Wednesday, January 31, 2024

Hubungan agama dan negara


     


         




 Hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila sesungguhnya sudah final. Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Meski Indonesia memosikan agama pada tempat terhormat. Dengan demikian agama menjadi landasan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang secara khusus dinyatakan dalam sila ketuhanan yang maha esa.


Agama-agama di Indonesia diharapkan kontribusinya untuk pembangunan bangsa, demikian juga hal nya dalam bidang pendidikan. Untuk memberikan kontribusi maksimalnya agama-agama tidak boleh lengket dengan politik, agama tidak boleh membiarkan dirinya dikooptasi oleh kekuatan politik tertentu. Agamaisasi politik, atau politisasi agama keduanya akan merugikan agama itu sendiri.



Pemisahan Agama dan Negara.

Meskipun agama dan negara adalah dua entitas yang terpisah dan berbeda, namun pemisahan mutlak di antara keduanya, tidak mungkin dilakukan. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, agama dan negara sebenarnya “disatukan dan diintegrasikan di dalam diri setiap individu.” Setiap individu pada saat yang sama adalah warga dari negara dan juga anggota lembaga agama. Setiap orang adalah, makhluk religius dan politik pada saat yang sama. jadi ide pemisahan mutlak dari perspektif agama sebagai “organisme” tetapi bukan sebagai “lembaga,” dari sudut pandang anggota lembaga agama yang pada saat yang sama adalah warga negara dan mungkin penguasa.

Kedua, penolakan  terhadap ide pemisahan mutlak didasarkan pada keyakinannya bahwa selalu ada “karakter religius” di dalam negara dan “dimensi politik” di dalam agama. Mengenai hal ini Mark Juergensmeyer di dalam bukunya, The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State,  telah berhasil menegaskan argumentasi ini. Darmaputera setuju dengan Juergensmeyer bahwa salah satu kesalahan besar dari nasionalisme sekuler adalah penegasannya bahwa politik bisa menyingkirkan agama. Dengan mengklaim bahwa politik bisa menyingkirkan agama, nasionalisme sekuler telah menyebabkan serangan balik yang diwakili oleh nasionalisme religius.Tidaklah mengherankan bahwa kaum nasionalis religius dipersatukan, di dalam istilah Juergensmeyer, “oleh musuh bersama – nasionalisme sekuler Barat – dan harapan yang sama bagi kebangkitan agama di dalam ruang publik.” Dengan demikian agama tidak bisa dipisahkan dari politik.

Juergensmeyer telah membuktikan bukan saja aspek politik dari agama, tetapi juga karakter religius dari negara. Nasionalisme sekuler, menurut Juergensmeyer, merupakan sejenis agama karena ia meliputi “doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial.”Garis antara nasionalisme sekuler dan agama selalu sangat tipis.

Dengan demikian ideologi-ideologi sekuler sama sekali tidak sekuler. Setiap ideologi, sebenarnya berfungsi sebagai “supra-agama, agama-sipil, atau agama-semu.” Dengan demikian, “politik murni” atau “agama murni” tidak pernah ada di dalam realitas. “Persimpangan” antara kedua entitas ini menimbulkan pertanyaan dasar, Bagaimana keduanya harus dihubungkan sedemikian rupa sehingga agama bisa melaksanakan tanggung jawab politisnya, dan negara melaksanakan tanggung jawab religiusnya, tanpa melanggar otonomi dan integritas masing-masing. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat relevan bagi Indonesia.

Di dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah satu-satunya alternatif yang paling baik jika Indonesia ingin menjaga kesatuan dan keberagamannya. Menurut Pancasila, agama dan negara tidak boleh sepenuhnya dilebur, atau dipisahkan secara mutlak. Di dalam berhubungan dengan dua ideologi yang berkonflik di antara bapak-bapak pendiri bangsa tahun 1945 – apakah Indonesia Merdeka akan didasarkan pada “dasar sekuler” dimana agama secara mutlak dipisahkan dari negara, atau, apakah akan didirikan atas “dasar agama” dimana negara diatur berdasarkan agama – solusi yang ditawarkan oleh Pancasila adalah bahwa Indonesia tidak akan menjadi negara sekuler atau negara agama.

Pemisahan agama yang ketat dari negara, yang merupakan tanda cara berpikir Barat, tidak cocok bagi Indonesia yang sangat religius. Posisi agama yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan pilihan negara sekuler sangat tidak mungkin.

 

Peran penting agama dalam pendidikan.


Agama memiliki peran pemersatu, dan agama juga harus diakui memiliki peran penting di dalam pendidikan. Mengutip apa yang dikatakan Paulo Freire, 

“Setiap proyek pendidikan bersifat politis dan penuh ideologi.Masalahnya adalah untukkepentingan atau menentang kepentingan siapa politik pendidikan itu diarahkan.”  

Pendidikan nasional Indonesia kehilangan arah, karena tidak konsistennya elit di negeri ini untuk berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 45. 

Politik pendidikan nasional belum diarahkan pada kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, dan masih melayani kepentingan tertentu. Itulah sebabnya nasionalisme Indonesia terus tergerus. 

Apabila pemerintah konsisiten berpegang pada Pancasila maka agama-agama yang ada di Indonesia dapat memberikan kontribusi positifnya dalam membangun pendidikan nasional Indonesia dalam bingkai Pancasila dan semangat bhinekatunggal ika.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

http://www.binsarinstitute.com/2020/08/hubungan-agama-dan-negara-dalam.html

Pemimpin Yang Melayani







Pemimpin yang melayani berawal dari kehidupan yang didedikasikan kepada Allah untuk menjalankan misi Allah. Dengan kekuatan Allah seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk melayani Allah dan melayani sesamanya untuk menyelesaikan tugas misi Allah.

Kepemimpinan yang melayani didasarkan pada panggilan Allah, bukan dari manusia atau organisasi. Pemimpin yang melayani melaksanakan tugas dalam lingkup agenda/rencana Allah, dengan berdasarkan karakter Kristus, dan menuntun kepada tujuan yang Allah kehendaki, bukan tujuan manusiawi.

Misi harus diresapi dengan spiritualitas yang kuat, spiritualitas yang membangun karakter besar, dan terbentuk pada landasan hidup dalam hubungan cinta dengan Kristus. Sebuah misi tanpa jenis  spiritual-pasti gagal. Itulah inti dari kepemimpinan yang melayani.

 

Spiritualitas Kristen adalah hadiah dan tugas. Hal ini membutuhkan persekutuan dengan Allah (kontemplasi) serta aksi di dunia (praksis). Ketika dua elemen ini dipisahkan, maka kehidupan dan misi gereja akan sangat terpengaruh.

 

Kontemplasi tanpa tindakan adalah pelarian dari realitas konkret; tindakan tanpa kontemplasi adalah aktivisme kurang makna transenden.

 

spiritualitas Kristen dan misi Kristen adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Hanya ketika saya tumbuh dalam iman, harapan, dan cinta, saya  bisa  melayani semua yang dipercayakan pada saya. Tuhan yang pergi ke tempat yang tenang untuk berdoa adalah pekerja yang sama ajaibnya dengan pekerjaan memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan (Markus 6: 30-44).

 

Panggilan tertinggi pemimpin yang melayani adalah melayani Allah dan untuk melayani orang-orang yang dipercayakan kepadanya. "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu bahwa Anda harus pergi dan menghasilkan buah dan buah kehidupan Kristen adalah  mematuhi Allah."

Tiga peran pemimpin yang melayani:

1. Menunjukkan jalan. Pemimpin berjalan di depan dan pengikut mengikutinya.

2. Menolong kelompok yang dipimpinnya untuk menyelesaikan tugasnya. Setia dalam perkaran kecil, Matius 25:21

3. Seorang pemimpin akan melatih yang dipimpinnya untuk menjadi pemimpin.

 

Jenis pemimpin yang melayani:

1. Peminpin yang memiliki Karakter, kompetensi dan berpusat pada Kristus (Memiliki pengetahuan, karakter dan skill

2. Dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus

 

Pemimpin yang melayani dan Keserupaan dengan Kristus :

1. Keserupaan dalam karakter

2. Keserupaan dalam tujuan

3. Keserupaan dalam strategi

4. Kepemimpinan seperti Kristus dalam konteks budaya

 

Tuntutan Kepemimpinan Melayani:

1. Berkerohanian baik

2. Bermoralitas tinggi

3. Bertalenta mantap

4. berdedikasi penuh

5. Berpengertian dalam

6. Bereputasi indah, seorang yang terhormat, tanpa aib, noda dan cacat cela

 

Tak seorangpun dapat memenuhi persyaratan kepemimpinan Kristen. Hanya karena anugerah Allah, dalam pimpinan Roh Kudus, kita bisa menjadi pemimpin yang melayani. Seperti Yesus yang melayani murid-murid, dan juga kita semua.

 

Dr. Binsar A. Hutabarat, M.Th.

http://www.binsarinstitute.com/2020/06/pemimpin-yang-melayani.html

Tuesday, January 30, 2024

Pancasila Dasar Ham Indonesia


Pancasila Dasar Ham Indonesia

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia melaporkan, Pancasila terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Pada tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI. 

Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun .

Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila.

 Jika pada awalnya keragaman apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.

Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.

Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia.

Pancasila sebagaimana di tuangkan dalam pembukaan UUD 1945 secara de jure telah menjadi sesuatu yang final sebagai ideologi dan dasar negara. Namun secara de fakto masih memerlukan penyadaran dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Apresiasi yang berbeda terhadap Pancasila seharusnya tidak boleh ada, karena Pancasila merupakan konsensus bersama, maka semua orang Indonesia harus memiliki pengharapan yang sama, yaitu membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila.

http://www.binsarinstitute.com/2020/07/pancasila-dasar-ham-indonesia.html




Merawat Keberagaman




 


 Setidaknya ada delapan kasus kekerasan agama terjadi di Yogyakarta dalam lima bulan terakhir ini. Intimidasi terhadap kelompok Raustan Fikr di Sleman; deklarasi anti-Syiah di masjid kampus Universitas Gadjah Mada; kekerasan terhadap Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul; pembubaran pertemuan kelompok Syiah di Bantul, tindak kekerasan Paskahan Adisyuswa di Gunung Kidul; tindak kekerasan yang terjadi pada penyerangan terhadap umat katolik di Ngaglik, Sleman; penganiayaan terhadap Julius Felicianus Direktur Galang; serta yang teranyar penyerangan terhadap tempat ibadah Pentakosta di Pangukan, Tridadi, Sleman minggu lalu. 

Kekerasan agama yang terjadi di Yogyakarta sangat memprihatinkan. Kota yang tersohor dengan toleransinya itu kini mengalami ancaman kebebasan beragama. Lebih ironis lagi, baru-baru ini petinggi kota itu, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X baru saja menerima “Penghargaan Pluralisme” dari jaringan Antariman Indonesia (JAII), dalam Konferensi Nasional VI bertema “Membangun, Merawat, Memperkokoh Peradaban Luhur Bangsa dengan Dialog Transformatif” di Jayapura, pada 19-23 Mei 2014.

Penghargaan pluralisme itu diberikan kepada Sultan karena dianggap berperan penting dalam mendorong keberagaman menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa kekerasan agama di Yogyakarta bukan saja menjadi tantangan bagi kota yang terkenal dengan toleransinya itu, melainkan sekaligus menjadi pertaruhan bagi Indonesia sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. 

Merawat Keberagaman 

Kita tentu setuju dengan apa yang dikatakan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), AA Yewangoe. “Kemajemukan adalah tantangan dan pendewasaan kemajemukan itu tergantung pada cara bangsa ini menanganinya. 

Kemajemukan dapat merupakan kelemahan, tetapi sekaligus dapat juga menjadi kekuatan yang mahadahsyat yang dapat menggerakkan bangsa Indonesia untuk lebih maju lebih jauh lagi dalam penjelejahan sejarahnya.” Kekerasan agama yang dipertontonkan di Yogyakarta akhir-akhir ini sesungguhnya tidak memiliki akar sejarah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Demikian juga di Yogyakarta, sebagai salah satu kota simbol keberagaman Indonesia. 

Arnold Joseph Toynbee (1889-1975), seorang sejarawan Inggris yang tersohor dan pernah berkunjung ke Indonesia menegaskan, dalam hal toleransi beragama Indonesia adalah sebuah contoh yang patut diikuti. Negeri ini di bawah naungan Pancasila telah berhasil memanfaatkan keragaman agama-agama itu sebagai kekuatan. 

TB Simatupang pernah berujar, “Pancasila ibarat payung yang lebar yang menaungi agama-agama,” bukan hanya mengindikasikan tingginya toleransi masyarakat Indonesia, melainkan juga sebuah pengakuan agama-agama itu mempunyai kontribusi penting bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya di negeri ini agama-agama menduduki posisi yang terhormat. 

Hak beragama diakui sebagai hak yang paling asasi dan oleh konstitusi diakui sebagai hak sipil setiap individi di negeri ini. Realitas itulah yang kemudian memopulerkan Indonesia sebagai negara tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Jalan Pancasila yang memberikan naungan bagi agama-agama yang beragama di negeri ini amatlah tepat. 
Pluralisme agama berdasarkan jalan Pancasila harus dimaknai sebagai rumah bersama bagi agama-agama, keunikan agama-agama tetap diakui keberadaannnya. Dengan demikian, jelaslah menerima Pancasila berarti sama saja dengan mengakui penerimaan terhadap pluralitas agama-agama. 

Pluralisme, yang didasarkan pada Pancasila harus dimaknai sebagai perjumpaan komitmen-komitmen, semisal perbedaan agama, untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar agama. Agama-agama yang beragam dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesis dari keragaman yang ada tersebut untuk kemudian menjadi titik pijak bersama agama-agama dalam hidup bersama, jauh dari sekat-sekat serta kecurigaan antaragama. 

Penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak bukanlah jalan Pancasila. Sebaliknya, Pancasila dengan semangat “Bineka Tunggal Ika” sejatinya menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman. Pemerintah tak perlu berintervensi pada ranah agama yang memang bukan domain pemerintah. Untuk menegakkan dan memajukan kebebasan beragama di negeri ini sebenarnya sederhana saja, yakni pemerintah harus menegakkan supremasi hukum. 

Pasal 28 J ayat 2, UUD 1945, memang menjelaskan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Namun, ayat ini jelas harus dilihat dalam terang semangat Bineka Tunggal Ika yang antidikriminasi. Artinya, pembatasan-pembatasan dalam bentuk regulasi pemerintah harus memenuhi asas keadilan untuk semua. Regulasi pemerintah terkait agama-agama harus didasarkan pada penghormatan terhadap kebebasan beragama. 

Pemerintah tidak boleh mempersulit pengurusan IMB rumah ibadah sebagaimana terjadi pada tujuh gereja yang disegel Pemda Cianjur (Suara Pembaruan 2/6/2014). Tragisnya, beberapa di antara tujuh gereja yang disegel itu sudah berdiri sejak 1977, sedangkan SKB dua menteri atau yang kini dikenal sebagai PBM (Peraturan Bersama Menteri), baru berlaku sejak disahkan pada 2006. 

Kasus Cianjur menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan izin pembangunan rumah ibadah, padahal hak beribadah secara berkelompok dijamin konstitusi negeri ini. Di samping memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 45, pemerintah harus bersikap netral dalam menegakkan supremasi hukum. 

Mereka yang melanggar hukum dan mengancam kebebasan orang lain harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Mereka yang melanggar hukum, dengan alasan apa pun harus dihukum. Pemerintah tak boleh mengubur pelanggaran terhadap kebebasan beragama sekecil apa pun. 

Penegakkan hukum ini penting untuk memberikan efek jera pada mereka yang kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Dengan demikian, jelaslah terciptanya kehidupan antaragama yang harmonis sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah dalam menegakkan hukum. 

Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan antidiskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama. 

Pemerintah tidak perlu mengatur kehidupan internal agama. Namun, regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beragama tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang menjaminan kebebasan beragama dan antidiskriminasi agama. Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusif bagi perjumpaan agama-agama yang damai di republik ini. 

Dr.  Binsar A. Hutabarat


Menulis Karya Ilmiah

 





Get our how to guide

    We respect your privacy. Unsubscribe at anytime.