google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Kartel Tarif Dan Moralitas Bisnis






Kartel Tarif menunjukkan bahwa ada yang salah dalam prilaku bisnis di negeri ini. Pemerintah perlu menjaga moralitas bisnis untuk menegakkan keadilan.


   Desakan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir baru-baru ini, agar para operator telepon seluler segera menurunkan tarif Short Message Service (SMS) yang bernuansa bisnis tidak adil dan merugikan konsumen, terkait bisnis kartel dalam penerapan tarif SMS, perlu disikapi serius. 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dalam hal ini sudah semestinya merespons penemuan tersebut. Rakyat telah cukup banyak menderita dan tak perlu lagi dibebani, sebaliknya usaha untuk meringankan beban dan penderitaan rakyat harus menjadi kepedulian semua, termasuk pengusaha bisnis operator telepon seluler. 

 Keberangan Ketua YLKI sesungguhnya dapat dipahami, ada informasi, produksi SMS tersebut hanya sekitar Rp. 76 per SMS, sedang tarif yang diberlakukan operator rata-rata sebesar Rp. 250 hingga Rp. 350 per SMS, berarti Operator seluler telah merengguk profit 400 persen, sejumlah keuntungan yang sangat besar ditengah-tengah kondisi rakyat yang kebanyakan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, padahal, rakyat sangat membutuhkan sarana informasi layaknya telepon seluler, dan sudah semestinya kehadiran telepon seluler dengan segala kemudahannya, khususnya fasilitas SMS, menjadi sarana yang berguna untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat melalui kemudahan usaha, lebih ironis lagi, keuntungan itu diraih melalui cara yang tidak adil, suatu persekongkolan pengusaha kelas kakap. 

 Timbul pertanyaan, mengapa ketidakadilan bisnis kartel dalam penerapan tarif SMS itu baru terungkap setelah berlangsung lama, dan mengapa tampaknya pemerintah belum mengambil tindakan serius, apakah ada keengganan pemerintah untuk mengintervensinya? 

 Dampak negative ekonomi Pasar. Kritik yang bertubi-tubi terhadap penerapan ekonomi pasar yang dilakukan pemerintah, dan seakan sama sekali tak ada lagi kontrol pemerintah, khususnya terkait dengan problem ketidak adilan, bukan tanpa dasar. 

Kita tentu paham, pasar bebas mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan. Mereka yang lemah, miskin, baik materi maupun informasi, akan selalu menjadi objek kerakusan mereka yang kuat, apabila kondisi ini dibiarkan, tentulah yang miskin tetap akan hidup dalam penderitaan dan kemiskinan, tanpa kesempatan untuk merubah nasibnya. 

Moralitas, yang oleh Adam Smith dianggap sebagai “invisible Hand”, tangan yang tidak kelihatan, yang mengendalikan ekonomi pasar untuk dapat befluktuasi secara adil, terbukti hanyalah impian kosong. 

Nafsu kerakusan manusia membuat mereka yang kuat sering kali berusaha memanfaatkan seluruh kelebihannya, tanpa peduli dengan nasib si miskin, ada adagium yang mewakili kebenaran tersebut, mereka yang kaya terus bertambah kaya, sedang mereka yang miskin akan tetap berada dalam lembah kemiskinan”, itulah yang terjadi dalam bisnis kartel penetapan tarif SMS jika memang terbukti. 

 Globalisasi yang kini didorong oleh pasar bebas harus diakui menyisakan masalah tersendiri, yaitu telah menciptakan jurang antara Negara kaya dan Negara miskin yang makin melebar, dan itu juga terjadi pada banyak negara, termasuk di Indonesia. 

 Rakyat yang sangat membutuhkan media informasi, khususnya dalam meningkatkan taraf hidupnya, terhambat, karena tingginya biaya yang harus dibayar per SMS, sedang operator SMS yang umumnya adalah pemilik modal, terus bergelimang dengan keuntungan yang makin memperkaya mereka, tidaklah mengherankan jika dalam bisnis ini terus saja bermunculan operator-operator baru, dan tidak juga mengherankan, jika bisnis itu terus merajalela sampai kedaerah-daerah yang tak terjangkau jaringan telepon kabel, memang ada manfaat besar dari kehadiran teleon seluler itu, namun realitas yang menyedihkan adalah, mereka yang dirugikan bukan hanya yang kaya, tetapi khususnya rakyat yang sedang dalam kondisi miskin, di kota-kota besar, telepon celuler juga telah digunakan oleh pedagang kecil, pembantu-pembantu rumah tangga, buruh, tukang ojek, juga para tukang Becak yang memiliki pandapatan amat minim, namun masih harus dihambat komunikasinya dengan tingginya biaya SMS. 

 Problem Ketidakadilan. 

 Ekonomi memang tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi Negara begitulah tesis liberalisme yang melahirkan pasar bebas, hal itu ada benarnya, tetapi memiliki keterbatasan, karena tidak semua bidang usaha bisa diambil oleh swasta, orientasi individu dalam berusaha yang semata-mata tertuju pada profit pribadi mengakibatkan bidang-bidang yang tidak menguntungkan, meski dibutuhkan, tidak akan diambil oleh swasta, pemerintah dalam hal ini harus mengambilnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat dan untuk membawa kesejahteraan bagi masyarakat. 

Di Negara Amerika Serikat yang adalah pendukung utama pasar bebas sekalipun, tidak ada seorang pun pengusaha swasta yang ingin mengambil alih NASA, karena memang tidak menguntungkan, dan pemerintah mesti mengelolanya walau terus merugi. 

 Hal yang perlu diwaspadai adalah Usaha yang berorientasi pada profit itu tidak mustahil akan merampas kebebasan yang lain dalam berusaha. Pemerintah dalam hal ini yang berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat semestinya berperan untuk menciptakan keadilan, KPPU dalam hal ini berkewajiban untuk mendeteksi kecurangan yang ada. 

Kartel penerapan tarif SMS jika ini benar terjadi, semestinya perlu diambil tindakan agar tidak lagi merugikan masyarakat. Tidaklah mengherankan mengapa Mohammad Hatta menawarkan koperasi, karena itu tidak dimiliki pribadi, usaha dimiliki secara bersama, dalam ekonomi pasar social ini Negara memiliki peran yang jauh lebih besar dibanding ekonomi pasar bebas, yaitu dalam hal pembagian keuntungan, sehingga peristiwa kartel tarif SMS tentu tidak akan terjadi. 

Pemerintah dalam hal ini terkait ketidak adilan dalam kartel penerapan tarif perlu mengeluarkan regulasi untuk menciptakan keadilan. Moral Bisnis Indonesia Kartel penerapan tarif SMS jika terbukti, merupakan potret kelam bisnis Indonesia. Kita semua tentu setuju, dunia bisnis bukanlah daerah bebas nilai. 

Apalagi untuk orang Indonesia yang terkenal relegius, bisnis memiliki nilai-nilai etis yang dipengaruhi oleh agama para pelaku bisnis. Mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari masyarakat yang berada dalam kondisi miskin, dan mau tak mau harus bergantung pada produk tersebut adalah tindakan yang tidak etis, dan tarif SMS yang jelas-jelas sangat berpengaruh bagi banyak orang untuk meningkatkan usahanya dan untuk menambahkan pendapatannya sudah seharusnya dibuat semurah mungkin, suatu kebutuhan masyarakat umum sudah semestinya dibuat semurah mungkin. 

 Dengan keuntungan kecil namun memiliki pasar yang luas, perusahaan telepon seluler akan tetap eksis, sebaliknya dengan menetapkan tarif yang tinggi peran maksimal telepon seluler tidak akan tercapai, kecuali hanya memenuhi napsu kerakusan untuk mendapatkan profit sebasar-besarnya, kemajuan tekhnologi telepon seluler untuk Indonesia ternyata belum didedikasikan untuk kepentingan orang banyak, ini adalah potret kelam bisnis tanpa moralitas yang harus segera diakhiri. 

Tekat telkom untuk menurunkan biaya telepon tidak lama lagi patut dicontoh oleh para operator telepon seluler. 

Binsar Antoni Hutabarat

Hubungan agama dan negara


     


         




 Hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila sesungguhnya sudah final. Indonesia bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Meski Indonesia memosikan agama pada tempat terhormat. Dengan demikian agama menjadi landasan bagi kehidupan bangsa Indonesia yang secara khusus dinyatakan dalam sila ketuhanan yang maha esa.


Agama-agama di Indonesia diharapkan kontribusinya untuk pembangunan bangsa, demikian juga hal nya dalam bidang pendidikan. Untuk memberikan kontribusi maksimalnya agama-agama tidak boleh lengket dengan politik, agama tidak boleh membiarkan dirinya dikooptasi oleh kekuatan politik tertentu. Agamaisasi politik, atau politisasi agama keduanya akan merugikan agama itu sendiri.



Pemisahan Agama dan Negara.

Meskipun agama dan negara adalah dua entitas yang terpisah dan berbeda, namun pemisahan mutlak di antara keduanya, tidak mungkin dilakukan. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, agama dan negara sebenarnya “disatukan dan diintegrasikan di dalam diri setiap individu.” Setiap individu pada saat yang sama adalah warga dari negara dan juga anggota lembaga agama. Setiap orang adalah, makhluk religius dan politik pada saat yang sama. jadi ide pemisahan mutlak dari perspektif agama sebagai “organisme” tetapi bukan sebagai “lembaga,” dari sudut pandang anggota lembaga agama yang pada saat yang sama adalah warga negara dan mungkin penguasa.

Kedua, penolakan  terhadap ide pemisahan mutlak didasarkan pada keyakinannya bahwa selalu ada “karakter religius” di dalam negara dan “dimensi politik” di dalam agama. Mengenai hal ini Mark Juergensmeyer di dalam bukunya, The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State,  telah berhasil menegaskan argumentasi ini. Darmaputera setuju dengan Juergensmeyer bahwa salah satu kesalahan besar dari nasionalisme sekuler adalah penegasannya bahwa politik bisa menyingkirkan agama. Dengan mengklaim bahwa politik bisa menyingkirkan agama, nasionalisme sekuler telah menyebabkan serangan balik yang diwakili oleh nasionalisme religius.Tidaklah mengherankan bahwa kaum nasionalis religius dipersatukan, di dalam istilah Juergensmeyer, “oleh musuh bersama – nasionalisme sekuler Barat – dan harapan yang sama bagi kebangkitan agama di dalam ruang publik.” Dengan demikian agama tidak bisa dipisahkan dari politik.

Juergensmeyer telah membuktikan bukan saja aspek politik dari agama, tetapi juga karakter religius dari negara. Nasionalisme sekuler, menurut Juergensmeyer, merupakan sejenis agama karena ia meliputi “doktrin, mitos, etika, ritual, pengalaman, dan organisasi sosial.”Garis antara nasionalisme sekuler dan agama selalu sangat tipis.

Dengan demikian ideologi-ideologi sekuler sama sekali tidak sekuler. Setiap ideologi, sebenarnya berfungsi sebagai “supra-agama, agama-sipil, atau agama-semu.” Dengan demikian, “politik murni” atau “agama murni” tidak pernah ada di dalam realitas. “Persimpangan” antara kedua entitas ini menimbulkan pertanyaan dasar, Bagaimana keduanya harus dihubungkan sedemikian rupa sehingga agama bisa melaksanakan tanggung jawab politisnya, dan negara melaksanakan tanggung jawab religiusnya, tanpa melanggar otonomi dan integritas masing-masing. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat relevan bagi Indonesia.

Di dalam konteks Indonesia, Pancasila adalah satu-satunya alternatif yang paling baik jika Indonesia ingin menjaga kesatuan dan keberagamannya. Menurut Pancasila, agama dan negara tidak boleh sepenuhnya dilebur, atau dipisahkan secara mutlak. Di dalam berhubungan dengan dua ideologi yang berkonflik di antara bapak-bapak pendiri bangsa tahun 1945 – apakah Indonesia Merdeka akan didasarkan pada “dasar sekuler” dimana agama secara mutlak dipisahkan dari negara, atau, apakah akan didirikan atas “dasar agama” dimana negara diatur berdasarkan agama – solusi yang ditawarkan oleh Pancasila adalah bahwa Indonesia tidak akan menjadi negara sekuler atau negara agama.

Pemisahan agama yang ketat dari negara, yang merupakan tanda cara berpikir Barat, tidak cocok bagi Indonesia yang sangat religius. Posisi agama yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadikan pilihan negara sekuler sangat tidak mungkin.

 

Peran penting agama dalam pendidikan.


Agama memiliki peran pemersatu, dan agama juga harus diakui memiliki peran penting di dalam pendidikan. Mengutip apa yang dikatakan Paulo Freire, 

“Setiap proyek pendidikan bersifat politis dan penuh ideologi.Masalahnya adalah untukkepentingan atau menentang kepentingan siapa politik pendidikan itu diarahkan.”  

Pendidikan nasional Indonesia kehilangan arah, karena tidak konsistennya elit di negeri ini untuk berpegang pada Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 45. 

Politik pendidikan nasional belum diarahkan pada kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, dan masih melayani kepentingan tertentu. Itulah sebabnya nasionalisme Indonesia terus tergerus. 

Apabila pemerintah konsisiten berpegang pada Pancasila maka agama-agama yang ada di Indonesia dapat memberikan kontribusi positifnya dalam membangun pendidikan nasional Indonesia dalam bingkai Pancasila dan semangat bhinekatunggal ika.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

http://www.binsarinstitute.com/2020/08/hubungan-agama-dan-negara-dalam.html