Thursday, February 1, 2024
Kartel Tarif Dan Moralitas Bisnis
Wednesday, January 31, 2024
Hubungan agama dan negara
Hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila sesungguhnya sudah final. Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Meski Indonesia memosikan agama pada tempat terhormat. Dengan demikian agama menjadi landasan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang secara khusus dinyatakan dalam sila ketuhanan yang maha esa.
Agama-agama di Indonesia diharapkan kontribusinya untuk pembangunan bangsa, demikian juga hal nya dalam bidang pendidikan. Untuk memberikan kontribusi maksimalnya agama-agama tidak boleh lengket dengan politik, agama tidak boleh membiarkan dirinya dikooptasi oleh kekuatan politik tertentu. Agamaisasi politik, atau politisasi agama keduanya akan merugikan agama itu sendiri.
Pemisahan Agama dan Negara.
	Meskipun agama dan negara adalah dua entitas yang terpisah dan berbeda, namun pemisahan mutlak di antara keduanya, tidak mungkin dilakukan. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, agama dan negara sebenarnya “disatukan dan diintegrasikan di dalam diri setiap individu.” Setiap individu pada saat yang sama adalah warga dari negara dan juga anggota lembaga agama. Setiap orang adalah, makhluk religius dan politik pada saat yang sama. jadi ide pemisahan mutlak dari perspektif agama sebagai “organisme” tetapi bukan sebagai “lembaga,” dari sudut pandang anggota lembaga agama yang pada saat yang sama adalah warga negara dan mungkin penguasa.
	Kedua, penolakan  terhadap ide pemisahan mutlak didasarkan pada keyakinannya bahwa selalu ada “karakter religius” di dalam negara dan “dimensi politik” di dalam agama. Mengenai hal ini Mark Juergensmeyer di dalam bukunya, The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State,  telah berhasil menegaskan argumentasi ini. Darmaputera setuju dengan Juergensmeyer bahwa salah satu kesalahan besar dari nasionalisme sekuler adalah penegasannya bahwa politik bisa menyingkirkan agama. Dengan mengklaim bahwa politik bisa menyingkirkan agama, nasionalisme sekuler telah menyebabkan serangan balik yang diwakili oleh nasionalisme religius.Tidaklah mengherankan bahwa kaum nasionalis religius dipersatukan, di dalam istilah Juergensmeyer, “oleh musuh bersama – nasionalisme sekuler Barat – dan harapan yang sama bagi kebangkitan agama di dalam ruang publik.” Dengan demikian agama tidak bisa dipisahkan dari politik.
	Juergensmeyer telah membuktikan bukan saja aspek politik dari agama, tetapi juga karakter religius dari negara. Nasionalisme sekuler, menurut Juergensmeyer, merupakan sejenis agama karena ia meliputi “doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial.”Garis antara nasionalisme sekuler dan agama selalu sangat tipis. 
	Dengan demikian ideologi-ideologi sekuler sama sekali tidak sekuler. Setiap ideologi, sebenarnya berfungsi sebagai “supra-agama, agama-sipil, atau agama-semu.” Dengan demikian, “politik murni” atau “agama murni” tidak pernah ada di dalam realitas. “Persimpangan” antara kedua entitas ini menimbulkan pertanyaan dasar, Bagaimana keduanya harus dihubungkan sedemikian rupa sehingga agama bisa melaksanakan tanggung jawab politisnya, dan negara melaksanakan tanggung jawab religiusnya, tanpa melanggar otonomi dan integritas masing-masing. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat relevan bagi Indonesia.
	Di dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah satu-satunya alternatif yang paling baik jika Indonesia ingin menjaga kesatuan dan keberagamannya. Menurut Pancasila, agama dan negara tidak boleh sepenuhnya dilebur, atau dipisahkan secara mutlak. Di dalam berhubungan dengan dua ideologi yang berkonflik di antara bapak-bapak pendiri bangsa tahun 1945 – apakah Indonesia Merdeka akan didasarkan pada “dasar sekuler” dimana agama secara mutlak dipisahkan dari negara, atau, apakah akan didirikan atas “dasar agama” dimana negara diatur berdasarkan agama – solusi yang ditawarkan oleh Pancasila adalah bahwa Indonesia tidak akan menjadi negara sekuler atau negara agama.
	Pemisahan agama yang ketat dari negara, yang merupakan tanda cara berpikir Barat, tidak cocok bagi Indonesia yang sangat religius. Posisi agama yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan pilihan negara sekuler sangat tidak mungkin. 
Peran penting agama dalam pendidikan.
Agama memiliki peran pemersatu, dan agama juga harus diakui memiliki peran penting di dalam pendidikan. Mengutip apa yang dikatakan Paulo Freire,
“Setiap proyek pendidikan bersifat politis dan penuh ideologi.Masalahnya adalah untukkepentingan atau menentang kepentingan siapa politik pendidikan itu diarahkan.”
Pendidikan nasional Indonesia kehilangan arah, karena tidak konsistennya elit di negeri ini untuk berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 45.
Politik pendidikan nasional belum diarahkan pada kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, dan masih melayani kepentingan tertentu. Itulah sebabnya nasionalisme Indonesia terus tergerus.
Apabila pemerintah konsisiten berpegang pada Pancasila maka agama-agama yang ada di Indonesia dapat memberikan kontribusi positifnya dalam membangun pendidikan nasional Indonesia dalam bingkai Pancasila dan semangat bhinekatunggal ika.
Dr. Binsar Antoni Hutabarat
http://www.binsarinstitute.com/2020/08/hubungan-agama-dan-negara-dalam.html
Pemimpin Yang Melayani
  
  
  
  
  
  Pemimpin yang melayani berawal dari kehidupan yang didedikasikan kepada Allah untuk menjalankan misi Allah. Dengan kekuatan Allah seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk melayani Allah dan melayani sesamanya untuk menyelesaikan tugas misi Allah.
Kepemimpinan yang melayani didasarkan pada panggilan Allah, bukan dari manusia atau organisasi. Pemimpin yang melayani melaksanakan tugas dalam lingkup agenda/rencana Allah, dengan berdasarkan karakter Kristus, dan menuntun kepada tujuan yang Allah kehendaki, bukan tujuan manusiawi.
Misi harus diresapi dengan spiritualitas yang kuat, spiritualitas yang membangun karakter besar, dan terbentuk pada landasan hidup dalam hubungan cinta dengan Kristus. Sebuah misi tanpa jenis  spiritual-pasti gagal. Itulah inti dari kepemimpinan yang melayani.
Spiritualitas Kristen adalah hadiah dan tugas. Hal ini membutuhkan persekutuan dengan Allah (kontemplasi) serta aksi di dunia (praksis). Ketika dua elemen ini dipisahkan, maka kehidupan dan misi gereja akan sangat terpengaruh. 
Kontemplasi tanpa tindakan adalah pelarian dari realitas konkret; tindakan tanpa kontemplasi adalah aktivisme kurang makna transenden.
spiritualitas Kristen dan misi Kristen adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Hanya ketika saya tumbuh dalam iman, harapan, dan cinta, saya  bisa  melayani semua yang dipercayakan pada saya. Tuhan yang pergi ke tempat yang tenang untuk berdoa adalah pekerja yang sama ajaibnya dengan pekerjaan memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan (Markus 6: 30-44).
Panggilan tertinggi pemimpin yang melayani adalah melayani Allah dan untuk melayani orang-orang yang dipercayakan kepadanya. "Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu bahwa Anda harus pergi dan menghasilkan buah dan buah kehidupan Kristen adalah  mematuhi Allah."
Tiga peran pemimpin yang melayani:
1. Menunjukkan jalan. Pemimpin berjalan di depan dan pengikut mengikutinya.
2. Menolong kelompok yang dipimpinnya untuk menyelesaikan tugasnya. Setia dalam perkaran kecil, Matius 25:21
3. Seorang pemimpin akan melatih yang dipimpinnya untuk menjadi pemimpin.
Jenis pemimpin yang melayani:
1. Peminpin yang memiliki Karakter, kompetensi dan berpusat pada Kristus (Memiliki pengetahuan, karakter dan skill
2. Dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus
      
      
      
      
      Pemimpin yang melayani dan Keserupaan dengan Kristus :
1. Keserupaan dalam karakter
2. Keserupaan dalam tujuan
3. Keserupaan dalam strategi
4. Kepemimpinan seperti Kristus dalam konteks budaya
Tuntutan Kepemimpinan Melayani:
1. Berkerohanian baik
2. Bermoralitas tinggi
3. Bertalenta mantap
4. berdedikasi penuh
5. Berpengertian dalam
6. Bereputasi indah, seorang yang terhormat, tanpa aib, noda dan cacat cela
Tak seorangpun dapat memenuhi persyaratan kepemimpinan Kristen. Hanya karena anugerah Allah, dalam pimpinan Roh Kudus, kita bisa menjadi pemimpin yang melayani. Seperti Yesus yang melayani murid-murid, dan juga kita semua.
Dr. Binsar A. Hutabarat, M.Th.
Tuesday, January 30, 2024
Pancasila Dasar Ham Indonesia
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia melaporkan, Pancasila terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Pada tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI.
Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun .
Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila.
 Jika pada awalnya keragaman apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila. 
      
      
      
      Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. 
Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia. 
      
      
      
      Pancasila sebagaimana di tuangkan dalam pembukaan UUD 1945 secara de jure telah menjadi sesuatu yang final sebagai ideologi dan dasar negara. Namun secara de fakto masih memerlukan penyadaran dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Apresiasi yang berbeda terhadap Pancasila seharusnya tidak boleh ada, karena Pancasila merupakan konsensus bersama, maka semua orang Indonesia harus memiliki pengharapan yang sama, yaitu membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila.
http://www.binsarinstitute.com/2020/07/pancasila-dasar-ham-indonesia.html