Ilahi itu sendiri. Dalam analisa Weber, istilah kharisma akan diterapkan pada suatu mutu tertentu yang terdapat pada keperibadian seseorang, yang karenanya


terpisah dari orang biasa dan diperlakukan sebagai orang yang dianugerahi dengan kekuasaan atau mutu yang bersifat adiduniawi, luar biasa, atau sekurang-kurangnya merupakan kekecualian dalam hal-hal tertentu. Kerukunan antar agama adalah suatu bentuk hubungan yang harmonis dalam dinamika pergaulan hidup bermasyarakat yang saling menguatkan yang diikat oleh sikap pengendalian hidup dalam bentuk diantaranya (1) Saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. (2) saling hormat menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah yang sama- sama bertanggung jawab membangun bangsa dan Negara. (3) Saling tenggang rasa dan toleransi dengan tidak memaksa agama

kepada orang lain. PENUTUP

1.Simpulan

a.Penyuluh agama non PNS sebagai ujung tombak dalam pembinaan kerukunan umat beragama ternyata belum memiliki pemahaman yang benar terhadap materi multikulturalisme sebagai salah satu bahan dalam melaksanakan pembinaan kepada masyarakat binaannya. Sebagai bangsa yang majemuk Indonesia rawan akan terjadinya kerusuhan yang disulut oleh


SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Sehingga perlu dikembangkan wawasan multikultural bagi penyuluh agama non PNS.

b.Penyuluh agama non PNS memiliki peran penting dan sangat dibutuhkan dalam pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks multikultural baik itu sebagai Informatif/Edukatif, Konsultatif dan Administratif.

2.Rekomendasi

a.Penyuluh agama non PNS hendaknya selalu mengembangkan profesi dibidang ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan agar mutu penyuluhan agama semakin meningkat.

b.Pembinaan kerukunan umat beragama di masyarakat yang dilakukan oleh penyuluh agama non PNS dapat dilakukan dengan berkolaborasi dan memberdayakan forum kerukunan umat beragama yang ada didaerah untuk memelihara kerukunan dan kesejahteraan.

c.Kementerian Agama melalui bidang terkait sangat mendesak untuk memberikan pelatihan kepada penyuluh agama non PNS tentang pembinaan kerukunan umat beragama dalam konteks masyarakat multikulturalisme.

d.Penyuluh agama non PNS hendaknya membangun komunikasi dengan Forum


Komunikasi Umat Beragama (FKUB) guna mewujudkan sikap toleransi antar umat beragama dan kedamaian dalam keberagaman yang multikulturalisme.


DAFTAR PUSTAKA

Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagaman Dalam Kontek Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 23


Akhmadi Agus, 2019. Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia. Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. 13, no. 2, Pebruari - Maret 2019, diakses tgl 22 Juni 2020.


Asimilation to Multiculturalism?”, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, 2002.


Alo Liliweri, 2001, Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Boty, Middya, 2017. Masyarakat Multikultural: Studi interaksi sosial masyarakat Islam Melayu dengan non Melayu pada masyarakat Sukabangun Kel. Sukajadi Kec. Sukarami Palembang. JSA Vol 1 No 2 2017.

D.Hendropuspito, 2000, Sosiologi Agama,

Yogyakarta; Kanisius.

Dadang Kahmad, 2006, Sosiologi Agama,

Bandung; PT Remaja Rosdakarya.

Kaharuddin, K., & Darwis, Muh. (2019). Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Di Luwu Timur. Palita: Journal of Social- Religion Research, 4(1), 31–46. https://doi.org/10.24256/pal.v4i1.566

Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor 298 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyuluh Agama Islam Non Pegawai Negeri Sipil.


Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Standar Kompetensi Penyuluh Agama Kristen

Masduki, Henri. 2016. Pluralisme dan multikulturalisme dalam Perspektif kerukunan antar umat beragama (telaah dan urgensinya dalam sistem berbangsa dan bernegara). Dimensi, 2016, Vol 9

(1): 15-24.

https://journal.trunojoyo.ac.id/dimensi/arti cle/view/3741, diakses tgl 18 Juni 2020.


Novianty, F. (2019). Pembinaan Masyarakat Multikultural Dalam Meningkatkan Kerukunaan Antar Umat Beragama. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 3(2), 226.

https://doi.org/10.31571/pkn.v3i2.1444

Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”. Keynote Address Simposium III Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA,

Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16– 19 Juli 2002.


Pepi Saprillah, (2016). Penyuluh Agama dan Isu Kerukunan Antar Umat Beragama Di Kota Palu”. http://jurnalalqalam.or.id/index.php/Alqala m/article/view/350, akses 5 Juli 2020)


Suseno, Franz Magnis, et.al., Memahami Hubungan Antaragama, terj. Burhanudin Dzikri, Yogyakarta: elSAQ Press, 2007


Sazali Hasan, Guntoro, Budi., Subejo., & Partini, SU. (2015). “Penguatan Toleransi Agama “Analisis Komunikasi Pembangunan Agama” (Studi Pemerintahan Kota Bogor). http://ejournal.uin- suka.ac.id/isoshum/profetik/article/view/10

92) diakses 5 Juli 2020).


https://www.kompasiana.com/prakosogalih/5 5186f68a33311b906b66872/trilogi-


kerukunan-umat-beragama. Diakses tanggal 19 Maret 2019


https://www.researchgate.net/publication/314 981576_Teologi_Pancasila_Teologi_K erukunan_Umat_Beragama. diakses tanggal 19 Maret 2019


http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream

/123456789/40292/2/WASIL-FU.pdf.

diakses tanggal 19 Maret 2019


https://news.detik.com/berita/3756465/panca sila-menyatukan-keberagaman- indonesia. diakses tanggal 19 Juli 2018


https://academicwriting2017.com/2018/09/11

/tujuan-pendidikan-multikultural- indonesia/. Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.kompasiana.com/triwidodo/551 7f02881331101699de660/multikulturali


sme-dalam-hubungan-antar-umat- beragama-yang-harmonis. Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.researchgate.net/publication/312 203394_Peran_Agama_Dalam_Multiku lturalisme_Masyarakat_Indonesia.

Diakses tanggal 8 April 2019


https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/peng ertian-konflik.html. Diakses tanggal 8 April 2019


http://rizkielibrary.blogspot.com/2016/02/ma najemen-konflik-definisi-penyebab- dan.html. Diakses tanggal 8 April 2019


http://graduate.uinjkt.ac.id/?p=17323.





iakses tanggal 8 April 2019.


https://id.wikipedia.org/wiki/Multikuhtml

https://www.joyinmyworld.com/2021/01/kerukunan-umat-beragama-dalam-konteks.html

Flower of the Month Club

Agama Dan Pembentukan Realitas




AGAMA DAN PEMBENTUKAN REALITAS DALAM PANDANGAN PETER LUDWIG BERGER1



Oleh: Rudy Harold2

ABSTRACT

This paper attempts to peer into the mind of Peter L.Berger in understanding the reality of religion. With the aim to obtain a description of sociological and t heoretical fuller on how religion plays a role in the formation and preservation of the human world created for the benefit of the formation itself as being the "unfinished".

From the results of the study found that religion is a means of legitimacy to pe rpetuate the human nomos varied created that can be received from one generation to the next. The authors recognize that the thought of Peter L. Berger is also not spared from the reductionist understandings of the reality of religion, but would not it be reductionist if we can not accept that religion has contributed greatly to the establishment and maintenance  of  the  created  world  humans  in daily life -day which takes place dialectically.


KeywordsPet: Lebenswelt, Externalization, Objectification, Int ernalization, Dialectics, Nomos and Kosmos.


1PeterLudwig Berger lahir pada tanggal 17 Maret1929. Ia adalah seorang sosiolog dan teolog Amerika. Peter L. Berger dilahirkan di Vienna, Austria, kemudian dibesarkan di Wina dan kemudian berimigrasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II. Pada 1949, ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952).Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di Universitas Boston, dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi , yang beberapa tahun lalu berubah menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia. https://id.wikipedia.org/wiki/Peter_L._Berger , diakses pada tanggal 15 Oktober 2015.


2 Staff Pengajar di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Menyelesaikan Program Studi Sarjana Teologi (S.Th) di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jaffray Makassar dan kemudian melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana Sosiologi Agama (M.Si) di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (rudy_harold@ung.ac.id)

1. PENDAHULUAN

Beberapa tahun belakangan ini, dunia diperhadapkan masalah radikalisasi ag ama dalam bentuk tindakan te ror, motif para pelakunya terkait erat dengan ajaran dan keyakinan a gama yang dianut oleh para pelaku t eror. Maka munculah pertanyaan di benak kita, apakah agama memang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan tindakan -tindakan yang tidak manusiawi semacam itu.

Esai ini tidak dimaksudkan untuk menganalisa tentang apa yang melatar - belakangi munculnya tindakan  teror yang mengatasnamakan agama atau radikalisasi agama. Karya tulis ini hanya ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk menelaah bersama keberadaan agama bersama dengan dogma dan etika di dalamnya, tidak sepenuhnya hanya merupakan pranata yang “diturunkan dari langit” , suatu entitas yang diwahyukan atau bersifat adikodrati . Karena faktanya, seiring dengan perubahan kebudayaan, agama pun juga mengalami proses transformasi. 3 Sebuah proses yang memungkinkan agama bisa menjadi radikal atau sebaliknya m embawa pesan-pesan perdamaian, perlawanan terhadap ketidakadilan, atau keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang termarginalkan. Kenyataan ini membuka kesadaran bahwa agama tidak cukup bila hanya dikaji dari satu sudut pandang ilmu, karena pada kenyataa nnya agama menampakkan dirinya juga sebagai suatu entitas yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai

3 Dalam tulisannya yang berjudul, “A Tradition In Process: The Changing Face Of Theology” ,


T. Howland Sanks, seorang guru besar di bidang sejarah dan teologi sistematika di The Jesuit School of Theology of Santa Clara University di Berkeley, California, mengemukakan bahwa pada abad ini, teologi Katolik sedang mengalami proses transformasi pasca Konsili Vatikan


II. Bahkan berkembang sebuah diskursus (perdebatan) teologi yang serupadengan polemik mengenai dogma tentang Kristus yang pernah berlangsung pada masa awal pembentukan gereja (the early Church). T. Howland Sanks, A Tradition In Process: The Changing Face Of Theology, American Magazine: The National Catholic Review, vol. 2015, 24 Oktober 2011, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, http://americanmagazine.org/sites/default/files/issues/cf/pdfs/791_1.pdf .

mahluk yang beriman atau yang memberikan jawaban atau tanggapa n terhadap Allah yang mewahyukan dirinya .

Dengan kajian lintas ilmu tersebu t semoga akan diperoleh penjelasan yang lebih utuh untuk memahami agama .4 Dalam hal ini, mengacu pada pemikiran Peter L. Berger, kolerasi antara perspektif teologi dan sosiologi, dan atau disiplin ilmu -ilmu empiris lainnya, akan memungkinkan bagi pengembangan pengetahuan yang menemukan makna-makna transendensi dalam kenyataan hidup manusia dengan menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmu sosiologi, filasafat, antropologi, dan rumpun ilmu pengetahuan humaniora lainnya. Sekalipun pada akhirnya penelit ian semacam ini akan menggiring kajian -kajian teologis menjadi lebih terarah pada karya ilmiah antropologis dari pada teologis.

Tapi itulah jalan yang harus ditempuh , tidak lain karena teorisasi tentang agama dalam ilmu sosiologi , sebagaimana yang diuraikan dalam beberapa teori, sejak awal telah mengembangkan pemahaman tentang agama sebagai suatu yang  memproyeksikan  atau mengekspresikan realitas yang dimungkinkan untuk ditelaah secara rasional. Kalaupun dalam agama terdapat realitas yang adikodrati, bebera pa ahli berpandangan bahwa realitas tersebut tidaklah sepenuhnya bersifat adikodrati, Sebagai contoh pemikiran Emile Durkheim. Ia menyatakan dalam teorinya tentang agama bahwa keyakinan dan ritual yang ada dalam agama mengekspresikan tentang sesuatu yang sakral. Dan menurut pandangannya, yang sakral itu tidak lain dari pada tatanan sosial yang dibangun oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, realitas seseungguhnya dari fenomena agama tidak lain daripada tatanan sosial yang dibangun oleh

4 Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk meneliti fenomena agama dari berbagai sudut pandang keilmuan. Secara khusus, tulisan ini hanya dimaksudkan memahami agama sebagai suatu gejala atau fenomena yang dimungkinkan untuk dianalisa sebagai suatu objek studi dengan menggunakan pendekatan, teori, dan metode yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu empirik, khususnya disiplin ilmu sosiologi.

manusia.5 Pendekatan dan pemikiran Durkheim tersebut menuai kritikan dan dikategorikan sebagai pemahaman yang reduksionis dalam menelaah fenomena agama dalam masyarakat. 6

Penelisikan yang lebih dalam mengenai teori sasi agama yang reduksionis membukakan penjelasan bahwa p emahaman tersebut berakar pada problem yang muncul dalam memahami realitas sosial. Dalam sejarah perkembangan pemikiran ilmu filsafat dan sosiologi, cukup lama diperdebatkan mengenai bagaimanakah memahami hubungan antara individu dan masyarakat. Terdapat s uatu diskursus mengenai apakah masyarakat merupakan suatu kenyataan sui generis , mempunyai wujud dalam dirinya sendiri, sehingga berdiri sendiri, dan berkembang menurut prinsip dan hukum yang tidak bergantung pada individu, ataukah tidak demikian. 7

Diskursus ini sudah mulai sejak dari awal kelahiran ilmu sosiologi modern.8 Dalam teorinya tentang proses evolusi pikiran manusia dan masyarakat, Auguste Comte 9 menjelaskan tentang masyarakat sebagai kesatuan yang holistis dan organis, yang dalam perkembangannya tidak bergantung pada inisiatif dari individu -individu di dalam masyarakat itu, melainkan pada proses spontan -otomatis dari perkembangan akal budi manusia. Senada dengan pemikiran Comte, Karl Marx 10 melihat pada sisi struktur sosial untuk menjelaskan bagaim ana kesadaran manusia


5 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCISOD, 2012).


6 Lebih jelasnya mengenai pemahaman dan kritikan terhadap pendekatan dan pandangan Emile Durkheim tentang agama dapat dipelajari lebih lanjut dalam buku Seven Theories of Religion karangan Daniel L. Pals.


7 K.J. Veeger. RealitasSosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 8-9.


8 Penjelasan lebih lanjut mengenai diskursus pembentukan realitas sosial antar a dua kutub, individu dan masyarakat bersumber dari pemikiran Irfan M. Noor. Irfan M. Noor, Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris (Kajian Filsafat Ilmu atas Pemikiran Peter L. Berger), diakses 15 Oktober 2015, http://id.scribd.com/doc/7980498/Aga ma-Dan-Filsafat- Ilmu-Irfan-Noor.


9 Idem.


10 Idem.

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Pemikiran lain yang lebih cenderung menekankan pengaruh masyarakat terhadap individu adalah pandangan Emile Durkheim 11 yang menekankan masyarakat sebagai sesuatu yang riil, berada secara l epas dari individu. Dengan pemikirannya tentang fakta sosial, ia begitu menekankan keberadaan masyarakat sebagai suatu entitas yang mengatasi kesadaran subjektif manusia. Pada kutub pemikiran yang lain, Max Weber mencoba untuk menganalisa dan memahami moti vasi subjektif untuk memperoleh pemahaman lebih utuh tentang masyarakat. Berbeda dengan Durkheim yang menekankan tentang fakta sosial yang bersifat eksternal dan memaksa individu dalam pembentukan kenyataan sosial, Max Weber justru mengembangkan pemikirann ya tentang verstehen (pemahaman subjektif) sebagai metode untuk membedah dan mengetahui berbagai motif dan tindakan sosial manusia dalam masyarakat. 12

Dalam menanggapi diskursus tersebut di atas, Peter L. Berger berpandangan bahwa kurang tepat bila kita me mahami persoalan tersebut semata-mata sebagai persoalan filosofis. Dalam buku yang ditulisnya bersama Thomas Luckman, “The Social Construction of Reality ”, kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa dalam menganalisa mengenai bagaimanakah hubungan antara indiv idu dan masyarakat, masalah tersebut sebaiknya dipandang sebagai suatu kenyataan yang dibangun secara dialektik. Artinya bahwa eksistensi manusia yang utuh hanya mungkin ada di dalam masyarakat, dan demikian juga sebaliknya, eksistensi masyarakat hanya mun gkin ada karena aktifitas manusia sebagai penciptanya.

Pemikiran Peter L. Berger tentang pembentukan realitas secara dialektik ini juga yang menjadi alasan mengapa penulis ingin mengajak para pembaca untuk menelusuri dan merefleksikan pemikiran -pemikiran Peter L. Berger.


11 Idem.


12 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I. (Jakarta: PT Gramedia, 1988) 216.


mengenai agama dalam konteks bagaimanakah agama ikut berperan dalam proses pembentukan realitas atau kenyataan yang tidak dapat dipisahkan dari teoritisisasi Peter L. Berger tentang dialektika pembentukan realitas.

2. PEMBAHASAN Realitas dalam Sosiologi Pengetahuan

Kenyataan atau realitas 13 bukanlah suatu istilah yang asing bagi kita. Kata ini sangat sering kita dengarkan atau kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Dalam percakapan sehari -hari, pemahaman tentang kenyataan tidaklah serumi t pengertiannya dalam bidang ilmu filsafat yang mencoba untuk menjawab apakah hakikat paling mendasar dari kenyataan itu.

Mengenai hal ini, Peter L. Berger berpendirian bahwa sosiologi memiliki pemahaman tentang kenyataan yang agak berbeda dengan ilmu fil safat. Dalam konteks sosiologi (khususnya sosiologi pengetahuan sebagai cabang atau subdisiplin ilmu sosiologi), kenyataan dianalisa untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan kenyataan itu dalam masyarakat ( social construction of reality ). Itu sebabnya Peter L. Berger menegaskan bahwa sosiologi, khususnya sosiologi pengetahuan, tidak bermaksud menganalisa kenyataan untuk menjawab pertanyaan tentang apakah ultimate status atau hakikat yang paling mendasar dari kenyataan itu. Dalam tulisannya tentang sosi ologi pengetahuan, Peter L. Berger menegaskan bahwa persoalan -persoalan filsafat tentang

13 Peter L. Berger menggunakan frasa “kenyataan” dengan makna yang lebih mengacu pada pengetahuan yang membimbing tindakan manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Bila ditambhakan dengan istilah sosial, maka kata sosial yang mengikuti kata tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pengetahuan tersebut terbentuk dalam suatu konteks sosial. Pengetahuan semacam ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari salah satu contohnya wejangan atau petuah-petuah yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar dapat menjalani hidup dengan baik.

“kenyataan” dan “pengetahuan” yang menjadi diskursus dalam perkembangan sosiologi pengetahuan telah mengaburkan apa yang sesungguhnya menjadi fokus studi dari disiplin ilmu sosiologi pengetahuan.

Namun sebelum lebih jauh bicara soal kekaburan itu, ada baiknya dijelaskan secara ringkas mengenai sejarah keberadaan dari sosiologi pengetahuan (Wissenssoziogie) sebagai cabang ilmu sosiologi yang pertama kali diperkenalkan ol eh seorang filsuf asal Jerman bernama Max Scheler pada dasawarsa 1920-an14. Dari keterangan ringkas asal mula tersebut dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa subdisiplin ilmu ini lahir dan berkembang dalam konteks sejarah pemikiran filsafat Jerman yang meng alami apa yang disebut Peter L. Berger sebagai vertigo (kepeningan) relatifitas akibat dari akumulasi ilmu pengetahuan sejarah yang sangat besar, yakni pada aras empiris meneliti tentang sejauhmana hubungan yang konkrit antara pemikiran dan situasi histori s. Dari latar belakang tersebut maka semakin dapat dipahami bila hakikat dan cakupan kajian dari sosiologi pengetahuan adalah penelitian mengenai hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di mana pemikiran itu timbul.

Kajian mengenai korelasi te rsebut dapat kita temukan dari pemikiran Karl Marx, Neitzsche, dan paham historisisme. Dalam pemikiran Karl Marx, sosiologi pengetahuan memperoleh proposisinya dari pemikiran Karl Marx tentang kesadaran manusia, ideologi, kesadaran palsu, substruktur dan supersturuktur. Dari Nietzsche, sosiologi pengetahuan memperoleh sumbangan pemikiran Neitzche yang mengembangkan teorinya sendiri mengenai kesadaran palsu, yakni kajian terhadap pemikiran manusia sebagai alat dalam perjuangan mempertahankan kelangsungan hid up dan kekuasaan. Suatu pemikiran yang telah dikembangkan terlebih dulu oleh Karl Marx. Sedangkan

14 Tentang sejarah asal-usul dan perkembangan sosiologi pengetahuan, tulisan ini sepenuhnya mengacu pada uraian perkembangan disiplin ilmu ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Peter L. Berger dalam bukunya “Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan”.

warisan historisme bagi sosiologi pengetahuan tidak lain dari tentang historitas yang tak terelakkan dari pemikiran manusia, dengan konsep -konsepnya mengenai “determinasi situasional” dan “kedudukan dalam kehidupan”, yang keduanya dapat diterjemahkan mengacu pada apa yang disebut dengan “lokasi sosial” dari pemikiran.

Dalam konteks pemikiran tersebut, Max Scheler mengembangkan suatu subdisiplin ilmu sosiologi y ang disebutnya dengan istilah sosiologi pengetahuan (Wissenssoziologie ) yang menganalisa mengenai bagaimana pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Lebih jelasnya, Scheler menegaskan bahwa:

“Pengetahuan manusia diberikan oleh masyarakat sebagai suatu a priori kepada individu-individu dengan memberikan kepadanya tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio - historis tertentu, menampakkan diri kepada manusia sebagai cara yang sudah sewajarnya untuk memandang dunia (yang d iungkapkan oleh Scheler dengan istilah “pandangan dunia yang relative -natural” dari masyarakat)”.15

Selanjutnya perkembangan sosiologi pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Karl Manheim, yang juga mempersoalkan mengenai bagaimana hubungan antara gagasan dengan konteks sosialnya, dan pertanyaan - pertanyaan epistimologis lainnya dari pemikiran manusia. Hal ini yang kemudian oleh Peter L. Berger dipandang mengakibatkan pengertian teoritis dari sosiologi pengetahuan menjadi kabur. Tapi ini bukan berarti s osiologi pengetahuan mengabaikan pertanyaan -pertanyaan epistemologis dan metodologis mengenai pengetahuan/ pemikiran manusia, namun pertanyaan - pertanyaan itu bukan merupakan ruang lingkup kajian yang utama dari disiplin ilmu sosiologi yang empiris, karena p ertanyaan itu adalah suatu bidang yang termasuk dalam ilmu filsafat. Dengan tegas Peter L. Berger menyatakan bahwa sosiologi pengetahuan merupakan bagian dari disiplin ilmu sosiologi empiris


15 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. (Jakarta: LP3ES,1990), 12

yang pada aras teoritis tidak dimaksudkan untuk melakukan penyeli dikan terhadap persoalan -persoalan epistemologis dan metodologis. Namun demikian, Peter L. Berger tidak memungkiri bahwa persoalan -persoalan epistemologis mengenai pengetahuan manusia memang merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari ruang lingk up kajian sosiologi pengetahuan, namun itu hanya merupakan salah satu masalah dan juga bukan merupakan permasalahan utama dari sosiologi pengetahuan.

Fokus utama kajian sosiologi pengetahuan adalah meneliti segala sesuatu yang dianggap sebagai “pengetahuan” (commonsense)16 dalam masyarakat. Artinya bahwa sosiologi pengetahuan terutama harus meneliti apa yang “diketahui” oleh masyarakat sebagai “kenyataan” dalam kehidupan sehari -hari yang  tidak  teoritis  atau  prateoritis. 17 Karena pemikiran teoritis atau perumusan Weltanschauung hanya merupakan aktivitas berpikir dari sekelompok masyarakat yang sangat terbatas jumlahnya. Maka dengan demikian pemikiran teoritis itu sebagian dari apa yang disebut dengan sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat, yang tanpa “pengetah uan” itu sebagai jaringan makna, tak satupun masyarakat dapat eksis. 18 Karena “pengetahuan” itulah yang membimbing perilaku manusia dalam kehidupan sehari -harinya dan yang membentuk “kenyataan” atau dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah lebenswelt (ter jemahan bahasa Inggris life-world).

16 Konsep ini bertautan erat dengan pemikiran Alfred Schutz mengenai sturuktur dunia akal sehat dalam kehidupan sehari-hari. Ibid., 22


17 Pengetahuan prateoritis tidak lain dari apa yang disebut dengan istilah commonsense. Ini adalah sejenis pengetahuan yang dihasilkan tanpa melalui kajian secara ilmiah . Lebih jelasnya sebagai contoh yakni pemahaman tentang gereja. Bagi seorang teolog, gereja tidak hanya dipahami berdasarka analisa data atau informasi yang diperoleh melalui pengamatan terhadap kemengadaan gereja yang nampak tetapi pemahamannya merupakan suatu hasil analisa atau kajian dengan menggunakan suatu pendekatan, teori, dan metode tertentu untuk menghasilkan suatu pemahaman tentang gereja yang ilmiah dan bersesuaian dengan paham teologi yang dianut oleh teolog itu sendiri.


18 Idem.



Agama dan Pembangunan Dunia

Pada awal kajian tentang agama dalam masyarakat, Peter L. Berger menuliskan   bahwa setiap  masyarakat merupakan suatu usaha untuk membangun dunia.19 Dan agama memiliki apa yang disebutnya sebaga i “a distinctive place in this enterprise”. Untuk lebih memahami peran agama dalam usaha pembangunan dunia tersebut, ada baiknya bila kita mencoba untuk terlebih dulu memahami apa yang Berger maksudkan dengan pernyataan bahwa tiap masyarakat adalah suatu u saha untuk membangun dunia.

Dalam terminologi paham fenomenologi, kata “dunia” tersebut tidak lain dari apa yang disebut dengan istilah lebenswelt . Sebagaimana kita ketahui, istilah lebenswelt (terjemahan dalam bahasa Indonesia, “dunia kehidupan”) merupakan salah konsep utama dari mazhab pemikiran filsafat fenomenologi, yang pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Husserl. Konsep ini dapat kita pahami sebagai ‘dunia’ atau ‘semesta’ yang terdiri atas lingkungan fisik dan sosial manusia yang dipahami oleh manu sia hanya dengan menggunakan akal sehat (commonsense) tanpa menggunakan perspektif dari ilmu alam dan sosial.20


 


Menurut Berger, kenyataan atau dunia kehidupan menyatakan eksistensinya sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi kesadaran manusia dengan cara yang paling masif, mendesak, dan mendalam, sehingga sangat


19Dalam buku yang diberi judul “The Sacred Canopy” , Berger mengemukakan bahwa istilah dunia yang digunakan dalam pernyataannya tersebut mengandung pengertian yang khusus, karena itu kata tersebut semestinya ditulis dalam tanda petik.Kekhususan makna kata ini, karena kata dunia tersebut oleh Berger dipahami berdasarkan pada pemikiran filsafat fenomenologi dan sosiologi pengetahuan.Dunia yang dibentuk tersebut, berdasarkan paradigma fenomenologi, rupanya menunjuk pada kesadaran manusia terhadap fenomen- fenomen yang diakui memiliki keberadaan dan tidak bergantung pada kehendak manusia. Peter L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES,1991), 3.


20 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 24-27.

sukar bagi manusia untuk mengabaikannya. 21 Tidak lain karena kenyataan itu sudah diobjektifikasi 22 sedemikian rupa sebagai sesuatu yang telah ditata sebelum keberadaan seorang individu.

Lebih lanjut Berger menjelaskan bahwa kenyataan itu menghadirkan dirinya kepada individu sebagai sesuatu yang bersifat intersubjektif, suatu dunia atau kenyataan yang dapat dialami dan dipahami secara bersama -sama dengan  individu-individu  yang  lain. Sekalipun mungkin ad a perbedaan pemahaman tentang kenyataan tersebut namun kenyataan tersebut adalah sesuatu yang telah membentuk kesadaran/ pengetahuan akal sehat (commonsense knowledge) dari semua individu yang mengalaminya.

Menurut Berger, terbentuknya lebenswelt bagi manusia, erat kaitannya dengan kondisi manusia sebagai mahluk hidup yang dalam proses menjadi manusia berhubungan secara timbal balik dengan lingkungannya, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan manusia (suatu tatanan budaya dan sosial, yang diperoleh mela lui orang-orang yang berpengaruh dalam hidup tiap individu).23Berbeda dengan mahluk menyusui lainnya, manusia dilahirkan dalam kondisi struktur biologi dan naluri yang masih perlu untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Sebagaimana yang dikemukak an oleh Berger,

“Perkembangan organ yang penting, yang pada binatang telah mencapai penyelesaiannya dalam rahim induknya, pada bayi manusia berlangsung.

21 Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES,1990), 31-32.


22 Objekstifikasi merupakan konsep yang digunakan oleh Peter L. Berger untuk mengungkapkan tentang keberadaan dari segala sesuatu yang manusia ciptakan (fisik maupun mental) sebagai suatu realitas atau kefaktaan yang berhadapan, berbeda, dan berada di luar diri manusia sebagai pihak yang telah memproduksi realitas tersebut. sehingga dengan demikian, melalui objektifikasi, masyarakat, sebagai salah satu ciptaan manusia, menjadi suatu realitas yang “sui generis” . Peter L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES, 1991), 5.

23Ibid., 68

setelah ia keluar dari kandungan. Tetapi pada masa ini, bayi manusia itu tidak hanya sudah berada dalam dunia luar; ia juga mempunyai hubungan timbal balik dengannya, dengan sejumlah cara yang kompleks.”24

Karena kondisi inilah, maka dapat dikatakan bahwa menjadi manusia secara fundamental berarti mengada ( to exist ).25 Dan karena itu, mengutip pandangan Berger, ”eksternalisasi 26 adalah suatu keharusan antropologis. Manusia tidak bisa dibayangkan tanpa pencurahan dirinya (eksternalisasi) secara terus menerus ke dalam dunia yang dihuninya”. 27 Tidak lain penyebabnya karena manusia dilahirkan dengan struktur naluri / instiktual yang belum diarahkan atau disesuaikan dengan suatu lingkungan yang khas bagi spesiesnya. Manusia harus membentuk lingkungannya, dunianya sendiri (dunia manusia), dan mengutip pendapat Peter L. Berger, dunia itu tidak lain dari pada kebudayaan. 28 Berdasarkan pemikiran Berger mengenai eksternalisasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan ciptaan manusia, yang diciptakan oleh manusia dalam proses pembentukan dirinya.

Namun pemikiran Berger tidak hanya sampai di situ dalam mengan alisa fenomena kebudayaan. Kenyataan bahwa dunia yang manusia ciptakan itu merupakan sesuatu yang eksis di luar kesadaran manusia memunculkan


24Idem.


25 Irfan M. Noor, op.cit., 8


26 Peter L. Berger menggunakan konsep eksternalisasi untuk mengungkapkan bahwa manusia adalah mahluk hidup yang secara terus menerus mencurahkan, mengungkapkan, mengekspresikan dirinya ke dalam dunia sekelilingnya, baik itu dalam bentuk aktivitas fisik maupun mental. Menurut Berger, eksternalisasi diri manusia ke dalam dunia sekelilingnya merupakan suatu keharusan antropologis karena homosapiens menempati posisi yang istimewa karenan memiliki keistemewaan dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan maupun dengan lingkungan atau dunia disekelilingnya. Tidak seperti binatang menyusui tingkat tinggi lainnya, yang dilahirkan dengan kondisi organisme yang pada pokoknya sudah lengkap, manusia sebaliknya “belum selesai” ketika dia dilahirkan. Lebih lanjut penjelasan tentang konsep eksternalisasi dapat dibaca dalam buku “Langit Suci” dan “Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan”.


27 Ibid., 5.


28Ibid., 8.

pemahaman tentang objektifikasi dari semua yang dihasilkan oleh manusia dalam proses eksternalisasi. Jadi objektif ikasi adalah transformasi dari hasil pencurahan diri manusia dalam proses eksternalisasi sehingga apa yang dihasilkan tersebut kemudian menjadi sesuatu yang menghadapi manusia sebagai fakta di luar diri manusia. Salah satu bukti dari objektifikasi tersebut adalah peralatan -peralatan yang manusia ciptakan biasanya memaksakan logika keberadaannya kepada manusia sebagai pemakai peralatan tersebut. 29

Selanjutnya masyarakat, dan produk -produk budaya (material maupun bukan material) manusia lainnya yang terobjekti fikasi tersebut diserap ke dalam kesadaran subjektif individu, proses inilah yang disebut dengan internalisasi. 30 Sedangkan yang dimaksud dengan sosialisasi, menurut Peter L. Berger, adalah proses mendidik individu agar hidup bersesuaian dengan program-program kelembagaan masyarakat dari satu generasi ke generasi lainnya.31 Dalam proses internalisasi , individu tidak hanya mengalami apa yang disebut dengan proses belajar tetapi lebih dari itu, individu menyerapnya dan menjadikan sebagai miliknya sendiri, bahka n dapat mengekspresikannya. Namun sekalipun manusia adalah mahluk yang “belum selesai” dan terbuka pada dunia sekitarnya dalam pembentukan dirinya, tapi itu bukan berarti bahwa manusia hanya bersikap pasif. Pada kenyataannya, manusia itu tidak lembam (diam), justru sebaliknya manusia berpartisipasi secara aktif dalam proses pembentukan jati dirinya dan pembentukan dunia ciptaannya. Dan hal ini menunjukkan pada kita bahwa manusia secara terus menerus akan memberikan tanggapan terhadap dunia yang diciptakan d an membentuknya

29Bahkan alat itu (misalnya telepon selular) dapat mengara hkan aktifitas para pemakainya.


30Ibid., 19.

31 Sosialisasi dibedakan dari internalisasi. Mengacu pada pemikiran Berger dan Luckmann, internalisasi merupakan aktifitas individu (subjek) dalam menyerap produk -produk budaya yang dihasilkan oleh masyarakat. Sedangkan sosialisasi adalah aktifitas di luar individu yang bertujuan untuk mendidik individu agar hidup bersesuaian dengan program-program kelembagaan masyarakat.

dan karenannya juga manusia dituntut untuk harus terus memelihara dunia ciptaan itu.

Dalam proses pemeliharan dunia ciptaan manusia inilah, kita sudah dimungkinkan untuk mempercakapkan tentang agama. Karena setelah tiba pada penjelasan tersebut kita sudah bisa menarik kesimpulan, sebagaimana yang diutarakan Peter L. Berger, bahwa masyarakat sebagai suatu aktivitas membangun dunia terutama adalah merupakan aktivitas penataanpengalaman secara kognigtif maupun normatif, atau yang biasa juga di sebut dengan istilah nomisasi. Dalam proses pembentukan nomos tersebutlah, agama memainkan suatu peran khusus di dalam pembangunan dan pemeliharaan dunia 32 yang berlangsung secara dialektik.

Agama Sebagai Sumber Legitimasi Nomos Yang Adiluhung

Untuk memahami nomos33 lebih mendalam, kita perlu kembali melihat kondisi manusia yang secara biologis tidak mempunyai suatu mekanisme penataan diri sebagaimana yang melekat pada species mahluk hidup lainnya. Itu sebabnya manusia harus menciptakan sendiri suatu mekani sme penataan pengalaman dan dunia di sekitarnya. Penataan itulah yang disebut dengan nomos yang kemudian menjadi referensi/ pedoman bagi manusia dalam mengatur tingkah lakunya sehari -hari. Tanpa tatanan yang bermakna terhadap setiap pengalaman tersebut, man usia tidak akan dapat bertahan hidup karena akan dirundung kecemasan tenggelam dalam dunia yang tanpa makna, kacau,

32 Dunia yang dimaksudkan di sini adalah ciptaan manusia dan itu juga dapat dipahami sebagai kebudayaan yang merupakan hasil karya manusia dalam rangka menjalankan wewenangnya sebagai mandataris Allah di dalam dunia ciptaan-NYA.

33Istilah nomos diambil dari pemikiran Emile Durkheim mengenai konsep nomos yang dikontradiktifkan dengan konsep anomi, sebagaimana yang dikemukakannya dalam tulisannya tentang Suicede (bunuh diri)tidak berperasaan dan gila. 34 Itulah sebabnya, mengutip pendapat Peter L. Berger,

“Berada dalam masyarakat berarti “waras” dalam pengertian t erlindungi dari “kegilaan” purna dalam kecemasan anomik tersebut.Anomi itu tidak tertanggungkan sehingga bisa saja individu merasa lebih baik mati daripada mengalaminya.Sebaliknya eksistensi di dalam suatu dunia nomik mungkin sangat diidamkan dengan member ikan segala pengorbanan dan menanggung segala derita –dan bahkan berkorban jiwa, jika individu itu yakin, bahwa pengorbanan itu membawa makna nomik.”35

Jadi ketiadaan nomos adalah suatu bencana terbesar bagi manusia, baik secara individual maupun kolektif. Apapun ragam historis dan kebudayaannya, nomos merupakan suatu keharusan dalam dunia yang manusia bentuk. Karena lawan dari nomos adalah anomi, suatu kondisi kehidupan yang tentunya tak diinginkan. Secara individual, anomi berarti keterasingan dari dunia s osial di sekitarnya, bahkan dalam kondisi yang paling ekstrem, individu akan kehilangan “rasa” dan identitas dirinya sendiri.

Namun malang tak dapat ditolak, tiap nomos yang dibentuk oleh manusia secara sosial tersebut selalu diperhadapkan pada ancaman ker untuhan dan menciptakan gangguan anomik bagi manusia. 36 Situasi anomik ini nampak misalnya ketika suatu negara menetapkan undang -undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis kelamin.Sebagian orang melihat itu sebagai suatu situasi anomik tapi ada juga yan g beranggapan justru sebaliknya, bahwa peraturan negara itu telah menciptakan suatu tatanan dunia yang memungkinkan bagi mereka untuk menemukan realitas dan identitas diri


34 Ibid., 27-28


35 Ibid., 28


36Nomos yang dimaksudkan di sini adalah bentukan manusia. Mengenai nomos yang diyakini bersumber dari wahyu tentu akan timbul silang pendapat. Dan dalam hal sil ang pendapat tersebut, tulisan ini tidak dapat berbicara banyak karena tujuan karya tulis ini hanyalah untuk mengulas pemikiran Berger mengenai kontribusi agama dalam pembentukan realitas. Tapi walaupun demikian, berharap melalui tulisan ini dapat beroleh kesempatan untuk bertukar pikiran dan menimba pengetahuan teologis tentang hal tersebut .

mereka. Perubahan tatanan norma tersebut menunjukkan betapa rentannya suatu nomos yang dibangun oleh manusia secara sosial terhadap kehancuran. Peter L. Berger menjelaskan bahwa, “semua dunia yang dibangun secara sosial, secara inheren adalah rawan. Karena didukung oleh aktivitas manusia, maka dunia-dunia tersebut terancam oleh fakta kepe ntingan diri dan kebodohan manusiawi. Program -program kelembagaan disabot oleh individu -individu yang memiliki kepentingan yang bertentangan.” 37 Untuk itu nomos memerlukan sumber peneguhan agar dapat bertahan dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan dalam hal inilah agama memainkan perannya.

Tapi sebelum membicarakan tentang bagaimana peran agama tersebut, terlebih dulu perlu untuk dijelaskan tentang bagaimana pemahaman Peter L. Berger sendiri tentang agama. Senada dengan pemikiran beberapa ilmuwan filsafat dan sosiologi lainnya, menurut Peter L. Berger, agama itu merupakan hasil dari pantulan, refleksi, atau proyeksi yang dilakukan oleh manusia. 38 Bila demikian apakah fenomena yang manusia proyeksikan di dalam dan melalui agama ? Peter L. Berger menjawa b bahwa manusia mengeksternalisasikan agama karena manusia diperhadapkan pada ancaman -ancaman anomik dalam dunia yang merupakan hasil dari aktifitas manusia itu sendiri melalui proses eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Dalam menanggulangi kecemasan manusia terhadap situasi anomik, masyarakat telah menciptakan instrumen-instrumen semacam sosialisasi dan kontrol sosial, namun tampaknya instrumen itu tidak cukuplah memadai untuk menegasikan ancaman-ancaman terciptanya kondisi anomik, baik secara individu maupun kolektif. Karena itu, demi untuk memperkokoh tatanan sosial maka manusia


37 Ibid., 36


38 Inilah salah satu pemahaman yang menjadi sumber perdebatan antar ilmu teologi dan sosiologi dalam menelaah fenomena agama. Tulisan tidak cukup memadai untuk menelaah perdebatan tersebut. Lebih lanjut untuk mendiskusikan mengenai bagaimana dialog antara kedua disiplin ilmu tersebut dapat dipelajari dalam tulisan Peter L. Berger mengenai “Perspektif-Perspektif Sosiologis dan Teologis” yang merupakan lampiran dalam bukunya “The Sacred Canopy” . Buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES dengan judul “Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial” .

secara kolektif menciptakan proses legitimasi 39, dalam proses legitimasi inilah agama memainkan perannya sebagai universum simbolik yang menjadi lambaran bagi dunia sosial dan biografi manusia yang ada di dalamnya.

Dijelaskan bahwa proses legitimasi ini merupakan semacam “pengetahuan” yang diobyektifikasi secara sosial yang berfungsi untuk menjelaskan dan membenarkan suatu tatanan sosial. 40 Dalam proses legitimasi, semua pertanyaan – pertanyaan yang menyangsikan suatu tatanan sosial mendapatkan jawabannya. Jawaban-jawaban tersebut bukan hanya merupakan suatu yang bersifat kognigtif lebih dari itu “pengetahuan” atau jawaban - jawaban dalam proses legitimasi itu juga bersifat normatif.

“Merupakan suatu kesalahan besar bila mengidentifikasikan legitimasi dengan ideasi teoritis. “Gagasan -gagasan”, memang diperlukan bagi kepentingan legitimasi. “Namun apa yang bisa dianggap sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat sama sekali tidak identik dengan kesatuan “gagasan-gagasan” yang ada dalam masyarakat. Sebagian orang memiliki minat terhadap “gagasan -gagasan”, biasanya mereka tidak lebih dari suatu minoritas yang agak kecil. Jika legitimasi itu selalu harus terdiri dari dalil -dalil yang secara teoritis bisa dipahami, maka legitimasi itu akan mendukung tatanan sosial terutama bagi minoritas intelektual yang memiliki minat -minat teoritis seperti itu – ini jelas bukan suatu program yang sangat praktis. Akibatnya banyak legitimasi yang bersifat prateoritis. ”41

Pemikiran ini juga yang melatar belakangi konstruksi pemikiran Peter L. Berger mengenai sosiologi pengetahuan sebagai suatu perspektif yang lebih

39 Legitimasi di sini dipahami sebagai “pengetahuan” yang bertujuan untuk menjawab setiap pertanyaan yang mempertanyakan keabsahan dari suatu tatanan sosial. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, objektifikasi dunia yang dibangun oleh manusia sebenarnya telah menunjukkan bahwa dengan sendirinya semua “pengetahuan” yang manusia ciptakan terkandung adanya legitimasi di dalamnya. Namun, legitimasi- legitimasi tambahan masih diperlukan untuk mewariskan “pengetahuan” tersebut dari generasi ke generasi untuk menjawab pertanyaan yang pasti timbul dalam alam berpikir generasi-generasi yang baru.


40Idem.


41 Ibid., 37.

diarahkan untuk menelaah “pengetahuan akal sehat” dalam masyarakat dari pada menelaah konstruksi teoritis dari kalangan intelektual. 42

Lalu bagaimana hubungan atau peran agama dalam proses legitimasi. Bila kita mengamati dalam masyarakat, semua legitimasi yang dibangun menjelaskan keberadaan nomos itu secara sosial dan empirik. Sementara agama melegitimasi nomos dengan sangat efektif karena menghubungkan bentukan-bentukan dunia sosial (yang didalamnya terdapat nomos) dengan realitas purna, realissimum keramat, yang menurut definisinya berada di luar kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari makna -makna manusiawi dan aktivitas -aktivitas manusia. 43 Sebagai contoh, kita dapat menemukannya dalam pengetahuan yang menjelaskan keberadaan dari lembaga ataupun jabatan - jabatan keagamaan. Hampir semua pengetahuan itu menghubungkan lembaga dan jabatan keagamaan tersebut dengan realitas yang sakral, semacam pengetahuan yang diwahyukan. Di antara pengetahuan tersebut, sebagai contoh, adalah gereja sebagai “tubuh” Kristus, dan dengan demikian, gereja tidak dapat hanya dipandang sebagai suatu lembaga yang terbentuk k arena dibangun oleh manusia secara kolektif dalam suatu konteks sosial budaya tertentu. Dalam hal inilah, agama menunjukkan dirinya sebagai sumber legitimasi tatanan sosial yang adiluhung.

Keampuhan legitimasi agama ini terkait erat dengan pemahaman tentan g agama sebagai konstruksi pengetahuan manusia dalam memahami tentang alam semesta, atau yang biasa disebut dengan istilah kosmos. Menurut Peter L. Berger, agama juga dapat dipahami sebagai usaha manusia membentuk suatu kosmos keramat. Adapun kata “keramat ” atau sakral di sini mengandung arti suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan, bukan berasal dari manusia dan yang diyakini berada dalam objek -objek pengalaman tertentu. 44

42 Idem.


43 Ibid., 40


44 Ibid., 32

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas tersebut dapat disematkan pada berbagai berbagai objek alami atau buatan (artifisial), mahluk, roh, dewa, hingga kekuatan atau asas purna yang menciptakan dan mengatur kosmos yang tidak lagi dibayangkan dalam kerangka personal. Kosmos yang konstruksi oleh agama ini, bagi manusia merupa kan suatu realitas yang transenden (di luar lingkaran kemengadaan manusia dalam dunia) tapi sekaligus juga imanen (melingkupi) kehidupan manusia dan menjadi tatanan bermakna bagi manusia dalam membentuk kebudayaan dan peradabannya.

Dan rupanya ada kecender ungan yang dapat kita temukan, khususnya dalam masyarakat pra modern, nomos yang terbentuk kemudian dipadukan dengan makna-makna fundamental dalam semesta sebagaimana yang menjadi pemahaman kosmologi suatu masyarakat. Sebagaimana yang dikemukan oleh Peter L. Berger, dalam masyarakat lama, nomos sering kali tampak sebagai refleksi mikrokosmos, sehingga dengan demikian, nomos yang dibangun dalam masyarakat kemudian menjadi suatu penjelasan tentang “hakikat sesuatu” yang dipahami secara kosmologis dan antropol ogis.45 Keterpaduan inilah yang menciptakan keajegan suatu nomos karena sumber legitimasinya berasal dari sumber-sumber pengetahuan yang lebih kuat bila dibandingkan dengan usaha - usaha historis manusia dalam melegitimasi suatu nomos.

3. KESIMPULAN

Mengulang kembali apa yang dikemukakan oleh Peter L. Berger bahwa setiap masyarakat merupakan suatu usaha untuk membangun dunia dan agama memiliki apa yang disebut sebagai a distinctive place in this enterprise . Pemikiran ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk me ngawali pemahaman kita tentang bagaimana analisa Peter L. Berger terhadap fenomena agama dalam.

45 Ibid., 31-32

masyarakat. Lebih jelasnya ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan dalam memahami pemikiran Peter L. Berger mengenai agama, yakni :

1. Agama tidak dapat dipisahka n dari proses pembentukan berbagai realitas atau “dunia” yang manusia ciptakan yang melalui tiga momentum yakni eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi.

2. Peran utama agama dalam pembentukan dan pemeliharaan “dunia” tersebut terletak pada kekuatan ag ama untuk membenarkan/ meligitimasi nomos yang menata kehidupan manusia dalam “dunia” ciptaannya sendiri. Sehingga terbuka kemungkinan yang besar untuk melanggengkan tatanan tersebut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial . Jakarta: LP3ES.

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan . Jakarta: LP3ES.

Pals, Daniel L. 2012. Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: IRCISOD.

Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I . Jakarta: PT Gramedia.

Noor, Irfan. Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah -Empiris (Kajian Filsafat Ilmu  atas  Pemikiran  Peter L. Berger) , diakses 15 Oktober 2015,

http:// id.scribd.com/ doc/ 7980498/ Agama -Dan-Filsafat -Ilmu-Irfan- Noor.

Sanks, T. Howland. A Tradition In Process: The Changing Face Of T heology, American Magazine: The National Catholic Review, vol. 2015, 24 Oktober 2011, diakses pada tanggal 15 Oktober2015, http:/ / americanmagazine.org/ sites/ default/ files/ issues/ cf/ pdfs/ 791_1 pdf Veeger, K.J. 1988. RealitasSosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1988.



https://www.joyinmyworld.com/2021/01/agama-dan-pembentukan-realitas.html

Flower of the Month Club