google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT: 01/01/2024 - 02/01/2024

Halaman

Hubungan agama dan negara


     


         




 Hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila sesungguhnya sudah final. Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Meski Indonesia memosikan agama pada tempat terhormat. Dengan demikian agama menjadi landasan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang secara khusus dinyatakan dalam sila ketuhanan yang maha esa.


Agama-agama di Indonesia diharapkan kontribusinya untuk pembangunan bangsa, demikian juga hal nya dalam bidang pendidikan. Untuk memberikan kontribusi maksimalnya agama-agama tidak boleh lengket dengan politik, agama tidak boleh membiarkan dirinya dikooptasi oleh kekuatan politik tertentu. Agamaisasi politik, atau politisasi agama keduanya akan merugikan agama itu sendiri.



Pemisahan Agama dan Negara.

Meskipun agama dan negara adalah dua entitas yang terpisah dan berbeda, namun pemisahan mutlak di antara keduanya, tidak mungkin dilakukan. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, agama dan negara sebenarnya “disatukan dan diintegrasikan di dalam diri setiap individu.” Setiap individu pada saat yang sama adalah warga dari negara dan juga anggota lembaga agama. Setiap orang adalah, makhluk religius dan politik pada saat yang sama. jadi ide pemisahan mutlak dari perspektif agama sebagai “organisme” tetapi bukan sebagai “lembaga,” dari sudut pandang anggota lembaga agama yang pada saat yang sama adalah warga negara dan mungkin penguasa.

Kedua, penolakan  terhadap ide pemisahan mutlak didasarkan pada keyakinannya bahwa selalu ada “karakter religius” di dalam negara dan “dimensi politik” di dalam agama. Mengenai hal ini Mark Juergensmeyer di dalam bukunya, The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State,  telah berhasil menegaskan argumentasi ini. Darmaputera setuju dengan Juergensmeyer bahwa salah satu kesalahan besar dari nasionalisme sekuler adalah penegasannya bahwa politik bisa menyingkirkan agama. Dengan mengklaim bahwa politik bisa menyingkirkan agama, nasionalisme sekuler telah menyebabkan serangan balik yang diwakili oleh nasionalisme religius.Tidaklah mengherankan bahwa kaum nasionalis religius dipersatukan, di dalam istilah Juergensmeyer, “oleh musuh bersama – nasionalisme sekuler Barat – dan harapan yang sama bagi kebangkitan agama di dalam ruang publik.” Dengan demikian agama tidak bisa dipisahkan dari politik.

Juergensmeyer telah membuktikan bukan saja aspek politik dari agama, tetapi juga karakter religius dari negara. Nasionalisme sekuler, menurut Juergensmeyer, merupakan sejenis agama karena ia meliputi “doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial.”Garis antara nasionalisme sekuler dan agama selalu sangat tipis.

Dengan demikian ideologi-ideologi sekuler sama sekali tidak sekuler. Setiap ideologi, sebenarnya berfungsi sebagai “supra-agama, agama-sipil, atau agama-semu.” Dengan demikian, “politik murni” atau “agama murni” tidak pernah ada di dalam realitas. “Persimpangan” antara kedua entitas ini menimbulkan pertanyaan dasar, Bagaimana keduanya harus dihubungkan sedemikian rupa sehingga agama bisa melaksanakan tanggung jawab politisnya, dan negara melaksanakan tanggung jawab religiusnya, tanpa melanggar otonomi dan integritas masing-masing. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat relevan bagi Indonesia.

Di dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah satu-satunya alternatif yang paling baik jika Indonesia ingin menjaga kesatuan dan keberagamannya. Menurut Pancasila, agama dan negara tidak boleh sepenuhnya dilebur, atau dipisahkan secara mutlak. Di dalam berhubungan dengan dua ideologi yang berkonflik di antara bapak-bapak pendiri bangsa tahun 1945 – apakah Indonesia Merdeka akan didasarkan pada “dasar sekuler” dimana agama secara mutlak dipisahkan dari negara, atau, apakah akan didirikan atas “dasar agama” dimana negara diatur berdasarkan agama – solusi yang ditawarkan oleh Pancasila adalah bahwa Indonesia tidak akan menjadi negara sekuler atau negara agama.

Pemisahan agama yang ketat dari negara, yang merupakan tanda cara berpikir Barat, tidak cocok bagi Indonesia yang sangat religius. Posisi agama yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan pilihan negara sekuler sangat tidak mungkin.

 

Peran penting agama dalam pendidikan.


Agama memiliki peran pemersatu, dan agama juga harus diakui memiliki peran penting di dalam pendidikan. Mengutip apa yang dikatakan Paulo Freire, 

“Setiap proyek pendidikan bersifat politis dan penuh ideologi.Masalahnya adalah untukkepentingan atau menentang kepentingan siapa politik pendidikan itu diarahkan.”  

Pendidikan nasional Indonesia kehilangan arah, karena tidak konsistennya elit di negeri ini untuk berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 45. 

Politik pendidikan nasional belum diarahkan pada kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, dan masih melayani kepentingan tertentu. Itulah sebabnya nasionalisme Indonesia terus tergerus. 

Apabila pemerintah konsisiten berpegang pada Pancasila maka agama-agama yang ada di Indonesia dapat memberikan kontribusi positifnya dalam membangun pendidikan nasional Indonesia dalam bingkai Pancasila dan semangat bhinekatunggal ika.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

http://www.binsarinstitute.com/2020/08/hubungan-agama-dan-negara-dalam.html

Pemimpin Yang Melayani







Pemimpin yang melayani berawal dari kehidupan yang didedikasikan kepada Allah untuk menjalankan misi Allah. Dengan kekuatan Allah seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk melayani Allah dan melayani sesamanya untuk menyelesaikan tugas misi Allah.

Kepemimpinan yang melayani didasarkan pada panggilan Allah, bukan dari manusia atau organisasi. Pemimpin yang melayani melaksanakan tugas dalam lingkup agenda/rencana Allah, dengan berdasarkan karakter Kristus, dan menuntun kepada tujuan yang Allah kehendaki, bukan tujuan manusiawi.

Misi harus diresapi dengan spiritualitas yang kuat, spiritualitas yang membangun karakter besar, dan terbentuk pada landasan hidup dalam hubungan cinta dengan Kristus. Sebuah misi tanpa jenis  spiritual-pasti gagal. Itulah inti dari kepemimpinan yang melayani.

 

Spiritualitas Kristen adalah hadiah dan tugas. Hal ini membutuhkan persekutuan dengan Allah (kontemplasi) serta aksi di dunia (praksis). Ketika dua elemen ini dipisahkan, maka kehidupan dan misi gereja akan sangat terpengaruh.

 

Kontemplasi tanpa tindakan adalah pelarian dari realitas konkret; tindakan tanpa kontemplasi adalah aktivisme kurang makna transenden.

 

spiritualitas Kristen dan misi Kristen adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Hanya ketika saya tumbuh dalam iman, harapan, dan cinta, saya  bisa  melayani semua yang dipercayakan pada saya. Tuhan yang pergi ke tempat yang tenang untuk berdoa adalah pekerja yang sama ajaibnya dengan pekerjaan memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan (Markus 6: 30-44).

 

Panggilan tertinggi pemimpin yang melayani adalah melayani Allah dan untuk melayani orang-orang yang dipercayakan kepadanya. "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu bahwa Anda harus pergi dan menghasilkan buah dan buah kehidupan Kristen adalah  mematuhi Allah."

Tiga peran pemimpin yang melayani:

1. Menunjukkan jalan. Pemimpin berjalan di depan dan pengikut mengikutinya.

2. Menolong kelompok yang dipimpinnya untuk menyelesaikan tugasnya. Setia dalam perkaran kecil, Matius 25:21

3. Seorang pemimpin akan melatih yang dipimpinnya untuk menjadi pemimpin.

 

Jenis pemimpin yang melayani:

1. Peminpin yang memiliki Karakter, kompetensi dan berpusat pada Kristus (Memiliki pengetahuan, karakter dan skill

2. Dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus

 

Pemimpin yang melayani dan Keserupaan dengan Kristus :

1. Keserupaan dalam karakter

2. Keserupaan dalam tujuan

3. Keserupaan dalam strategi

4. Kepemimpinan seperti Kristus dalam konteks budaya

 

Tuntutan Kepemimpinan Melayani:

1. Berkerohanian baik

2. Bermoralitas tinggi

3. Bertalenta mantap

4. berdedikasi penuh

5. Berpengertian dalam

6. Bereputasi indah, seorang yang terhormat, tanpa aib, noda dan cacat cela

 

Tak seorangpun dapat memenuhi persyaratan kepemimpinan Kristen. Hanya karena anugerah Allah, dalam pimpinan Roh Kudus, kita bisa menjadi pemimpin yang melayani. Seperti Yesus yang melayani murid-murid, dan juga kita semua.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat, M.Th.

http://www.binsarinstitute.com/2020/06/pemimpin-yang-melayani.html

Pancasila Dasar Ham Indonesia


Pancasila Dasar Ham Indonesia

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia melaporkan, Pancasila terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Pada tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI. 

Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun .

Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila.

 Jika pada awalnya keragaman apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.

Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.

Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia.

Pancasila sebagaimana di tuangkan dalam pembukaan UUD 1945 secara de jure telah menjadi sesuatu yang final sebagai ideologi dan dasar negara. Namun secara de fakto masih memerlukan penyadaran dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Apresiasi yang berbeda terhadap Pancasila seharusnya tidak boleh ada, karena Pancasila merupakan konsensus bersama, maka semua orang Indonesia harus memiliki pengharapan yang sama, yaitu membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila.

http://www.binsarinstitute.com/2020/07/pancasila-dasar-ham-indonesia.html




Merawat Keberagaman




 


 Setidaknya ada delapan kasus kekerasan agama terjadi di Yogyakarta dalam lima bulan terakhir ini. Intimidasi terhadap kelompok Raustan Fikr di Sleman; deklarasi anti-Syiah di masjid kampus Universitas Gadjah Mada; kekerasan terhadap Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul; pembubaran pertemuan kelompok Syiah di Bantul, tindak kekerasan Paskahan Adisyuswa di Gunung Kidul; tindak kekerasan yang terjadi pada penyerangan terhadap umat katolik di Ngaglik, Sleman; penganiayaan terhadap Julius Felicianus Direktur Galang; serta yang teranyar penyerangan terhadap tempat ibadah Pentakosta di Pangukan, Tridadi, Sleman minggu lalu. 

Kekerasan agama yang terjadi di Yogyakarta sangat memprihatinkan. Kota yang tersohor dengan toleransinya itu kini mengalami ancaman kebebasan beragama. Lebih ironis lagi, baru-baru ini petinggi kota itu, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X baru saja menerima “Penghargaan Pluralisme” dari jaringan Antariman Indonesia (JAII), dalam Konferensi Nasional VI bertema “Membangun, Merawat, Memperkokoh Peradaban Luhur Bangsa dengan Dialog Transformatif” di Jayapura, pada 19-23 Mei 2014.

Penghargaan pluralisme itu diberikan kepada Sultan karena dianggap berperan penting dalam mendorong keberagaman menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa kekerasan agama di Yogyakarta bukan saja menjadi tantangan bagi kota yang terkenal dengan toleransinya itu, melainkan sekaligus menjadi pertaruhan bagi Indonesia sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. 

Merawat Keberagaman 

Kita tentu setuju dengan apa yang dikatakan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), AA Yewangoe. “Kemajemukan adalah tantangan dan pendewasaan kemajemukan itu tergantung pada cara bangsa ini menanganinya. 

Kemajemukan dapat merupakan kelemahan, tetapi sekaligus dapat juga menjadi kekuatan yang mahadahsyat yang dapat menggerakkan bangsa Indonesia untuk lebih maju lebih jauh lagi dalam penjelejahan sejarahnya.” Kekerasan agama yang dipertontonkan di Yogyakarta akhir-akhir ini sesungguhnya tidak memiliki akar sejarah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Demikian juga di Yogyakarta, sebagai salah satu kota simbol keberagaman Indonesia. 

Arnold Joseph Toynbee (1889-1975), seorang sejarawan Inggris yang tersohor dan pernah berkunjung ke Indonesia menegaskan, dalam hal toleransi beragama Indonesia adalah sebuah contoh yang patut diikuti. Negeri ini di bawah naungan Pancasila telah berhasil memanfaatkan keragaman agama-agama itu sebagai kekuatan. 

TB Simatupang pernah berujar, “Pancasila ibarat payung yang lebar yang menaungi agama-agama,” bukan hanya mengindikasikan tingginya toleransi masyarakat Indonesia, melainkan juga sebuah pengakuan agama-agama itu mempunyai kontribusi penting bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya di negeri ini agama-agama menduduki posisi yang terhormat. 

Hak beragama diakui sebagai hak yang paling asasi dan oleh konstitusi diakui sebagai hak sipil setiap individi di negeri ini. Realitas itulah yang kemudian memopulerkan Indonesia sebagai negara tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Jalan Pancasila yang memberikan naungan bagi agama-agama yang beragama di negeri ini amatlah tepat. 
Pluralisme agama berdasarkan jalan Pancasila harus dimaknai sebagai rumah bersama bagi agama-agama, keunikan agama-agama tetap diakui keberadaannnya. Dengan demikian, jelaslah menerima Pancasila berarti sama saja dengan mengakui penerimaan terhadap pluralitas agama-agama. 

Pluralisme, yang didasarkan pada Pancasila harus dimaknai sebagai perjumpaan komitmen-komitmen, semisal perbedaan agama, untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar agama. Agama-agama yang beragam dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesis dari keragaman yang ada tersebut untuk kemudian menjadi titik pijak bersama agama-agama dalam hidup bersama, jauh dari sekat-sekat serta kecurigaan antaragama. 

Penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak bukanlah jalan Pancasila. Sebaliknya, Pancasila dengan semangat “Bineka Tunggal Ika” sejatinya menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman. Pemerintah tak perlu berintervensi pada ranah agama yang memang bukan domain pemerintah. Untuk menegakkan dan memajukan kebebasan beragama di negeri ini sebenarnya sederhana saja, yakni pemerintah harus menegakkan supremasi hukum. 

Pasal 28 J ayat 2, UUD 1945, memang menjelaskan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Namun, ayat ini jelas harus dilihat dalam terang semangat Bineka Tunggal Ika yang antidikriminasi. Artinya, pembatasan-pembatasan dalam bentuk regulasi pemerintah harus memenuhi asas keadilan untuk semua. Regulasi pemerintah terkait agama-agama harus didasarkan pada penghormatan terhadap kebebasan beragama. 

Pemerintah tidak boleh mempersulit pengurusan IMB rumah ibadah sebagaimana terjadi pada tujuh gereja yang disegel Pemda Cianjur (Suara Pembaruan 2/6/2014). Tragisnya, beberapa di antara tujuh gereja yang disegel itu sudah berdiri sejak 1977, sedangkan SKB dua menteri atau yang kini dikenal sebagai PBM (Peraturan Bersama Menteri), baru berlaku sejak disahkan pada 2006. 

Kasus Cianjur menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan izin pembangunan rumah ibadah, padahal hak beribadah secara berkelompok dijamin konstitusi negeri ini. Di samping memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 45, pemerintah harus bersikap netral dalam menegakkan supremasi hukum. 

Mereka yang melanggar hukum dan mengancam kebebasan orang lain harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Mereka yang melanggar hukum, dengan alasan apa pun harus dihukum. Pemerintah tak boleh mengubur pelanggaran terhadap kebebasan beragama sekecil apa pun. 

Penegakkan hukum ini penting untuk memberikan efek jera pada mereka yang kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Dengan demikian, jelaslah terciptanya kehidupan antaragama yang harmonis sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah dalam menegakkan hukum. 

Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan antidiskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama. 

Pemerintah tidak perlu mengatur kehidupan internal agama. Namun, regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beragama tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang menjaminan kebebasan beragama dan antidiskriminasi agama. Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusif bagi perjumpaan agama-agama yang damai di republik ini. 

Dr.  Binsar A. Hutabarat


Menulis Karya Ilmiah

 





Menulis Tidak Memerlukan Bakat

 




Menulis tidak memerlukan bakat, semua orang bisa menulis  asalkan memiliki ketekunan, dan terus meningkatkan kemampuan menulisnya.

Peningkatan kemampuan menulis setidaknya terkait dengan pengetahuan tentang penalaran dan pengetahuan bahasa tulis. 

Kemampuan penalaran dapat ditingkatkan dengan banyak membaca. Demikian juga perihal ide atau gagasan sebagai syarat utama menulis, itu di dapat melalui membaca. 

Menulis adalah merekam, menyimpan dan mendokumentasikan apa yang kita baca, mengonstruksinya, menata kembali, kemudian memproduksi sesuatu yang bermanfaat. 

Kita tentu setuju bahwa bahasa mempengaruhi pikiran, dan demikian juga pikiran mempengaruhi bahasa. 

Menghasilkan karya tulis yang baik membutuhkan kemampuan bernalar, dan juga kemampuan bahasa tulis, keduanya di dapat melalui membaca dan berlatih menuliskan apa yang telah dibaca.


Binsar Antoni Hutabarat

http://www.binsarinstitute.com/2021/08/menulis-tidak-memerlukan-bakat.html

Pluralitas Agama Bukan Ancaman

 

 Pada Konsultasi Teologi Nasional Persekutuan gereja-gereja di Indonesia (31 oktober- 4 November 2011) di Cipayung dengan tema, “Berjuang Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan” disimpulkan  bahwa larangan beribadah dan penutupan rumah ibadah secara paksa oleh kelompok -kelompok tertentu semakin banyak terjadi.  Itu membuktikan, di negeri yang amat beragam ini, masih terdapat kelompok-kelompok yang memusuhi keberagaman agama-agama.

 Ubud, Indonesia, Candi, Bali, Sejarah

Lebih lanjut, Konsultasi Teologi tersebut menegaskan, “sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan agama-agama, namun keragaman itu dilihat dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi pergaulan yang saling memperkaya.”Masih banyak individu atau kelompok yang memandang keberagaman agama-agama bukan sebagai kekayaan yang harus disyukuri melainkan dianggap sebagai malapetaka.

 

Terbukti, sampai akhir Oktober  2011, berdasarkan laporan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI), telah terjadi penutupan dan ancaman terhadap 34 Gereja di negeri ini. Rentetan peristiwa ancaman kekerasan agama tersebut makin bertambah panjang dengan terjadinya gangguan terhadap 9 buah gereja di kampung rawa kalong, Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun selatan, kabupaten bekasi, Jawa Barat pada bulan November yang baru lalu.  Dan pada awal Desember, bulan dimana seringkali ancaman terhadap kebebasan beragama kerap terjadi, lima buah gereja di Kecamatan Pracimantoro, kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, juga mengalami gangguan.

Pada 2011 tercatat  47 Gereja mengalami gangguan di tanah air ini. Jadi, ancaman terhadap kebebasan beribadah di negeri ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Menjelang perayaan Natal tahun ini, jika pemerintah tidak segera mengantisipasinya Gereja-gereja yang mengalami gangguan pada tahun ini bisa lebih banyak lagi. Artinya, ancaman terhadap kebebasan beragama pada tahun ini bisa jadi akan lebih hebat dibandingkan tahun -tahun sebelumnya.

 

 

Bergerak mundur

 

Hubungan antar agama di negeri ini bisa dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let die). Agama-agama hidup bersama tapi tak memiliki kerjasama yang baik sehingga tak terjadi pergaulan yang saling memperkaya. Realitas tersebut bertolak belakang dengan masa lalu negeri ini.

 

Masyarakat Indonesia mulanya hidup saling memerhatikan dan saling memercayai. Indonesia terkenal dengan pluralismenya dan semangat interdepedensi agama-agama yang tinggi. Indonesia tersohor dengan sebutan surganya agama-agama. Di Indonesia agama-agama mendapatkan tempat persemaiannya yang subur. Itulah sebabnya   agama-agama besar yang berasal dari luar negeri ini, seperti Islam, Kristen, Hindu,  Budha serta Kong Fu Tsu dapat bertumbuh subur. Bahkan agama-agama itu kemudian bercampur menjadi aliran-aliran kebatinan yang hingga kini tetap eksis di negeri ini.

 

Pancasila dengan semangat Bhineka Tunggal Ika Nya menjadi payung yang lebar bagi semua agama-agama yang berbeda dan beragam, dan agama-agama yang berbeda dan beragam itu diterima sebagai kekayaan dan bukan sebagai ancaman. Jadi, sikap curiga antaragama bukanlah warisan leluhur bangsa ini. Bisa dipastikan, makin tergerusnya nilai-nilai ke-Indonesiaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila adalah penyebab utama raibnya rasa saling percaya antarwarga bangsa di negeri ini.

 

Hubungan harmonis antar agama-agama yang lama bersemi di negeri ini lambat laun kian memudar, hubungan antar agama bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan perasaan terancam. Khususnya setelah berakhirnya era absolutisme Soeharto. Kekerasan agama-agama meledak di berbagai tempat di seantero negeri ini. Ironisnya, pemerintah era reformasi seakan tak berdaya meredam maraknya kekerasan agama di negeri ini.

 

Meningkatnya intoleransi agama di negeri ini diteguhkan dengan maraknya cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama. Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus menguat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu justru makin melemah.

 

 

Pluralitas bukan ancaman

 

 

Intoleransi agama yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan agama sesungguhnya melanggar konstitusi  negeri ini yang mengatur hak setiap warga negara untuk beribadah. Pemerintah sebagai penerima mandat konstitusi tidak boleh membiarkan penyerangan terhadap kebebasan beragama terjadi di negeri ini. Sebaliknya pemerintah harus konsisten mendorong kehidupan yang saling menghargai antarwarga bangsa yang berbeda dan beragam agama.

 

Tidak tuntasnya penyelesaian kasus penutupan, penyegelan, sampai pada perusakan dan  pembakaran rumah ibadah yang terjadi di negeri ini  telah menjadi preseden buruk bagi  penegakan HAM di Indonesia. Pembiaran terhadap kasus tersebut telah melahirkan banyak kasus di berbagai daerah di Indonesia.  Akibatnya, ancaman terhadap kebebasan beragama terus berlangsung di negeri ini. Pluralitas agama masih di tolak oleh banyak orang di negeri karena minimnya konsisitensi pemerintah dalam menangani kasus-kasus bernuansa agama.

 

Lemahnya konsisitensi pemerintah dalam memberikan proteksi kebebasan beribadah terlihat jelas pada kasus penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Sejak 2008, umat GKI Yasmin berjuang untuk mendapatkan hak mereka yang dilindungi oleh konstitusi, bahkan perjuangan itu mendapatkan dukungan umat berbagai agama yang pro-pluralisme, namun IMB yang telah mereka dapatkan  secara sepihak dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Meski telah memenangi  gugatan di PTUN Bandung, bahkan telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA), Wali kota  Bogor Diani Budiarto bergeming dengan sikapnya, yakni tetap membekukan IMB GKI Yasmin, bahkan melarang umat beribadah di lokasi tersebut.

 

Herannya, pemerintah pusat tetap tak bereaksi. Padahal, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi  mengakui bahwa peristiwa itu akan menciptakan instabilitas Kota Bogor setelah beberapa partai politik mencabut dukungannya kepada Diani Budiarto.

 

Pemerintah, sebagai pemegang mandat konstitusi bertanggung jawab langsung untuk menegakkan konstitusi. Pemerintah harus aktif memproteksi hak kebebasan beragama setiap warga negara yang memeluk agama apapun. Karena pluralitas agama adalah realitas yang diakui oleh konstitusi di negeri ini.

Sikap tegas pemerintah terhadap kelompok-kelompok intoleran yang gemar melakukan kekerasan tentu saja akan mendapat dukungan mayoritas rakyat di negeri ini. Sikap tegas pemerintah dalam berpegang pada konstitusi akan berbuah manis, yakni bertumbuhnya semangat toleransi yang merupakan nilai-nilai bermutu bangsa ini, sehingga keberagaman agama-agama dapat diterima sebagai sebuah kekayaan, bukan ancaman.

 

Binsar A. Hutabarat


http://www.binsarinstitute.com/2020/07/pluralitas-agama-bukan-ancaman.html


Clip Studio Paint

Pancasila dan kata bersama

 “PANCASILA DAN KATA BERSAMA”



Kristen dan Islam mengakui bahwa dunia yang mereka tempati diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Tuhan Yang Esa tersebut juga berdaulat atas dunia ini, dan telah memerintahkan kepada kedua agama itu untuk hidup “mengasihi Allah dan sesamanya,”yang dikenal dengan sebutan kata bersama (common word). Lantas, mengapa kekerasan atas nama agama masih saja terus berlanjut di negeri ini, dan ini juga terjadi pada kedua agama itu?


Populasi umat Islam dan Kristen yang merupakan jumlah terbesar di negeri ini memiliki peran strategis bagi terciptanya Indonesia yang penuh kedamaian. Indonesia seharusnya bisa menjadi teladan bagi negera-negara lain dalam menciptakan kedamaian antara agama-agama, apalagi Indonesia telah memiliki kata bersama jauh sebelum dokumen  itu dilahirkan, yakni di dalam Pancasila yang adalah konsensus bersama agama-agama di Indonesia.


Geneologi “kata bersama”


September 2007, bentuk akhir dari dokumen yang berisi Sebuah “Persamaan di antara Kami dan Kamu” yang digagas oleh 138 cendikiawan, ulama dan intelektual Muslim diperlihatkan dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Akademi Kerajaan dan Institut Aal al- Bayt, dengan tema “Kasih di dalam Al Quran”.


Dokumen yang menetapkan adanya kata bersama antara umat Islam dan Kristen tersebut ditanda tangani oleh setiap denominasi, dan kelompok pemikiran Islam. Setiap negara atau wilayah Islam besar di dunia terwakili dalam pesan yang disingkat menjadi kata bersama.  Dan pesan tersebut ditujukan kepaada pemimpin, dan Gereja di seluruh dunia.


Dalam pesan tersebut juga dinyatakan bahwa sesungguhnya Umat Islam dan Kristen sama-sama mengakui adanya Allah yang esa dan kedua agama sama-sama diperintahkan untuk mengasihi Allah dan sesamanya, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. Dan Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Bunyi kata bersama itu ada dalam kedua kitab suci agama itu, dan bukan merupakan usaha mengkompromikan ajaran agama-agama yang mereduksikan nilai-nilai agama-agama itu.


Apabila kita melihat lebih jauh pada agama-agama di luar Islam dan Kristen, pengakuan adanya “kata bersama” sebenarnya bukan hanya ada pada agama Islam, Kristen dan Yahudi yang memiliki akar tradisi yang dekat, namun juga terdapat pada agama-agama lain. Jadi, agama-agama sesungguhnya memiliki tugas mulia untuk menciptakan kedamaian di bumi, sebagaimana dikatakan oleh Hans Kung, “tidak mungkin ada kedamaian tanpa kedamaian di antara agama-agama. Sebagai seorang yang beragama, tidaklah patut berbicara tentang kedamaian tanpa berusaha untuk hidup damai dengan agama-agama lain.


Pengakuan kata bersama menjadi penting bagi umat Islam dan Kristen, bukan hanya karena keduanya memiliki garis tradisi yang dekat, namun Islam dan Kristen merupakan agama-agama yang dipeluk oleh banyak masyarakat di dunia. Artinya, apabila ada kedamaian antara kedua agama tersebut, maka kedamaian dunia sudah hampir dapat dipastikan terjadi. Hubungan Islam dan Kristen yang harmonis sudah pasti dapat menjadi motivasi bagi semua agama-agama untuk hidup bersama dengan damai.


Pancasila dan  kata bersama


Umat beragama di Indonesia menerima Pancasila bukan karena Pancasila itu menguntungkan bagi kelompok agama tertentu. Tapi lebih karena sebagaimana dikatakan oleh TB Simatupang, Pancasila ibarat payung yang lebar bagi agama-agama. Identitas agama-agama yang beragam di Indonesia diakui identitasnya, bahkan agama-agama didorong untuk dapat memberikan kontribusinya bagi pembangunan bangsa sebagaimana pernah didengungkan para pendidri bangsa ini.  


Pancasila adalah konsensus bersama agama-agama sebagaimana tertuang dalam “kata bersama,” karena tidak satu pun agama di negeri ini yang menganggap agama lain sebagai musuh, dan sila-sila di dalam Pancasila memiliki pembenaran pada setiap agama-agam yang ada di negeri ini. 


Kalau saja semua orang dinegeri ini mau konsisten dengan Pancasila, maka koflik antar agama atau konflik dalam agama yang terjadi karena perbedaan ajaran atau doktrin, sesungguhnya tidak perlu terjadi. Pancasila memberikan tempat pada agama-agama tanpa harus melepaskan identitasnya. Demikian juga perbedaan ajaran agama dapat diselesaikan dengan cara-cara yang santun sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. 


Sebagaimana kata bersama adalah dasar bagi dialog antar agama untuk saling memahami, demikian juga adanya dengan Pancasila. Masyarakat Indonesia sepatutnya tidak jemu-jemu mendengungkan Pancasila sebagai kata bersama semua umat beragama di Indonesia untuk menghadirkan Indonesia yang penuh dengan kedamaian.



Binsar A. Hutabarat

http://www.binsarinstitute.com/2021/08/pancasila-dan-kata-bersama.html