google.com, pub-2808913601913985, DIRECT, f08c47fec0942fa0 AGAMA DAN MASYARAKAT

Halaman

“Toleransi Militan”





                               KLIK DISINI!



 Istilah “Toleransi Militan” kini makin popular di Indonesia, seiring dengan kian maraknya kehadiran kelompok-kelompok radikalisme yang menapikan keragaman, yang bermuara pada konflik yang mengakibatkan korban yang tidak sedikit, khususnya dalam konflik antar agama di era kebangkitan agama-agama yang juga disebut kebangkitan radikalisme agama, yang terbaca jelas baik dalam hal politisasi agama maupun agamaisasi politik.

“Toleransi Militan” itu kini dianggap sebagai solusi penting bagi terciptanya penghargaan terhadap keragaman yang adalah realitas dari keindonesiaan yang kini berada pada titik kritis, dan bukan mustahil akan memporak-porandakan kesatuan yang telah dikrarkan sejak 17 Agustus 1945. 

Timbul pertanyaan, apakah “Toleransi Militan” itu tidak bertentangan dengan jiwa toleransi yang sering kali dimaknai sebagai sikap pasif bahkan dianggap sebagai sikap yang menerima apa saja (sinkretisme), dan apakah sikap itu tidak makin mengeraskan kelompok radikal yang sangat militan ketika bertemu dengan kelompok toleransi militan, apalagi dalam kondisi negara yang seakan tidak lagi memiliki otoritas seperti didengungkan banyak orang, terkait ketidakberdayaan pemerintah untuk melindungi warganya dari tindak kekerasan yang tidak pernah berhenti sejak era reformasi, dan masih saja ada pembenaran sebagai sesuatu yang dianggap biasa terjadi di era transisi, meski reformasi itu telah berlangsung selama sepuluh tahun. 

Tentang Toleransi Toleransi berasal dari kata “toleran” kata itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Jadi, dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. 

Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada. Toleransi seperti ini, menjadi jalan bagi terciptanya kebebasan beragama, apabila kata tersebut diterapkan pada orang pertama kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya. Artinya, pada waktu seseorang ingin menggunakan hak kebebasannya, ia harus terlebih dulu bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya telah melaksanakan kewajiban untuk menghormati kebebasan orang lain?” Dengan demikian, setiap orang akan melaksanakan kebebasannya dengan bertanggung jawab, dan toleransi jauh dari sikap pasif yang menerima apa adanya tanpa perjuangan. 

Toleransi dalam arti ini juga bukanlah didasarkan pada adanya kesepakatan total terhadap kepercayaa-kepercayaan, karena pluralitas adalah fakta yang tak terbantahkan, karena itu, toleransi tidak akan memaksa seseorang untuk merelatifkan kepercayaan-kepercayaan, apalagi terjebak dalam penjara relativisme. Benarlah apa yang dikatakan oleh David Little, “jika ada kesepakatan total, seluruh ide toleransi sesungguhnya telah tiada” Toleransi memungkinkan orang dapat belajar tentang kepercayaan-kepercayaan lain, mendengarkannya dengan terbuka, tanpa harus memeluk kepercayaan itu. 

Sikap aktif dari toleransi juga terlihat ketika harus menahan “Rasa sakit” yang muncul ketika menghadapi kepercayaan-kepercayaan yang tidak bisa diterima atau menyimpang (bidat), atau dengan kritik yang “membuat menderita,” yang kemudian justru menghasilkan manfaat besar, karena di dalam proses itu wawasan-wawasan menjadi tajam, orang menjadi lebih jujur dan lebih kritis terhadap diri sendiri, semuanya di dalam kerangka yang tidak menggunakan kekerasan. Seperti halnya latihan tubuh, ada manfaat dari rasa sakit. 

Toleransi Militan. 

Dalam bahasa yang lebih tegas, sikap toleransi sebagaimana dijelaskan David Little didefinisikan oleh Hollenbach sebagai “solidaritas intelektual”, “suatu orientasi yang mengarahkan seseorang untuk melihat perbedaan-perbedaan secara positif dan bukannya dengan pola pikir yang ditandai oleh kecurigaan atau ketakutan.” 

Solidaritas intelektual mulai dari sikap yang menerima pemahaman-pemahaman asing atau aneh mengenai kebaikan bersama ke dalam dunia mental seseorang di dalam semangat keramahan, bukannya berjaga-jaga dengan curiga terhadap pemahaman-pemahaman tersebut. 

Penerimaan ini juga termasuk kesediaan untuk mendengarkan pandangan yang dianggap bidat. Orientasi yang menerima ini diharapkan bisa mempelajari sesuatu yang berharga dengan mendengarkan orang-orang yang mempunyai pemahaman mengenai kebaikan bersama yang berbeda dengan pandangan sendiri, karena adalah suatu realitas semua agama-agama memiliki kebaikan (golden rule) Solidaritas intelektual itu sendiri tumbuh dari sikap belajar saling memberi-menerima. Hollenbach berujar, “Solidaritas intelektual sebuah sikap yang didasarkan pada harapan bahwa kita benar-benar bisa mencapai suatu titik dimana jika kita memutuskan untuk mendengarkan mengenai apa yang dipikirkan oleh orang-orang lain tentang seperti apa kebaikan bersama itu dan pada gilirannya menceritakan kepada mereka mengapa kita melihat kehidupan yang baik itu sebagaimana kita melihatnya.” Dapat dipahami, sesungguhnya, toleransi atau solidaritas intelektual memiliki semangat militan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, dan tanpa semangat meniadakan yang lain. Jadi, toleransi militan sesungguhnya suatu solusi, sekaligus suatu cara cerdas untuk menahan sikap radikalisme, tanpa harus menafikkan individu-individu yang terjebak dalam belenggu radikalisme. Sikap “Toleransi Militan” bangsa Indonesia telah dibuktikan oleh kesediaan setiap kelompok untuk menghormati kelompok yang berbeda dengan mengutamakan persatuan, kesediaan menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan fakta bahwa suku-suku lainnya rela untuk tidak menonjolkan bahasa sukunya demi persatuan, demikian juga yang terjadi pada penetapan Pancasila dan UUD 45. 

Founding fathers Indonesia adalah teladan dari sikap toleransi militan, dan Indonesia bisa selamat dari bahaya disintegrasi bangsa jika kita mampu membangkitkan semangat “Toleransi Militan” 

Binsar Antoni Hutabarat 

Perlukah UU Antipornografi dan Pornoaksi?






 PERDEBATAN seputar Rancangan Undang- Undang RUU Pornografi dan Pornoaksi yang sedang digodok di DPR saat ini menjadi isu "panas". 

Kalau tidak salah, isu ini mulai mencuat (lagi) ketika Rhoma Irama menuding goyangan "ngebor" Inul Daratista sebagai salah satu jenis pornoaksi.

Inul sendiri membantah tuduhan Si Raja Dangdut itu sebagai sesuatu yang ber- lebihan dan tidak mempunyai dasar. 

Pertengkaran mereka sempat mereda, namun dengan adanya pembahasan RUU Antipornografi dan Pornoaksi, perselisihan kedua artis kondang tersebut kembali menjadi pemberitaan hangat.

Tingginya desakan dari sekelompok masyarakat agar RUU Pornografi dan Pornoaksi disahkan, pun tidak terlepas dari rencana terbitnya Majalah Playboy versi Indonesia. 

Bahkan, nyaris setiap hari ada demo besar untuk menolak Playboy khas Indonesia ini. Padahal kalau mau jujur, selama ini sudah sejak lama beredar majalah yang mungkin lebih "parah" dari Playboy yang bakal diterbitkan itu, namun tidak pernah ter-lalu diributkan.

Bahkan, VCD-VCD porno (blue film) juga bertebaran di mana-mana tanpa ada yang mau peduli. Mungkin karena tekanan terhadap pornografi sedang menguat, banyak pula kasus lama yang dinilai berbau pornografi, kini mulai ditangani. 

Anjasmara, yang dituding melecehkan Nabi Adam, akhir-akhir ini kasusnya mencuat lagi ke permukaan.

Masalah pornoaksi dan pornografi memang rumit. Jadi, bagaimana membuat UU-nya juga jelas bukan masalah sederhana.

Adalah fakta bahwa banyak pihak yang menginginkan adanya UU Antipornografi, namun sebaliknya tidak sedikit orang yang menolaknya. 

Sehingga, jika RUU Antipornografi disahkan karena dorongan kelompok tertentu, pastilah UU tersebut akan menimbulkan diskriminasi. 

Padahal UU seharusnya dibuat untuk memberikan kebahagiaan bersama sebagai sesama warga bangsa.

Definisi

Pro-kontra yang mengitari RUU Antipornografi dan Pornoaksi berawal dari belum adanya definisi "pornografi" yang dapat diterima secara bersama oleh semua kalangan. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pornografi diartikan sebagai: (1) penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi, serta (2) bahan bacaan yang dengan sengaja semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.

Persoalannya, setiap orang punya batas sendiri tentang mana tingkah laku erotis yang membangkitkan birahi, dan mana yang termasuk dalam unsur seni-bukan usaha untuk membangkitkan birahi seks. 

Pornografi juga melahirkan definisi yang beragam berdasarkan pengaruh pandangan suku, budaya, dan agama. 

Akibatnya tidak mudah untuk menarik nilai-nilai bersama yang akan dituangkan dalam UU Antipornografi tersebut.

UU Antipornografi dan Pornoaksi yang bisa menjadi sintesa nilai-nilai bersama semua suku, budaya, dan agama dapat saja diperlukan. 

Namun, itu terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang belum dewasa untuk menilai mana yang baik atau tidak menyangkut pornografi. Yang bahaya adalah jika UU tersebut dipergunakan oleh kelompok tertentu untuk melindungi keutuhannya, tanpa peduli kelompok lain.

Tindakan demikian adalah tindakan warga bangsa yang belum dewasa, sebab UU tersebut dapat diibaratkan sebagai larangan orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa. 

Sehingga, tidaklah mengherankan jika belum lama ini Dr Boyke Dian Nugraha, pakar seksologi, di hadapan anggota legislatif yang tengah merancang RUU tersebut, mengatakan bahwa UU Antipornografi substansinya cenderung mencampuri urusan pribadi.

Ia berpendapat bahwa untuk mengatasi dampak pornografi, pendidikan seks lebih penting dibanding sebuah UU. 

Ia juga mengatakan bahwa ketika pendidikan seks dibe-rikan secara tepat, maka ancaman pornografi bukanlah sesuatu yang menakutkan. 

Proteksi yang terlalu berlebihan dalam pemilihan yang bersifat pribadi, merupakan cara pendidikan yang hanya berlaku untuk anak-anak.

Memang, setiap individu mempunyai hak yang melekat dalam dirinya, dan kebebasan untuk menikmati haknya dibatasi oleh penghormatan terhadap hak-hak orang lain. 

Jadi, pornografi yang mengganggu ketertiban umum, sebagai sesuatu hal yang bersifat asusila tidak dapat diizinkan.

Dan, kewajiban negara untuk menjaga hubungan bersama tersebut tanpa harus merampas hak-hak individu. 

Belum adanya UU Antipornografi tidak berarti tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggar hukum berkenaan dengan tindakan yang mengganggu ketertiban umum. Karena hal tersebut sudah ada hukumnya.

Buktinya, Anjasmara-yang aksi "seni"-nya dinilai meresahkan kelompok ter-tentu, menghadapi proses hukum. Jadi, perangkat hukum terhadap pelanggaran susila (pornografi) telah ada sehingga tidak perlu merampas hak kebebasan individu.

Perdebatan

Adanya perdebatan dalam penyusunan RUU Antipornografi mengindikasikan bahwa dalam masyarakat Indonesia belum ada kesepakatan nilai-nilai bersama. 

Masyarakat Indonesia belum menyatu, sebab masih berupa kumpulan masyarakat. Walaupun Indonesia telah merdeka cukup lama (61 tahun), namun masyarakat yang Pancasilais belum juga terwujud.

Bahkan, di sana-sini timbul konflik. Rasa keindonesiaan belum tertanam kuat. Akibatnya, dalam transformasi Pancasila ke dalam hukum dan perundang-undangan, sering menimbulkan diskriminasi terhadap sesama warga bangsa. 

individu, kelompok yang ada sering tidak berusaha untuk menghormati kebebasan orang lain. Sebaliknya, setiap individu dan kelompok selalu berusaha untuk memaksakan kehendaknya. 

Transformasi Pancasila ke dalam UU seringkali tidak dijiwai oleh semangat Pancasila yaitu bhineka tunggal ika.

Dapat dipahami apabila RUU Antipornografi tetap ingin diusahakan untuk diundangkan maka berarti masyarakat Indonesia belum de- wasa, nyatanya, karena individu atau kelompok diizinkan untuk memaksakan nilai-nilainya yang partikular menjadi sesuatu yang universal. 

Dan, ketidakdewasaan tersebut juga nyata dari tindakan yang tidak menghargai perbedaan. Terlebih lagi, karena tentang definisi pornografi belum ada kata sepakat, maka tidak boleh ada suatu kelompok pun yang bisa memaksakan nilai-nilai partikular agama dan kepercayaannya melalui UU.

Untuk mengatasi tindakan yang tidak bertanggung jawab dari oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan dari usaha yang haram, merusak moralitas manusia dengan memperdagangkan hal-hal yang bersifat pornografi, jalan terbaik adalah menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk mengatasi dampak negatif dari pornografi dan pornoaksi.

Pada bagian ini, peran keluarga dan agama menjadi sesuatu yang penting. Moralitas keluarga yang terjaga dengan baik, melalui teladan orang tua, merupakan kekuatan yang mampu menahan semua usaha yang mau menghancurkan moralitas bangsa.

Demikian juga agama-agama seharusnya semakin menyadari bahwa ia bukan hanya merupakan suatu sistematisasi kepercayaan, tetapi juga harus mewujud dalam kehidupan umatnya. 

Apabila penegakan hukum dan UU yang telah ada berjalan dengan baik, hal tersebut cukup untuk membawa Indonesia ke dalam kehidupan moral yang lebih baik.Persoalannya, seringkali hukum yang dibuat susah payah, justru ditelantarkan.

UU tentang Antipornografi tampaknya tidak akan memberikan kontribusi positif. Terlebih lagi, karena menimbulkan pro-kontra yang belum selesai. 

Dengan demikian sudah seharusnya jangan buru-buru disahkan.Siapa yang berani menjamin UU Antipornografi tersebut dapat membuat Indonesia lebih bermoral? 

Kejahatan yang nyata-nyata di depan mata saja tidak pernah disentuh, apalagi hal-hal yang masih menimbulkan kontroversi. 

Sebagai negara terkorup di dunia dengan konflik antarsuku, budaya, dan agama yang sangat memprihatinkan, masihkah Indonesia merasa sebagai negara bermoral tinggi?

Bencana demi bencana melanda Indonesia, hanya sebagian kecil orang yang peduli, bahkan tidak jarang orang Indonesia yang tidak punya hati nurani, menyunat bantuan bagi orang-orang yang menderita. 

Apakah hukum Indonesia hanya cocok untuk orang kecil?Bukankah hanya orang kecil yang kesulitan men- dapatkan bacaan-bacaan pornografi, sedang orang-orang beruang tetap mendapatkan akses untuk mengonsum- sinya? 

Mudah-mudahan bukan hanya pemerintah yang berusaha bertindak bijak, tetapi semua warga bangsa juga belajar untuk menjadi bijak. 

Binsar Antoni Hutabarat