Monday, May 6, 2024

Hukum, Peta Keadilan











Hukum di negeri ini masih jauh dari keadilan. 


Hukum hanya galak kepada mereka yang miskin dan tak punya kekuasaan, itulah yang kini terpampang dalam berbagai media massa yang melaporkan ketidak sesuaian hukum dengan keadilan. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika meninjau Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Anak Pria, Tangerang Banten, Selasa (16/2/2010) mengakui bahwa rasa keadilan kerap terusik dalam praktik penegakkan hukum karena disamaratakannya hukuman atas tindak pidana tertentu, seperti pencurian yang dilakukan orang dewasa dan anak-anak. Demikian pula ketika pencurian dilakukan karena seseorang amat sangat miskin dan seseorang yang sebenarnya tidak berkekurangan. 

Kejadian terkini tentang hukum yang tidak sesuai dengan keadilan itu menimpa Aspuri, seorang pemuda berusia 18 tahun yang tak pernah menyangka akibat memungut sehelai kaus bekas yang kotor di pagar rumah Dewi di kampung Sisipan, Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, Oktober 2009, di vonis bersalah dengan hukuman penjara 3 bulam 5 hari. Di pengadilan Batang empat pencuri randu senilai Rp. 12.000,- diganjar hukuman 24 hari. Kholil (41) dan Basar (40) warga lingkungan Bujel, Kelurahan Sukorame keduanya dibawa kemeja hijau karena mencuri 1 buah semangka. 

Seorang nenek berumur 55 tahun dituntut jaksa hukuman 6 bulan atas tuduhan mencuri 3 biji kakao yang sudah jatuh ke tanah milik PT Rumpun Sari Antan IV (RSA) di Banyumas , Jawa tengah. Meskipun akhirnya Hakim menjatuhkan hukuman 1 bulan 15 hari kepada si nenek, tanpa harus menjalani kurungan penjara. 

Nasib malang juga menimpa seorang anak berusia 8 tahun yang diajukan ke pengadilan oleh polisi yang berpangkat Komisaris (Kompol) lantaran karena lebah yang dipegangnya menyengat pipi teman bermainnya yang adalah anak pejabat, kejadian ini menambah daftar panjang kinerja buruk Polisi di lapangan. 

Ironisnya, fakta-fakta hukum yang tidak sesuai dengan keadilan itu seperti fenomena gunung es, yang terkuak hanya sejumlah kecil kasus, dan sebagian besar kasus tentang ketidakadilan hukum itu tidak pernah terkuak, apalagi menjadi berita pada media-media massa. Ini jelas merupakan ancaman bagi tegaknya supremasi hukum di negeri ini. 


Peta keadilan 

Hukum yang ber-keadilan harusnya menempatkan semua orang sama dihadapan hukum (equal for all). Hukum harus keras bukan hanya untuk mereka yang miskin dan lemah, tetapi juga kepada mereka yang kaya dan kuat. 

Hukum yang tegas pada semua orang ini bukan hanya menguntungkan mereka yang lemah, tetapi juga menguntungkan semua pihak termasuk mereka yang kuat. Hukum yang tegas akan menguntungkan yang kuat karena itu akan menolong yang kuat untuk berhati-hati dalam mengambil tindakan, ini akan menolong yang kuat terhindar dari sikap sewenang-wenang, dengan mengabaikan mereka yang lemah. 

Hukum sesungguhnya ibarat peta yang dapat membawa semua orang menuju kehidupan yang adil bagi semua. Terciptanya suatu komunitas beradab dari manusia yang beradab. Hukum adalah peta keadilan, melalui hukum semua orang dapat melihat manakah tindakan yang sesuai dengan asas keadilan dan mana yang tidak sesuai dengan asas keadilan. 

Sayangnya, argumen kepastian hukum itu sering kali disalah gunakan oleh mereka yang kuat, akibatnya hukum tidak selaras dengan nilai-nilai keadilan, hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang kuat untuk memaksakan kehendaknya, hukum hanya tajam bagi mereka yang lemah, sebagaimana terlihat pada pengadilan yang mempertontonkan ketidak adilan pada akhir-akhir ini. 

Hukum di Indonesia ternyata bukannya menjadi peta yang menunjukkan bagaimana membangun kehidupan masyarakat yang adil untuk semua, sebaliknya malahan menjadi kendaraan kepentingan bagi yang kuat, hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, itulah sebabnya hukum tidak bisa keras untuk semua, hukum menjadi tumpul bagi mereka yang kuat, dan amat tajam bagi mereka yang lemah. 

Implementasi hukum di Indonesia sesungguhnya membenarkan apa yang dikatakan oleh Trasymachus, “Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” Hukum adalah kendaraan untuk kepentingan-kepentingan yang kuat. Jika yang adil disamakan dengan yang legal, maka sumber keadilan adalah kehendak pembuat hukum. 

Parahnya, kehendak pembuat hukum tidak selalu sesui dengan keadilan, itulah sebabnya banyak ketidakadilan dipertontonkan dimuka pengadilan ketika yang adil itu disamakan dengan yang legal. Realitas hukum yang seperti itu sama saja dengan membenarkan apa yang dipromosikan Machiavelli dalam The Prince yang menolak mendasarkan politik atas hak dan hukum yang menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksakannya. 

Hukum di Indonesia tampaknya telah dikuasai semangat Machiavelli yang menjadikan hukum tidak lain kecuali alat legitimasi kekuasaan, bahkan menjadikan hukum sebagai alat pembenaran kekerasan. Pemerintahan yang kuat Untuk menegakkan hukum diperlukan penguasa yang kuat, meminjam istilah Thommas Hobbes, Perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong (Leviathan XVIII) Untuk penegakkan hukum diperlukan pemerintahan yang kuat untuk dapat memaksakan hukum bagi semua, baik untuk mereka yang lemah dan mereka yang kuat. 

Namun, tetap saja hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan pemerintahan yang kuat karena itu sama saja mengabaikan tujuan pokok hukum yang pada dasarnya adalah mencari keadilan, kesejahteraan umum, perlindungan individu dan solidaritas. Kita tentu setuju bahwa manusia diciptakan oleh yang maha kuasa, dan yang maha adil, lantaran itulah sewajarnya seluruh tatanan dunia ini mempertunjukan keadilan sang pencipta. Keadilan semestinya mengalir dari sang pencipta kepada semua ciptaan, dan semua manusia dituntut untuk melaksanakan keadilan. 

Pada sisi yang lain kita tentu juga tahu bahwa keadilan menjadi kebutuhan setiap manusia. Maka dengan demikian jelaslah penegakkan keadilan sejalan dengan kebutuhan bersama semua manusia, karena semua ciptaan membutuhkan hukum yang sejalan dengan keadilan untuk tetap eksis. Jadi, suatu pemerintahan yang kuat merupakan hamba rakyat dalam menegakkan keadilan yang menjadi tuntutan rakyat. Pemerintahan yang kuat juga dibutuhkan untuk maksimalisai fungsi hukum sebagai peta keadilan, bukannya kendaraan kepentingan yang kuat. 

Dr. Binsar A. Hutabarat 

Saturday, March 9, 2024

Potret Kelam Anak Indonesia



 Menurut laporan  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jumlah anak Indonesia yang terlantar saat ini adalah 5.400.000, dan anak-anak yang dipekerjakan 1.760.000. Sekitar 6000 anak berada dalam penjara, 104.497 menjadi anak jalanan. Anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS berjumlah 640.000, sedang anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual berjumlah 55.000 anak, 100.000 anak telah menjadi korban perdagangan anak. Penderitaan anak-anak itu masih ditambah lagi korban tindak kekerasan 2.810.000, korban napza 12.305 anak. Itulah potret kelam anak-anak Indonesia saat ini. Malangnya dari tahun ke tahun penderitaan anak Indonesia itu terus meningkat.

Anak Anak, Saudara Kandung, Saudara
Maraknya penganiayaan, bahkan pembunuhan anak-anak oleh orang tua kandung mereka sendiri semakin meneguhkan bahwa anak-anak Indonesia masih sulit mendapatkan tempat berlindung yang aman, meskipun berada di rumah orang tua mereka sendiri. Bahkan, dengan alasan kemiskinan, orang tua mereka ada yang tega menjual dan menjadikan mereka pemuas nafsu seks mereka yang menjadi budak seks. Maraknya penculikan anak yang disinyalir terkait dengan mafia perdagangan manusia masih menjadi ancaman bagi anak-anak Indonesia.
World Vision melaporkan bahwa kekerasan anak di Indonesia terus meningkat bukan hanya dari segi kuantitas yang bertambah, melainkan juga kualitas. Tahun 2008 terdapat 1.626 kasus, pada tahun 2009 naik menjadi 1.891 kasus. Ini juga diteguhkan oleh laporan Komnas perlindungan anak, tahun 2008 terdapat 1726 laporan, dan tahun 2009 sebanyak 1.998 kasus. Jumlah tersebut bertambah setiap tahunnya. Jika tidak ada tindakan sistematis dari pemerintah untuk menanggulanginya, anak-anak Indonesia akan sulit untuk meraih masa depan mereka.
Secara hukum anak-anak Indonesia memang telah mendapatkan perlindungan yang memadai. Sebut saja Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 63-66, dan Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 88 (Bab XII mengenai Ketentuan Pidana), secara tegas memberikan ganjaran yang berat bagi siapapun mengeksploitasi anak baik secara ekonomi, maupun seksual, yakni pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 200 juta rupiah.
Apabila undang-undang tersebut diimplementasikan dengan baik, maka hari HAN yang diselenggarakan demikian meriah itu akan menjadi dorongan kuat bagai anak-anak Indonesia untuk berjuang meraih masa depan.
Masa depan bangsa
Bangsa Indonesia meyakini bahwa anak-anak merupakan investasi terbaik bagi sebuah kemajuan dan pembangunan. Keyakinan itu dicantumkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 tahun 1984 yang menetapkan setiap tanggal 23 Juli sebagai hari anak nasional. Keyakinan tersebut kemudian kembali diteguhkan dalam undang-undang perlindungan anak, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Anak-anak sebagai pemilik masa depan yang menjadi pilar penting bagi maju mundurnya sebuah bangsa menjadi kebenaran yang juga diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 20 November sebagai hari anak-anak sedunia. Setidaknya ada 150 negara di dunia  yang memperingati hari anak sedunia tersebut sebagai pengakuan pentingnya memberikan perhatian terhadap  anak-anak bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Bagi Indonesia yang mengakui bahwa pelanggaran HAM bisa dilakukan oleh pemerintah, individu dan masyarakat maka ini berarti bahwa perlindungan hak-hak anak menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Keluarga-keluarga Indonesia mestinya merenungkan apa yang dikatakan Driyarkara, “kandungan ibu hanya bisa dilanjutkan dengan kandungan keluarga.”Anak-anak Indonesia bisa belajar dengan baik untuk meraih masa depan mereka, dan itu menjadi jaminan bagi masa depan bangsa ini.

Binsar A. Hutabarat