Tuesday, March 16, 2021

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi




  Flower of the Month Club EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA

DI PERGURUAN TINGGI

 

Binsar Antoni Hutabarat

 

 

Abstrak: Artikel yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Penerapan Kerangka Kualifikasi nasional Indonesia (KKNI) di Perguruan Tinggi” ini fokus pada bagaimana penerapan KKNI telah dilaksanakan di perguruan tinggi. Sampai sejauh ini belum ada penelitian terkait evaluasi kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi. Penelitian ini dilakukan di tiga universitas di Jakarta dan Tangerang. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, pemberian kuesioner dan observasi dokumen, serta beragam sumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa  penerapan kebijakan KKNI dipengaruhi komponen Rumusan Kebijakan, Karakteristik Pelaksana,  Sikap Pelaksana, Aktivitas Implementasi yang memiliki hubungan linier terhadap hasil kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi. Tujuan kebijakan KKNI untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia melalui peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan.  

 

Kata kunci. Kebijakan publik, evaluasi kebijakan, kerangka kualifikasi nasional Indonesia.

 

 

Indonesia saat ini menghadapi berbagai persaingan global dalam bidang pendidikan tinggi seiring dengan bergulirnya globalisasi dalam segala bidang kehidupan. Pendidikan tinggi di Indonesia memasuki sebuah dekade baru setelah pemerintah Indonesia meratifikasi beberapa perjanjian dan komitmen global. Dalam konteks ASEAN, sejak tanggal 31 Desember 2015 adalah era dimulainya Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), mulai 1 januari 2016, bukan hanya barang yang dapat bergerak bebas diantara ke-10 negara anggota ASEAN, melainkan juga tenaga kerja, antara lain perawat, arsitek, dokter dan akuntan (Sailah,  2014)

Kondisi persaingan global dalam area pendidikan secara khusus direspon oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan meluncurkan sebuah kajian yang dituangkan dalam booklet tentang  Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang berisi tentang implikasi dan strategi implementasi KKNI (2010/2011), untuk menjawab tantangan pendidikan pada era global, yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) pada Tahun 2012. Petunjuk pelaksanaan kebijakan penerapan KKNI di tuangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 73 Tahun 2013.

Fokus penelitian ini adalah pada bagaimana penerapan KKNI telah dilaksanakan di perguruan tinggi, dan apakah pelaksanaannya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Untuk lebih operasional fokus tersebut diturunkan dalam beberapa pertanyaan masalah: 1. Apakah struktur dan rumusan kebijakan KKNI ini merupakan alternatif kebijakan yang tepat bagi perguruan tinggi di Indonesia dalam menghadapi tantangan global saat ini. 2. Apakah kebijakan penerapan KKNI dapat dilaksanakan oleh perguruan tinggi di Indonesia yang amat beragam? 3. Apakah intervensi pemerintah terhadap perguruan tinggi melalui kebijakan penerapan KKNI berhasil meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia?

Istilah “kebijakan publik” yang dimaksud dalam kajian ini adalah keputusan yang dibuat pemerintah sebagai strategi merealisasikan tujuan sebuah negara (Tilaar dan Nugroho, 2009). Menurut Thomas R Dye, Pusat perhatian kebijakan publik  tidak hanya pada apa yang dilakukan pemerintah, melainkan termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan oleh pemerintah (Dye, 1978., Wahab, 2008).

Model perumusan kebijakan publik ini memiliki banyak model, bergantung pada sistem kekuasaan (Dunn, 2003). Pada umumnya model-model perumusan kebijakan publik itu dapat dibagi menjadi dua tipologi model, yaitu model proses (berdasarkan tahapan pembuatan kebijakan), dan model kekuasaan (power), yaitu pembuatan keputusan kebijakan dibentuk dan ditentukan oleh struktur kekuasaan (Parsons, 2006).

Sebuah kebijakan publik yang unggul haruslah dapat diimplementasikan, kebijakan publik yang tidak dapat diimplementasikan bukanlah kebijakan publik yang unggul. Model implementasi kebijakan publik ini. terbagi  dalam tiga model, yaitu model rasional atas-bawah (top down), model rasional bawah-atas (bottom-up) dan model teori-teori  sintesis (hybrid theories) (Parson, 2006). Model atas-bawah menekankan terutama pada kemampuan pembuat keputusan  untuk menghasilkan tujuan kebijakan yang tegas dan pada pengendalian tahap implementasi. model bawah-atas adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus (Frank, et al.,  2015).

Kajian evaluasi kebijakan ini didasarkan pada pemahaman bahwa evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada setiap tahapan kebijakan Evaluasi kebijakan dapat dibedakan menjadi evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan, untuk kemudian menilai hasil atau dampak dari pelaksanaan sebuah kebijakan (Nugroho, 2006).

Kerangka kualifikasi nasional bukan hanya ada di Indonesia, tetapi juga di banyak negara di dunia. Kualifikasi capaian pembelajaran (learning outcome) secara nasional dan internasional ini yang membedakan dengan kualifikasi yang pernah ada (Chakroun, 2010). Kerangka kualifikasi nasional dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengkualifikasikan level-level pendidikan yang berbeda dan membandingkannya baik secara nasional maupun internasional dengan cara yang memungkinkan. Jadi, kerangka kualifikasi nasional ini merupakan instrumen penting untuk perguruan tinggi (Maruk, 2000). Secara umum kerangka kualifikasi dapat didefinisikan sebagai deskripsi sistematis kualifikasi suatu sistem pendidikan (Heron Gavin & Pam Green Lister, 2014). Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin untuk mengklaim bahwa setiap negara memiliki kerangka kualifikasi nasional (Spûdytë, et al., 2006).

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) ditetapkan dalam Peraturan Presiden yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006, dan memiliki tujuan yang sama sebagai kerangka penjenjangan. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 Pasal 1 menerangkan, “Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.

Untuk mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan penerapan KKNI kajian ini menggunakan Model Evaluasi CIPP (Context   Input   Process   Product) (Stutfflebeam, 2014). Stufflebeam adalah seorang yang sangat berpengaruh  memajukan konsep evaluasi ini. Di antara empat komponen ini, unsur “konteks” berfokus pada pertanyaan, Apa tujuan program? Apakah tujuan program itu mencerminkan kebutuhan peserta, dalam hal ini perguruan tinggi yang menjadi sasaran kebijakan penerapan KKNI (Frank Fisher et al., 2015).

Penelitian evaluasi kebijakan memerlukan kriteria, atau rumusan tentang keadaan yang ingin dicapai mengenai sesuatu yang direncanakan. Semakin kecil kesenjangan (gap) antara hasil implementasi dengan kriteria evaluasi, maka dapat dilihat indikator keberhasilan sebuah kebijakan. Kriteria evaluasi dalam tulisan ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2013 tentang penerapan KKNI bidang pendidikan Tinggi.

 

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode qualitatif ini digunakan dengan alasan karena masalah-masalah penelitian perlu di gali untuk mendapatkan sebuah pengertian yang mendalam (Cresswell, 2012). Lebih jauh Creswell menjelaskan: This exploration is needed, in turn, because of a need to study a group of population, identify variable that can then be measured, or hear silenced voices.” (Creswell, 2007: 39-40).

Data kualitatif bisa berupa dokumen atau catatan dari interview, catatan observasi lapangan, hasil kuesioner, hasil foto, video, email dan hasil pertemuan dengan responden ( Patricia J. Rogers, Delwyn Goodrick, Qualitative Data Analysis, dalam Joseph S. Wholey, et.al., 429).

Data kualitatif ini memungkinkan pembaca mendapatkan pemahaman yang melampaui angka-angka dan statistik inferensi (Wholey, et.al., 429). Teknik pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik kondisi yang alami, sumber data primer, dan teknik observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi (M Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, 2012). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian evaluasi ini adalah wawancara (interview) untuk mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari responden (Sugiyono, 2012). Teknik yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam (Sugiyono, 2012).

Teknik analisis data kualitatif secara tipikal mengikuti langkah-langkah pengumpulan data yang dikumpulkan kedalam kategori-kategori informasi yang disusun (John W. Cresswell and Vicki L. Plano Clark, 2007). Teknik pengumpulan data secara kualitatif menggunakan teknik triangulasi artinya pengumpulan data dilakukan secara terus-menerus sampai mendapatkan data  jenuh (Sugiyono, 2012).

Selanjutnya, mengenai teknik analisis data kualitatif ini dilakukan dengan menyusun data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sitematis agar temuan tersebut dapat menjadi bahan informasi. Analisis data dilakukan dengan mengorganisir data berupa informasi itu, menjabarkannya dalam unit-unit dengan melakukan sintesa, kemudian menyusun dalam pola, memilih yang penting untuk dipelajari, dan kemudian dibuat kesimpulan (Sugiyono, 2012). 

 

HASIL

Evaluasi Struktur dan Rumusan Kebijakan KKNI

Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang KKNI ini ditetapkan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah no 32 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, maka model rumusan kebijakan KKNI dalam peraturan Presiden ini bisa dikelompokkan ke dalam model inkremental, yakni model perumusan kebijakan yang  melihat kebijakan publik pada hakikatnya sebagai kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah di masa lampau. Jadi model inkremental  kebijakan hanya menghasilkan rumusan kebijakan berupa perubahan-perubahan  seperlunya (Wahab, 2008). Kelemahan kebijakan inkremental ini terlihat dari alasan yang mendasari digunakannya model ini, antara lain pembuat kebijakan tidak memiliki waktu, intelektualitas maupun biaya memadai untuk penelitian terhadap nilai-nilai yang merupakan landasan bagi perumusan kebijakan (Wibawa, 1994).

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat variasi pemahaman dosen terhadap kebijakan KKNI. Terdapat dosen yang mengungkapkan bahwa isi kebijakan KKNI itu masih menjadi sesuatu yang asing meski penetapan kebijakan KKNI itu telah berlangsung lama, yakni  sejak tahun  2012. Hal ini menunjukkan sosialisasi tentang KKNI belum berhasil menyatukan pemahaman pelaksana kebijakan tentang struktur, isi, landasan dan manfaat kebijakan penerapan KKNI.

Evaluasi Lingkungan Implementasi Kebijakan

 Perguruan tinggi sebagai pelaksana penerapan kebijakan KKNI memiliki karakteristik yang berbeda-beda, karena itu perguruan tinggi yang berbeda tersebut melaksanakan kebijakan penerapan KKNI dengan cara yang berbeda bergantung dengan input yang tersedia.

lingkungan eksternal kebijakan perguruan tinggi di Indonesia terkait dengan era global menjelaskan bahwa perguruan tinggi di Indonesia sedang menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk bertahan dalam persaingan global. Era keterbukaan itu bagi pendidikan tinggi yang bermutu dapat memanfaatkannya untuk menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi. Namun, kondisi persaingan global itu sekaligus juga menjadi ancaman bagi pendidikan tinggi dengan mutu rendah, dan pada umumnya mutu pendidikan di Indonesia masih rendah dilihat dari tingkat akreditasi isntitusi perguruan tinggi yang sebagian besar terakreditas C dan belum terakreditasi.

Melihat kodisi perguruan tinggi yang sedang menghadapi ancaman pendidikan era global itu, seharusnya kebijakan KKNI dapat menjadi alternatif kebijakan untuk mengatasi ancaman pendidikan era global. Namun, temuan data menyatakan belum belum semua pendidikan tinggi setuju bahwa kebijakan penerapan KKNI sesuai dengan tujuan dan sasaran pendidikan tinggi.

 

Evaluasi Penerapan KKNI di Perguruan Tinggi

Hasil kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan yang ditetapkan. Belum maksimalnya penerapan kebijakan KKNI ini tepat seperti yang dikatakan Parsons, sebuah kebijakan dinilai dari segi pembuat kebijakannya ketimbang dari segi implementasi dari para pembuat kebijakan lokal dan nasional (Parsons, 2006). Penerapan kebijakan KKNI ini masih melandasi perumusan dan implementasi kebijakan, seperti apa yang dikatakan Parsons, mengutip Emile karya Rousseau, segala sesuatu adalah baik, jika dirahkan ke tangan pencipta. Segala sesuatu buruk di tangan manusia (Parson, 2006). Itulah sebabnya, penerapan KKNI bergantung pada kontrol pemerintah, sebagaimana layaknya, model atas-bawah. Di mana Implementasi kebijakan mulai dengan keputusan yang dibuat pemerintah pusat.  Model atas-bawah ini menunjukkan bahwa studi ini di dasarkan pada “model kotak hitam” Proses kebijakan yang terinspirasi oleh analisis sistem (Parsons, 2006).

Tanpa implementasi, kebijakan-kebijakan hanya berupa impian atau rencana yang tersimpan dalam arsip (Lembaga Administrasi Negara, 2008). Berdasarkan kondisi di atas sesuai dengan temuan data,  pada masa penerapan KKNI  belum disertai sanksi, belum semua perguruan tinggi mempunyai komitmen untuk menerapkan KKNI, setidaknya itu terlihat dari belum tersedianya produk yang diharapkan dari hasil penerapan kenijakan KKNI, apalagi tujuan kebijakan KKNI itu sendiri belum dianggap menjadi tujuan pendidikan tinggi.

Kinerja pelaksanaan penerapan KKNI berdasarkan temuan penelitian dipengaruhi faktor-faktor penting yang mempengaruhi penerapan KKNI di perguruan tinggi yang tidak tersedia dengan cukup  dan konsisten. Masih adanya dosen yang belum memahami kebijakan KKNI dan adanya variasi pemahaman terhadap kebijakan KKNI membuktikan bahwa kurangnya pemahaman terhadap kebijakan KKNI, tujuan serta manfaat kebijakan penerapan KKNI, realitas tersebut menurut temuan data mempengaruhi komitmen dosen dan perguruan tinggi untuk menerapkan KKNI. Faktor komunikasi pemerintah dan perguruan tinggi yang belum berjalan dengan cukup baik.

Evaluasi Hasil Penerapan Kebijakan KKNI

Menilai pelaksanaan kebijakan penerapan KKNI dalam hal ini berarti menilai hasil dari kebijakan penerapan KKNI. Berdasarkan data wawancara dan kuesioner terlihat bahwa tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan. Kebijakan penerapan KKNI  berdasarkan data wawancara belum sesuai dengan harapan dari tujuan dan sasaran kebijakan KKNI, yakni untuk meningkatkan kualitas luaran perguruan tinggi, dan mendekatkan luaran perguruan tinggi dengan dunia kerja. Berdasarkan data wawancara ditemukan bahwa peningkatan kualitas produk kurikulum perguruan tinggi belum sesuai dengan yang diharapkan, ini terjadi karena kompetensi dosen belum mendukung pelaksanaan kebijakan penerapan KKNI.  Demikian juga dengan sikap pelaksana yang dipengaruhi oleh kompetensi dosen dan sumber daya lainnya, akibatnya output yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Temuan data mengenai produk kurikulum mengacu KKNI belum semua dosen menyetujui bahwa penerapan KKNI  memenuhi harapan sebagai acuan kualifikasi yang dapat menyetarakan lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja. Faktor-faktor yang dibutuhkan untuk dapat membuat penyetaraan pendidikan formal dan informal tidak tersedia dengan cukup. Jadi produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan input yang diharapkan.

Melihat kerja sama antar institusi pelaksana yang belum berjalan sesuai dengan harapan, dan belum semua program studi memiliki asosiasi program studi sejenis, dengan sendirinya hasil yang di dapat tidak sesuai dengan harapan. Laporan data mengenai pemahaman dosen dan perguruan tinggi terhadap tujuan dan sasaran kebijakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui lulusan perguruan tinggi di mana belum semua perguruan tinggi memenuhi kompetensi sesuai dengan kriteria berakibat, tujuan dan sasaran penerapan kebijakan KKNI belum sesuai dengan harapan.

 

PEMBAHASAN

Kebijakan KKNI Merupakan Produk Elite

Perumusan kebijakan KKNI mengikuti model campuran, yakni  antara model elite, model rasional dan model publik. Model elite lebih dominan dibandingka kedua model lain. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kebijakan ini “merupakan produk elite, dan bisa dikatakan merefleksikan nilai-nilai elite untuk penguatan kepentingan-kepentingan elite (Winarno, 2007).

Berdasarkan proses perumusannya, dapat diketahui bahwa kebijakan KKNI merupakan hasil interaksi di antara institusi-institusi negara, seperti layaknya jenis kebijakan Kontinentalis. Berbeda dengan kebijakan Anglo-saxon yang memahami kebijakan publik sebagai turunan politik demokrasi, dan melihat kebijakan publik sebagai sebuah interaksi antara negara rakyat atau publik (Nugroho, 2009). Dengan demikian dapat dipahami bahwa model perumusan kebijakan KKNI yang elitis, inkrementalis ini, tidak sesuai dengan konstitusi negeri ini yang menetapkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Mestinya model rumusan pendidikan sebuah negara demokratis seperti Indonesia mengadopsi model kebijakan publik yang demokratis. Perumusan kebijakan KKNI yang elitis ini kurang memperhatikan bahwa suatu kebijakan yang dipandang baik oleh pemerintah, boleh jadi tidak baik bagi kalangan perguruan  tinggi. Keberhasilan kebijakan sesungguhnya terkait erat dengan strategi kebijakan yang tepat, yang mampu mengakomodasi berbagai pandangan serta kepentingan yang beragam (Abidin, 2016).

 

Kebijakan KKNI Bertentangan dengan Otonomi Pendidikan Tinggi

 Secara rasional, sulit dipahami bagaimana pemerintah bisa merasa lebih tahu, bahwa solusi terbaik untuk menjadikan perguruan tinggi lebih berkualitas ada  pada birokrasi, padahal aktor-aktor diperguruan tinggi sesungguhnyalah yang lebih paham perihal bagaimana menjadikan perguruan tinggi dapat menghasilkan luaran perguruan tinggi yang berkualitas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.  Itulah sebabnya, Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi pasal 22 ayat 1 menetapkan, bahwa  Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi.

Otonomi pengelolaan perguruan tinggi antara lain adalah otonomi di bidang akademik, yakni dalam hal penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai otonomi perguruan tinggi tersebut jelaslah, bahwa Peraturan Presiden tentang kebijakan KKNI bertentangan dengan otonomi perguruan tinggi.

Kebijakan KKNI Belum Memperhatikan Kebutuhan Perguruan Tinggi  

Kebijakan penerapan KKNI telah menimbulkan kontroversi. Salah satu alasan dari kelompok yang menolak kebijakan penerapan KKNI yang bertujuan mengintegrasikan luaran pendidikan tinggi dan dunia kerja adalah adanya kekuatiran seperti yang dikatakan Tilaar, Pendidikan tinggi akan kehilangan kekuatan moralnya oleh karena fungsinya terutama untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan perkembangan industri semata-mata (Tilaar, 2005). Kontroversi tentang hal tersebut terlihat pada penggunaan istilah “kompetensi”. Pada sistem pelatihan kerja digunakan istilah, kompetensi kerja, dan kata kompetensi ini juga digunakan untuk kompetensi lulusan. Berdasarkan buku Panduan Penyusunan Kurikulum yang mengacu pada permendikti 2015 dikatakan, bahwa, kompetensi kerja, berbeda dengan “kemampuan lulusan”, kemampuan lulusan tidak tepat menggunakan kompetensi lulusan, karena kompetensi adalah bagian dari kemampuan lulusan. Penggunaan istilah “kemampuan lulusan” untuk menggantikan “kompetensi lulusan” untuk luaran pendidikan tinggi tampaknya sebagai sebuah klarifikasi terhadap kontroversi pemaknaan kompetensi kerja. Istilah “kompetensi lulusan” melahirkan pandangan bahwa visi, misi institusi pendidikan di reduksi hanya untuk menjadi pemasok tenaga kerja. Pendidikan tinggi dijadikan arena pengembangan sikap persaingan tuntutan dunia industri. Motif persaingan menjadi motor untuk meningkatkan kualitas tanpa mementingkan pertimbangan-pertimbangan moral. Itulah sebabnya tidak ada korelasi antara output pendidikan tinggi dengan perbaikan moral di dalam masyarakat. Output pendidikan tinggi semakin besar, namun korupsi dan nepotisme semakin besar (Tilaar, 2005).

Strategi Bottom-up

Rumusan kebijakan KKNI semestinya mudah dipahami oleh pendidikan tinggi jika perumusannya melibatkan perguruan tinggi (model pilihan publik), dan sebelum rumusan itu ditetapkan, sosialisasi terhadap rumusan kebijakan KKNI telah dilakukan pada setiap perguruan tinggi dengan alokasi waktu yang memadai. Pemerintah selayaknya memberi kesempatan perguruan tinggi memberikan revisi-revisi agar kebijakan KKNI dapat diterapkan di perguruan tinggi, karena persoalan pengelolaan pendidikan tinggi, yang lebih memahami adalah aktor-aktor yang berada di perguruan tinggi. Hal itu sesuai dengan otonomi perguruan tinggi yang juga telah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah tentang pengelolaan pendidikan tinggi. Karena itu dalam hal penerapan KKNI di perguruan tinggi cara yang lebih tepat adalah model atas bawah (bottom-up), peran pemerintah lebih kepada memfasilitasi kebutuhan perguruan tinggi dalam hal penerapan KKNI. Pendekatan atas-bawah berarti pemerintah memberikan kesempatan yang lebih luas untuk perguruan tinggi menerapkan KKNI (Frank, et al., 2015).

KKNI Sebagai Petunjuk Pelaksanaan

Isi peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang KKNI, hanya memuat hal-hal yang sedikit berbeda dengan ketentuan KKNI dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Kerja Nasional. Perbedaan utamanya hanyalah, jika pada peraturan sistem kerja nasional KKNI ditetapkan sebagai kualifikasi untuk lulusan pelatihan kerja, maka dalam Peraturan Presiden KKNI mencakup kualifikasi kompetensi lulusan untuk semua jenis pendidikan, baik itu pelatihan kerja (pendidikan nonformal), pendidikan formal, dan pendidikan Informal.

Untuk menyelaraskan dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi secara khusus terkait dengan otonomi perguruan tinggi, maka penerapan KKNI di perguruan tinggi tepatnya dalam bentuk petunjuk pelaksanaan, di mana penerapannya diberikan kesempatan yang lebih luas pada perguruan tinggi.

 

 

KESIMPULAN

Kebijakan KKNI yang perumusannya bersifat inkremental dan elitis belum berhasil disosialisasikan pada semua dosen dan pengelola perguruan tinggi. Belum semua dosen memahami dengan baik isi, landasan, manfaat, tujuan dan sasaran kebijakan KKNI.    

Kebijakan penerapan KKNI di perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui lulusan perguruan tinggi belum sesuai dengan harapan karena karena tidak tersedianya sumber daya manusia, dan dan akses informasi. Pengaruh lainnya adalah kurangnya kerja sama antarpelaksana penerapan KKNI, demikian juga kerjasama antar lembaga-lembaga lain yang memiliki pengaruh terhadap peningkatan kualitas perguruan tinggi. Hal ini antara lain disebabkan karena kebijakan KKNI bertentangan dengan otonomi perguruan tinggi.

Kondisi perguruan tinggi di Indonesia yang beragam, dan tidak tersedianya faktor-faktor sumber daya yang dibutuhkan mempengaruhi sikap pelaksana yang akhirnya mempengaruhi hasil penerapan KKNI di perguruan tinggi. Ditambah lagi, kebijakan KKNI belum memperhatikan kebutuhan perguruan tinggi di Indonesia yang sedang menghadapi ancaman persaingan global dalam bidang pendidikan tinggi.

REKOMENDASI

Penerapan KKNI di perguruan tinggi di rekomendasikan untuk  dilanjutkan dengan perbaikan, yakni dengan memperhatikan otonomi perguruan tinggi. Karena itu penerapan KKNI diperguruan tinggi harus tetap menghargai Visi, Misi perguruan tinggi yang tidak hanya menjadi pemasok tenaga kerja. Acuan KKNI sebagai kualifikasi lulusan perguruan tinggi harus tetap terbuka pada perkembangan ilmu pengetahuan, dan penyetaraan antara dunia kerja dan dunia pendidikan diserahkan kepada perguruan tinggi dengan otonominya, untuk kemudian menyediakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi kinerja penerapan KKNI di perguruan tinggi. Penetapan batas waktu penerapan KKNI tidak perlu diberlakukan, dan pemerintah sebaiknya menempatkan diri sebagai fasilitator dengan dengan memberikan akses informasi yang cukup dan konsisten baik pada perguruan tinggi, maupun pengguna lulusan perguruan tinggi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abidin, Said Zainal. (2016), Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika.

 

Chakroun, Borhene. (2010), National Qualifikation Frameworks: from policy borrowing to policy lerning. European Journal of Education, 45 (2).

 

Creswell, John W, Vicki L. Plano Calrk. (207), London: Sage Publications.

 

Creswell, John W. (2012), Educational Research, Boston: Pearson.

 

Creswell, John W. (2007), Qualitatif Inquiry and Research Design, London: Sage Publications.

 

Dunn, William N. (2013)  Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University.

 

Dye, Thomas R. Understanding Public Policy.(1978). Florida: Euglewood Cliffs.

 

Frank Fisher, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. (2015) Handbook Analisis Kebijakan Publik. penerjemah Imam Baihaqie, Bandung: Nusa Media.

 

Ghony, M Djunaidi dan Fauzan Almanshur. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.

 

Heron, Gavin, & Pam Green Lister. (2014), Influence of National Qualifications Frameworks in Conceptualising Feedback to Students, Social Work Education, 33 (4).  

 

Lembaga Administrasi Negara. (2008), Analisis Kebijakan Publik. Jakarta.

 

Marliyah, Lili. (2015), Analisis Kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Majalah Ilmiah Pawayitan, 22 (1).

 

Maruk C. Van Der Wend. (2000) The Bologna Declaration: Enhancing the Transparency and Competitiveness of European Higher Education, Higher Education in Europe, XXV (3).

 

 

Nugroho, Riant. (2006), Kebijakan Publik. Jakarta: PT Gramedia.

 

Nugroho, Riant. (2009), Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

 

Parsons, Wayne. (2006). Public Policy. Jakarta: Kencana.

 

Sailah, Illah.dkk, (2014). Buku Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Spûdytë, Irma. Saulius Vengris, Mindaugas Misiûnas. (2006). Qualification of Higher Education in The national Qualification Framework. Vocational education: Research and reality.

 

Stufflebeam, Daniel L. Chris L. S. Coryn. (2014). Evaluation, Theory, Models, and Aplications. New York: Josse-Bass.

 

Tilaar, H.A.R. dan Riant Nugroho. (2008), Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

 

Tilaar, H.A.R. (2005), Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas.

 

Wahab, Abdul Solichin. (2008). Pengantar Analisis Kebijakan. Malang: UMM Press.

 

Wibawa, Samodra. (1994), Kebijakan Publik. Jakarta: Intermedia.

 

Wholey, Joseph S. (2010). Handbook of Practical Program Evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass.

 

Widodo, Joko. (2006) Analisis Kebijakan Publik. Malang: Bayu Media.

 

Winarno, Budi. (2007), Kebijakan Publik: Teori, Proses, Kasus. Jakarta: Center of Academic Publishing Serivice.

 

Maruk C. Van Der Wend. (2000) The Bologna Declaration: Enhancing the Transparency and Competitiveness of European Higher Education, Higher Education in Europe, XXV (3).

 

 https://www.joyinmyworld.com/2021/01/kerangka-kualifikasi-nasional-indonesia.html

Flower of the Month Club

Tuesday, September 15, 2020

AGAMA DAN MASYARAKAT: Absurditas Pelupaan Fakta Masa Lampau

AGAMA DAN MASYARAKAT: Absurditas Pelupaan Fakta Masa Lampau: Bisakah kita menatap masa depan dengan mengabaikan masa lalu? Bisakah kita membuat prediksi tentang masa depan dan kemudian membuat proyeksi...

Monday, August 3, 2020

DIFERENSIASI AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA


 

OLEH: BINSAR ANTONI HUTABARAT


Konflik antar agama dan negara, agama dan agama adalah realitas pada banyak negara. Negara sekular yang mendasari pandangannya pada keyakinan bahwa pelan-pelan agama akan kehilangan perngaruhnya ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Hingga saat ini agama terus memiliki pengaruh dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Sebaliknya negara agama yang menempatkan agama tertentu sebagai agama negara terbukti telah mendeskriminasikan agama tertentu.


Agama dan negara tampaknya tidak dapat dipisahkan, namun agama dan negara juga tidak bisa saling menaklukkan. Hubungan antara agama dan negara yang tidak saling menaklukkan ini tampak dalam hubungan agama dan negara di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Apalagi hubungan antara agama dan negara ini merupakan sebuah kesepakatan Bersama. Pertanyaanya kemudian apakah ada dasar teori hubungan agama dan negara yang didasarkan sebuah kompromi bersama sebagaimana ditetapkan Pancasila sebagai dasar hubungan agama dan negara yang tidak saling menaklukkan?

 

 

Temuan mengenai hubungan agama dan negara

Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama dalam dunia modern dikumandangkan jauh sejak Zaman Pencerahan. Mereka yang mendeklarasikan kematian agama itu bukan hanya tokoh-tokoh filsafat yang anti agama, tapi juga tokoh-tokoh antropologi, dan psikologi, “bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu  yang akan memudar dalam masa modern.” Ippa Norris dan Ronald Inglehart menjelaskan: Matinya agama merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.

Senada dengan hal itu, C. Wright Mills menjelaskan mengenai proses kematian agama ini seperti berikut: “Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral-dalam pemikiran praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi, sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi dari yang sakral. Pada waktunya, yang sakral sepenuhnya menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi”.

Berpijak pada tesis kematian agama itulah ketika perang dingin berakhir Francis Fukuyama mendeklarasikan, bahwa demokrasi liberal sekular merupakan sistem politik terbaik yang bisa dicapai manusia. Tesis kematian pelan-pelan dan bertahap dari agama tersebut ternyata tidak didukung bukti yang kuat. Munculnya spiritualitas New Age yang melanda dunia hingga ke Indonesia. Kebangkitan gerakan fundamentalisme agama, hingga munculnya kembali partai-partai keagamaan demikian juga di Indonesia membuktikan bahwa agama tidak pernah mati. Peter L Berger, salah seorang pendukung teori sekularisasi selama 19660-an, secara dramatis menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang ini dengan beberapa pengecualian, … amat sangat religius sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara longgar disebut teori sekularisasi pada dasarnya salah.”

Selaras dengan Berger, Rodney Stark dan Roger Finke berujar, “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar doktrin itu “beristirahat dengan tenang.” 

Tesis negara sekular yang menapikkan peran agama jelas perlu ditinjau kembali. Namun, fakta-fakta yang mendasari konsep sekularisasi perlu dipahami secara benar, sehingga pengulangan kesalahan tidak terjadi. Istilah “secular”, “secularized” dan “secularization” menurut José Casanova berasal dari kata Latin (zaman pertengahan) “saeculum” yang berarti “dunia”. Dalam Hukum Kanun (Canon Law), sekularisasi merujuk pada suatu “aksi legal”manakala seorang “religious”meninggalkan biara untuk kembali ke “dunia”dengan segala godaannya yang oleh karenanya menjadi manusia “sekuler”. Secara Kanonik, para pendeta bisa religious sekaligus sekuler, sehingga pengertian religious tidak selalu berkaitan dengan “dunia lain” (other wordly) melainkan juga suatu cara hidup (a mode of being) di dunia ini. 

Jadi pemisahan yang sakral dengan sekular secara total adalah mustahil. Untuk memahami pembedaan sekular dan yang sakral ini, identifikasi José Casanova terkait tiga makna utama dari agama dalam teori sekularisasi perlu dipahami dengan baik: (1) sekularisasi sebagai kemunduran agama ( Secularization as religious decline), yang mengklaim bahwa agama akan terus-menerus mengalami kemunduran di dalam dunia modern sampai pada akhirnya akan lenyap; (2) sekularisasi sebagai privatisasi  (secularization as privatization), menyatakan, diferensiasi institusi modern mau tidak mau mengharuskan agama dimasukkan ke dalam wilayah institusionalnya sendiri, karena agama mau tidak mau mengancam struktur-struktur diferensiasi modern; dan (3) sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation), yang mengacu kepada diferensiasi fungsional dari institusi-institusi religius dari wilayah-wilayah lain di dalam masyarakat modern, khususnya negara, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.

Sekularisasi sebagai kemunduran agama ( Secularization as religious decline), dan sekularisasi sebagai privatisasi  (secularization as privatization), dipegang oleh tokoh-tokoh ilmu-ilmu pengetahuan sosial mulai dari Karl Marx, John Stuart Mill, Auguste Comte, dan Herbert Spencer sampai kepada Emile Durkheim, Max Weber, dan Sigmund Freud. Pandangan tokoh tokoh tersebut kurang mempunyai bukti empiris karena agama tidak mengalami kemunduran.

Menurut Casanova sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation) merupakan pilihan yang tepat. Deprivatisasi agama dalam dunia modern adalah sebuah keharusan. Bagi Casanova, deprivatisasi agama ini tidak terbatas pada masyarakat-masyarakat Barat. Tetapi juga meliputi tradisi-tradisi religius lain juga, seperti Islam, Yudaisme, Hindu, dan Buddha di dalam masyarakat-masyarakat non-Barat. Karena deprivatisasi agama itu meliputi seluruh dunia dan pada berbagai tradisi religius, maka tesis privatisasi patut dipertanyakan. David Hollenbach berpendapat, setiap usaha untuk mendukung teori privatisasi semacam itu sebagai “tujuan normatif” bisa dipertanyakan juga.

Karena dimana agama menjadi selera pribadi tersendiri, kehidupan publik kehilangan kedalaman makna yang bisa menimbulkan kesetiaan dan komitmen di antara para warga negara. Hasilnya yang merupakan anomali bisa menciptakan sebuah ruang hampa dimana kekuatan-kekuatan fundamentalis bisa masuk ke dalamnya, hampir pasti tanpa kesantunan dan mungkin dengan kekerasan.

Hollenbach dengan demikian setuju dengan tesis sentral Casanova: agama harus dibedakan dari wilayah-wilayah lain kehidupan publik seperti negara. Sekularisasi sebagai diferensiasi meliputi pembedaan wilayah masyarakat dimana agama tidak lagi mendefinisikan “realitas yang meliputi segala sesuatu” dimana ruang sekular menemukan tempatnya yang tepat. Mengutip Hollenbach, Benyamin F. Intan menjelaskan, istilah “diferensiasi” seharusnya dipahami sebagai “pembedaan,” dan bukan sebagai “pemisahan ke dalam ruang-ruang yang terpisah ketat.”

Diferensiasi agama dan berbagai dimensi kehidupan publik mempunyai konotasi berbeda dengan “pemisahan.” Di Amerika Serikat, pemisahan gereja dari negara sering kali disamakan dengan pembatasan agama menjadi sepenuhnya wilayah pribadi yang terpisah dari kekuasaan pemerintah. Berlawanan dengan hal ini, diferensiasi agama dari wilayah kekuasaan negara tidak menyingkirkan semua pengaruh agama di dalam kehidupan publik atau di dalam dunia politik pada umumnya ... Tetapi, pengaruh agama di dalam kehidupan publik dan bahkan politik bisa terjadi bahkan dimana negara dan gereja secara institusi berbeda. Bisa saja terjadi pengaruh publik oleh agama yang diberikan tanpa kontrol negara oleh gereja. Jadi ada pilihan ketiga bagi “integralisme” [kesatuan gereja-negara] di satu sisi dan privatisasi agama di sisi lain. Di dalam pilihan ketiga ini, komunitas-komunitas religius bisa memberikan dampak terhadap kehidupan publik sementara, pada saat yang sama, pelaksanaan agama yang bebas dan  bukan sebagai agama negara (non-establishment) sepenuhnya dilindungi.

Sekularisasi yang tidak menyangkali peran agama tidak harus menyebabkan kemunduran agama atau berarti privatisasi agama. Modernisasi tidak memiliki hubungan langsung dengan kemunduran agama. Modernisasi tidak menghilangkan agama dalam masyarakat. Modernisasi hanya menggeser lokasi sosial dari agama.

Tesis sekularisasi mengenai kematian agama perlu diperbaiki karena agama tidak menghilang, dan tampaknya agama memang tidak mungkin menghilang. Karena itu dalam hubungan agama dan negara seharusnya agama tetap mendapatkan tempat yang terhormat. 

Selaras dengan Casanova Yudi Latif menjelaskan:

Bila sekularisasi sebagai proses pemudaran dan pemisahan peran agama (dari negara) tidak memiliki bukti empiris yang kuat , teori modernisasi (termasuk sekularisasi) menyisakan satu asumsi yang bisa diterima, yakni sekularisasi sebagai proses “pembedaan” (differentiation). Hal ini merujuk pada perbedaan fungsional antara institusi-institusi keagamaan dari ranah lain dalam masyarakat modern, terutama negara, ekonomi dan sains.

Sejalan dengan Casanova selanjutnya Yudie Latief menerangkan:

Dengan proses differensiasi ini, terjadi pembedaan antara ranah sosial (social sphere) ke dalam ragam fungsi yang di dalamnya agama tidak lagi menjadi pendefinisi tunggal semua realitas, yang memungkinkan bidang sekuler menemukan tempatnya yang pas, istilah differentiation ini harus dipahami sebagai distinction (pembedaan) , bukanlah separation, yang membawa kearah isolasi secara terpisah . Sebagai realitas politik , konsep ini mengacu pada prinsip distinction antara otoritas agama dan politik, berdasarkan pemahaman bahwa masing-masing terhubung dengan ranah kehidupan yang berbeda secara konseptual (meskipun saling berhubungan) dalam tujuan, metode, bentuk pemikiran, wacana dan tindakan.

Dalam pandangan Casanova, diferensiasi modern menjadi penyangkal dari asumsi pemudaran agama, karena ternyata berperan penting dalam menumbuhkan gairah kegamaan dalam masyarakat modern. Ketika agama terintegrasi dengan negara, represi negara membawa konsekwensi ketidakpercayaan public pada agama yang dampaknya bertahan lamaseperti dalam masyarakat Eropa. Dalam penilaian Mohammad Hatta, “Negara teokrasi tidak memperdalam perasaan agama atau memperkuat semangat agama, melainkan mempergunakan agama untuk keperluan negara” Dengan adanya diferensiasi, agama bisa mengembangkan otonomi relative dalam menyediakan landasan moralitas baik untuk menopang maupun untuk menentang kekuasaan politik. Hal ini memberikan sandaran alternative bagi warga ketika mengalami kekecewaan atas kekuasaan politik dan dunia kehidupan.

Mengutip Stepan, Yudie Latie berpendapat bahwa tersedianya kerangka diferensiasi inilah yang memberi peluang bagi pengembangan “toleransi kembar” antara negara dan agama bisa mengembangkan peran publiknya masing-masing tanpa saling memaksa karena menemukan konteks keterlibatannya yang tepat. Diferensiasi agama dari domain kekuasaan negara tidak melucuti seluruh pengaruh agama dalam ruang publik. Pengaruh agama dalam kehidupan publik bahkan politik tetap bisa berlangsung ketika negara dan agama berbeda secara institusional. Terbuka peluang bagi pengaruh agama atas negara. Dengan alternative di luar kerangka integrasi dan separasi ini. Komunitas agama tetap bisa memiliki pengaruh publik, berkelindan dengan kewenangan negara untuk mengembangkan institusi-institusi demokratis dalam kerangka konstitusi dan hak-hak asasi manusia. 

 

Diferensiasi agama dan negara dalam negara Pancasila

Pernyataan Indonesia sebagai bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang sebelumnya tidak pernah ada, pada awalnya belum mendapatkan landasan teoritis, kecuali sebagai sebuah kesepakatan bersama dari rakyat Indonesia yang beragam agama. Namun, mengacu pada pandangan Casanova tentang sekularisasi sebagai diferensiasi (secularization as differentiation), jelaslah bahwa pembedaan agama dan negara yang dinyatakan bukan negara agama dan bukan negara sekular yang menolak agama merupakan jalan tengah yang terbaik untuk menghadirkan kehidupan publik yang baik mendapatkan landasan teoritisnya.

Melihat sejarah ditetapkannya Pancasila di Indonesia sebagai dasar bagi hubungan agama dan negara harus diakui itu tidak terlepas dari peran aktif agama-agama yang ada di Indonesia. Muslim Indonesia sebagai agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Indonesia juga jauh dari monolitik. Demikian juga agama-agama suku yang tersebar diberbagai daerah Indonesia. Semua agama di Indonesia memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Penetapan hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila merupakan sumbangsih agama-agama di Indonesia yang diakui memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Agama Islam, memainkan peran yang sangat krusial di dalam mendorong nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20. Muslim Indonesia dalam hal ini harus dipahami dalam keragamannya, karena Muslim Indonesia tidak monolitis.

Gelombang gerakan nasionalis Indonesia juga tidak terlepasa dari perjuangan orang-orang Kristen juga mengambil bagian di dalam gerakan tersebut. Seperti banyak organisasi nasionalis Indonesia lain, sejak pendiriannya tahun 1925, Partai Katolik  telah mendukung gerakan nasionalis. Para pemimpin Indonesia pada waktu itu menyadari agar mereka bisa mencapai kemerdekaan Indonesia, mereka harus bekerja sama dengan organisasi-organisasi politik nasionalis Indonesia lain. Di dalam konteks historis gerakan nasionalis Indonesia ini, muncullah dua kelompok berbeda di dalam wacana politik Indonesia: golongan kebangsaan (secular nationalists) dan golongan Islam (Muslim nationalists).  Kompromi antara kelompok nasionalis sekular dan nasionalis Muslim dalam pembentukan negara Pancasila yang membedakan agama dan negara ini dijelaskan Supomo demikian:

Menciptakan sebuah Negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mengkaitkan negara itu sendiri dengan kelompok yang terbesar, kelompok Islam. Jika sebuah Negara Islam diciptakan di Indonesia, maka tentunya golongan minoritas akan bangkit, masalah kelompok-kelompok kecil religius, dari kalangan Kristen dan yang lain-lain. Meskipun Negara Islam akan melindungi kepentingan-kepentingan kelompok lain sebaik mungkin, kelompok-kelompok religius yang lebih kecil ini tentunya tidak akan bisa merasa terlibat di dalam negara.

 

Selanjutnya, Supomo menerangkan:

Di dalam negara Indonesia para warga negara harus didorong untuk mencintai tanah leluhurnya, untuk memberikan diri mereka kepada dan mengorbankan diri mereka demi negara, untuk melayani dengan senang tanah leluhur, untuk mencintai dan melayani para pemimpin mereka dan negara, untuk tunduk kepada Tuhan, untuk memikirkan Tuhan setiap saat. Semua hal ini harus terus-menerus didukung dan digunakan sebagai dasar moral bagi negara kesatuan nasional ini. Dan saya yakin bahwa Islam akan memperkuat prinsip-prinsip ini.

dari awal masa pra-kemerdekaan Indonesia, agama-agama berperan penuh dan memberikan sumbangsih-sumbangsih utama bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Inspirasi agama adalah salah satu faktor terpenting yang mendukung gerakan nasionalis Indonesia dengan mendukung kesatuan nasional melawan penjajahan Belanda.

Mengenai hubungan antara agama dan negara dalam Darmaputera seorang teolog Kristen menjelaskan demikian:

 

Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. Masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi, pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara terus menerus dan bersama-sama, artinya, kerangka landasan moral etik dan spiritual itu tidak hanya kontribusi satu agama saja.

 

Pancasila sebagai kristalisasi kehidupan masyarakat Indonesia terbukti mampu menaungi semua, karena ia adalah isi dari jiwanya bangsa Indonesia, kesepakatan Bersama rakyat Indonesia. Soekarno mengakui bukan pembuat Pancasila, tetapi menggali di dalam buminya rakyat Indonesia. Pancasila sebagai nilai-nilai yang universal diterima sebagai kompromi kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Penerimaan Pancasila tidak akan menghapuskan identitas yang ada.

Hubungan antara agama dan negara di Indonesia telah dirumuskan dengan jelas. Ungkapan Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler yang unik itu didasarkan pada Pancasila. Bentuk negara Pancasila yang dimaksud dalam hal ini adalah negara yang memisahkan antara agama dan negara. Negara Pancasila bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama, namun negara memberikan perlindungan terhadap agama, serta memperlakukan agama-agama secara sama dalam hukum dan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.

 

 

Ambiguitas Diferensiasi Agama dan Negara di Indonesia

 

Agama dan negara berbeda. Agama tidak boleh menguasai negara, demikian juga negara tidak boleh meyingkirkan peran agama di tengah masyarakat.  Agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat koordinasi. Agama bertanggung jawab untuk mengingatkan negara apabila negara tidak melakukan kewenangannya sebagaimana kodratnya. Karena agama-agama adalah pemberi landasan moral, demikian juga pada waktu agama-agama dalam interpretasi praktis keagamaannya melanggar undang-undang dan keteriban umum. Maka negara wajib untuk melakukan tindakan hukum untuk penertiban hubungan bersama antar agama dan kelompok yang ada.

Realitas hubungan agama dan negara di Indonesia tidak selalu berjalan pada jalan yang telah ditentukan. Setidaknya itu terlihat jika diukur berdasarkan skala kebebasan beragama yang dikembangkan berdasarkan 20 kriteria yang dimuat dalam laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Kebebasan Keagamaan Internasional, 2002.  Skala tersebut mewakili versi yang diperluas dari skala Chaves dan Cann1992 yang digunakan untuk mengukur peraturan negara dalam 18 masyarakat pasca-industri.

 

1. Konstitusi membatasi kebebasan beragama. 2. Konstitusi tidak mengakui kebebasan beragama. (Atau hukum tidak mengakui kebebasan beragama, dalam sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis). 3. Terdapat sebuah gereja resmi negara. 4. Negara mendukung satu agama. 5. Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. 7. Negara mengangkat atau menyetujui para pemimpin gereja, para pemimpin gereja mengangkat atau menyetujui para pejabat pemerintah, dan/atau para pemimpin gereja memiliki posisi khusus dalam pemerintahan. 8. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua gereja. 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua gereja. 11. Negara melarang pendeta/pemimpin agama dari semua/beberapa agama tertentu untuk memegang jabatan publik. 12. Negara memiliki sebagian properti dan bangunan-bangunan gereja. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolahsekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan. 15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte. 16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut. 18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu. 19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas. 20. Negara tersebut disebut sebuah negara khusus dalam hal kebebasan beragama oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

 

Ambiguitas kebijakan diferensiasi agama dan negara di Indonesia terlihat pada beberapa hal antara lain: Negara mendukung beberapa agama, dan tidak mendukung beberapa agama termasuk agama-agama suku atau kepercayaan meski tetap memberikan hak hadir di bumi Indonesia (4). Organisasi-organisasi keagamaan harus mendaftar pada negara atau disahkan oleh negara untuk bisa beroperasi secara legal, atau pemerintah memberlakukan berbagai kekangan pada organisasi-organisasi yang tidak terdaftar atau diakui. 6. Negara mengeluarkan izin hukum bagi bangunan-bangunan keagamaan. Di Indonesia aturan ini telah digunakan menjadi alat untuk menutup rumah ibadah yang bermasalah dalam perizinan dan yang tidak memiliki izin. 7. Negara memberikan gaji gereja secara langsung. 9. Negara mensubsidi beberapa/semua agama (negara memberikan bantuan terhadap agama tertentu) 10. Negara memberikan potongan pajak bagi beberapa/semua agama. 13. Negara memerintahkan pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah negara, meskipun pelajar dapat dibebaskan dari kewajiban ini dengan permintaan orangtua.14. Ada laporan-laporan tentang konversi keagamaan yang dipaksakan.15. Negara melarang beberapa kelompok keagamaan, perkumpulan keagamaan, atau sekte.16. Negara mengekang/melarang para misionaris memasuki negara tersebut untuk tujuan-tujuan menarik pemeluk baru. 17. Negara mengekang/menyensor beberapa kepustakaan keagamaan yang masuk atau beredar di negara tersebut.18. Negara memenjarakan atau menahan beberapa kelompok keagamaan atau individu-individu.19. Negara gagal mencegah konflik-konflik dan kekerasan etnoreligius yang serius yang dilakukan terhadap beberapa ke lompok minoritas.

 

Berdasarkan skala di atas jelaslah bahwa kebijakan terkait agama di Indonesia tidak sesuai dengan kebijakan Pancasila yang membedakan agama dan negara. Karena negara terlihat dalam undang-undang dan peraturan tururnannya tidak mengacu pada Pancasila. Ambiguitas kebijakan tersebut membuat hubungan antara agama dan negara, agama dan agama atau toleransi kembar tidak terimplementasi dengan baik. Ambiguitas ini terjadi karena adanya Keragaman apresiasi terhadap Pancasila. Ketidak puasan individu atau kelompok yang ada bukan karena Pancasila tidak mampu menjadi payung atas semua orang yang berada di Indonesia, tetapi kelompok-kelompok yang tidak puas tersebut selalu ingin menguasai negara, apalagi pemerintah yang ada sering kali tidak konsekuen melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.

Ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut kemudian mengarah pada usaha menggantikan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Baik dengan cara terselubung yaitu melakukan penetrasi nilai-nilai agamanya kedalam Pancasila, atau dengan cara kekerasan melalui pemberontakan untuk menumbangkan kekuasaan negara. Keberhasilan Pancasila dalam mempersatukan bangsa Indonesia, serta mempertahankan kedaulatan negara Indonesia tersebut tidak diakui oleh semua kelompok yang ada di Indonesia. Fakta bahwa Pancasila belum dianggap sebagai sesutau yang final sebagai dasar dan ideologi negara nyata dengan adanya pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Dipenghujung pengakuan kedaulatan NKRI timbullah pemberontakan-pemberontakan yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, yaitu ideologi Islam dan Komunis. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun memerlukan waktu yang lama, jauh lebih lama dari perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jika perang mempertahankan kemerdekaan telah selesai pada tahun 1949 (5 tahun), maka perang untuk memadamkan pemberontakan yang dilakukan DI berlangsung selama 13 tahun.Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan Komunis dan DI merupakan bukti adanya harapan-harapan lain di luar Pancasila. Harapan-harapan tandingan terhadap Pancasila seharusnya tidak perlu ada, karena merupakan pengingkaran konsensus bersama yang dinyatakan dalam ikrar kemerdekaan. Adanya harapan-harapan tandingan diluar Pancasila merupakan bukti bahwa tidak semua individu memegang komitmen terhadap Pancasila. Kegagalan memegang komitmen bersama untuk hidup bersama dalam negara Pancasila ini akhirnya melahirkan keragaman apresiasi terhadap pancasila. Pertumbuhan kelompok-kelompok yang ada dalam naungan Pancasila tidak boleh bertentangan dengan semangat Pancasila yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada.

Lahirnya otonomi daerah di era reformasi ternyata menimbulkan persoalan baru, khususnya dalam hubungan antar agama. Daerah dengan mayoritas agama tertentu kemudian menuntut kekhusussannya meski harus mendiskriminasikan agama-agama lain. Peraturan daerah (perda) agama pun muncul di berbagai tempat dan mengancam kebebasan beragama. Kehadiran perda-perda bernuansa agama pada umumnya tidak secara terang-terangan menamakan dirinya sebagai perda agama, namun isinya yang memuat nilai-nilai agama tertentu dan terindikasi mendiskriminasikan agama-agama lain mengidentikkan dirinya sebagai perda agama, biasa juga disebut perda yang melanggar hak-hak asasi manusia. Perda bernuansa agama itu sukses diberlakukan di beberapa provinsi di Indonesia, setidaknya itu telah ditetapkan di 13 provinsi di Indonesia.

Sifat diskriminatif yang melekat pada perda-perda agama itu menimbulkan perlawanan dari mereka yang terdiskriminasikan, namun perda-perda agama tersebut terus saja melenggang sambil mengklaim diri terlahir secara demokratis. Apalagi ketika demokrasi direduksi hanya pada pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Diskriminasi yang dihadirkan oleh perda agama Islam kemudian memicu lahirnya raperda bernuansa agama Kristen. Meskipun raperda bernuansa agama Kristen tersebut tidak pernah ditetapkan sebagai kebijakan daerah karena tidak disetujui mayoritas.

 

Ambiguitas diferensiasi negara dan agama di Indonesia terjadi karena pembuatan kebijakan publik terkait agama sering kali gagal untuk tunduk pada prinsip-prinsip Public reason dan public deliberation. Dalam negara Pancasila, ajaran keagamaam boleh saja memberikan inspirasi, namun formulasinya harus mengalami proses substansial (tidak secara literer merujuk pada kitab dan doktrin keagamaan) guna memenuhi legitimasi demokratis yang bersifat rasional dan imparsial. Ini dapat dipahami karena keputusan publik-politik dianggap rasional imparsial jika didasarkan pada fakta (bukan doktrin semata), dan diorientasikan bagi kepentingan banyak orang dan jangka panjang, serta melibatkan partisipasi semua kalangan secara inklusif. Sehingga tidak satu agama dapat mengklaim bahwa kebijakan publik itu adalah hasil penguasaan kelompok agama tertentu.

 

PENUTUP

 

Menata hubungan agama dan negara dalam sebuah negara Indonesia yang beragam memang bukan merupakan suatu hal yang mudah. Karena semua agama merasa memilki jalan terbaik untuk terciptanya hubungan antar agama dalam sebuah negara yang beragam. Apalagi pada daerah-daerah dimana konflik bernuansa agama telah terjadi. Konflik kekerasan antar agama itu telah menimbulkan kecurigaan antarpemeluk agama yang berbeda, dan perasaan curiga tersebut tidak mudah dihapuskan. Oknum-oknum  yang terlalu lama menikmati kekuasaan dengan memanfaatkan agama tidak dengan sendirinya akan melepaskan nikmatnya kekuasaan tersebut. Namun perjuangan semua rakyat Indonesia yang menyadari arti pentingnya negara Indonesia bagi mereka menjadi modal dalam usaha mencapai Indonesia yang lebih baik

Apabila perjuangan semua rakyat Indonesia yang beragama adalah perjuangan untuk pengamalan Pancasila yang murni dan konsekuen, dengan semangat yang inklusif bagi terbentuknya demokrasi yang berkeadilan, maka peran agama-agama tidak akan berubah menjadi usaha untuk saling menguasai dengan memakai negara sebagai senjata untuk meredam sesamanya. Perjuangan tersebut seharusnya menjadi perjuangan yang suci menghargai keragaman agama-agama yang adalah realitas Indonesia. Pancasila adalah dasar yang kokoh bagi negara demokrasi yang menghargai Pluralisme agama. Demokrasi yang menghargai pluralisme agama ini adalah pilihan terbaik Untuk Indonesia, dan juga bangsa -bangsa di dunia.

Negara Pancasila yang membedakan agama dan negara sejalan dengan teori Casanova secara bersamaan juga menyempurnakan demokrasi Barat yang sekuler, yang meminggirkan agama. Salah satu negara di dunia yang menganut pemerintahan demokrasi yang tidak meminggirkan agama adalah Turki, negara ini terus mengembangkan  demokrasi yang tidak didasarkan agama dan juga bukan negara sekuler yang menolak agama.Demokrasi sekuler yang meminggirkan agama saat ini semakin ditolak seiring tuduhan bahwa sekularisme adalah juga agama, meski ide sekularisme sebagai agama itu sendiri merupakan paradoks.

Pancasila merupakan kesepakan bersama agama-agama di Indonesia untuk menaungi semua agama-agama yang beragam di Indonesia. Model pemerintahan negara Pancasila ini dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menentukan hubungan ideal antara agama dan negara. Pancasila adalah negara pluralisme agama yang memposisikan agama-agama pada tempat terhormat tanpa mendeskriminasikan agama tertentu. Perjalanan negara Pancasila itu tidak selalu mulus, bahkan tidak jarang ditemukan konflik suku, agama, ras dan antar golongan hingga skala besar. Namun, semua itu terjadi karena terjadinya keragaman apresiasi terhadap Pancasila, bukan karena kelemahan yang ada pada diri Pancasila.