google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Agama Dan Pembentukan Realitas




AGAMA DAN PEMBENTUKAN REALITAS DALAM PANDANGAN PETER LUDWIG BERGER1



Oleh: Rudy Harold2

ABSTRACT

This paper attempts to peer into the mind of Peter L.Berger in understanding the reality of religion. With the aim to obtain a description of sociological and t heoretical fuller on how religion plays a role in the formation and preservation of the human world created for the benefit of the formation itself as being the "unfinished".

From the results of the study found that religion is a means of legitimacy to pe rpetuate the human nomos varied created that can be received from one generation to the next. The authors recognize that the thought of Peter L. Berger is also not spared from the reductionist understandings of the reality of religion, but would not it be reductionist if we can not accept that religion has contributed greatly to the establishment and maintenance  of  the  created  world  humans  in daily life -day which takes place dialectically.


KeywordsPet: Lebenswelt, Externalization, Objectification, Int ernalization, Dialectics, Nomos and Kosmos.


1PeterLudwig Berger lahir pada tanggal 17 Maret1929. Ia adalah seorang sosiolog dan teolog Amerika. Peter L. Berger dilahirkan di Vienna, Austria, kemudian dibesarkan di Wina dan kemudian berimigrasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II. Pada 1949, ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952).Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di Universitas Boston, dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi , yang beberapa tahun lalu berubah menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia. https://id.wikipedia.org/wiki/Peter_L._Berger , diakses pada tanggal 15 Oktober 2015.


2 Staff Pengajar di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. Menyelesaikan Program Studi Sarjana Teologi (S.Th) di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jaffray Makassar dan kemudian melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana Sosiologi Agama (M.Si) di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (rudy_harold@ung.ac.id)

1. PENDAHULUAN

Beberapa tahun belakangan ini, dunia diperhadapkan masalah radikalisasi ag ama dalam bentuk tindakan te ror, motif para pelakunya terkait erat dengan ajaran dan keyakinan a gama yang dianut oleh para pelaku t eror. Maka munculah pertanyaan di benak kita, apakah agama memang mengajarkan pemeluknya untuk melakukan tindakan -tindakan yang tidak manusiawi semacam itu.

Esai ini tidak dimaksudkan untuk menganalisa tentang apa yang melatar - belakangi munculnya tindakan  teror yang mengatasnamakan agama atau radikalisasi agama. Karya tulis ini hanya ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk menelaah bersama keberadaan agama bersama dengan dogma dan etika di dalamnya, tidak sepenuhnya hanya merupakan pranata yang “diturunkan dari langit” , suatu entitas yang diwahyukan atau bersifat adikodrati . Karena faktanya, seiring dengan perubahan kebudayaan, agama pun juga mengalami proses transformasi. 3 Sebuah proses yang memungkinkan agama bisa menjadi radikal atau sebaliknya m embawa pesan-pesan perdamaian, perlawanan terhadap ketidakadilan, atau keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang termarginalkan. Kenyataan ini membuka kesadaran bahwa agama tidak cukup bila hanya dikaji dari satu sudut pandang ilmu, karena pada kenyataa nnya agama menampakkan dirinya juga sebagai suatu entitas yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai

3 Dalam tulisannya yang berjudul, “A Tradition In Process: The Changing Face Of Theology” ,


T. Howland Sanks, seorang guru besar di bidang sejarah dan teologi sistematika di The Jesuit School of Theology of Santa Clara University di Berkeley, California, mengemukakan bahwa pada abad ini, teologi Katolik sedang mengalami proses transformasi pasca Konsili Vatikan


II. Bahkan berkembang sebuah diskursus (perdebatan) teologi yang serupadengan polemik mengenai dogma tentang Kristus yang pernah berlangsung pada masa awal pembentukan gereja (the early Church). T. Howland Sanks, A Tradition In Process: The Changing Face Of Theology, American Magazine: The National Catholic Review, vol. 2015, 24 Oktober 2011, diakses pada tanggal 15 Oktober 2015, http://americanmagazine.org/sites/default/files/issues/cf/pdfs/791_1.pdf .

mahluk yang beriman atau yang memberikan jawaban atau tanggapa n terhadap Allah yang mewahyukan dirinya .

Dengan kajian lintas ilmu tersebu t semoga akan diperoleh penjelasan yang lebih utuh untuk memahami agama .4 Dalam hal ini, mengacu pada pemikiran Peter L. Berger, kolerasi antara perspektif teologi dan sosiologi, dan atau disiplin ilmu -ilmu empiris lainnya, akan memungkinkan bagi pengembangan pengetahuan yang menemukan makna-makna transendensi dalam kenyataan hidup manusia dengan menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmu sosiologi, filasafat, antropologi, dan rumpun ilmu pengetahuan humaniora lainnya. Sekalipun pada akhirnya penelit ian semacam ini akan menggiring kajian -kajian teologis menjadi lebih terarah pada karya ilmiah antropologis dari pada teologis.

Tapi itulah jalan yang harus ditempuh , tidak lain karena teorisasi tentang agama dalam ilmu sosiologi , sebagaimana yang diuraikan dalam beberapa teori, sejak awal telah mengembangkan pemahaman tentang agama sebagai suatu yang  memproyeksikan  atau mengekspresikan realitas yang dimungkinkan untuk ditelaah secara rasional. Kalaupun dalam agama terdapat realitas yang adikodrati, bebera pa ahli berpandangan bahwa realitas tersebut tidaklah sepenuhnya bersifat adikodrati, Sebagai contoh pemikiran Emile Durkheim. Ia menyatakan dalam teorinya tentang agama bahwa keyakinan dan ritual yang ada dalam agama mengekspresikan tentang sesuatu yang sakral. Dan menurut pandangannya, yang sakral itu tidak lain dari pada tatanan sosial yang dibangun oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, realitas seseungguhnya dari fenomena agama tidak lain daripada tatanan sosial yang dibangun oleh

4 Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk meneliti fenomena agama dari berbagai sudut pandang keilmuan. Secara khusus, tulisan ini hanya dimaksudkan memahami agama sebagai suatu gejala atau fenomena yang dimungkinkan untuk dianalisa sebagai suatu objek studi dengan menggunakan pendekatan, teori, dan metode yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu empirik, khususnya disiplin ilmu sosiologi.

manusia.5 Pendekatan dan pemikiran Durkheim tersebut menuai kritikan dan dikategorikan sebagai pemahaman yang reduksionis dalam menelaah fenomena agama dalam masyarakat. 6

Penelisikan yang lebih dalam mengenai teori sasi agama yang reduksionis membukakan penjelasan bahwa p emahaman tersebut berakar pada problem yang muncul dalam memahami realitas sosial. Dalam sejarah perkembangan pemikiran ilmu filsafat dan sosiologi, cukup lama diperdebatkan mengenai bagaimanakah memahami hubungan antara individu dan masyarakat. Terdapat s uatu diskursus mengenai apakah masyarakat merupakan suatu kenyataan sui generis , mempunyai wujud dalam dirinya sendiri, sehingga berdiri sendiri, dan berkembang menurut prinsip dan hukum yang tidak bergantung pada individu, ataukah tidak demikian. 7

Diskursus ini sudah mulai sejak dari awal kelahiran ilmu sosiologi modern.8 Dalam teorinya tentang proses evolusi pikiran manusia dan masyarakat, Auguste Comte 9 menjelaskan tentang masyarakat sebagai kesatuan yang holistis dan organis, yang dalam perkembangannya tidak bergantung pada inisiatif dari individu -individu di dalam masyarakat itu, melainkan pada proses spontan -otomatis dari perkembangan akal budi manusia. Senada dengan pemikiran Comte, Karl Marx 10 melihat pada sisi struktur sosial untuk menjelaskan bagaim ana kesadaran manusia


5 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Yogyakarta: IRCISOD, 2012).


6 Lebih jelasnya mengenai pemahaman dan kritikan terhadap pendekatan dan pandangan Emile Durkheim tentang agama dapat dipelajari lebih lanjut dalam buku Seven Theories of Religion karangan Daniel L. Pals.


7 K.J. Veeger. RealitasSosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 8-9.


8 Penjelasan lebih lanjut mengenai diskursus pembentukan realitas sosial antar a dua kutub, individu dan masyarakat bersumber dari pemikiran Irfan M. Noor. Irfan M. Noor, Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah-Empiris (Kajian Filsafat Ilmu atas Pemikiran Peter L. Berger), diakses 15 Oktober 2015, http://id.scribd.com/doc/7980498/Aga ma-Dan-Filsafat- Ilmu-Irfan-Noor.


9 Idem.


10 Idem.

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Pemikiran lain yang lebih cenderung menekankan pengaruh masyarakat terhadap individu adalah pandangan Emile Durkheim 11 yang menekankan masyarakat sebagai sesuatu yang riil, berada secara l epas dari individu. Dengan pemikirannya tentang fakta sosial, ia begitu menekankan keberadaan masyarakat sebagai suatu entitas yang mengatasi kesadaran subjektif manusia. Pada kutub pemikiran yang lain, Max Weber mencoba untuk menganalisa dan memahami moti vasi subjektif untuk memperoleh pemahaman lebih utuh tentang masyarakat. Berbeda dengan Durkheim yang menekankan tentang fakta sosial yang bersifat eksternal dan memaksa individu dalam pembentukan kenyataan sosial, Max Weber justru mengembangkan pemikirann ya tentang verstehen (pemahaman subjektif) sebagai metode untuk membedah dan mengetahui berbagai motif dan tindakan sosial manusia dalam masyarakat. 12

Dalam menanggapi diskursus tersebut di atas, Peter L. Berger berpandangan bahwa kurang tepat bila kita me mahami persoalan tersebut semata-mata sebagai persoalan filosofis. Dalam buku yang ditulisnya bersama Thomas Luckman, “The Social Construction of Reality ”, kita dapat memperoleh kesimpulan bahwa dalam menganalisa mengenai bagaimanakah hubungan antara indiv idu dan masyarakat, masalah tersebut sebaiknya dipandang sebagai suatu kenyataan yang dibangun secara dialektik. Artinya bahwa eksistensi manusia yang utuh hanya mungkin ada di dalam masyarakat, dan demikian juga sebaliknya, eksistensi masyarakat hanya mun gkin ada karena aktifitas manusia sebagai penciptanya.

Pemikiran Peter L. Berger tentang pembentukan realitas secara dialektik ini juga yang menjadi alasan mengapa penulis ingin mengajak para pembaca untuk menelusuri dan merefleksikan pemikiran -pemikiran Peter L. Berger.


11 Idem.


12 Doyle Paul Johnson. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I. (Jakarta: PT Gramedia, 1988) 216.


mengenai agama dalam konteks bagaimanakah agama ikut berperan dalam proses pembentukan realitas atau kenyataan yang tidak dapat dipisahkan dari teoritisisasi Peter L. Berger tentang dialektika pembentukan realitas.

2. PEMBAHASAN Realitas dalam Sosiologi Pengetahuan

Kenyataan atau realitas 13 bukanlah suatu istilah yang asing bagi kita. Kata ini sangat sering kita dengarkan atau kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Dalam percakapan sehari -hari, pemahaman tentang kenyataan tidaklah serumi t pengertiannya dalam bidang ilmu filsafat yang mencoba untuk menjawab apakah hakikat paling mendasar dari kenyataan itu.

Mengenai hal ini, Peter L. Berger berpendirian bahwa sosiologi memiliki pemahaman tentang kenyataan yang agak berbeda dengan ilmu fil safat. Dalam konteks sosiologi (khususnya sosiologi pengetahuan sebagai cabang atau subdisiplin ilmu sosiologi), kenyataan dianalisa untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan kenyataan itu dalam masyarakat ( social construction of reality ). Itu sebabnya Peter L. Berger menegaskan bahwa sosiologi, khususnya sosiologi pengetahuan, tidak bermaksud menganalisa kenyataan untuk menjawab pertanyaan tentang apakah ultimate status atau hakikat yang paling mendasar dari kenyataan itu. Dalam tulisannya tentang sosi ologi pengetahuan, Peter L. Berger menegaskan bahwa persoalan -persoalan filsafat tentang

13 Peter L. Berger menggunakan frasa “kenyataan” dengan makna yang lebih mengacu pada pengetahuan yang membimbing tindakan manusia dalam kehidupan sehari-harinya. Bila ditambhakan dengan istilah sosial, maka kata sosial yang mengikuti kata tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pengetahuan tersebut terbentuk dalam suatu konteks sosial. Pengetahuan semacam ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari salah satu contohnya wejangan atau petuah-petuah yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar dapat menjalani hidup dengan baik.

“kenyataan” dan “pengetahuan” yang menjadi diskursus dalam perkembangan sosiologi pengetahuan telah mengaburkan apa yang sesungguhnya menjadi fokus studi dari disiplin ilmu sosiologi pengetahuan.

Namun sebelum lebih jauh bicara soal kekaburan itu, ada baiknya dijelaskan secara ringkas mengenai sejarah keberadaan dari sosiologi pengetahuan (Wissenssoziogie) sebagai cabang ilmu sosiologi yang pertama kali diperkenalkan ol eh seorang filsuf asal Jerman bernama Max Scheler pada dasawarsa 1920-an14. Dari keterangan ringkas asal mula tersebut dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa subdisiplin ilmu ini lahir dan berkembang dalam konteks sejarah pemikiran filsafat Jerman yang meng alami apa yang disebut Peter L. Berger sebagai vertigo (kepeningan) relatifitas akibat dari akumulasi ilmu pengetahuan sejarah yang sangat besar, yakni pada aras empiris meneliti tentang sejauhmana hubungan yang konkrit antara pemikiran dan situasi histori s. Dari latar belakang tersebut maka semakin dapat dipahami bila hakikat dan cakupan kajian dari sosiologi pengetahuan adalah penelitian mengenai hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di mana pemikiran itu timbul.

Kajian mengenai korelasi te rsebut dapat kita temukan dari pemikiran Karl Marx, Neitzsche, dan paham historisisme. Dalam pemikiran Karl Marx, sosiologi pengetahuan memperoleh proposisinya dari pemikiran Karl Marx tentang kesadaran manusia, ideologi, kesadaran palsu, substruktur dan supersturuktur. Dari Nietzsche, sosiologi pengetahuan memperoleh sumbangan pemikiran Neitzche yang mengembangkan teorinya sendiri mengenai kesadaran palsu, yakni kajian terhadap pemikiran manusia sebagai alat dalam perjuangan mempertahankan kelangsungan hid up dan kekuasaan. Suatu pemikiran yang telah dikembangkan terlebih dulu oleh Karl Marx. Sedangkan

14 Tentang sejarah asal-usul dan perkembangan sosiologi pengetahuan, tulisan ini sepenuhnya mengacu pada uraian perkembangan disiplin ilmu ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Peter L. Berger dalam bukunya “Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan”.

warisan historisme bagi sosiologi pengetahuan tidak lain dari tentang historitas yang tak terelakkan dari pemikiran manusia, dengan konsep -konsepnya mengenai “determinasi situasional” dan “kedudukan dalam kehidupan”, yang keduanya dapat diterjemahkan mengacu pada apa yang disebut dengan “lokasi sosial” dari pemikiran.

Dalam konteks pemikiran tersebut, Max Scheler mengembangkan suatu subdisiplin ilmu sosiologi y ang disebutnya dengan istilah sosiologi pengetahuan (Wissenssoziologie ) yang menganalisa mengenai bagaimana pengetahuan manusia dibentuk oleh masyarakat. Lebih jelasnya, Scheler menegaskan bahwa:

“Pengetahuan manusia diberikan oleh masyarakat sebagai suatu a priori kepada individu-individu dengan memberikan kepadanya tatanan maknanya. Tatanan ini, meskipun tergantung kepada suatu situasi sosio - historis tertentu, menampakkan diri kepada manusia sebagai cara yang sudah sewajarnya untuk memandang dunia (yang d iungkapkan oleh Scheler dengan istilah “pandangan dunia yang relative -natural” dari masyarakat)”.15

Selanjutnya perkembangan sosiologi pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Karl Manheim, yang juga mempersoalkan mengenai bagaimana hubungan antara gagasan dengan konteks sosialnya, dan pertanyaan - pertanyaan epistimologis lainnya dari pemikiran manusia. Hal ini yang kemudian oleh Peter L. Berger dipandang mengakibatkan pengertian teoritis dari sosiologi pengetahuan menjadi kabur. Tapi ini bukan berarti s osiologi pengetahuan mengabaikan pertanyaan -pertanyaan epistemologis dan metodologis mengenai pengetahuan/ pemikiran manusia, namun pertanyaan - pertanyaan itu bukan merupakan ruang lingkup kajian yang utama dari disiplin ilmu sosiologi yang empiris, karena p ertanyaan itu adalah suatu bidang yang termasuk dalam ilmu filsafat. Dengan tegas Peter L. Berger menyatakan bahwa sosiologi pengetahuan merupakan bagian dari disiplin ilmu sosiologi empiris


15 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. (Jakarta: LP3ES,1990), 12

yang pada aras teoritis tidak dimaksudkan untuk melakukan penyeli dikan terhadap persoalan -persoalan epistemologis dan metodologis. Namun demikian, Peter L. Berger tidak memungkiri bahwa persoalan -persoalan epistemologis mengenai pengetahuan manusia memang merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari ruang lingk up kajian sosiologi pengetahuan, namun itu hanya merupakan salah satu masalah dan juga bukan merupakan permasalahan utama dari sosiologi pengetahuan.

Fokus utama kajian sosiologi pengetahuan adalah meneliti segala sesuatu yang dianggap sebagai “pengetahuan” (commonsense)16 dalam masyarakat. Artinya bahwa sosiologi pengetahuan terutama harus meneliti apa yang “diketahui” oleh masyarakat sebagai “kenyataan” dalam kehidupan sehari -hari yang  tidak  teoritis  atau  prateoritis. 17 Karena pemikiran teoritis atau perumusan Weltanschauung hanya merupakan aktivitas berpikir dari sekelompok masyarakat yang sangat terbatas jumlahnya. Maka dengan demikian pemikiran teoritis itu sebagian dari apa yang disebut dengan sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat, yang tanpa “pengetah uan” itu sebagai jaringan makna, tak satupun masyarakat dapat eksis. 18 Karena “pengetahuan” itulah yang membimbing perilaku manusia dalam kehidupan sehari -harinya dan yang membentuk “kenyataan” atau dalam bahasa Jerman disebut dengan istilah lebenswelt (ter jemahan bahasa Inggris life-world).

16 Konsep ini bertautan erat dengan pemikiran Alfred Schutz mengenai sturuktur dunia akal sehat dalam kehidupan sehari-hari. Ibid., 22


17 Pengetahuan prateoritis tidak lain dari apa yang disebut dengan istilah commonsense. Ini adalah sejenis pengetahuan yang dihasilkan tanpa melalui kajian secara ilmiah . Lebih jelasnya sebagai contoh yakni pemahaman tentang gereja. Bagi seorang teolog, gereja tidak hanya dipahami berdasarka analisa data atau informasi yang diperoleh melalui pengamatan terhadap kemengadaan gereja yang nampak tetapi pemahamannya merupakan suatu hasil analisa atau kajian dengan menggunakan suatu pendekatan, teori, dan metode tertentu untuk menghasilkan suatu pemahaman tentang gereja yang ilmiah dan bersesuaian dengan paham teologi yang dianut oleh teolog itu sendiri.


18 Idem.



Agama dan Pembangunan Dunia

Pada awal kajian tentang agama dalam masyarakat, Peter L. Berger menuliskan   bahwa setiap  masyarakat merupakan suatu usaha untuk membangun dunia.19 Dan agama memiliki apa yang disebutnya sebaga i “a distinctive place in this enterprise”. Untuk lebih memahami peran agama dalam usaha pembangunan dunia tersebut, ada baiknya bila kita mencoba untuk terlebih dulu memahami apa yang Berger maksudkan dengan pernyataan bahwa tiap masyarakat adalah suatu u saha untuk membangun dunia.

Dalam terminologi paham fenomenologi, kata “dunia” tersebut tidak lain dari apa yang disebut dengan istilah lebenswelt . Sebagaimana kita ketahui, istilah lebenswelt (terjemahan dalam bahasa Indonesia, “dunia kehidupan”) merupakan salah konsep utama dari mazhab pemikiran filsafat fenomenologi, yang pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Husserl. Konsep ini dapat kita pahami sebagai ‘dunia’ atau ‘semesta’ yang terdiri atas lingkungan fisik dan sosial manusia yang dipahami oleh manu sia hanya dengan menggunakan akal sehat (commonsense) tanpa menggunakan perspektif dari ilmu alam dan sosial.20


 


Menurut Berger, kenyataan atau dunia kehidupan menyatakan eksistensinya sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi kesadaran manusia dengan cara yang paling masif, mendesak, dan mendalam, sehingga sangat


19Dalam buku yang diberi judul “The Sacred Canopy” , Berger mengemukakan bahwa istilah dunia yang digunakan dalam pernyataannya tersebut mengandung pengertian yang khusus, karena itu kata tersebut semestinya ditulis dalam tanda petik.Kekhususan makna kata ini, karena kata dunia tersebut oleh Berger dipahami berdasarkan pada pemikiran filsafat fenomenologi dan sosiologi pengetahuan.Dunia yang dibentuk tersebut, berdasarkan paradigma fenomenologi, rupanya menunjuk pada kesadaran manusia terhadap fenomen- fenomen yang diakui memiliki keberadaan dan tidak bergantung pada kehendak manusia. Peter L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES,1991), 3.


20 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 24-27.

sukar bagi manusia untuk mengabaikannya. 21 Tidak lain karena kenyataan itu sudah diobjektifikasi 22 sedemikian rupa sebagai sesuatu yang telah ditata sebelum keberadaan seorang individu.

Lebih lanjut Berger menjelaskan bahwa kenyataan itu menghadirkan dirinya kepada individu sebagai sesuatu yang bersifat intersubjektif, suatu dunia atau kenyataan yang dapat dialami dan dipahami secara bersama -sama dengan  individu-individu  yang  lain. Sekalipun mungkin ad a perbedaan pemahaman tentang kenyataan tersebut namun kenyataan tersebut adalah sesuatu yang telah membentuk kesadaran/ pengetahuan akal sehat (commonsense knowledge) dari semua individu yang mengalaminya.

Menurut Berger, terbentuknya lebenswelt bagi manusia, erat kaitannya dengan kondisi manusia sebagai mahluk hidup yang dalam proses menjadi manusia berhubungan secara timbal balik dengan lingkungannya, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan manusia (suatu tatanan budaya dan sosial, yang diperoleh mela lui orang-orang yang berpengaruh dalam hidup tiap individu).23Berbeda dengan mahluk menyusui lainnya, manusia dilahirkan dalam kondisi struktur biologi dan naluri yang masih perlu untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Sebagaimana yang dikemukak an oleh Berger,

“Perkembangan organ yang penting, yang pada binatang telah mencapai penyelesaiannya dalam rahim induknya, pada bayi manusia berlangsung.

21 Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES,1990), 31-32.


22 Objekstifikasi merupakan konsep yang digunakan oleh Peter L. Berger untuk mengungkapkan tentang keberadaan dari segala sesuatu yang manusia ciptakan (fisik maupun mental) sebagai suatu realitas atau kefaktaan yang berhadapan, berbeda, dan berada di luar diri manusia sebagai pihak yang telah memproduksi realitas tersebut. sehingga dengan demikian, melalui objektifikasi, masyarakat, sebagai salah satu ciptaan manusia, menjadi suatu realitas yang “sui generis” . Peter L. Berger, Langit Suci (Jakarta: LP3ES, 1991), 5.

23Ibid., 68

setelah ia keluar dari kandungan. Tetapi pada masa ini, bayi manusia itu tidak hanya sudah berada dalam dunia luar; ia juga mempunyai hubungan timbal balik dengannya, dengan sejumlah cara yang kompleks.”24

Karena kondisi inilah, maka dapat dikatakan bahwa menjadi manusia secara fundamental berarti mengada ( to exist ).25 Dan karena itu, mengutip pandangan Berger, ”eksternalisasi 26 adalah suatu keharusan antropologis. Manusia tidak bisa dibayangkan tanpa pencurahan dirinya (eksternalisasi) secara terus menerus ke dalam dunia yang dihuninya”. 27 Tidak lain penyebabnya karena manusia dilahirkan dengan struktur naluri / instiktual yang belum diarahkan atau disesuaikan dengan suatu lingkungan yang khas bagi spesiesnya. Manusia harus membentuk lingkungannya, dunianya sendiri (dunia manusia), dan mengutip pendapat Peter L. Berger, dunia itu tidak lain dari pada kebudayaan. 28 Berdasarkan pemikiran Berger mengenai eksternalisasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan ciptaan manusia, yang diciptakan oleh manusia dalam proses pembentukan dirinya.

Namun pemikiran Berger tidak hanya sampai di situ dalam mengan alisa fenomena kebudayaan. Kenyataan bahwa dunia yang manusia ciptakan itu merupakan sesuatu yang eksis di luar kesadaran manusia memunculkan


24Idem.


25 Irfan M. Noor, op.cit., 8


26 Peter L. Berger menggunakan konsep eksternalisasi untuk mengungkapkan bahwa manusia adalah mahluk hidup yang secara terus menerus mencurahkan, mengungkapkan, mengekspresikan dirinya ke dalam dunia sekelilingnya, baik itu dalam bentuk aktivitas fisik maupun mental. Menurut Berger, eksternalisasi diri manusia ke dalam dunia sekelilingnya merupakan suatu keharusan antropologis karena homosapiens menempati posisi yang istimewa karenan memiliki keistemewaan dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan maupun dengan lingkungan atau dunia disekelilingnya. Tidak seperti binatang menyusui tingkat tinggi lainnya, yang dilahirkan dengan kondisi organisme yang pada pokoknya sudah lengkap, manusia sebaliknya “belum selesai” ketika dia dilahirkan. Lebih lanjut penjelasan tentang konsep eksternalisasi dapat dibaca dalam buku “Langit Suci” dan “Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan”.


27 Ibid., 5.


28Ibid., 8.

pemahaman tentang objektifikasi dari semua yang dihasilkan oleh manusia dalam proses eksternalisasi. Jadi objektif ikasi adalah transformasi dari hasil pencurahan diri manusia dalam proses eksternalisasi sehingga apa yang dihasilkan tersebut kemudian menjadi sesuatu yang menghadapi manusia sebagai fakta di luar diri manusia. Salah satu bukti dari objektifikasi tersebut adalah peralatan -peralatan yang manusia ciptakan biasanya memaksakan logika keberadaannya kepada manusia sebagai pemakai peralatan tersebut. 29

Selanjutnya masyarakat, dan produk -produk budaya (material maupun bukan material) manusia lainnya yang terobjekti fikasi tersebut diserap ke dalam kesadaran subjektif individu, proses inilah yang disebut dengan internalisasi. 30 Sedangkan yang dimaksud dengan sosialisasi, menurut Peter L. Berger, adalah proses mendidik individu agar hidup bersesuaian dengan program-program kelembagaan masyarakat dari satu generasi ke generasi lainnya.31 Dalam proses internalisasi , individu tidak hanya mengalami apa yang disebut dengan proses belajar tetapi lebih dari itu, individu menyerapnya dan menjadikan sebagai miliknya sendiri, bahka n dapat mengekspresikannya. Namun sekalipun manusia adalah mahluk yang “belum selesai” dan terbuka pada dunia sekitarnya dalam pembentukan dirinya, tapi itu bukan berarti bahwa manusia hanya bersikap pasif. Pada kenyataannya, manusia itu tidak lembam (diam), justru sebaliknya manusia berpartisipasi secara aktif dalam proses pembentukan jati dirinya dan pembentukan dunia ciptaannya. Dan hal ini menunjukkan pada kita bahwa manusia secara terus menerus akan memberikan tanggapan terhadap dunia yang diciptakan d an membentuknya

29Bahkan alat itu (misalnya telepon selular) dapat mengara hkan aktifitas para pemakainya.


30Ibid., 19.

31 Sosialisasi dibedakan dari internalisasi. Mengacu pada pemikiran Berger dan Luckmann, internalisasi merupakan aktifitas individu (subjek) dalam menyerap produk -produk budaya yang dihasilkan oleh masyarakat. Sedangkan sosialisasi adalah aktifitas di luar individu yang bertujuan untuk mendidik individu agar hidup bersesuaian dengan program-program kelembagaan masyarakat.

dan karenannya juga manusia dituntut untuk harus terus memelihara dunia ciptaan itu.

Dalam proses pemeliharan dunia ciptaan manusia inilah, kita sudah dimungkinkan untuk mempercakapkan tentang agama. Karena setelah tiba pada penjelasan tersebut kita sudah bisa menarik kesimpulan, sebagaimana yang diutarakan Peter L. Berger, bahwa masyarakat sebagai suatu aktivitas membangun dunia terutama adalah merupakan aktivitas penataanpengalaman secara kognigtif maupun normatif, atau yang biasa juga di sebut dengan istilah nomisasi. Dalam proses pembentukan nomos tersebutlah, agama memainkan suatu peran khusus di dalam pembangunan dan pemeliharaan dunia 32 yang berlangsung secara dialektik.

Agama Sebagai Sumber Legitimasi Nomos Yang Adiluhung

Untuk memahami nomos33 lebih mendalam, kita perlu kembali melihat kondisi manusia yang secara biologis tidak mempunyai suatu mekanisme penataan diri sebagaimana yang melekat pada species mahluk hidup lainnya. Itu sebabnya manusia harus menciptakan sendiri suatu mekani sme penataan pengalaman dan dunia di sekitarnya. Penataan itulah yang disebut dengan nomos yang kemudian menjadi referensi/ pedoman bagi manusia dalam mengatur tingkah lakunya sehari -hari. Tanpa tatanan yang bermakna terhadap setiap pengalaman tersebut, man usia tidak akan dapat bertahan hidup karena akan dirundung kecemasan tenggelam dalam dunia yang tanpa makna, kacau,

32 Dunia yang dimaksudkan di sini adalah ciptaan manusia dan itu juga dapat dipahami sebagai kebudayaan yang merupakan hasil karya manusia dalam rangka menjalankan wewenangnya sebagai mandataris Allah di dalam dunia ciptaan-NYA.

33Istilah nomos diambil dari pemikiran Emile Durkheim mengenai konsep nomos yang dikontradiktifkan dengan konsep anomi, sebagaimana yang dikemukakannya dalam tulisannya tentang Suicede (bunuh diri)tidak berperasaan dan gila. 34 Itulah sebabnya, mengutip pendapat Peter L. Berger,

“Berada dalam masyarakat berarti “waras” dalam pengertian t erlindungi dari “kegilaan” purna dalam kecemasan anomik tersebut.Anomi itu tidak tertanggungkan sehingga bisa saja individu merasa lebih baik mati daripada mengalaminya.Sebaliknya eksistensi di dalam suatu dunia nomik mungkin sangat diidamkan dengan member ikan segala pengorbanan dan menanggung segala derita –dan bahkan berkorban jiwa, jika individu itu yakin, bahwa pengorbanan itu membawa makna nomik.”35

Jadi ketiadaan nomos adalah suatu bencana terbesar bagi manusia, baik secara individual maupun kolektif. Apapun ragam historis dan kebudayaannya, nomos merupakan suatu keharusan dalam dunia yang manusia bentuk. Karena lawan dari nomos adalah anomi, suatu kondisi kehidupan yang tentunya tak diinginkan. Secara individual, anomi berarti keterasingan dari dunia s osial di sekitarnya, bahkan dalam kondisi yang paling ekstrem, individu akan kehilangan “rasa” dan identitas dirinya sendiri.

Namun malang tak dapat ditolak, tiap nomos yang dibentuk oleh manusia secara sosial tersebut selalu diperhadapkan pada ancaman ker untuhan dan menciptakan gangguan anomik bagi manusia. 36 Situasi anomik ini nampak misalnya ketika suatu negara menetapkan undang -undang yang melegalkan pernikahan sesama jenis kelamin.Sebagian orang melihat itu sebagai suatu situasi anomik tapi ada juga yan g beranggapan justru sebaliknya, bahwa peraturan negara itu telah menciptakan suatu tatanan dunia yang memungkinkan bagi mereka untuk menemukan realitas dan identitas diri


34 Ibid., 27-28


35 Ibid., 28


36Nomos yang dimaksudkan di sini adalah bentukan manusia. Mengenai nomos yang diyakini bersumber dari wahyu tentu akan timbul silang pendapat. Dan dalam hal sil ang pendapat tersebut, tulisan ini tidak dapat berbicara banyak karena tujuan karya tulis ini hanyalah untuk mengulas pemikiran Berger mengenai kontribusi agama dalam pembentukan realitas. Tapi walaupun demikian, berharap melalui tulisan ini dapat beroleh kesempatan untuk bertukar pikiran dan menimba pengetahuan teologis tentang hal tersebut .

mereka. Perubahan tatanan norma tersebut menunjukkan betapa rentannya suatu nomos yang dibangun oleh manusia secara sosial terhadap kehancuran. Peter L. Berger menjelaskan bahwa, “semua dunia yang dibangun secara sosial, secara inheren adalah rawan. Karena didukung oleh aktivitas manusia, maka dunia-dunia tersebut terancam oleh fakta kepe ntingan diri dan kebodohan manusiawi. Program -program kelembagaan disabot oleh individu -individu yang memiliki kepentingan yang bertentangan.” 37 Untuk itu nomos memerlukan sumber peneguhan agar dapat bertahan dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan dalam hal inilah agama memainkan perannya.

Tapi sebelum membicarakan tentang bagaimana peran agama tersebut, terlebih dulu perlu untuk dijelaskan tentang bagaimana pemahaman Peter L. Berger sendiri tentang agama. Senada dengan pemikiran beberapa ilmuwan filsafat dan sosiologi lainnya, menurut Peter L. Berger, agama itu merupakan hasil dari pantulan, refleksi, atau proyeksi yang dilakukan oleh manusia. 38 Bila demikian apakah fenomena yang manusia proyeksikan di dalam dan melalui agama ? Peter L. Berger menjawa b bahwa manusia mengeksternalisasikan agama karena manusia diperhadapkan pada ancaman -ancaman anomik dalam dunia yang merupakan hasil dari aktifitas manusia itu sendiri melalui proses eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Dalam menanggulangi kecemasan manusia terhadap situasi anomik, masyarakat telah menciptakan instrumen-instrumen semacam sosialisasi dan kontrol sosial, namun tampaknya instrumen itu tidak cukuplah memadai untuk menegasikan ancaman-ancaman terciptanya kondisi anomik, baik secara individu maupun kolektif. Karena itu, demi untuk memperkokoh tatanan sosial maka manusia


37 Ibid., 36


38 Inilah salah satu pemahaman yang menjadi sumber perdebatan antar ilmu teologi dan sosiologi dalam menelaah fenomena agama. Tulisan tidak cukup memadai untuk menelaah perdebatan tersebut. Lebih lanjut untuk mendiskusikan mengenai bagaimana dialog antara kedua disiplin ilmu tersebut dapat dipelajari dalam tulisan Peter L. Berger mengenai “Perspektif-Perspektif Sosiologis dan Teologis” yang merupakan lampiran dalam bukunya “The Sacred Canopy” . Buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES dengan judul “Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial” .

secara kolektif menciptakan proses legitimasi 39, dalam proses legitimasi inilah agama memainkan perannya sebagai universum simbolik yang menjadi lambaran bagi dunia sosial dan biografi manusia yang ada di dalamnya.

Dijelaskan bahwa proses legitimasi ini merupakan semacam “pengetahuan” yang diobyektifikasi secara sosial yang berfungsi untuk menjelaskan dan membenarkan suatu tatanan sosial. 40 Dalam proses legitimasi, semua pertanyaan – pertanyaan yang menyangsikan suatu tatanan sosial mendapatkan jawabannya. Jawaban-jawaban tersebut bukan hanya merupakan suatu yang bersifat kognigtif lebih dari itu “pengetahuan” atau jawaban - jawaban dalam proses legitimasi itu juga bersifat normatif.

“Merupakan suatu kesalahan besar bila mengidentifikasikan legitimasi dengan ideasi teoritis. “Gagasan -gagasan”, memang diperlukan bagi kepentingan legitimasi. “Namun apa yang bisa dianggap sebagai “pengetahuan” dalam masyarakat sama sekali tidak identik dengan kesatuan “gagasan-gagasan” yang ada dalam masyarakat. Sebagian orang memiliki minat terhadap “gagasan -gagasan”, biasanya mereka tidak lebih dari suatu minoritas yang agak kecil. Jika legitimasi itu selalu harus terdiri dari dalil -dalil yang secara teoritis bisa dipahami, maka legitimasi itu akan mendukung tatanan sosial terutama bagi minoritas intelektual yang memiliki minat -minat teoritis seperti itu – ini jelas bukan suatu program yang sangat praktis. Akibatnya banyak legitimasi yang bersifat prateoritis. ”41

Pemikiran ini juga yang melatar belakangi konstruksi pemikiran Peter L. Berger mengenai sosiologi pengetahuan sebagai suatu perspektif yang lebih

39 Legitimasi di sini dipahami sebagai “pengetahuan” yang bertujuan untuk menjawab setiap pertanyaan yang mempertanyakan keabsahan dari suatu tatanan sosial. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, objektifikasi dunia yang dibangun oleh manusia sebenarnya telah menunjukkan bahwa dengan sendirinya semua “pengetahuan” yang manusia ciptakan terkandung adanya legitimasi di dalamnya. Namun, legitimasi- legitimasi tambahan masih diperlukan untuk mewariskan “pengetahuan” tersebut dari generasi ke generasi untuk menjawab pertanyaan yang pasti timbul dalam alam berpikir generasi-generasi yang baru.


40Idem.


41 Ibid., 37.

diarahkan untuk menelaah “pengetahuan akal sehat” dalam masyarakat dari pada menelaah konstruksi teoritis dari kalangan intelektual. 42

Lalu bagaimana hubungan atau peran agama dalam proses legitimasi. Bila kita mengamati dalam masyarakat, semua legitimasi yang dibangun menjelaskan keberadaan nomos itu secara sosial dan empirik. Sementara agama melegitimasi nomos dengan sangat efektif karena menghubungkan bentukan-bentukan dunia sosial (yang didalamnya terdapat nomos) dengan realitas purna, realissimum keramat, yang menurut definisinya berada di luar kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari makna -makna manusiawi dan aktivitas -aktivitas manusia. 43 Sebagai contoh, kita dapat menemukannya dalam pengetahuan yang menjelaskan keberadaan dari lembaga ataupun jabatan - jabatan keagamaan. Hampir semua pengetahuan itu menghubungkan lembaga dan jabatan keagamaan tersebut dengan realitas yang sakral, semacam pengetahuan yang diwahyukan. Di antara pengetahuan tersebut, sebagai contoh, adalah gereja sebagai “tubuh” Kristus, dan dengan demikian, gereja tidak dapat hanya dipandang sebagai suatu lembaga yang terbentuk k arena dibangun oleh manusia secara kolektif dalam suatu konteks sosial budaya tertentu. Dalam hal inilah, agama menunjukkan dirinya sebagai sumber legitimasi tatanan sosial yang adiluhung.

Keampuhan legitimasi agama ini terkait erat dengan pemahaman tentan g agama sebagai konstruksi pengetahuan manusia dalam memahami tentang alam semesta, atau yang biasa disebut dengan istilah kosmos. Menurut Peter L. Berger, agama juga dapat dipahami sebagai usaha manusia membentuk suatu kosmos keramat. Adapun kata “keramat ” atau sakral di sini mengandung arti suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan, bukan berasal dari manusia dan yang diyakini berada dalam objek -objek pengalaman tertentu. 44

42 Idem.


43 Ibid., 40


44 Ibid., 32

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas tersebut dapat disematkan pada berbagai berbagai objek alami atau buatan (artifisial), mahluk, roh, dewa, hingga kekuatan atau asas purna yang menciptakan dan mengatur kosmos yang tidak lagi dibayangkan dalam kerangka personal. Kosmos yang konstruksi oleh agama ini, bagi manusia merupa kan suatu realitas yang transenden (di luar lingkaran kemengadaan manusia dalam dunia) tapi sekaligus juga imanen (melingkupi) kehidupan manusia dan menjadi tatanan bermakna bagi manusia dalam membentuk kebudayaan dan peradabannya.

Dan rupanya ada kecender ungan yang dapat kita temukan, khususnya dalam masyarakat pra modern, nomos yang terbentuk kemudian dipadukan dengan makna-makna fundamental dalam semesta sebagaimana yang menjadi pemahaman kosmologi suatu masyarakat. Sebagaimana yang dikemukan oleh Peter L. Berger, dalam masyarakat lama, nomos sering kali tampak sebagai refleksi mikrokosmos, sehingga dengan demikian, nomos yang dibangun dalam masyarakat kemudian menjadi suatu penjelasan tentang “hakikat sesuatu” yang dipahami secara kosmologis dan antropol ogis.45 Keterpaduan inilah yang menciptakan keajegan suatu nomos karena sumber legitimasinya berasal dari sumber-sumber pengetahuan yang lebih kuat bila dibandingkan dengan usaha - usaha historis manusia dalam melegitimasi suatu nomos.

3. KESIMPULAN

Mengulang kembali apa yang dikemukakan oleh Peter L. Berger bahwa setiap masyarakat merupakan suatu usaha untuk membangun dunia dan agama memiliki apa yang disebut sebagai a distinctive place in this enterprise . Pemikiran ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk me ngawali pemahaman kita tentang bagaimana analisa Peter L. Berger terhadap fenomena agama dalam.

45 Ibid., 31-32

masyarakat. Lebih jelasnya ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan dalam memahami pemikiran Peter L. Berger mengenai agama, yakni :

1. Agama tidak dapat dipisahka n dari proses pembentukan berbagai realitas atau “dunia” yang manusia ciptakan yang melalui tiga momentum yakni eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi.

2. Peran utama agama dalam pembentukan dan pemeliharaan “dunia” tersebut terletak pada kekuatan ag ama untuk membenarkan/ meligitimasi nomos yang menata kehidupan manusia dalam “dunia” ciptaannya sendiri. Sehingga terbuka kemungkinan yang besar untuk melanggengkan tatanan tersebut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial . Jakarta: LP3ES.

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan . Jakarta: LP3ES.

Pals, Daniel L. 2012. Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: IRCISOD.

Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I . Jakarta: PT Gramedia.

Noor, Irfan. Realitas Agama dan Problem Studi Ilmiah -Empiris (Kajian Filsafat Ilmu  atas  Pemikiran  Peter L. Berger) , diakses 15 Oktober 2015,

http:// id.scribd.com/ doc/ 7980498/ Agama -Dan-Filsafat -Ilmu-Irfan- Noor.

Sanks, T. Howland. A Tradition In Process: The Changing Face Of T heology, American Magazine: The National Catholic Review, vol. 2015, 24 Oktober 2011, diakses pada tanggal 15 Oktober2015, http:/ / americanmagazine.org/ sites/ default/ files/ issues/ cf/ pdfs/ 791_1 pdf Veeger, K.J. 1988. RealitasSosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1988.



https://www.joyinmyworld.com/2021/01/agama-dan-pembentukan-realitas.html

Flower of the Month Club

Menghidupi Kesejatian Agama

 



MENGHIDUPI KESEJATIAN AGAMA: TAWARAN YANG MENGGUGAT EKSISTENSI AGAMA SEBAGAI USAHA PARTISIPATIF DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA


Edy Syahputra Sihombing

Mahasiswa Magister Unika Parahyangan, Bandung



ABSTRACT: Since the existence of human culture, religion is also exist in its variety. Religion has become the mode of existence for human being. Basically, religion is the place which gives space for humans to communicate and meet with the ultimate reality. In the development of human culture, religion is experiencing a growing change in its form and content. Earlier, religion was a relationship between human  and the ultimate reality; and  over the time, it then turned into an institution that has systematized and conceptualized doctrines in dogmatic form. The purpose of religion also shifted from efforts to be closer with the ultimate reality into attempts to increase followers. It seems that religion is concerned with the quantity than the quality. The shift likely leads to a conflict and violence in many people. This becomes the responsibility for all religions in Indonesia. This paper wants to explain the truth of supposed religion and look for the positive influence of all religions in Indonesia in an attempt to build Indonesia becoming a nation which is able to thrive in religious pluralism.

KEYWORDS: Religion, Paradigm, Ideology, Religious violence, Religious repentance, Indonesian development.


Pergeseran Cara Pandang Hakikat Agama

Di mana manusia hidup, di sana agama juga hidup. Sejak manusia ada, sesungguhnya di sana agama juga sudah ada dengan berbagai macam



bentuknya yang bervariasi. Dengan kata lain, sejak awal mula sejarah peradaban manusia, agama sudah menjadi bagian dari peradaban itu sendiri. Sejatinya, agama adalah bagian dasar hidup manusia, baik secara individual maupun komunal.1 Mengutip apa yang dikatakan Echart, di dalam Urgrund2 atau di dalam relung batin manusia yang terdalam yang tak didasari lagi, manusia mempunyai kerinduan dan kedalaman relasi dengan realitas yang tak terbatas yang dalam bahasa agama disebut sebagai realitas yang ilahi. Agama sesunguhnya mempunyai isi makna tentang bagaimana manusia berelasi secara mendalam dengan yang ilahi dalam eksistensi hidupnya. Relasi yang mendalam ini menjadi dasar cara berada manusia, sehingga ia menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang tidak dapat dipisahkan dari aspek yang lainnya dalam hidup manusia. Oleh karena relasi dengan yang ilahi sebagai dasar eksistensi manusia, sejak awal agama sudah menjadi mode of being serta menjadi mode of living. Singkatnya, sejak awal, agama telah menjadi bagian eksistensi manusia dalam peradaban manusia.

Perkembangan peradaban dan sejarah tidak membuat agama tetap nyaman dalam makna sejatinya. Agama juga mengalami perubahan makna bahkan tujuan. Agama mengalami perubahan, baik dalam bentuk maupun isinya. Agama yang tadinya sebagai dasar eksistensi manusia bergeser menjadi instrumen untuk mendapatkan dan meraup sebanyak mungkin sesuatu yang diinginkan.3 Dalam hal ini agama tidak lagi hanya tampak sebagai aktivitas terdalam manusia berkaitan dengan relasinya dengan yang



1 Agama berkembang berdasarkan letak geografis tertentu serta dalam kultur tertentu. Hal ini dapat dikuatkan dari hasil penelitian paleontologi yang menunjukkan bahwa manusia purba sudah melakukana ritual-ritual keagamaan dalam hidupnya.

2 Maurice Friedman, Martin Buber’s: Life and Work (New York: Wayne State University Press Detroit, 1988), 82.

3 Bdk. Bruce David Forbes and Jeffrey H. Mahan (Ed.), Religion and Popular Culture in America

(Los Angeles: University of California Press, 2000), 141.



ilahi yang terwujud dalam praksis ritual simbolik. Dengan kata lain, kini agama cenderung berubah wajah menjadi komoditi. Awalnya agama adalah pengungkapan pengalaman mistis dalam perjumpaan yang personal dengan yang ilahi. Namun dengan perkembangan zaman, agama pun berubah dari mitos menjadi logos. Mitos yang terungkap dalam cerita-cerita kultural yang mengandung makna moral dan spiritual kurang diminati lagi, maka begeser pada fakultas logos yang terungkap dalam sistematika yang apik, klasifikasi, kategori-kategori kritis serta kemasukakalan yang jelas. Ke-logos-an itu terungkap dalam apa yang dikatakan oleh Descartes, Clara et Distincta.4

Pergeseran dari mitos ke logos kemudian melahirkan dua macam bentuk agama yakni, agama tradisional yang bersandar pada bentuk-bentuk kearifan lokal, kultural serta menonjol dalam sifat afektifnya, dan agama konvensional yang didasari dengan pemikiran konseptual yang  rasional  serta objektif. Agama yang tradisional, masih meyakini adanya makna moral maupun spiritual yang disampaikan lewat mitos ataupun cerita-cerita rakyat. Sedangkan agama konvensional lebih tampak dalam  konsep-konsep  teologis dalam bentuk doktrin, dogma ataupun ajaran, yang disepakati oleh pengikutnya sebagai kebenaran yang diwahyukan oleh yang ilahi. Agama tradisional tampak dalam kesalehan-kesalehan rakyat atau kebatinan yang mungkin tidak memiliki satu sistem teologi yang rasional dan masuk akal, bahkan cenderung tampak bersifat irasional. Dalam perkembangan selanjutnya, justru agama konvensional yang seolah-olah menjadi agama kultural. Agama konvensional dianggap agama yang mungkin paling dapat



4 Descartes dijuluki sebagai bapak filsafat modern. Filsafat modern tampak dalam karakter yang disebut oleh Descartes sebagai Clara et Distincta. Ungkapan tersebut menunjuk pada makna bahwa realitas bisa dijelaskan secara jelas, lugas, dan bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain oleh kesadaran akal budi atau pikiran manusia. Maka, kebenaran bagi Descartes adalah cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Dengan demikian, zaman modern itu ditandai oleh kebangkitan akal budi manusia sebagai subjek yang berpikir. (Lih. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 34-42.



mewujudkan kerinduan dasar manusia akan yang ilahi dengan paham teologis yang sistematis, rasional dan masuk akal. Beberapa agama sesungguhnya mencoba untuk mengembangkan sayap dengan ini. Konsekuensinya, paham agama sebagai pengalaman langsung dengan realitas yang ilahi bergeser menjadi sekadar bagaimana membangun konsep telogis agama yang tersirat dalam dogma maupun doktrin serta keyakinan nilai-nilai moral dan spiritual yang diusung masing-masing agama.5

Dalam perkembangan selanjutnya, agama bergeser menjadi suatu sistem dengan nilai-nilai yang diyakini sebagai benar. Misi dan visi berkembang dan agama berikhtiar untuk menyebarluaskan  nilai-nilai tersebut dengan tujuan agar semakin banyak manusia yang mengimani nilai-nilai tersebut dan diselamatkan. Dengan kata lain, agama sebagai sebuah sistem yang mempunyai visi dan  misi  hendak  mewujudnyatakan visi misi tersebut ke berbagai belahan dunia. Maka, tujuannya menjadi mengarah pada produktivitas yang tampak dalam kuantitas pengikut yang meyakini ajaran-ajaran agama tersebut. Agama sebagai sistem organisasi yang baik dan terorganisir membutuhkan struktur  organisatoris  yang tampak dalam kepemimpinan dan hirarki dalam organisasi agama.6 Oleh karenanya dalam hal ini agama menjadi suatu lembaga institusional yang menawarkan nilainya masing-masing dan mewartakan keselamatan.


Kekerasan: Konsekuensi Pergeseran Makna Agama?

Agama megalami pergeseran dari yang sifatnya tradisional menjadi konvensional dan instutisional, dari yang personal kemudian berkehendak menjadi yang universal, serta dari yang tadinya bersumber dari kerangka


5 Bdk. Dennis Ford, The Search for Meaning: A Short History (Los Angeles: University of California Press, 2007), xxi.

6 Bdk. Brian Morris, Religion and Anthropology: A Critical Introduction (London: Cambridge University Press, 2006), 1.



pola pikir mitos kini dibangun dalam kerangka logos. Dalam perubahan paradigma mengenai agama, ada tiga hal yang menopang makna baru tentang agama yang sadar atau tidak sadar sesungguhnya rawan akan  konflik. Yang pertama, agama sebagai institusi  tentunya  mempunyai struktur hirarki dengan mengusung nilai-nilai hakiki yang dianggap benar serta institusi agama juga mempunyai visi misi. Visi dan misi ini biasanya bersumber dari ajaran teologis dogmatis yang sudah dirumuskan secara sistematis. Nilai-nilai yang diusung agama menjadi ideologi biasanya bersumber dari penafsiran teks-teks kitab suci. Dengan nilai-nilai yang hendak diwartakan serta ideologi yang dipegang agama dapat menjadi sumber benih-benih konflik, karena tidak semua manusia bisa menerima begitu saja ideologi agama tertentu. Dalam hal ini agama dengan fungsi ideologisnya bisa berbenturan dengan ideologi lainnya. Ideologi mengandung klaim bahwa ideologi tersebut yang paling benar dan tak bisa salah. Meminjam pemikiran Edward Schillebeeckx yang berpendapat bahwa klaim yang mengatakan bahwa nilai-nilai dan ideologi satu agama adalah yang paling benar serta menjadi jaminan langsung terwujudnya kesejahteraan masyarakat sosial adalah salah satu pemicu kekerasan dalam agama.7 Monopoli akan hakikat yang ilahi dalam ideologi dan konsep- konsep telogis agama mengandung pernyataan bahwa  kebenaran  agama  lain adalah salah. Dari sinilah konflik yang mengarah pada kekerasan bertumbuh, dipupuk dengan sifat eksklusivisme dan arogansinya sehingga berkehendak untuk menyerang mereka yang dianggap sesat. Dengan ideologinya, agama yakin bahwa ideologinyalah satu-satunya yang


7 Edward Schillebeeckx berbicara tentang hubungan antar agama dalam kaitannya dengan kekerasan yang cenderung muncul dari agama. Schillebeeckx memaparkan beberapa alasan yang menyebabkan munculnya kekearasan atas nama agama. Antara lain, yang pertama karena adanya klaim kebenaran, yang kedua, karena jaminan kesejahteraan bahkan keselamatan yang diberikan agama, yang ketiga, kekerasan agama karena penyalahgunaan ideologi. (Lih. Edward Schillebeeckx, Menschen. Die Geschichte on God (Freirberg: Herder, 1990), 206-219.



mengusung kebenaran dan mampu membawa manusia sampai pada keselamatan, walaupun dengan kekerasan. Pertanyaannya, apakah keselamatan mengandaikan kekerasan? Dalam fungsi agama  sebagai institusi yang mempunyai ideologi, visi misi untuk mewartakan nilai-nilai dan keselamatan rupanya rentan akan kekerasan.

Yang kedua, agama juga menjadi identitas bagi mereka yang memeluknya. Agama sebagai identitas dapat diartikan sebagai milik pribadi atau kelompok tertentu. Identitas ini menjadi status diri dan juga menjadi cara bertindak seseorang. Identitas yang diberikan oleh agama juga menjadi simbol harga diri dan martabat manusia. Di balik agama sebagai identitas tersebut menyimpan ideologi dan kebenaran sendiri  yang  tentunya  dianggap paling benar. Oleh karenanya, ketika identitas itu diusik, maka  akan melahirkan reaksi yang menjurus pada kekerasan. Identitas mengandung perbedaan dengan identitas lainnya. Herman Haring menegaskan bahwa kekerasan dalam agama cenderung sering  muncul  ketika identitas agama tersebut dikucilkan dan dilecehkan.8 Maka, ketika identitas tidak dihormati dan dilecehkan, ini sama dengan  menyelimuti  singa yang sedang tidur.

Ketiga, dalam perkembangannya kemudian, agama menjadi acuan moralitas dengan nilai-nilai yang sudah dikonsepkan. Maka, nilai-nilai tersebut menjadi legitimasi etis atau landasan relasi manusia dengan  manusia lainnya. Agama dengan visi-misi dan ideologinya berkehendak untuk melandasi hubungan sosial masyarakat baik dalam sistem sosial, politik, ekonomi bahkan kebudayaan. Sehingga tidak jarang unsur-unsur politik, ekonomi, sosial dan budaya dilandasi dengan nilai-nilai agama tertentu. Berpolitik dengan membawa ayat-ayat kitab suci, sistem perdagangan yang mengusung nilai agama tertentu atau pertunjukan

8 Wim Beuken and Karl-Josef Kuschel (Ed.), Religion as A Source of Violence (London: SCM Press, 1997), 81.



kebudayaan dengan latar agama tertentu.9 Dalam hal ini, nilai-nilai agama yang merasa paling benar dan biasanya menyebut diri sebagai mayoritas, berkehendak mau melandasi segala gerak-gerik pribadi bahkan negara dengan klaim kebenaran agama. Faktanya tidak semua orang bisa menerima itu sehingga ketika nilai-nilai tersebut dipaksakan, sama artinya menunggu pecah konflik yang kerap diberengi kekerasan.

Agama tidak bisa menolak kenyataan ini, bahwa arogansi terhadap keindahan diri yang dianggap paling indah dan benar telah seolah-olah melegalkan kekerasan. Kekerasan juga dipicu oleh misi agama untuk menambah jumlah pengikut, karena kuantitas dianggap sebagai kebenaran, walaupun bisa jadi kuantitas belum tentu diikuti oleh kualitas. Agama cenderung jatuh ke dalam godaan untuk menjadikan nilai dan keyakinan agama tersebut menjadi nilai yang harus dipegang oleh banyak orang, kalau tidak mau, maka butuh sedikit pemaksaan atau kekerasan, baik kekerasan fisik, maupun kekerasan secara psikologis dan sosial. Hannah  Arendt  pernah mengingatkan bahwa “ada kecenderungan  manusia  untuk  mengubah dan menjadikan agama hanya sebagai ideologi saja, serta mengkhianati perjuangan untuk melawan totalitarisme dengan fanatisme, sementara kita tahu bahwa fanatisme adalah musuh bagi kebebasan”.10 Hal ini telah menjadi kenyataan dan telah sering terjadi. Sudah sering kita mendengar dan mungkin melihat secara langsung kekerasan  demi  kekerasan berlatar belakang agama.

Sebagian agama mengalami perubahan ini dan cenderung jatuh ke dalam bentuk-bentuk kekerasan demi membela kebenaran agama. Houtart pernah menulis dengan menderetkan berbagai macam contoh dan bentuk kekerasan yang terjadi dalam agama-agama. Dia mengatakan bahwa Hinduisme yang mengklaim diri sebagai aliran yang anti-kekerasan (ahimsa)

9 Ibid., 1-10.

10 Haryatmoko, “Menggugat Agama” Melintas No. 55 (2002), 9.



rupanya di dalam kitab sucinya Bhagavadgita ternyata juga mengijinkan pembunuhan dalam peperangan dan kekerasan dalam situasi tertentu. Demikian juga dalam Buddhisme yang juga berorientasi pada cinta  dan belas kasih rupanya juga tidak menolak kekerasan walaupun bukan menjadi tujuan. Begitu juga dengan Islam yang menekankan kedamaian dan cinta kasih serta menolak bentuk-bentuk ketidakadilan dan kekerasan, namun nyatanya juga cenderung terjerumus dalam bentuk-bentuk kekerasan. Kita juga mengenal Yudaisme yang berpegang pada Kitab Suci, dan kita tahu bahwa Allah selalu hadir dalam peperangan yang menunjukkan Allah  terlibat dalam bentuk-bentuk kekerasan. Sama halnya juga dengan kristianitas tidak lepas dari kekerasan. Perang Salib menjadi bukti adanya kekerasan demi kebenaran. Lebih konkrit lagi Houtart menulis beberapa contoh riil konflik antara agama yang terjadi. Misalnya konflik antara kaum fundamentalis Hindu dengan Islam di India, pembunuhan dan  kekerasan atas nama kebenaran agama di Algeria, bentuk-bentuk terorisme di Timur Tengah yang diklaim sebagai bentuk kesetiaan pada iman. Pembunuhan dan kekerasan yang terjadi di belahan Amerika Latin, konflik perbedaan agama antara Kroasia dan Slovenia, perang saudara antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara.11 Data ini menunjukkan bahwa pergeseran paradigma dalam agama rupanya mengandung konsekuensi kekerasan. Agama berikhtiar untuk menyelamatkan, memberi damai, memberi kesejahteraan, namun pertanyaannya, apakah tujuan menghalalkan segala cara?


Menghidupi Kembali Hakikat Agama

Pergeseran paradigma yang terjadi dalam perkembangan agama tentunya mengandung konsekuensi. Agama yang berubah wujud menjadi suatu sistem struktural yang dijaga oleh nilai-nilai moral-spiritual yang


11 Wim Beuken and Karl-Josef Kuschel (Ed), Religion as a Source of Violence, Op. Cit., 1-10.



diyakini sabagi benar, ternyata tidak jarang justru menjadi bumerang bagi sebagian orang. Agama yang tadinya dianggap sebagai sumber kedamaian dan menawarkan keselamatan, rupanya terjatuh dalam bentuk-bentuk kekerasan baik secara fisik, psikologis maupun sosial. Situasi ini membuat sebagian orang muak dengan keberadaan agama instutisional yang ternyata alih-alih menjadi sumber perdamaian justru menjadi sumber kekerasan.  Oleh karenanya, tidak sedikit orang yang mulai meragukan serta menolak agama dan bahkan berpuncak dalam bentuk penolakan terhadap eksistensi Tuhan.

Walau demikian, manusia tetap mempunyai kerinduan akan yang ilahi dalam dirinya. Manusia senantiasa membutuhkan kedekatan kepada yang ilahi seperti yang ditawarkan oleh agama, hal ini didasari oleh karena sejatinya manusia adalah homo religiouso.12 Dalam situasi keterpurukan agama institusional, usaha manusia untuk tetap mengisi kerinduan tersebut akhirnya cenderung dicari dalam bentuk-bentuk agama alternatif. Agama- agama alternatif muncul sebagai reaksi atas agama instutisional yang terpeleset dari tujuan hakikinya. Agama alternatif mempunyai banyak bentuk seperti aliran-aliran kebatinan, spiritisisme, saintisme dan sebagainya. Dalam perjalanan waktu, ternyata agama alternatif dianggap kurang mampu memenuhi kebutuhan fundamental manusia sebagai makhluk rohani. Agama alternatif yang sifatnya mudah muncul dan tenggelam dicurigai hadir dengan motif-motif tertentu. Lalu ke manakah manusia harus mencari kerinduan akan yang ilahi? Manusia tetap mempunyai hasrat dan kerinduan akan yang ilahi. Agama sesungguhnya telah membuka jalan untuk itu. Namun, dengan segala kekurangan dan kelemahan, harus diterima bahwa agama ternyata dapat salah, agama bisa terpeleset dan jatuh serta melenceng dari tujuan hakikinya sebagai agama.

12 Karen Amstrong, A History of God: The 4000-Year of Judaism, Christianity and Islam (New York: Ballatine Books, 1993), xix.



Walaupun demikian, agama tidak perlu ditolak atau dikucilkan  dan dianggap tidak relevan lagi. Kehadiran agama juga memberikan banyak sumbangan bagi perkembangan manusia dan bangsa Indonesia. Yang terpenting adalah bagaimana kita harus mengajak agama untuk kembali kepada makna sejatinya.

Apa yang harus dilakukan oleh agama agar dapat melihat dan menghidupi kembali secara jernih dan murni tujuan hakikinya? Yang pertama, agama harus terbuka terhadap evaluasi  dan  berani  menerima kritik serta mengkritisi diri sendiri. Agama harus terus-menerus mengevaluasi ideologi dan nilai-nilai moral spiritual yang diusungnya. Agama sejatinya adalah medium untuk memenuhi hasrat religiusitas manusia, dan berfokus pada usaha untuk mendekatkan manusia atau pemeluknya dengan yang ilahi. Fokus ini harusnya mengatasi pembelaan mati-matian terhadap doktrin-doktrin atau Tuhan dalam konsep teologis agama. Bukan berarti bahwa rumusan teologis itu tidak perlu, namun selain itu, masih ada hal yang lebih penting sebagai tujuan agama yakni memfasilitasi perjumpaan antara manusia dengan yang ilahi. Agama harus berani mengkritisi ideologi dan visi misinya, apakah sudah menghantar manusia sungguh mengenal yang ilahi atau justru menjadi sumber yang memunculkan konflik. Setiap agama harusnya menyadari dan  mengajak para pemeluknya untuk tidak jatuh pada bentuk-bentuk fanatisme radikal. Untuk mengembalikan hakikat sejati agama sebagai sumber kedamaian, agama harus mampu mengantar manusia untuk  berjumpa  dengan  yang  ilahi dalam pengalaman religiusitasnya. Meminjam pemikiran Rudolf Otto, pengalaman perjumpaan akan yang ilahi itu adalah pengalaman akan yang kudus, di mana orang masuk ke dalam “mysterium tramendum et fascines”.13 Di dalam pegalaman perjumpaan akan yang kudus itu, manusia merasa


13 Rudolf Otto, The Idea of The Holy, terj. oleh J. W. Harvey (London: Penguin Books, 1923), 19.



kecil, merasa tak pantas, merasa takut, merasa tak berguna, merasa hanya seperti sebutir pasir di tepi laut. Sadar akan kekecilan itu, manusia diharapkan akan sampai pada sikap rendah hati karena menyadari dirinya bukanlah apa-apa di hadapan Allah yang Maha Besar.

Karl Marx, Nietzsche dan Feurbach adalah beberapa contoh dari  tokoh yang melontarkan kritik terhadap eksistensi agama. Bagi Marx, agama hanya candu yang menyembunyikan realitas kepedihan yang dialami manusia, sehingga manusia seakan-akan dininabobokkan  dengan  hal  itu dan tidak perlu kritis dengan situasi yang dihadapi saat ini. Nietzsche, berangkat dari pengamatannya atas kemerosotan moral kristiani,  mengatakan bahwa Allah telah mati, God is death. Feurbach mengatakan bahwa konsep Allah dalam diri manusia adalah proyeksi dari diri manusia  itu sendiri, itu berarti manusialah yang menciptakan Tuhan dalam dirinya.14 Kritik ini muncul atas pengalaman akan eksistensi agama yang dirasanya memuakkan. Agama seharusnya berani terbuka, merefleksikan dan mengevaluasi diri tidak perlu harus memunculkan sikap reaktif yang mengarah pada tindakan destruktif. Kritik ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang peduli terhadap eksistensi agama yang dirasa telah seolah-olah lari dari hakikat sejatinya. Mungkin saja kritik ini bersifat destruktif terhadap agama namun  harusnya  ditransformasi  menjadi otokritik yang membangun. Keterbukaan  dan  kemauan  untuk merefleksikan serta mengevaluasi diri atas kritik semacam ini tidak memunculkan sikap apologetik yang reaktif, sebaliknya menjadi jalan untuk mentransformasi diri sebagai jalan pemurnian dan pemahaman atas nilai- nilai keagamaan. Ideologi yang cenderung menyebabkan konflik menjadi bahan renungan agama saat ini. Evaluasi kritis terhadap ideologi, ajaran teologis tentang nilai kebenaran ilahi harusnya sampai pada penerimaan


14 Bdk. Fransz Dahler, Asal dan Tujuan Hidup Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1971), 32-3.



ideologi agama lain karena sadar akan keterbatasan konsep tentang yang ilahi yang tetap menjadi misteri. Makna sejati fanatisme dalam agama adalah ketika manusia sungguh-sungguh memahami apa yang dia yakini dan setia pada keyakinan itu sehingga ia tidak perlu merasa takut ketika harus bersentuhan dengan kebenaran dari agama lain. Maka ketika agama terbuka untuk mengkritisi diri sendiri, terbukalah jalan untuk sampai pada kesadaran dalam menerima pemahaman lain tentang Allah yang berbeda dari dirinya, sehingga Allah itu semakin kaya dalam keberagaman keyakinan.

Yang kedua, agama harus memurnikan kembali visi dan misi hakikinya. Agama sejatinya hadir dengan sifatnya yang meneduhkan diri manusia, mewartakan keselamatan dan kabar sukacita, membagikan perdamaian, membuka ruang maaf dan pengampunan serta mewujudkan sikap saling membantu. Selain itu, agama juga hadir sebagai pelepas dahaga manusia atas pertanyaan fundamental tentang asal dan tujuan manusia, tentang takdir dan makna kehidupan, tentang akhirat dan  hari  akhir,  tentang mengapa ada kejahatan dan tentang yang ilahi itu sendiri. Untuk memurnikan visi misi ini, ajaran akan yang ilahi tidak perlu diputarbalikkan menjadi ilusi-ilusi yang dilatarbelakangi motivasi-motivasi kepentingan dan keuntungan pribadi maupun kelompok. Ilusi-ilusi ini adalah ilusi yang menciptakan sikap eksklusivisme. Sikap eksklusivisme mengandung penolakan terhadap kelompok lainnya. Pembongkaran ilusi-ilusi dengan motivasi tertentu semacam ini sangat diperlukan agama saat ini. Tantangan agama saat ini adalah bagaimana menghantar manusia untuk sampai pada perjumpaan dengan Yang Kudus, bukan sebaliknya menghantar manusia untuk terjerembab dalam radikalisme ideologinya. Membongkar ilusi termasuk membongkar klaim kebenaran akan Allah yang seolah-olah mendiskriminasikan kebenaran yang lain tentang yang ilahi. Mengutip apa



yang dikatakan Karl Rahner, Allah adalah tetap misteri absolut,15 maka tidak ada konsep yang sungguh-sungguh mampu menjelaskan Allah secara ontologis. Dengan mau membongkar ilusi dan motivasi terselubung di balik ideologi, agama semakin terhindar terhadap penyalahgunaan ajaran. Ajaran agama dengan cara ini diterima bukan karena paksaan melainkan dengan kebebasan.

Yang ketiga adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi mengandaikan adanya dua sikap dasar yakni penerimaan (acceptance) dan memaafkan (forgiveness). Rekonsiliasi ini bertolak ke tiga arah yakni, rekonsiliasi dengan Tuhan, rekonsiliasi dengan diri, dan rekonsiliasi dengan yang lain. Pertama-tama, agama harus berekonsiliasi dengan Tuhan, berdamai dengan Tuhan dalam arti bahwa agama menyadari bahwa ternyata eksistensinya banyak mengalami kemelencengan dari apa yang seharusnya. Aspek ini membutuhkan sikap kesadaran diri akan kesalahan dan perasaan berdosa di hadapan Allah. Dengan kesadaran tersebut, maka muncul harapan untuk mewujudkan eksistensi yang lebih utuh dan otentik lagi sebagai  agama. Yang kedua, agama hendaknya berekonsiliasi dengan diri sendiri, dalam arti ini, agama diajak untuk memurnikan kembali segala tujuannya  sesuai dengan hakikatnya. Berdamai dengan diri sendiri dalam arti ini, menghapus segala bentuk-bentuk motivasi terselubung (hidden agenda) yang ada dalam setiap agama demi kepentingan tertentu. Motivasi-motivasi terselubung tersebut, hanya berpotensi untuk menjadikan diri sebagai kelompok yang eksklusif. Berdamai dalam arti ini juga ditempatkan dalam kerangka menyucikan ideologi atau dengan kata lain menjadikan kembali ideologi, ajaran dan nilai-nilai tersebut sebagai yang suci dan dapat memberikan partisipasi positif bagi kebaikan bersama (bonum commune). Yang terkahir, tentu juga penting adalah berekonsiliasi dengan mereka yang tersakiti dan


15 Karen Kilby, Karl Rahner (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 14.



menderita karena eksistensi agama. Hendaknya agama membuka diri untuk bertanggung jawab atas segala kerugian dari bentuk-bentuk kekerasan yang membuat banyak pihak kecewa. Bertanggung jawab berarti bukan hanya menanggung segala kerugian yang telah disebabkan oleh agama. Tanggung jawab mempunyai arti pertobatan. Artinya dalam pertanggungjawaban tersebut, agama mempunyai harapan untuk tidak terpeleset kembali dalam bentuk-bentuk kekerasan, dan mengutamakan aksi sosoial sebagai bentuk nyata pertobatan. Pertobatan juga mencakup pembangunan relasi yang baik dengan mereka yang sudah dikecewakan atau dilukai oleh eksistensi agama. Emile Durkheim mengatakan bahwa dari sekian banyak definisi tentang agama, namun ada karakter yang pasti melekat dalam agama sebagai agama yakni the characteristic of the supernatural dan the idea of divinity.16 Kedua karakter ini, menunjukkan bahwa agama adalah tempat orang mencari kerinduan akan yang ilahi. Agama dalam hal ini adalah rumah pendidikan kebijaksanaan yang bersumber dari yang ilahi. Agama adalah pabrik manusia-manusia bijaksana yang percaya kepada  realitas yang ilahi, menyadari diri kecil di hadapan yang ilahi, serta merasa bahwa dirinya bukanlah apa-apa di hadapan yang ilahi. Maka untuk  kembali kepada posisi itu, agama harus duduk kembali dalam wilayah adikodarti, kesucian, dan dunia ilahi yang sudah menjadi bagiannya. Agama seharusnya adalah wakil dan menjadi personifikasi kerajaan yang ilahi di dunia ini yang berusaha mewujudkan kesejahteraan manusia, keselamatan manusia, kedamaian dunia, menjawab persoalan fundamental manusia, bukan sebaliknya. Semua tujuan dan eksistensi agama itu sesungguhnya mempunyai tujuan baik, hanya saja cukup sering dibumbui dengan hal-hal tidak penting yang justru membuat citarasa agama itu menjadi tidak senikmat seharusnya. Tawaran bagi agama untuk kembali pada hakikat

16 Peter Hamilton (Ed.), Emile Durkheim, Critical Assessment: Volume V (London: Routledge, 1995), 85.



sejatinya saat ini adalah dengan menghidupi dirinya sebagai tempat perjumpaan manusia dengan yang ilahi dan menjadi sumber inspirasi untuk menghadapi dunia sekuler. Dengan itu, agama dengan aktivitasnya yang khas memberikan landasan visi misi dan evaluasi terhadap permasalahan dunia baik dalam tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, sebagai sumber kebijaksanaan ilahi, agama berperan sebagai penerang jalan aktivitas dunia yang tidak jarang dipenuhi dosa. Itulah sejatinya agama sebagai penerang yang bersumber dari yang ilahi untuk dunia yang membutuhkan penerangan.


Pembangunan Indonesia: Wujud Pertobatan Religius

Agama mempunyai banyak peran dalam sendi-sendi kehidupan manusia dan berkembang menjadi pembimbing negara Indonesia untuk maju, berkembang, berprestasi. Dan yang utama adalah menjadikan manusia sungguh-sungguh manusia yang mengalami kedamaian, kesejahteraan, kebebasan dalam haknya sebagai manusia dan warga negara. Salah satu identitas Indonesia tampak dalam bentuk negara yang berketuhanan. Pembangunan dan perkembangan bangsa ini tidak lepas dari peran agama yang membimbing dan menempatkan kebenaran dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya dalam rel yang benar demi menjunjung tinggi kemanusiaan. Di balik prestasi tersebut, harus diakui bahwa ternyata agama bisa melenceng dari hakikatnya yang sejati sebagai penerang perjalanan dinamika bangsa ini. Harus diakui bahwa agama tidak lepas dari kesalahan. Agama adalah institusi yang menawarkan nilai-nilai ilahi yang dipenggawai oleh manusia, oleh karenanya, manusia yang juga mempunyai kelemahan, terkadang dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa menjadikan institusi agama tidak lepas dari salah dan dapat kehilangan jati diri yang sejati.



Agama yang bertransformasi dari mitos menuju logos, dari agama tradisional menjadi agama konvensional dengan bentuk lembaga institusional serta konsep-konsep nilai-nilai yang rasional mengandung godaan yang membuat agama terpeleset dari tugas hakikinya. Agama terjatuh karena mereduksi kekayaan akan pengalaman perjumpaan dengan yang ilahi kedalam bentuk rasionalitas, konsep-konsep teologis dan nilai- nilai ideologis. Agama bukan hanya perkara rasionalitas ajaran dan yang harus dipaksakan, agama bukan hanya  masalah  intelektualitas  dalam bidang keagamaan, agama adalah tempat manusia belajar mencintai Allah dan manusia. Akhirnya agama jatuh dan terpuruk serta tidak  sedikit  manusia yang menyebut diri sebagai manusia sekuler menolak agama dan bahkan menolak Allah dalam dinamika kehidupan mereka. Ke manakah agama harus melangkah? Bagiamanakah agama harus melangkah di tengah kemuakan manusia akan keterpurukan agama, di tengah situasi Indonesia yang dikungkungi dosa, di tengah keputusasaan manusia atas pencariannya akan yang ilahi?

Agama harus kembali ke hakikatnya sebagai agama.  Untuk kembali ke hakikatnya, agama membutuhkan pertobatan. Pertobatan berarti bahwa agama menyadari keterjatuhannya. Dari keterjatuhan itu, agama  diajak untuk kembali ke hadapan yang ilahi,  berlutut,  merunduk,  menyembah. Dan yang terpenting adalah mendengarkan yang ilahi berbicara, bukan  hanya berbicara dan terlalu cerewet tentang yang ilahi yang sudah dikonsepkan dalam bentuk doktrin-doktrin kepada banyak orang yang jutru cenderung berujung kepada pelecehan martabat manusia. Tantangan dalam agama saat ini adalah beranikah agama mengoreksi diri, merefleksikan diri, menyadari keterjatuhan dan membangun visi misi baru yang lebih membela kemanusiaan dan kebaikan bangsa ini. Pertobatan membutuhkan keterbukaan diri dan membangun niat baru untuk memberikan sumbangsih yang berarti bagi kemanusiaan dan pembangunan bangsa Indonesia.



Pertobatan menjadi dasar untuk  memberikan  partisipasi  yang berguna bagi kemanusiaan dan bangsa ini. Pertobatan mengarahkan agama sampai pada kesadaran bahwa agama bukan hanya masalah rasionalitas ajaran, kebenaran ajaran dan ideologi, singkatnya agama bukan hanya masalah logos atau mitos. Agama harus menyadari kembali kepada pemahaman bahwa eksistensi agama bukan hanya tampak dalam institusi yang menjala banyak pengikut. Agama juga dihidupi dalam kerangka etika- moralitas dan rasa empati-simpati yang memperjuangkan kemanusiaan. Agama mungkin akan hilang perlahan atau cenderung kurang diminati apabila ia kehilangan nilai moralitasnya. Agama mempunyai tugas untuk menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan seraya menjunjung tinggi moralitas. Aspek ini sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan pembangunan Indonesia saat ini. Agama hendaknya lebih memprioritaskan pewartaan akan kebenaran, keadilan dan moralitas daripada mewartakan Allah dalam bentuk-bentuk doktrin, apalagi dengan memaksa masyarakat untuk mengikuti ajarannya tentang Allah.

Negara kita tercinta Indonesia saat ini ditandai  keterpurukan moralitas, kebenaran dan keadilan. Keterpurukan ini tampak dalam wilayah politik dan pemerintahan dan berbagai lapisan masyarakat. Sungguh ironi bahwa begitu banyak pejabat yang terlibat korupsi, adalah penganut agama, atau sebaliknya agama dijadikan modal utama atau alat  untuk  berpolitik agar mendapat jabatan demi kepentingan pribadi. Dalam bidang ekonomi juga tampak kecenderungan ketidakadilan yang dilandasi sikap kapitalisme radikal, meraup untung sebesar-besarnya dan tidak terlalu berbicara banyak tentang kesejahteraan manusia lainnya (bonum commune). Kita juga sering mendengarkan tindakan pembunuhan, tindakan asusila, kekerasan, pemerkosaan, perampokan yang membuat tidak sedikit rakyat Indonesia menderita. Bagaimana mungkin negara Indonesia ini dapat berkembang dalam pembangunan apabila kehilangan sikap keadilan, kebenaran dan dan kehilangan sikap dalam menjunjung tinggi moralitas? Maka dari itu,



pembangunan yang utama bukan hanya pembangunan secara fisik, yang tampak nyata namun palsu, melainkan pembangunan spiritual yakni menanamkan sikap keadilan, kebenaran dan moralitas dalam diri masyarakat sebagai jati dirinya. Inilah sesungguhnya tugas agama. Agama adalah institusi yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan moralitas yang dengan itu agama dapat membimbing bangsa ini menjadi bangsa yang berkembang dengan rakyat yang mengalami kesejahteraan dan kedamaian.

Selain itu, agama sebagai media perjumpaan manusia dengan yang ilahi dan mendengarkan yang ilahi bertujuan untuk membentuk  diri  manusia sebagai pribadi yang mempunyai sikap empati dan simpati. Oleh karena itu, dalam dan melalui agama, manusia dididik untuk mau terlibat  dan bersimpati terhadap penderitaan dan kesakitan yang dialami oleh orang lain. Dalam hal ini, agama diajak kembali untuk menjadi institusi yang peduli dalam menjaga dan membela martabat manusia tanpa pilih kasih berdasarkan etnis tertentu, kelompok tertentu ataupun  karena  agama tertentu yang berbeda keyakinan. Membela kemanusiaan berarti membela mereka yang ditindas oleh karena kekuasaan yang diselewengkan.

Membela mereka yang miskin dan yang tersisihkan. Inilah tugas agama. Pembangunan Indonesia mengalami keterlambatan oleh karena kecenderungan sikap egoisme manusia yang tidak mau peduli terhadap  orang lain apalagi yang berbeda dengannya. Pembangunan Indonesia tidak dimaksudkan untuk kelompok tertentu, etnis tertentu  apalagi  agama tertentu. Indonesia adalah negara yang berketuhanan seperti yang termuat dalam sila yang pertama, dan di dalam sila tersebut hanya disebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di dalam sila tersebut dan di dalam sila selanjutnya, tidak dijelaskan Tuhan yang seperti apa, apakah Tuhan yang disalib, atau Tuhan dalam agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan juga tidak dijelaskan Tuhan dalam etnis tertentu. Oleh karena itu, agama diajak untuk kembali menjadi pembela kemanusiaan lepas dari perbedaan yang  ada. Pembangunan Indonesia adalah bagi seluruh rakyat Indonesia yang



memeluk agamanya masing-masing. Maka, agama berperan dalam pembangunan Indonesia ketika dia berani menyatakan diri dan bertindak sebagai pembela kemanusiaan tanpa pandang bulu.

Pertobatan religius khususnya di dalam diri agama bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa agama yang saya peluk dihidupi di Indonesia yang mengakui pluralitas agama. Tema mengenai  pluralitas agama menjadi tema yang sangat diharapkan dapat menjadi nyata di dalam aplikasi kehidupan umat beragama. Pluralitas  mengandaikan  kesadaran akan keberagaman agama. Keberagaman itu sangat membutuhkan penghormatan dan penghargaan. Kehilangan akan rasa penghormatan terhadap agama lain, sering kali cenderung menjadi benih kekerasan. Indonesia adalah negara yang cenderung sensitif dengan masalah ini.  Banyak persoalan yang dapat dijadikan contoh, baik bentuk-bentuk pembakaran gereja dan masjid di Tolikara, Papua, pengusiran umat Ahmadiyah di Bangka17 dan masih banyak bentuk-bentuk persoalan lainnya. Konflik agama sangat mudah diprovokasi dan menjadi masalah serius bagi Indonesia. Bentuk-bentuk radikalisme yang menegasi kehadiran agama lain cukup sering muncul di tengah kehidupan bangsa Indonesia.  Oleh karenanya, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus  diselesaikan  bukan hanya oleh pemerintah melainkan juga yang utama adalah agama- agama yang hidup di Indonesia ini.

Hans Kung karena keprihatinannya akan masalah konflik agama membuat suatu proyek yang di sebut “Projekt Welthethos”. Proyek ini bertujuan untuk memberikan inspirasi dalam usaha menciptakan perdamaian di antara pluralitas agama. Hans Kung menjelaskan dan menegaskan bahwa di dalam agama-agama sesungguhnya ada kesamaan yang fundamental. Kesamaan fundamental inilah yang harusnya menjadi


17 Lih. Majalah Tempo Edisi 05 Februari 2016.



tempat berpijak agama-agama untuk menghidupi agama  di  tengah  pluralitas agama. Hanya saja hal ini jarang sekali dilihat dan disadari oleh agama-agama.18 Pluralitas agama di Indonesia sesungguhnya adalah kekuatan Indonesia untuk menciptakan pembangunan yang  menyejahterakan rakyat Indonesia. Pertobatan religius baik secara personal maupun komunal menjadi penting agar agama tidak lagi menjadi  sosok yang arogan yang memangsa agama lain. Agama menciptakan perdamaian dan menyumbang bagi pembangunan Indonesia dan berpartisipasi dalam kemanusiaan ketika ia memberikan penghargaan dan penghormatan  terhadap agama lain.

Di sini kembali ditegaskan, bahwa untuk sampai kepada hal tersebut, agama harus terbuka dan berani mengkritisi diri serta mengubah cara pandang kebenaran yang dipegang tentang konsep Allah. Pluralitas agama harus diterima setiap agama. Agama hendaknya berlomba untuk berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia dan kemanusiaan, bukan berlomba untuk memperbanyak pemeluk agama sendiri. Ketika agama- agama saling menerima keberagaman, ini langkah kebangkitan yang besar bagi perkembangan Indonesia. Pluralitas diterima tidak hanya karena realitas, penerimaan pluralitas di bentuk dalam pemahaman bahwa Tuhan akan lebih kaya di dalam keberagaman itu. Perang dan konflik dengan latar agama tidak memberikan keuntungan di bumi, dan mungkin juga di surga. Penerimaan dan penghormatan adalah benih kebersatuan di dalam keberagaman. Ketika benih itu berkembang menjadi kesatuan, di situlah agama-agama di Indonesia bisa saling berpartisipasi untuk memikirkan pembangunan mental manusia Indonesia, pembangunan pendidikan Indonesia, kemajuan ekonomi, kemajuan politik dan pembangunan  Indonesia bagi kesajahteraan, kerukunan, kedamaian dan keselamatan

18 Bdk. Leo Samosir, Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks

(Jakarta: Obor, 2010), 125.



seluruh rakyat Indonesia. Itulah peran agama. Maka agama tidak perlu ditolak. Yang perlu adalah menjadi orang yang beragama, bukan orang yang diagamakan.