google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Pancasila Dasar Ham Indonesia


Pancasila Dasar Ham Indonesia

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia melaporkan, Pancasila terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui Pancasila bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Pada tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan negara RI. 

Pengakuan Belanda akan kedaulatan Indonesia seharusnya dipandang sebagai Puncak keberhasilan Pancasila. Namun, keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun .

Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila.

 Jika pada awalnya keragaman apresiasi terhadap Pancasila terjadi secara terbuka yaitu dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, baik yang dilakukan Komunis maupun DI, juga perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam sidang konstituante sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka setelah dekrit Presiden dan penumpasan pemberontakan-pemberontakan DI dan Komunis, apresiasi terhadap Pancasila yang menimbulkan konflik tersebut terjadi secara tertutup. Yaitu berupa penetrasi nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.

Harapan-harapan lain di luar Pancasila yang mengakibatkan heterogenitas apresiasi terhadap Pancasila tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, karena Pancasila tidak menghapus identitas kelompok-kelompok yang ada di Indonesia.

Pancasila sebagai penaung dari semua keragaman yang ada serta memberi perlindungan terhadap pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada di Indonesia, seharusnya dijaga secara bersama untuk memelihara hubungan bersama. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat nasionalisme yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada. Dan juga tidak berarti boleh menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Apalagi dengan cara pemaksaan, karena pertumbuhan dan perkembangan kelompok-kelompok yang ada tidak boleh menelan semangat kebangsaan sebagai bangsa yang satu, yaitu Indonesia.

Pancasila sebagaimana di tuangkan dalam pembukaan UUD 1945 secara de jure telah menjadi sesuatu yang final sebagai ideologi dan dasar negara. Namun secara de fakto masih memerlukan penyadaran dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia. Apresiasi yang berbeda terhadap Pancasila seharusnya tidak boleh ada, karena Pancasila merupakan konsensus bersama, maka semua orang Indonesia harus memiliki pengharapan yang sama, yaitu membangun Indonesia yang merdeka dibawah Pancasila.

http://www.binsarinstitute.com/2020/07/pancasila-dasar-ham-indonesia.html




Merawat Keberagaman




 


 Setidaknya ada delapan kasus kekerasan agama terjadi di Yogyakarta dalam lima bulan terakhir ini. Intimidasi terhadap kelompok Raustan Fikr di Sleman; deklarasi anti-Syiah di masjid kampus Universitas Gadjah Mada; kekerasan terhadap Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul; pembubaran pertemuan kelompok Syiah di Bantul, tindak kekerasan Paskahan Adisyuswa di Gunung Kidul; tindak kekerasan yang terjadi pada penyerangan terhadap umat katolik di Ngaglik, Sleman; penganiayaan terhadap Julius Felicianus Direktur Galang; serta yang teranyar penyerangan terhadap tempat ibadah Pentakosta di Pangukan, Tridadi, Sleman minggu lalu. 

Kekerasan agama yang terjadi di Yogyakarta sangat memprihatinkan. Kota yang tersohor dengan toleransinya itu kini mengalami ancaman kebebasan beragama. Lebih ironis lagi, baru-baru ini petinggi kota itu, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X baru saja menerima “Penghargaan Pluralisme” dari jaringan Antariman Indonesia (JAII), dalam Konferensi Nasional VI bertema “Membangun, Merawat, Memperkokoh Peradaban Luhur Bangsa dengan Dialog Transformatif” di Jayapura, pada 19-23 Mei 2014.

Penghargaan pluralisme itu diberikan kepada Sultan karena dianggap berperan penting dalam mendorong keberagaman menegakkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa kekerasan agama di Yogyakarta bukan saja menjadi tantangan bagi kota yang terkenal dengan toleransinya itu, melainkan sekaligus menjadi pertaruhan bagi Indonesia sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. 

Merawat Keberagaman 

Kita tentu setuju dengan apa yang dikatakan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), AA Yewangoe. “Kemajemukan adalah tantangan dan pendewasaan kemajemukan itu tergantung pada cara bangsa ini menanganinya. 

Kemajemukan dapat merupakan kelemahan, tetapi sekaligus dapat juga menjadi kekuatan yang mahadahsyat yang dapat menggerakkan bangsa Indonesia untuk lebih maju lebih jauh lagi dalam penjelejahan sejarahnya.” Kekerasan agama yang dipertontonkan di Yogyakarta akhir-akhir ini sesungguhnya tidak memiliki akar sejarah dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Demikian juga di Yogyakarta, sebagai salah satu kota simbol keberagaman Indonesia. 

Arnold Joseph Toynbee (1889-1975), seorang sejarawan Inggris yang tersohor dan pernah berkunjung ke Indonesia menegaskan, dalam hal toleransi beragama Indonesia adalah sebuah contoh yang patut diikuti. Negeri ini di bawah naungan Pancasila telah berhasil memanfaatkan keragaman agama-agama itu sebagai kekuatan. 

TB Simatupang pernah berujar, “Pancasila ibarat payung yang lebar yang menaungi agama-agama,” bukan hanya mengindikasikan tingginya toleransi masyarakat Indonesia, melainkan juga sebuah pengakuan agama-agama itu mempunyai kontribusi penting bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya di negeri ini agama-agama menduduki posisi yang terhormat. 

Hak beragama diakui sebagai hak yang paling asasi dan oleh konstitusi diakui sebagai hak sipil setiap individi di negeri ini. Realitas itulah yang kemudian memopulerkan Indonesia sebagai negara tempat persemaian yang subur bagi agama-agama. Jalan Pancasila yang memberikan naungan bagi agama-agama yang beragama di negeri ini amatlah tepat. 
Pluralisme agama berdasarkan jalan Pancasila harus dimaknai sebagai rumah bersama bagi agama-agama, keunikan agama-agama tetap diakui keberadaannnya. Dengan demikian, jelaslah menerima Pancasila berarti sama saja dengan mengakui penerimaan terhadap pluralitas agama-agama. 

Pluralisme, yang didasarkan pada Pancasila harus dimaknai sebagai perjumpaan komitmen-komitmen, semisal perbedaan agama, untuk kemudian membangun hubungan sinergis antar agama. Agama-agama yang beragam dan berbeda itu mesti berusaha mencari sintesis dari keragaman yang ada tersebut untuk kemudian menjadi titik pijak bersama agama-agama dalam hidup bersama, jauh dari sekat-sekat serta kecurigaan antaragama. 

Penggunaan kekerasan untuk memaksakan kehendak bukanlah jalan Pancasila. Sebaliknya, Pancasila dengan semangat “Bineka Tunggal Ika” sejatinya menempatkan perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan bukan ancaman. Pemerintah tak perlu berintervensi pada ranah agama yang memang bukan domain pemerintah. Untuk menegakkan dan memajukan kebebasan beragama di negeri ini sebenarnya sederhana saja, yakni pemerintah harus menegakkan supremasi hukum. 

Pasal 28 J ayat 2, UUD 1945, memang menjelaskan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Namun, ayat ini jelas harus dilihat dalam terang semangat Bineka Tunggal Ika yang antidikriminasi. Artinya, pembatasan-pembatasan dalam bentuk regulasi pemerintah harus memenuhi asas keadilan untuk semua. Regulasi pemerintah terkait agama-agama harus didasarkan pada penghormatan terhadap kebebasan beragama. 

Pemerintah tidak boleh mempersulit pengurusan IMB rumah ibadah sebagaimana terjadi pada tujuh gereja yang disegel Pemda Cianjur (Suara Pembaruan 2/6/2014). Tragisnya, beberapa di antara tujuh gereja yang disegel itu sudah berdiri sejak 1977, sedangkan SKB dua menteri atau yang kini dikenal sebagai PBM (Peraturan Bersama Menteri), baru berlaku sejak disahkan pada 2006. 

Kasus Cianjur menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan izin pembangunan rumah ibadah, padahal hak beribadah secara berkelompok dijamin konstitusi negeri ini. Di samping memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 45, pemerintah harus bersikap netral dalam menegakkan supremasi hukum. 

Mereka yang melanggar hukum dan mengancam kebebasan orang lain harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Mereka yang melanggar hukum, dengan alasan apa pun harus dihukum. Pemerintah tak boleh mengubur pelanggaran terhadap kebebasan beragama sekecil apa pun. 

Penegakkan hukum ini penting untuk memberikan efek jera pada mereka yang kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Dengan demikian, jelaslah terciptanya kehidupan antaragama yang harmonis sesungguhnya juga menuntut saham pemerintah dalam menegakkan hukum. 

Regulasi pemerintah (pembatasan-pembatasan) jaminan kebebasan beragama (freedom religious) dan perlakuan antidiskriminasi agama tentu saja dibutuhkan agar agama-agama mendapatkan jaminan kebebasan beragama dan jaminan atas perlakuan yang sama. 

Pemerintah tidak perlu mengatur kehidupan internal agama. Namun, regulasi pemerintah yang memberikan jaminan kebebasan beragama tersebut dapat diwujudkan dalam regulasi yang menjaminan kebebasan beragama dan antidiskriminasi agama. Ini merupakan syarat mutlak terciptanya kondisi yang kondusif bagi perjumpaan agama-agama yang damai di republik ini. 

Dr.  Binsar A. Hutabarat