Kanon Alkitab Ditetapkan Siapa? Gereja Atau Tuhan?
Firman Allah pada awalnya disampaikan secara lisan, jadi orang beriman pada masa Nuh belum memiliki Alkitab. Pada panggilan Abraham umat Allah juga belum memiliki Alkitab. Perpisahan Abraham dengan Lot, yang kemudian Allah memusnahkan Sodom dan Gomora, belum ada laporan mengenai firman Allah yang tertulis. Pada awalnya firman Allah disampaikan dari pribadi ke pribadi secara lisan. Tuhan memakai individu tertentu untuk menyampaikan firman Allah.
Kemudian setelah Tuhan menghukum manusia dengan air bah karena tidak mendengarkan nabi Nuh, maka selanjutnya Allah memakai Abraham untuk membangun umat yang memuliakan Tuhan dan kemudian menjadi sebuah kerajaan yaitu Israel, penulisan firman Tuhan baru mulai pada penyampaian hukum Taurat melalui Musa yang dituliskan dalam dua loh batu.
Pada masa Israel kumpulan Firman itu dituliskan dengan rapi. Penulisan Firman Tuhan ini bisa dikatakan mengikuti Musa yang mendapatkan 10 Hukum yang dituliskan dalam 2 loh Batu.
Selanjutnya dalam Kerajaan Israel yang makin kuat, firman Tuhan yang dinyatakan melalui para nabi itu dituliskan, dan penulisan itu dilakukan dalam pimpinan Roh Kudus oleh Para Rabi.
Jadi kanon Perjanjian lama ditetapkan oleh Rabi-Rabi Yahudi oleh pimpinan Roh Kudus.
Demiakian juga Injil dituliskan oleh mereka yang diurapi Roh Kudus, demikian juga kitab-kitab lain dalam Alkitab. Firman Allah dinyatakan sebagai firman Allah menurut iman Protestan bukan karene gereja menetapkannya, tetapi karena firman Allah itu membuktikan diriNya firman Allah. Dan kitab-kitab dalam Alkitab tidak memiliki pertentangan.
Selanjutnya, karena firman Allah itu disampaikan dalam ruang dan waktu, artinya tidak berada di ruang hampa, maka menafsirkan firman Allah perlu melihat siapa penulisnya, ditujukan kepada siapa, apa tujuan penulisan surat itu, apa isinya dll Penafsiran seperti ini dinamakan eksegese, menggali keluar, metode yang digunakan adalah induktif. Mereka yang bisa melakukan ini pada awalnya adalah bapak-bapak Gereja.
Pada awalnya penafsiran Alkitab hanya dilakukan oleh pimpinan-pimpinan gereja atau mereka yang disebut Ahli-ahli kitab seperti pada masa Yahudi. Alkitab juga tidak diterjemahkan kedalam berbagai bahasa karena dianggap yang bisa membaca Alkitab adalah mereka yang ahli kitab, dan umat hanya mendengarkan apa yang dikatakan para Ahli kitab.
Selnjutnya Protestan yang meyakini bahwa Kanon Alkitab ditetapkan bukan oleh gereja, tapi karena firman Tuhan itu mampu memb uktikan dirinya sebagai firman Allah menyatakan bahwa semua orang berhak membaca Alkitab. Semua orang dapat menggunakan Alkitab sebagai pedoman hidup, tapi tentu saja penggunaan pembacaan Alkitan itu secara deduktif, jadi jemaat bisa menguji rumusan doktrin atau dogma melalui pembacaan Alkitab secara langsung.
Selanjutnya memang ajaran langkah-langkah penafsiran Alkitab secara sederhana diberikan kepada jemaat, tetapi tetap saja penafsiran dilakukan secara deduktif, dengan kaca mata dokma gereja, agar interpretasi yang dihasilkan tidak bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab yang lain.
Tetapi ketika terjadi kebangkitan gerakan kharismatik yang berlandaskan pada pengalaman, penafsiran deduktif itu tidak didasarkan pada dogma gereja, melainkan pada pengalaman individu. Apalagi kemudian ketika gereja itu ingin kembali pada gereja mula-mula, berarti menyingkirkan tradisi atau semua warisan berupa dogma gereja, dan ingin menggali kembali untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya. yang terjadi bukan kemajuan, tetapi kemunduran.
Apabila penafsiran Alkitab menghargai tradisi gereja, dan juga tidak menempatkan tradisi di atas Alkitab, maka mestinya doktrin gereja terus berkembang, dan sanggup merespons jaman, apalagi dalam era yang bukan hanya interdisiplin, tetapi juga trans disiplin.
No comments:
Post a Comment