google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Absurditas Pelupaan Fakta Masa Lampau


Ras, Kesetaraan, Manusia, Keanekaragaman


Bisakah kita menatap masa depan dengan mengabaikan masa lalu? Bisakah kita membuat prediksi tentang masa depan dan kemudian membuat proyeksinya dengan memejamkan mata kita dari masa lalu? Bisakah kita memahami mengapa kita ada saat ini tanpa penjelasan masa lalu? 

Mei 1998 untuk Indonesia dikenang sebagai bulan yang penuh dengan kerusuhan. Di Jakarta dan diberbagai daerah lainnya meletus kerusuhan yang bukan hanya menelan korban materi yang sangat besar, tapi juga nyawa manusia. Empat mahasisiwa tewas ditembak saat berunjuk rasa, dan esoknya, 13-15 Mei, terjadi pembakaran, perusakan dan penjarahan pada toko-toko, pusat perbelanjaan, sampai kedaerah pemukiman. Bahkan terindikasi telah terjadi tindak pemerkosaan yang amat brutal dan tak berprikemanusian. 

Kerugian yang pasti sulit untuk ditebak. Jumlah korban manusia hingga kini masih simpang siur. Apalagi dengan hilangnya berkas hasil penyelidikan kerusuhan Mei 1998, dokumen asli hasil kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Kerusuhan Mei yang adalah fakta itu pun berubah menjadi misteri, yang diselimuti awan pekat, dan barang siapa berusaha menguaknya, tembok tebal yang amat kuat itu menjadi penghalangnya. 

Disamping peristiwa kelam, Bulan Mei 1998 juga dikenang sebagai bulan kehancuran rezim absolutis yang telah berkuasa selama 32 tahun, dan secara bersamaan menjadi kelahiran era reformasi, suatu kemenangan perjuangan kemurnian hati mahasiswa Indonesia yang tak kenal pamrih. Hari pendidikan nasional juga jatuh pada bulan ini, peristiwa penting yang memengaruhi sejarah pejuangan Indonesia yang diabadikan sebagai hari kebangkitan nasional juga ditorehkan pada bulan ini. Artinya, bulan Mei bagi Indonesia sesungguhnya bukan hanya bercerita tentang kepahitan, tetapi juga peristiwa-peristiwa penting yang menghantarkan rakyat Indonesia pada kebahagiaan. 

Pertanyaannya sekarang, bolehkah kita melupakan tragedi Mei yang bercerita tentang kepahitan itu, dan membiarkan fakta yang kelam itu bermethamorphosa menjadi misteri, dan hanya mengingat hal-hal yang baik-baik saja? Apakah pelupaan itu tidak akan berdampak pada jalannya reformasi yang kini makin tak menentu? Bahkan oleh beberapa orang reformasi telah di vonis gagal. 

Absurditas pelupaan fakta Lengsernya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, tidak bisa dilepaskan dengan kondisi kekacauan yang terjadi pada bulan Mei dan guncangan ekonomi terburuk dalam 30 tahun terakhir, yang kemudian menjadi tonggak kemenangan pejuang reformasi. Karena itu menguak misteri kerusuhan Mei akan membuat sejarah reformasi negeri ini terang bederang. Apalagi setelah genap 10 tahun reformasi ternyata makin kehilangan gairahnya. 

Semangat reformasi memang tak kan pernah mati, tapi pelaku nya tak lagi bisa melihat masa depan reformasi, dan itulah yang membuat reformasi menjadi kelimpungan. Pada realitasnya, Kondisi kesejahteraan kebanyakan rakyat Indonesia selama sepuluh tahun reformasi kian hari makin terpuruk.

Makin rendahnya daya beli masyarakat seiring tingginya lonjakan harga kebutuhan pokok yang tak terkendali, mahalnya harga energi, meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan adalah bukti dari keterpurukan itu. Itulah yang diekspresikan dalam demo tanggal 12 Mei 2008 yang bertemakan, rakyat menggugat. Belum lagi benturan yang terjadi antar anggota masyarakat yang melibatkan pemerintah dalam konflik suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). 

Bangsa ini tampaknya bingung tentang realitas masa kini karena tak lagi memahami masa lalunya, dan itu terlihat dalam pemerintahan yang seakan tak memiliki visi untuk membawa bangsa ini keluar dari kesulitannya, khususnya ditengah ancaman krisis global babak kedua saat ini. 

Slogan-slogan usaha mensejahterakan rakyat sebagaimana tema seabad kebangkitan nasional memang masih terus diperdengarkan, namun tanpa arah yang pasti, apalagi untuk membuat suatu proyeksi sahih, semuanya jadi serba ilusi yang tak rasional, membuat rakyat makin bingung melangkah kemasa depan. Akibatnya, realitas sebagai bangsa yang satupun semakin mendapat ancaman. 

Kebutuhan kebenaran masa lalu. Suatu prediksi yang jelas dan terukur hanya bisa lahir jika ada pengetahuan akan masa lalu, karena tanpa pengetahuan masa lalu, tak ada pemahaman yang utuh tentang masa kini. Keutuhan pengetahuan masa lalu dan pengetahuan masa kini adalah syarat yang harus ada untuk membuat suatu perdiksi ke depan atau visi. 

Kegagalan menguak realitas masa lalu, akan membuat masa depan hanyalah ilusi, dan tak mungkin menghasilkan proyeksi yang jelas, dan tanpa proyeksi yang jelas perjalanan seperti meraba-raba, penuh ketidak pastian. Itulah sebabnya mengapa mengungkap kebenaran masa lalu menjadi suatu keharusan, bukan hanya untuk memuaskan keadilan yang tentu saja amat penting, tetapi juga agar tragedi masa lalu tak terulang kembali. 

Pengetahuan masa lalu akan melahirkan pertimbangan cerdas untuk tidak mengulangi kegagalan. Karena itu, bagaimanapun sulitnya untuk mendapatkan bukti-bukti yang mengungkapkan realitas masa lalu tidak boleh dijadikan alasan untuk melupakan masa lalu yang yang coba ditutupi. 

Mereka yang menjadi korban, atau keluarga-keluarga korban kerusuhan Mei tentu paham mengapa mereka memerlukannya, tanpa kejelasan peristiwa masa lalu, bagi mereka, masa depan tak layak untuk dijalani bersama. Karena itu kontradiksi tentang perlu tidaknya menguak kebenaran peristiwa Mei sebenarnya tak perlu terjadi, apalagi dengan tujuan melupakan dosa masa lalu. 

Kejahatan yang disembunyikan akan merasa aman, dan akan muncul lebih ganas lagi pada masa datang. Tragedi tak akan berhenti dengan menyembunyikan kejahatan masa lalu, dan perdamaian sejati tak akan pernah hadir dengan menjadikan diri kita lupa ingatan, karena menyembunyikan kejahatan adalah tanda tak adanya rasa saling percaya. Itulah sebabnya ada konflik, karena tanpa kepercayaan tak mungkin kita berkomunikasi dengan tulus, apalagi kerja sama harmonis.

Harus diakui, menguak kebenaran bukan soal mudah, dan itu membutuhkan perjuangan keras. Namun, semua kesulitan untuk mengungkap kebenaran tidak boleh menjadi pembenaran untuk melupakannya. Negeri ini tak akan pernah punya visi tentang masa depan tanpa kejujuran mengungkapkan masa lalu, dan kebingungan akan terus berlanjut tanpa penjelasan masa lalu. Semoga saja kita mau jujur terhadap masa lalu, meski menyakitkan, karena dengan cara itulah kedamaian dapat dihadirkan, dan membuat kita bisa bersatu, sampai selamanya. 

 Binsar Antoni Hutabarat 

Stop Tayangan Iklan Rokok




Kemewahan iklan rokok yang mengundang daya pikat dengan penampilan kejantanan perokok menghadirkan suatu kontradiksi.

 Rokok yang tak ada manfaatnya itu dikemas menjadi sesuatu yang bermanfaat, salah satunya adalah pemberi kejantanan, dan kenikmatan hidup dengan beragam variasi. 

 Bintang iklan rokok yang umumnya pria gagah perkasa serta wanita-wanita yang begitu aduhai, dengan daya pikat kemewahan hidup dalam berbagai pencapaian keberhasilannya, seperti Obsesi sutradara yang dikaitkan dengan kenikmatan rokok Star Mild, pengendara motor yang menampilkan keperkasaannya yang direlasikan dengan rokok Gudang garam merah, juga dengan kehadiran wanita cantiknya yang berpakaian merah, keakraban gaya sampurna Hijau dll, begitu lekat dengan remaja dan anak-anak. 

 Kita tentu paham, mengapa keengganan untuk tidak merokok tak pernah surut, bukan hanya pada mereka yang telah dewasa, juga mereka yang masih remaja, bahkan, anak-anak usia sekolah dasar pun kini telah banyak yang mengakrapi rokok, dan tingkat pertumbuhannya pun amat spektakuler. 

Berdasarkan Sensus Sosial Nasional tahun 2004, perokok aktif dari kelompok usia 13-15 tahun mencapai 26, 8 persen, dan usia 5-9 tahun terdata 1,8 persen. 

Pada periode 2001-2004, jumlah perokok aktif usia 5-9 tahun meningkat hingga 400 persen. 

 Kemanapun kita pergi di pelosok negeri ini, sulit untuk menemukan daerah bebas rokok, ironisnya, bukan hanya iklan rokok ditelevisi yang mudah dijumpai, papan reklame rokok dalam ukuran yang besar tidak sulit ditemukan dipelosok negeri ini, bahkan didaerah-daerah miskin, tempat dijumpai anak-anak yang mengidap busung lapar, dan berbagai penyakit lainnya. 

 Pemerintah memang telah mengeluarkan larangan merokok di kantor-kantor, tempat-tempat tertentu, dengan menyediakan ruangan khusus untuk memanjakan perokok, tapi itu bukanlah kampanye anti rokok, karena tak ada larangan untuk merokok, yang ada hanyalah pemisahan tempat untuk perokok, ditempat itu perokok justru dimanjakan dengan fasilitas yang amat memadai. 

Rakyat makin resah. 

 Keresahan masyarakat terhadap lemahnya peran pemerintah dalam upaya membebaskan Indonesia dari rokok, khususnya anak-anak terlihat pada ungkapan demo di Bundaran Hotel Indonesia, senin (4/2) pada spanduk yang bertuliskan, “Bebaskan Kami dari Asap Rokok”. Bertepatan dengan Hari Kanker Sedunia, karena asap rokok memicu kanker payu dara dan kanker mulut rahim.  

Keresahan itu juga terlihat lebih jelas pada penyampaian petisi dan peringatan keras kepada para anggota dewan agar tidak merokok oleh ratusan pelajar sekolah dasar di gedung DPR Senayan Jakarta, senin 4 Maret 2008, sekaligus merupakan bukti bahwa pemerintah belum serius berusaha untuk perang terhadap bahaya merokok, itu terlihat jelas pada isi tuntutan para siswa yang diorganisir Yayasan Kanker Indonesia Dewi Huges yang menyerahkan sepuluh poin anti rokok kepada DPR yang isinya antara lain, pemimpin negara harus menjadi teladan rakyat untuk tidak merokok, menjauhkan rokok dari anak-anak, mengeluarkan undang-undang larangan merokok dan menegakkan peraturan secara tegas. 

 Antara menulis, 51,67 % responden usia 13-15 tahun kadang mendapati orang lain merokok dirumah mereka saat mereka sedang di rumah. 

Rakyat akan lebih resah jika tahu, 100 % asap rokok yang dihasilkan seorang perokok, 25 persen masuk kedalam tubuh sang perokok, sedangkan 75 persen sisanya dihirup oleh orang-orang sekitarnya. 

Bahaya merokok bukan hanya berakibat buruk bagi perokok, tetapi juga orang-orang yang tidak merokok. 

 Perlu Keseriusan Belum bebasnya gedung DPR dari ancaman asap rokok juga merupakan bukti kurangnya keseriusan pemerintah. 

Bahkan, dalam iklan prilaku hidup bebas dan sehat (PHBS) yang menghadirkan menteri kesehatan sebagai bintang iklan juga tidak memasukkan bebas dari rokok sebagai salah satu kiat hidup sehat, meski iklan ini menuai kritik, tetap saja belum ada niat untuk memperbaikinya. 

 Tidak seriusnya pemerintah juga terlihat dari keengganan untuk meratifikasi kerangka kerja konvensi mengenai pengendalian tembakau (Frame Work Convention on Tobacco Control/FCTC), padahal sejak Mei tahun 2003, FCTC itu telah disetujui 192 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melindungi masyarakat dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan dan konsekwensi ekonomi akibat konsumsi tembakau serta paparan terhadap asap tembakau, dan kini FCTC telah menjadi hukum internasional yang telah diratifikasi oleh 137 negara, dan Indonesia satu-satunya negara di Asia yang belum menandatanganinya. 

Padahal Indonesia adalah negara penyumbang perokok terbesar di Asean yakni 57,563 juta orang, atau 46,16 persen dari jumlah perokok di Asean 124, 691 juta orang., dan Asean menyumbangkan 20% jumlah orang yang mati karena rokok, dari jumlah 5 juta orang yang mati di dunia karena rokok tiap tahunnya. 

 Tuntutan para siswa itu tepat sekali, bagaimana mungkin dari gedung itu akan keluar peraturan-peraturan yang cerdas untuk melindungi anak Indonesia terbebas dari asap rokok jika mereka sendiri akrab dengan rokok. 

Apalagi, jika para anggota dewan yang terhormat itu sendiri belum mampu melindungi anak mereka dari bahaya asap rokok, seperti ada begitu banyak orang tua di negeri ini yang tak peduli dengan bahaya yang akan diderita oleh anak mereka dari kebiasaan merokok di dalam rumah. 

 Apabila para anggota Dewan itu telah mampu menciptakan gedung DPR bebas dari asap rokok, serta melindungi keluarga mereka yang tidak merokok, khususnya anak-anak, barulah dapat diharapkan dari gedung itu keluar aturan yang cerdas dan berisi keadilan, jadi wajarlah jika para siswa itu mengingatkan anggota dewan. 

 Stop Iklan Rokok 

 Salah satu ujian penting keseriusan pemerintah adalah apakah pemerintah berkeinginan untuk mengeluarkan larangan terhadap iklan rokok yang adalah alat ampuh untuk menarik perokok baru, seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang meratifikasi FCTC. 

Iklan rokok di televisi itu hanya ada di Indonesia dan Nigeria. Wajar saja, karena bagaimana mungkin kita mengijinkan penayangan iklan yang menawarkan produk yang tak memiliki manfaat apapun, itu adalah suatu anomali. 

 Pemerintah tidak hanya cukup memerintahkan perusahaan rokok untuk mencantumkan peringatan bahaya kesehatan merokok, karena terbukti tidak efektif dalam mengurangi jumlah perokok, apalagi perusahaan rokok ternyata mampu membuat iklan yang menawarkan kenikmatan merokok dengan berbagai cara serta menawarkan hasil yang akan didapat dari merokok, untuk mengalihkan perokok dari ketakutan terhadap bahaya akibat merokok. 

Pengemasan iklan rokok yang menarik dengan menampilkan bintang-bintang idola ini juga telah membuat remaja dan anak-anak menyukainya, dan tentunya tergoda untuk mencoba-coba merokok, padahal itu sesungguhnya hanyalah suatu manipulasi yang menghadirkan kontradiksi dalam iklan rokok.

 Rokok yang sangat berbahaya dijadikan sesuatu yang amat berguna, menarik, bahkan mustahil untuk dilepaskan. Iklan rokok kini mendominasi siaran-siaran dengan rating tinggi, keuntungan yang besar dari industri rokok menurut laporan majalah Forbes telah menempatkan tiga pengusaha rokok dalam daftar orang terkaya di Indonesia, jadi tidaklah mengherankan jika mereka dapat mendominasi iklan dengan keuntungannya yang besar. 

Dominasi iklan rokok tentu saja akan menghasilkan perokok-perokok baru, remaja dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan. 

Karena itu larangan iklan rokok merupakan langkah yang perlu diambil untuk membebaskan anak-anak dari rokok, serta memutus mata rantai pemimpin, figur bintang iklan rokok yang tak dapat diteladani. 

Ungkapan Aris Merdeka Sirait, sekretaris Jendral Komisi Nasional Perlindungan Anak perlu direnungkan, “Pemerintah yang membebaskan iklan rokok berarti ikut membunuh anak-anak.” 

Binsar A.Hutabarat