google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Perlukah Membatasi Kebebasan Berekspresi?

 




Perlukah Membatasi Kebebasan Berekspresi?


Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukan tanpa batasam tetapi kebebasan berekspresi itu dapat dibatasi dengan undang-undang agar pemenuhan kebebasan individu tidak mengganggu kebebasan individu lainnya.


Kebebasan berekspresi dan berpendapat bukanlah pengesahan bahwa setiap individu bisa bertindak secara liar tanpa menghormati martabat individu lainnya, yakni mengabaikan akibat penggunaan kebebasan berekspresi itu bagi individu lainnya. 

 


Kebijakan publik yang mengatur kehidupan bersama sejatinya adalah sebuah konsensus bersama. Karena itu hukum, kebijakan publik sejatinya  harus melindungi setia individu atau kelompok tanpa dekriminasi.


Apabila  implementasi kebijakan publik terindikasi menegasikan individu atau kelompok tertentu, pastilah ada yang salah dalam rumusan kebijakan publik itu. 


Kebebasan beragama

Setiap agama itu unik dan absolud bagi pemeluknya. Maka, tak seorangpun boleh menghina agama apapun. Menghina agama apapun sama saja dengan menghina martabat manusia beragama. 


Berdasarkan hal tersebut jelaslah setiap individu beradab wajib menghargai dan menghormati apapun kepercayaan yang di anut oleh seseorang, dan juga menjauhi usaha-usaha untuk menghakimi agama-agama yang beragam dan berbeda itu.


Sebab itu terhinalah mereka yang menghina agama yang dianut manusia yang bermartabat, karena perbuatan tersebut menghianati kewajibab asasi manusia. Setiap orang tentu boleh saja menyaksikan agama yang diyakininya itu tanpa perlu melecehkan keyakinan agama dan kepercayaan lain. 


Harus diakui bahwa penghinaan terhadap salah satu agama, bukan hanya menyakiti hati penganut agama itu, tapi juga menyakiti hati semua umat beragama. Karena itu  penghinaan pada salah satu agama sepatutnya diposisikan sebagai penghinaan terhadap semua agama, yang patut diwaspadai oleh semua umat beragama.


Kebenaran itu adalah milik Tuhan, interpretasi yang absolud tentang apapun yang kita percayai sesungguhnya hanya ada pada Tuhan. Karena itu tak seorang pun berhak memaksakan apa yang diyakininya kepada orang lain. 


Menjadikan diri hakim atas sesamanya dalam menentukan tafsir yang benar tentang kepercayaan agama-agama lain adalah kesombongan, itu sama saja dengan memposisikan diri sebagai Tuhan, sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang menyadari keterbatasannya.


Apabila kita percaya, di dalam hati nuraninya yang terdalam manusia sesungguhnya mencintai kebenaran, maka manusia sepatutnya diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang sesuai dengan nuraninya, dan itu juga berarti, kebebasan adalah semata-mata untuk melaksanakan kebenaran.  




Marthin Luther dengan tegas mengatakan, “di dalam hati nuraninya manusia adalah raja, tidak boleh ada orang lain yang menjadi raja atas sesamanya. Suara nurani adalah suara Tuhan, meski tidak mutlak, mengingat keterbatasan manusia.  Meneguhkan hal itu, Os Guinnes mengatakan, “kebebasan hati nurani adalah  dasar bagi kebebasan beragama dan kebebasan berbicara.” Sebagaimana tertuang dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia(DUHAM). Karena itu pelaksanaan kebebasan berekspresi mestinya didasarkan pada nurani manusia yang terdalam, yakni mengusahakan kebaikan untuk sesamanya.


Apabila kebebasan hati nurani ini menjadi landasan dalam menjalankan hak kebebasan berekspresi, maka kebebasan berekspresi pastilah akan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Sebaliknya, pelaksanaan kebebasan berekspresi tanpa hati nurani akan mengakibakan kekacauan dan ketidaktertiban. Itulah sebabnya, penghinaan atas agama yang bertentangan dengan suara hati nurani itu telah mengakibatkan kekacauan di banyak tempat. 


Proteksi atas kebebasan hati nurani mestinya akan menciptakan ruang publik yang sehat, dimana setiap anggota masyarakat memiliki kerelaan untuk saling memberi dan menerima terhadap sesamanya. Negara yang sehat tentu saja memerlukan ruang publik yang sehat, yang tampak dari adanya warga bangsa yang memiliki kerelaan untuk membantu sesama warganya, bukannya saling menyakiti sesamanya. 


Penghinaan terhadap agama tidak boleh ditolerir meski itu dengan alasan untuk mengagungkan hak kebebasan berekspresi. Kebebasan itu tidak liar. Kebebasan bernaung dalam ketaatan pada hukum. Siapapun yang melaksanakan kebebasannya dengan melanggar hukum, harus menerima ganjaran hukum yang setimpal.


Jika kita setuju bahwa kerukunan adalah sebuah kerelaan yang keluar dari nurani manusia yang menghargai kebenaran tentang martabat manusia yang adalah sederajat itu, dan selayaknya hidup harmonis dalam perbedaan di bumi yang satu ini, maka kerukunan tidak mungkin dihadirkan dengan mendewakan“keliaran”. Demikian juga, memaknai kebebasan sebagai kondisi dimana setiap individu boleh melakukan apa saja sangatlah tidak berdasar. Kondisi itu lebih patut disebut “keliaran.” Kebebasan semata-mata diberikan untuk melaksanakan kebenaran yang memuliakan martabat manusia. 


Binsar A. Hutabarat


https://www.joyinmyworld.com/2021/08/perlukah-membatasi-kebebasan-berekspresi.html

Menjadi Seperti Kristus




Menjadi Seperti Kristus 


Orang percaya memiliki iman yang sama terhadap Alkitab sebagai Firman Allah. Karena itu orang percaya menggali isi Alkitab yang sama untuk makin mengenal Allah. 

Perbedaan yang terjadi dalam menafsirkan Alkitab sejatinya menolong orang percaya untuk memahami perlunya saling belajar satu dengan yang lain untuk makin mengenal Allah secara benar, dan bukannya saling mengklaim doktrinnya yang paling benar, dan kemudian menyesatkan yang lain. 

Kristus, Firman Hidup yang bangkit dari kematian, dan menjadi dasar kekuatan gereja adalah Firman yang esa. Gereja yang minum dari sumber air hidup yang sama yaitu Firman Tuhan perlu bertumbuh bersama menjadi seperti Kristus. 


Pengenalan tentang Allah mungkin karena Allah yang transenden bersedia menyatakan diri-Nya. Iman Kepada Allah yang telah menyatakan diri yang tercatat dalam Alkitab, memungkinkan Allah yang tidak dapat dijangkau dengan panca indra dikenal oleh manusia. Karena Allah berinisiatif menyatakan Diri-Nya.


Firman Tuhan dicatat dalam Alkitab, sehingga dapat dikatakan Alkitab adalah objek dari pengetahuan tentang Allah. Jadi untuk mengetahui siapa Allah, karya Allah, rencana serta kehendak Allah untuk manusia, orang percaya membaca dan menggalinya dari dalam Alkitab.


Berdasarkan iman bahwa Alkitab adalah Firman Allah, orang percaya menggunakan akal budinya untuk menggali isi Alkitab untuk mengetahui tentang Allah, Karya, dan kehendaknya sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. 

Usaha manusia mengumpulkan data-data dalam Alkitab itu terbatas, maka sejatinya tidak ada orang atau tokoh Kristen yang dapat mengklaim penafsirannya paling benar, apalagi absolud. Jadi doktrin, atau dogma semua itu harus dibawah Alkitab. 

Pertanyaannya kemudian apa jaminan seorang yang menggali isi Alkitab itu telah menafsirkannya dengan benar. 

Penafsiran kita tentang suatu bagian Alkitab harus dibandingkan dengan hasil rumusan doktrin atau dogma yang diwariskan tokoh-tokoh gereja sebelumnya. Tapi karena penafsiran tokoh gereja sebelumnya juga tidak sempurna atau dibawah Alkitab, bisa saja penafsiran teolog jaman tertentu atau jaman kini memperbaiki penafsiran gereja sebelumnya, tapi sekali lagi itu pun tidak absolud.


Hasil penggalian Alkitab seorang teolog yang dirumuskan menjadi doktrin dan kemudian menjadi dogma itu tetap berada dibawah Alkitab, bahkan pengakuan iman sebagai rumusan dogma juga dibawah Alkitab, dan boleh saja direvisi, tentu jika memiliki dasar yang kuat artinya ada temuan yang didasarkan Alkitab tentang perlunya pengembangan rumusan pengakuan iman.

Karena doktrin dan dogma tidak absolud, maka jaminan penafsiran seorang teolog yang telah dibandingkan dengan rumusan doktrin dan rumusan dogma gereja yang merupakan warisan sejarah juga tidak absolud. Semua hasil penafsiran Alkitab oleh manusia yang terbatas adalah relatif. 


Validasi doktrin seharusnya didasarkan kofirmasi Roh Kudus. Karena hasil penggalian Alkitab tidak otomatis membuat kita percaya pada rumusan hasil penggalian Alkitab itu, meski pun langkah-langkah penggalian Alkitab sudah kita lakukan dengan cara benar. Keyakinan bahwa rumusan doktrin itu benar dihasilkan dan harus dihidupi dalam kehidupan penafsir sedang validasinya berasal dari Roh Kudus. 


Doktrin mengarahkan orang untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Roh kudus berkarya dalam diri seseorang yang bertekad untuk hidup dalam rencana Allah sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, dan pengalaman orang itu kemudian akan mengakui bahwa benar pengetahuan yang di dapat dalam Alkitab itu benar. Inilah yang disebut pengakuan iman. 


Doktrin penting untuk menunjuk pada kehidupan yang benar, dan keabsoudan itu terjadi terjadi ketika orang itu hidup dalam pengetahuan yang dia yakini benar, dan itu juga karena  konfirmasi dari roh kudus. Pengakuan iman bukan untuk menghakimi tetapi untuk menunjuk kepada Tuhan yang hidup, Firman Tuhan yang benar.


Sebagian orang menggali isi Alkitab dengan menekankan pada pengalamannya dengan Tuhan. Orang itu mengalami pengalaman-pengalaman dengan Tuhan yang luar biasa, seperti dipakai Tuhan melakukan mujizat. Mujizat itu sendiri sangat sulit dijelaskan. Maka tidak heran penjelasan orang percaya tentang mujizat, yang disebut juga doktrin tentang mujizat, penjelasannya sangat terbatas, dan tentu saja penjelasan tentang mujizat bergantung pada pengalaman orang itu. Jadi doktrin tentang mujizat itu juga relatif. 


Pengalaman orang itu adalah benar adanya, absolud untuk dirinya, karena faktanya memang demikian. Tapi, interpretasi tentang pengalaman atau penjelasan tentang pengalaman orang itu dipakai Tuhan dalam mujizat adalah relatif. Orang yang mengalami mujizat tidak boleh memberikan jaminan absolud bahwa pengalaman yang dialami akan terjadi dengan cara yang sama pada orang lain. Dia cukup menyaksikan pengalamannya dipakai dalam melakukan mujizat yang diyakininya atas kehendak Allah. Karena pengalaman setiap orang tentu berbeda.


Dengan demikian jelaslah membangun doktrin dari penggalian Alkitab dengan eksegese yang luar biasa tetap saja harus dibandingkan dengan doktrin atau dogma gereja lain, dan itu pun tetap relatif. Demikian juga membangun doktin dari pengalaman dengan Tuhan, secara khusus dalam pengalaman melakukan mujizat untuk kemuliaan Tuhan juga relatif, jadi tidak boleh dipaksakan kepada yang lain.


Gereja harusnya dapat saling belajar satu dengan yang lain. Tidak boleh ada gereja yang mengklaim gerejanya paling mendekati Tuhan, atau mendekati kebenaran. Gereja memerlukan saudara-saudara yang lain untuk bertumbuh bersama menjadi seperti Kristus.


Dr. Binsar Antoni Hutabarat

https://www.joyinmyworld.com/2021/08/menjadi-seperti-kristus.html