google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

Perihal Gonjang Ganjing Harga Kedelai


  Problem keadilan yang sering kali hadir dalam implementasi pasar bebas, sering kali luput dari pengamatan pemerintah. 

Lonjakan harga yang terus terjadi pada berbagai barang kebutuhan adalah bukti yang tak terbantahkan, khususnya lonjakan harga pada produk kebutuhan orang banyak, anehnya, lonjakan harga itu tidak pernah kembali pada keadaan sedia kala, fluktuasi harga tidak terjadi, yang ada hanyalah kenaikan harga yang bebas dari pengaruh. 

Kini, lonjakan harga itu juga terjadi pada kedelai, dan membuat perajin tahu tempe kelimpungan, pasalnya, mereka tak mempunyai kekuatan untuk mengikuti harga yang terus melambung, melepaskan ketergantungan pada kedelai berarti kehilangan pekerjaan, dan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

 Harga kedelai yang terus melambung, naik 100%, dari kondisi normal Rp. 3.500,- per kilogram menjadi sekitar Rp. 7.500,- per kilogram, telah membuat perajin Tahu Tempe kelimpungan, mereka seperti menghadapi buah simalakama, menaikkan harga tempe akan megurangi permintaan, menahan kenaikan harga mendatangkan kerugian, usaha menurunkan kualitas tempe tahu dengan pengurangan bahan baku kedelai dengan tidak menaikkan harga, tetap saja mengakibatkan merosotnya permintaan, lebih parah lagi kejadian itu terjadi ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami penurunan daya beli. 

Jika kondisi ini dibiarkan pastilah akan memiliki dampak luas. Puluhan ribu industri tahu tempe di Indonesia terancam bangkrut, tercekik oleh terus meroketnya harga kedelai yang berlangsung beberapa bulan ini. 

Konsumen kedelai yang meliputi 1,2 juta industri kecil Tahu Tempe dan 5000 perusahaan besar yang melebihi 3,2 juta tenaga kerja diseluruh Indonesia harus menerima dampaknya.

 Meroketnya harga kedelai itu mengakibatkan harga tempe naik 150% dipasaran, ini membuat permintaan tempe tahu menurun drastis. 

Wajar saja jika sekitar 3000 anggota Kopti se-Jawa menggelar demo di depan Istana senin, 14 Januari 2008 untuk meminta pemerintah menstabilkan harga kedelai, gonjang-ganjing harga kedelai ini sudah berlangsung beberapa bulan. 

 Kenaikan harga kedelai yang fantantis tersebut selain disebabkan oleh menurunnya produksi kedelai dalam negeri akibat makin menyempitnya lahan tanaman kedelai, juga akibat kenaikan harga kedelai di luar negeri, dinilai, itu terkait penggunaan kedelai untuk bahan bakar biofuel. 

Kenaikan kedelai di luar negeri ini sangat memukul para pengusaha tahu tempe khususnya, karena umumnya mereka lebih menyukai menggunakan bahan baku kedelai impor yang bungkilnya berukuran lebih besar dibanding kedelai lokal, hampir 80% persen bahan baku memakai kedelai impor. 

Di tengah kondisi memprihatinkan itu terdengar suara miring tentang adanya kartel importir kedelai, apalagi dengan harga jual yang ditetapkan para importir saat ini yang relative sama, padahal sebelumnya bisa berbeda, suara tidak sedap itu pun bergaung keras, adanya kartel kedelai itu juga diakui oleh menteri perdagangan, meski itu di bantah oleh perusahaan pengimpor kedelai. 

Harus diakui, kartel importir kedelai itu bukan sesuatu yang sulit terjadi dengan terbatasnya Negara-negara pensuplai kedelai seperti Amerika, Argentina, Tiongkok, dan India, itulah sebabnya ada desakan untuk perluasan Negara pensuplai kedelai yang kemudian mencuat kepermukaan, sebagai solusi cepat untuk mengendurkan ketegangan itu. 

Kita semua mafhum, kedelai memang bukan kebutuhan yang setingkat dengan beras yang selalu menjadi prioritas pemerintah untuk menstabilkan harganya, namun dampak kenaikan harga kedelai ternyata juga memiliki pengaruh yang amat signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya industri kecil, apalagi ditengah belum berhasilnya pemerintah mendorong peningkatan sektor riil, upaya untuk menstabilkan harga kedelai mesti menjadi prioritas pemerintah untuk menekan angka pengangguran yang menjadi persoalan pelik di negeri ini, dan pemerintah tidak boleh terus berada dalam kebimbangan, sebab rakyat menantikan tindakan cerdas pemerintah. 

Minimnya perencanaan

 Pemerintah tentu bukannya tidak tahu, bahwa produksi kedelai terus merosot sedang konsumsi kedelai terus meningkat. 

Luas tanaman kedelai kini tinggal 600 ribu hectare, padahal tahun 1997 seluas 1,2 juta hectare. Dari kebutuhan sebesar 2 juta ton yang dapat dipenuhi dari produksi lahan dalam negeri hanya 1,2 juta ton, padahal jika pemerintah memperbanyak penggunaan benih kedelai hibrida, kebutuhan akan kedelai dapat dipenuhi oleh hasil dalam negeri, benih hibrida mampu memproduksi 6-7 ton per ha, jadi jika luas tanaman kedelai 600 ribu ha, hasilnya jelas melampaui kebutuhan.
 
Kegagalan untuk memenuhi pasokan kedelai jelas terkait minimnya perencanaan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. 

Alasan penggunaan kedelai sebagai bahan bakar biofuel yang dianggap sebagai biang keladi lonjakan harga kedelai jelas tidak bisa menjadi pembenaran, karena pemenuhan kebutuhan itu pun mestinya terencana dengan baik. 

Minimnya usaha pemerintah untuk membuka hubungan dengan Negara-negara penghasil kedelai jelas merupakan kelalaian memerhatikan kebutuhan perajin tempe yang terancam bangkrut itu. 

Minimnya usaha pemerintah untuk membuka hubungan dengan Negara-negara penghasil kedelai merupakan bukti minimnya antisipasi pemerintah terhadap kemungkinan yang terjadi dalam lonjakan harga kedelai, belum lagi kelambatan pemerintah untuk menurunkan bea masuk yang kini dianggap sebagai usaha yang penting untuk menurunkan harga kedelai, kejadian tersebut sepatutnya tak boleh terjadi, apalagi diulangi. 

Alasan pemotongan biaya masuk yang akan merugikan petani dalam negeri juga tidak bisa dibenarkan, karena itu hanyalah tindakan sementara, yang utama adalah bagaimana memenuhi kebutuhan konsumen kedelai dalam negeri, agar mereka dapat tetap berusaha, apalagi jumlahnya tidak sedikit. 

Pemerintah seharusnya menekankan pada program-program yang merupakan kebutuhan orang banyak, itu adalah tindakan adil dan bijaksana. 

Pemerintah baru memutuskan pembebasan bea masuk setelah aksi demo pedagang tahu tempe, tapi itu pun masih menjadi tanda Tanya besar, bagaimana mungkin penghapusan bea masuk yang hanya 10% itu bisa menstabilkan harga kedelai yang sudah naik sampai lebih dari 100%. 

Isu adanya kartel importir kedelai perlu direspon, jika benar terjadi, ini adalah sisi kelam wajah bisnis Indonesia, Tindakan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mematikan kesempatan rakyat banyak dalam berusaha, khususnya mereka yang kurang beruntung, jelas tindakan yang tidak etis, jauh dari nilai-nilai manusiawi yang didasarkan pada nilai-nilai religius, namun mengembalikan impor kedelai pada Bulog yang sarat dengan korupsi juga tidak memberikan harapan pasti. 

Pada persoalan ini tetap saja pemerintah tidak boleh hanya melemparkan kesalahan pada perusahaan pengimpor kedelai. Kelambanan pemerintah untuk menjalain hubungan dengan Negara-negara baru penghasil kedelai jelas menjadi pelajaran serius untuk tidak terulang kembali, dan pemberian sanksi harus diberikan agar peristiwa itu tidak terulang lagi, jika memang sungguh terjadi. 

 Problem ketidak adilan (problem of Justice) Gonjing-ganjing harga kedelai adalah gambaran kepelikan implementasi keadilan bagi semua, khususnya pemberian keadilan bagi mereka yang lemah. 

 Apabila kartel importir kedelai benar diberlakukan, problem ketidak adilan jelas menjadi persoalan serius dalam meningkatkan gairah berusaha yang saat ini diperjuangkan oleh pemerintah. 

Namun, minimnya perhatian pemerintah untuk memenuhi kebutuhan perajin tempe tahu akan kebutuhan kedelai, khususnya industri kecil, telah menciptakan marginalisasi dalam berusaha. 

Pemerintah dalam hal ini mesti tanggap untuk memberikan keadilan bagi puluhan ribu perajin tempe yang terancam bangkrut. 

 Binsar Antoni Hutabarat

Berita Harus Menunjuk pada Fakta




Berita seharusnya menunjuk pada fakta, lazimnya kita sebut sebagai berita benar, tapi ternyata tidak selalu demikian. Berita tidak jarang terpisah jauh dari fakta, berita seringkali juga tidak mampu menunjuk pada fakta, kita menamakannya berita bohong, meski penyampai berita adalah orang yang dipercaya atau memiliki kompetensi untuk menyampaikan berita benar. 

Mengucapkan berita tanpa mampu menunjuk pada fakta jauh lebih mudah dibandingkan menyampaikan berita yang menunjuk pada fakta. Sayangnya, hanya sedikit orang yang mengerti, sehingga ada banyak berita tidak mampu menunjuk pada fakta. 

Parahnya, akibat buruk yang dihasilkan sering kali tak pernah terpikirkan. Berita tanpa fakta yang begitu mudah terucap biasanya berdampak buruk bagi orang yang membutuhkan berita itu, realitas ini terbaca dalam peristiwa hilangnya pesawat Adam Air, pada penerbangan ke Manado dari Surabaya 1 Januari lalu, dan diberitakan Jatuh di Desa Rangoan, Kecamatan Matanga, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. 

Berawal dari pengumumam Komandan Pangkalan Udara Marsekal Pertama Eddy Suyanto yang mengatakan bahwa bangkai pesawat Adam Air telah ditemukan di Desa Rangoan, Kecamatan Matanga, Kabupaten Poliwali Mandar, pukul 08.15 WIB. Media elektronik dan surat kabar tanpa ragu menyebarluaskannya, apalagi berita itu dikonfirmasikan oleh pernyataan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa pukul 09.15 WIB tentang telah ditemukannya pesawat tersebut dengan 90 korban tewas dan 12 orang selamat.

Berita itu menimbulkan harapan bagi keluarga penumpang. Mereka berharap salah satu dari 12 orang yang selamat itu adalah keluarga mereka. Tidak heran, seorang istri yang sedang hamil tujuh bulan berusaha ke Makassar dengan harapan dapat menjumpai suaminya yang termasuk salah seorang dari 12 penumpang yang selamat. Pukul 12.45 WIB, Marsekal Eddy Suyanto kembali menegaskan penemuan pesawat Adam Air dengan sedikit perubahan namun sangat penting bahwa 12 orang yang dinyatakan selamat belum ditemukan, masih dicari, tetapi 90 korban meninggal telah ditemukan. 

Berita ini mengecilkan harapan keluarga korban, karena 12 orang yang diberitakan selamat, ternyata belum ditemukan, bisa jadi nasibnya akan sama dengan 90 korban lainnya. Pukul 17.26 WIB, rombongan wartawan yang sudah berjalan 30 kilometer dari Desa Rangoan, menemukan fakta bahwa warga setempat belum melihat satupun jenazah korban Adam Air. Tetapi pukul 18.00 WIB, 

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tetap menyatakan laporan tentang adanya korban tewas 90 orang, meskipun tim SAR tidak bisa bergerak karena hujan. Herannya, walaupun tim SAR belum tiba pada lokasi reruntuhan pesawat, aparat yang berwenang, dalam hal ini KNKT, begitu bernafsu untuk memberitakan berita yang tidak terkait dengan fakta. Pukul 18.50 WIB, Adam Air menggelar jumpa pers dan menyatakan bahwa 90 orang tewas dan 12 selamat adalah informasi yang bersumber dari masyarakat. Padahal masyarakat yang mana masih menjadi misteri, karena sumber utama yang dianggap sebagai pembawa berita menampiknya. Di sini tampak bahwa orang-orang yang dipercaya sebagai pembawa berita benar, masih belum mampu memahami pentingnya berita yang harus disampaikan. 

Alasan desakan keluarga sebagai pembenaran penyampaian berita tanpa fakta, tentu saja tidak dapat dibenarkan. Pukul 19.00 WIB, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa menggelar jumpa pers untuk mengoreksi berita bohong. Kabar palsu itu tersebar dari masyarakat ke kantor Kepolisian Resor Polewali Mandar, diteruskan ke kantor Kepolisian Wilayah Pare-pare, lantas ke Kepolisian Daerah Sulawesi Barat dan Panglima Kodam hingga ke tangan Menteri. 

Melihat alur berita yang masuk ke tangan Menteri dan kemudian diberitakan kepada masyarakat tidaklah beralasan jika berita bohong itu semata-mata ditimpakan pada masyarakat pembawa berita pertama, sedang pembawa berita pertama pun tidak mampu diketahui secara tepat. 

Antara Kata dan Fakta 

Di sini tampak bahwa orang-orang yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat sebagai pembawa berita benar, masih jauh dari kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang diembannya. 

Filsafat bahasa mengajarkan kepada kita, bahwa kata (bahasa) bukanlah fakta. Kata hanya menunjuk pada fakta, dan kata bukan fakta, sehingga kata akan kehilangan nilainya ketika ia tidak mampu menunjuk pada fakta. Namun, kata yang tidak menunjuk pada fakta tidak akan kehilangan otoritasnya, kata tetap berkuasa membawa pendengarnya pada apa yang diperkatakan. 

Kata yang memiliki otoritas akan sangat berbahaya ketika kata tidak mampu menunjuk pada fakta, bukan saja kata menjadi tidak bernilai, tetapi berdampak pada individu yang menjadi pendengar. Kata menjadi menyesatkan pendengar dan melahirkan tindakan-tindakan yang tidak produktif bahkan menghancurkan pendengar yang menjadi penurut berita, itulah yang sering kali dilupakan. 

Kemudahan mengucapkan kata (berita) sering kali dianggap tidak berakibat fatal. Padahal setiap berita (kata) yang terucap entah ia menunjuk pada fakta atau tidak, tetap tidak kehilangan otoritasnya. Artinya, berita (kata) memiliki otoritas membawa pendengar pada apa yang benar atau penyesat, apalagi ketika sang pemberita mendapatkan kepercayaan masyarakat, otoritas makin kuat menyertai berita, akibatnya semua berita akan di- telan mentah-mentah oleh pendengar. Kenyataan ini sangat merugikan pendengar, karena itu pihak yang memiliki otoritas harus lebih berhati-hati untuk menyampaikan berita. 

Harapan keluarga penumpang pesawat Adam Air menemukan anggota keluarganya sebagai bagian dari 12 orang yang selamat, tentu saja akan membuat mereka berjuang keras dengan segala upaya untuk segera menemukannya, jika mungkin segera menuju lokasi ditemukannya jatuhnya pesawat. Namun mimpi bertemu dengan keluarga walau harus mengorbankan segalanya menjadi tidak bermakna ketika berita yang didengar tidak menunjuk pada fakta, karena ketika mereka menuju lokasi yang diberitakan, ternyata mereka tidak menemukan apa yang dimimpikan. Ini adalah penderitaan baru yang tidak harus ditanggung jika pembawa berita bertanggung jawab menyeleksi berita yang harus disampaikan. 

Berita bohong yang menyesatkan masyarakat Indonesia tidak akan terdengar jika kita memahami bahwa kata (berita) memiliki otoritas. Menyalahkan pembawa berita pertama boleh saja, tetapi menerima berita tersebut bulat- bulat tanpa mencari fakta adalah kesalahan lain, dan tidak bisa dianggap kecil, apalagi berita itu telah menjadi makanan masyarakat pada skala nasional. 

Pejabat berwenang tidak hanya perlu meminta maaf, tetapi harus menyadari bahwa tugas menyampaikan berita benar adalah sangat penting, sehingga peritiwa pendustaan pada skala nasional ini tidak terulang kembali. Memang tugas untuk menyampaikan berita yang menunjuk pada fakta tidaklah mudah, sang pemberita harus berjerih lelah menjumpai fakta yang ditunjuk oleh kata atau berita, setidaknya memastikan ada perjumpaan dengan fakta barulah ada berita yang disampaikan. 

Pekerjaan berat ini akan menjadi kebahagiaan seandainya kita tahu bahwa pendengar berita akan sangat diuntungkan dengan berita benar. Apalagi di tengah-tengah dunia yang gemar menyampaikan berita bohong untuk membinasakan sesamanya, yang terbaca pada banyaknya pertentangan, kerusuhan, penganiayaan, pembunuhan, berdasarkan berita tanpa fakta. 

Binsar A. Hutabarat